Disusun Oleh :
NURFITRI NILAM ASRI
1720160018
Apa itu Respirasi Distress Syndrome?
Sindrom Gawat Napas (Respiratory Distress Syndrome,
RDS) merupakan gangguan pernapasan yang spesifik
terjadi pada neonatus. Sindrom gawat napas terjadi
akibat imaturitas paru dan defisiensi surfaktan sehingga
paling sering dijumpai pada bayi prematur. (Thilo &
Rosenberg, 2011).
Etiologi
Paru –paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang
bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur
percabangan bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah
kelahiran hingga sekitar usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan
alveolus akan sepenuhnya berkembang, walaupun janin
memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas sepanjang trimester kedua
dan ketiga.
Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan
aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu
kehamilan dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang
sekitar 30 -34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan
permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding alveolus
sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan
kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernapasan, yang menyebabkan
sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan
penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini
menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu.
Patofisiologi
Sindrom gawat napas bisa terjadi karena immaturitas sistem organ ventilasi
yang biasanya dialami oleh neonatus yang lahir preterm. Alveoli yang masih
kecil menyebabkan pengembangan kurang sempurna karena dinding thoraks
masih lemah dan produksi surfaktan kurang sempurna atau bahkan tidak ada
surfaktan. Surfaktan adalah suatu kompleks lipoprotein yang ada di alveoli
yang berguna untuk memudahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak kolabs pada akhir respirasi dan menahan sisa udara fungsional.
Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas
disebut sel pnemosit tipe II di alveoli. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan
22-24 minggu dan mencapai maksimal pada minggu ke 35. Zat ini terdiri
dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Apabila surfaktan tersebut tidak
adekuat, maka akan menyebabkan kolabsnya alveoli dan hipoksia.
Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya konstriksi vaskuler pulmoner
dan penurunan perfusi pulmoner yang akhirnya mengakibatkan sindrom
gawat napas atau bahkan bisa berlanjut ke gagal napas progresif.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah Menunjukan keadaan bakteriemia
Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
• Pemberian oksigen
• Pertahankan Nutrisi Adekuat
• Pertahankan Suhu Lingkungan Netral
• Pertahankan PO2 dalam batas normal
• Intubasi bila perlu, dengan tekanan
ventilasi positif
Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Identifikasi Faktor Resiko
2. Riwayat Alergi? Apakah ada alergi dalam keluarga ? apakah ada gangguan
genetik?
3. Kaji dan observasi pernapasan pasien, bagaimana dengan irama, frekuensi,
kedalaman, kemudahannya dalam bernapas, apakah ada kesulitan
bernapas, pengembangan paru-parunya. Pada pasien dengan RDS biasanya
akan ditemukan takipnea yang diikuti dengan apnea. Retraksi substernal,
krakels inspirasi, mengorok ekspiratori, pernapasan cuping hidung dn
pernapasan sulit.
4. Kaji dan observasi apakah pasien mengalami infeksi, batuk (berdahak/tidak),
pilek, apakah ada sianosis, nyeri dada, suara napas abnormal (mengi /
wheezing)
5. Kaji sistem kardiovaskuler ; adanya murmur
6. Kaji sianosis, indikasi kegawatan hypoxia kaji hasil laboratorium
7. Apabila ditemukan gejala letih, lesu, apatis, sering apnea, gangguan
termogulasi, syok, penurunan curah jantung, tekanan darah sistemik rendah
berarti penyakit klien sudah lebih parah.
DIAGNOSA
DX.1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan
alveolar.
Hasil yang diharapkan : Pasien menunjukan oksigenasi yang adekuat, jalan nafas tetap paten,
oksigenasi jaringan adekuat, analisa gas darah dan keseimbangan asam basa dalam batas normal
sesuai usia pasca konsepsi.
Intervensi :
1. Berikan posisi yang nyaman untuk pertukaran udara dengan cara posisi telungkup (posisi ini
menghasilkan perbaikan oksigenasi) atau terlentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung
menghadap keatas (mencegah terjadinya penyempitan jalan nafas)
2. Lakukan suction untuk mengeluarkan lendir, sebelum pemberian surfaktan, gunakan teknik
penghisapan yang tepat
3. Beri surfaktan sesuai petunjuk untuk menurunkan tegangan permukaan alveolar
4. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan
5. Observasi pola nafas pasien, adakah penyimpangan fungsi, apakah ada tanda-tanda distress
(missal : mengorok, sianosis, pernapasan cuping hidung, apnea dan sebagainya)
6. Monitor saturasi oksigen dan analisa gas darah
7. Turunkan pengaturan ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen untuk
mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan
8. Pantau kepatenan selang ET untuk mencegah penyumbatan karena mucus
Dx.2 Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan defisiensi
surfaktan, kolabs alveolar.