Anda di halaman 1dari 18

Perawatan Psikososial dan Spiritual

Pada Korban Bencana dan Perawatan


untuk Populasi Rentan

Cathrine Yemima Ristyawati ( 01.2.16.00526 )


Erlyana Rahayu Fibriani ( 01.2.16.00538 )
Milkha Oktariyanti ( 01.2.16.00548 )
Yesika Margiana ( 01.2.16.00566 )
Dampak bencana pada aspek spiritual

Bencana adalah fenomena kehidupan yang maknanya sangat


tergantung dari mana seseorang memaknainya. Disinilah aspek
spiritual ini berperan. Dalam kondisi bencana, spiritualitas seseorang
merupakan kekuatan yang luar biasa, karena spiritualitas seseorang ini
mempengaruhi persepsi dalam memaknai bencana selain faktor
pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi.
Dampak bencana pada aspek psikososial

Psikososial adalah Suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek
psikis dan sosial atau sebaliknya secara terintegrasi. Aspek kejiwaan berasal dari
dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar, dan kedua aspek ini sangat
saling berpengaruh kala mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan.
Definisi lain menyebutkan bahwa aspek psikososial merupakan aspek hubungan
yang dinamis antara dimensi psikologis/kejiwaan dan sosial. Penderitaan dan luka
psikologis yang dialami individu memiliki kaitan erat dengan keadaan sekitar atau
kondisi sosial. Pemulihan psikososial bagi individu maupun kelompok masyarakat
ditujukan untuk meraih kembali fungsi normalnya sehingga tetap menjadi produktif
dan menjalani hidup yang bermakna setelah peristiwa yang traumatik (Iskandar,
Dharmawan & Tim Pulih, 2005)
Menurut Keliat, dkk (2005), ada 3 tahapan
reaksi emosi yang dapat terjadi setelah
bencana, yaitu :
1. Reaksi individu segera (24 jam) setelah bencana dengan reaksi yang
diperlihatkan: Tegang, cemas dan panik; terpaku, linglung, syok, tidak percaya;
gembira/euphoria, tidak terlalu merasa menderita; lelah; bingung; gelisah,
menangis dan menarik diri; merasa bersalah
2. Minggu pertama sampai dengan minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang
diperlihatkan antara lain: ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah, kesulitan
tidur; kuatir, sangat sedih; mengulang-ulang kembali (flashback) kejadian;
bersedih. Reaksi positif yang masih dimiliki yaitu: Berharap dan berpikir tentang
masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan; menerima
bencana sebagai takdir.
3. Lebih dari minggu ketiga setelah bencana dengan reaksi yang diperlihatkan dapat
menetap. Manifestasi diri yang ditampilkan yaitu : Kelelahan; merasa panik;
kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berpikir tidak realistis; tidak beraktivitas,
isolasi dan menarik diri; kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing,
letih, mual, sakit kepala, dan lain – lain
Danvers, dkk (2006) dalam penelitiannya tentang reaksi
psikososial pasca bencana Tsunami dan bencana Tamil
Eelam di Srilanka menemukan 19 reaksi psikososial
yaitu:
 tahap awal timbul ketakutan akan laut dan mimpi – mimpi buruk
 tidak percaya pada laut, mereka menjadi takut untuk kembali tinggal di pesisir
pantai
 timbulnya perasaan bersalah
 banyak orang yang mengalami reaksi stres akut, perasaan berduka, bingung dan
sangat emosional
 tingkat kehilangan nyawa yang tinggi
 keadaan ekonomi berubah secara besar–besaran akibat bencana. Bahkan ada
kasus bunuh diri karena kehilangan harta benda
 sistem pendukung umum telah hancur, semua anggota masyarakat mengalami
bencana, individu tidak menerima bantuan dari masyarakat. Struktur desa dan
masyarakat telah hancur, orang – orang berpindah pada keadaan dan situasi yang
berbeda, baik dari segi lingkungan maupun sosial
 belum adanya persiapan diri dan skala kerusakan akibat Tsunami telah menambah
kesusahan masyarakat
 orang – orang yang terkena bencana harus berurusan dengan stres praktis. Stres
praktis tersebut misalnya sistem registrasi yang rumit, berusaha untuk
menyatukan kembali anggota keluarga yang masih ada, tidak meratanya
pembagian distribusi dan pertolongan, harus tinggal di pusat – pusat
penampungan dan di tempat penampungan sementara
 keluarga yang terpisah setelah bencana terdapat di tempat penampungan yang
berbeda
 ekpresi marah adalah reaksi yang paling umum
 ada masyarakat yang memandang secara magis tentang penyebab terjadinya
bencana dan berusaha dengan cara – cara tertentu untuk selamat dari bencana
 kurangnya koordinasi antara organisasi dan agensi yang menyebabkan banyaknya
bantuan yang tidak tersalurkan
 kurangnya sikap peka dan simpatik pemerintah terhadap para korban
 kurangnya sikap peka dan simpatik pemerintah terhadap para korban
 banyak para duda yang kesulitan untuk mengurus anak kecil terutama bayi
 salah satu kelompok yang mempunyai kebutuhan paling spesifik yakni para
remaja, khususnya yang kehilangan orang tua
 ada semangat dan antusiasme yang tinggi dari beberapa kelompok untuk
melakukan aktivitas psikososial, meskipun tidak semua kelompok ini dibekali
dengan kompetensi yang cukup untuk melakukan intervensi psikososial.
Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana

 Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP Nomor 21 th 2008, tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) terdapat pasal tentang pelindungan
kepada kelompok rentan, dimana pemerintah dan lembaga terkait harus
memberikan prioritas pelayanan penyelamatan, evakuasi, pengamanan pelayanan
kesehatan dan psikososial. Bab ini akan membahas lebih jauh kelompok rentan
dalam menghadapi bencana.
 Kelompok-kelompok rentan rentan saat bencana diantaranya: lanjut usia, wanita
hamil, atau menyusui, anak-anak dan bayi,orang-orang dengan penyakit
kronis,kecacatan dan ganguan metal.
Lanjut Usia
 Lanjut usia(lansia) merupakan salah satu kelompok rentan baik pada saat kejadian
bencana maupun pasca bencana bencana yang disebabkan karena salah satu atau
kombinasi dari factor-faktor keterbatasan fisikm ketebatasan funsional,
karakteristik sosiodemografi dan psikososial dan atau menderita penyakit kronis
sehingga membutuhkan lebih banyak bantuan.
 Di Amerika Serikat, sebagian besar korban kematian akibat Badai Katrina tahun
2005 dialami oleh lansia. Di kota Lousiana and New Orleans, lebih dari 70%
korban yang meninggal berusia lebih dari 60 tahun.
 Setelah kejadian bencana, lansia mudah mengalami penurunan kesadaran akibat
kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar terhadapnsumber infeksi di
pengungsian, keterbatasan bantuan kebutuhan medis dan stress emosional.
Wanita Hamil dan Menyusui

 Wanita khususnya wanita hamil sangat rentan saat bencana karena keterbatasan
fisik yang dialami sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri dalam situasi
darurat.
 Pada saat bencana pemeriksaan rutin pada wantia hamil harus tetap dilakukan
oleh petugas kesehatan untuk mengidentifikasi awal resiki yang dapat terjadi
akibat dari stress fisk dan psikologis yang dialami
Anak-Anak

 Anak-anak sering menjadi korban pada semua jenis bencana. Lebih lanjut lagi
ketersedian sumber daya, alat, dan bahan yang sesuai dengan kebutuhan anak
yang menjadi korban bencana sering diabaikan pada tahap kesiap-siagaan
bencana.
 Anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang karena keterbatasan fisik, imunitas, kondisi psikososial dan kurangnya
kemampuan untuk mengidentifikasi dan melindungi diri dari bahaya yang
dipengaruhi oleh tahap perkembangan serta kemampuan komunikasinya
Penderita Penyakit Kronis

 Penderita penyakit kronis menjadi salah satu kelompok rentan saat kejadian
bencana karena keterbatasan atau kelemahan fisik yang dialami. Kondisi kronis
tersebut mungkin ada yang mudah didefinisikan misalnya penderita yang
menggunakan alat bantu napas (ventilator) atau kursi roda, sehingga memerlukan
metode, bantuan yang lebih besar dan alat evakuasi khusus pada saat bencana
terjadi.
Orang - orang Dengan Keterbatasan Fisik/Cacat

 Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat rentan
saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi dan
intervensi penanganan bencana
Penderita Gangguan Mental

 Penderita gangguan mental sering terabaikan pada saat situasi kegawatdaruratan


atau bencana, baik yang hidup ditengah masyarakat ataupun yang dirawat di
institusi pelayanan. Proses evakuasi mungkin menjadi kacau dan sulit untuk
diarahkan oleh petugas bencana yang tidak tahu atau kurang memahami kondisi
mereka. Individu dengan gangguan mental ringan atau sedang mungkin datang
ke fasilitas pelayanan kesehatan atau pelayanan darurat dengan keluhan somatik,
sedangkan individu dengan gangguan mental berat munkin tidak mencari bantuan
sama sekali karena kondisi isolasi sosial, depresi, stigma, dan lain-lain
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai