Anda di halaman 1dari 13

Penelitian Aksi

Partisipatoris
(Participatory Action
Research)
Sebuah Pengantar Bagi Praktisi
Penelitian Aksi partisipatori atau
dalam bahasa yang lebih sering
dipakai “Participatory Action
Research”, mulai dikenal sejak tahun
70-an.
Pada tahun 80-an metode
penelitian mulai banyak dipakai oleh
kalangan LSM. Di Indonesia,
pendekatan ini mulai dipakai oleh
kalangan LSM pada pertengahan 80-
an (Hadimulyo dan Maryono, 1989).
Pada pertengahan tahun 90-an
pendekatan ini mulai dipakai juga
oleh para agen pembangunan, seperti
World Bank, Donor Bilateral, dan
badan-badan pembangunan di bawah
naungan PBB.
Lalu apa itu “Penelitian Aksi
Partisipatoris”? Apa pengertiannya?
Bagaimana sejarahnya?
APA ITU PENELITIAN AKSI
PARTISIPATORIS?

Wadsworth (1998) mengatakan


bahwa penelitian aksi partisipatoris
tidak berbeda dan tidak terpisah sama
sekali dari ilmu pengetahuan
(science).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa
penelitian aksi partisipatoris bukanlah
pilihan atau varian dari suatu teknik
spesial, tetapi adalah sesuatu yang
mendeskripsikan secara inklusif
pengertian baru tentang ilmu sosial
itu sendiri.
Sung (1995) menyatakan bahwa
penelitian partisipatoris adalah sangat
dekat dengan suatu proses natural
yang diajarkan dalam gerakan sosial.
APA ITU PENELITIAN?

PROSES RISET SEDERHANA


(WADSWORTH, 1998)

Memikirkan aksi
baru
Refleksi (analisis)
6
5

Melakukan pencarian
4
jawabanmelalui pengecekan dan
menantang gagasan jawaban
3 tersebut

Rencana untuk mencari jawaban

2 Menyusun pertanyaan

Berhenti sejenak dan


merefleksikan kegiatan sekarang
1
PENELITIAN
KONVENSIONAL

Selesai

Kesimpulan

Analisis
Kegiatan
Lapangan

Mulai

Hipotesis
APA ITU AKSI?

Dalam penelitian aksi


partisipatoris, aksi bukanlah kegiatan
yang merupakan sambungan dari
partisipasi yang dilanjutkan dengan
penelitian. Aksi disini adalah
merupakan bagian yang selalu harus
muncul dalam setiap tahapan dalam
penelitian aksi partisipatoris, seperti
halnya penelitian dan partisipasi
(Wadsworth, 1998; Greenwood and
Levin, 1998).
Wadsword menjelaskan bahwa
ilmu sosial sekarang tidak lagi
mendasarkan pendapatnya pada
“seperti apa dunia harus menjadi”,
melainkan pada “inilah keadaan dunia
kita”.
APA ITU PARTISIPASI?

Wadsworth (1998), mengutip McTaggart,


mendefinisikan penelitian aksi partisipatoris
sebagai berikut:
 
“…action research is the way groups of
people can organise the conditions under
which they can learn from their own
experiences and make this experience
accessible to others.”
 
Dari pengertian di atas dijelaskan bahwa
tidak ada satu pihakpun yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain.
Dalam hal penelitian aksi partisipatoris yang
biasanya melibatkan masyarakat dan orang
luar (peneliti profesional, pelaksana proyek
dan pengambil kebijakan), siapa yang harus
berpartisipasi kepada siapa menjadi tidak
penting. Yang terpinting adalah suasana yang
bisa diciptakan dimana masing-masing bisa
mengakses pengalaman dari pihak-pihak
yang terlibat.
BEBERAPA HAMBATAN
DALAM PARTISIPASI

1) Kehilangan kepercayaan diri karena


kehadiran penguasa
2) Takut berbicara dalam forum
3) Kurang menghargai diri sendiri
4) Tidak percaya kepada penguasa
5) Enggan mengambil resiko
6) Takut akan konsekwensi ekonomi dan
kehilangan muka secara sosial
7) Takut dikritik dianggap melewati batas
8) Perbedaan faksi
9) Perasaan tidak berdaya dan fatalis
(pasrah)
10) Kurang berpengalaman bekerja dalam
kelompok
11) Kurang pengalaman dalam perencanaan
dan pemecahan masalah
MENGAPA PENELITIAN AKSI
PARTISIPATORIS?
Chambers mengatakan dalam pengantar buku “Whose Voice?” bahwa
penelitian partisipatif memberikan jalan bagi mereka yang miskin dan
tertinggal dapat menyampaikan keadaan mereka kepada penguasa, dan
dipercaya, sehingga bisa mempengaruhi kebijakan dan membuatnya berbeda.
Melibatkan masyarakat dalam penelitian dan pelaksanaan program, menjamin
keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut.
Pretty (1995) mengatakan bahwa faktor kritis dari keberhasilan suatu program
pembangunan adalah pada tingkat partisipasi stakeholdernya.
Peter Ooi (1996) berdasarkan penelitiannya tentang perkembangan adopsi
Pengendalian Hama Terpadu oleh petani, menyatakan bahwa PHT baru bisa
berhasil ketika petani terlibat secara langsung dalam program tersebut, bukan
hanya sebagai penerima/pemakai teknologi. Membelajarkan petani sehingga
mereka memiliki pengetahuan ekologi, membuat program lebih berhasil
daripada hanya mengajari petani tentang bagaimana cara mengendalikan
hama.
Van den Berg, et all (2001) memberikan kesimpulan yang sama, dari kasus di
Indonesia. Vos (2001) mengatakan bahwa pendekatan partisipatif bertujuan
untuk memberdayakan petani dalam hal pengetahuan (knowledge) sehingga
mereka percaya diri untuk mengambil keputusan. Vos selanjutnya
menyimpulkan bahwa penelitian partisipatif telah meningkatkan pengetahuan
petani tentang ekologi, dan berdasarkan hal tersebut, petani meningkat
kemampuannya dalam pengambilan keputusan dan penghasilannya.
Elske van der Fliert menjelaskan alasan mengapa perlu ada penelitian aksi
partisipatoris. Dalam keadaan dimana pengetahuan umum sudah diketahui,
tetapi belum ada penerapannya secara praktis, penelitian aksi partisipatoris
adalah metode yang tepat.
Galagher (1990) mengatakan bahwa penelitian haruslah dilaksanakan di semua
level. Pusat penelitian hendaknya melakukan penelitian dasar yang merangsang
untuk dilakukannya penelitian terapan di lapangan. Selaras dengan Galagher,
Widagdo (1995) mengatakan bahwa penelitian pertanian dilakukan oleh semua
pelaku usaha tani. Baik itu peneliti profesional, penyuluh maupun petani.
Pendapat ini berdasarkan diskusi antara penulis dengan van der Fliert di
Vietnam pada bulan Januari 2003
SEJARAH PENELITIAN AKSI
PARTISIPATORIS
Sejarah Penelitian Aksi Partisipatoris bisa ditelusuri dari sejak
berakhirnya perang dunia kedua. Situasi paska perang merupakan
latar belakang dari berkembangnya gagasan penelitian partisipatoris.
Rencana pembangunan Eropa paska perang (Marshal Plan) dan
pembangunan sektor industri yang hancur akibat perang merupakan
dua hal yang merangsangnya. Bererapa orang dan institusi bisa
disebut sebagai pelopor berkembangnya metode ini. Di bawah ini
adalah orang dan institusi yang berperan dalam berkembangnya
penelitian Aksi partisipatif.
Situasi Paska Perang
Perang dunia kedua mengakibatkan kehancuran yang parah bagi
Eropa. Itulah sebabnya Eropa meminta Amerika Serikat untuk
membantu merestorasi. Mengapa Amerika? Sebab Amerika adalah
negara yang paling tidak mengalami Marshal Plan adalah rencana
terobosan yang mula-mula dicetuskan pada bulan Juni 1947 dan
dilaksanakan pada tahun 1948 (Lihat Frank, 1984:viii)
akibat dari perang dunia kedua. Posisi geografisnya yang jauh dari
lokasi perang, dan sumberdaya alamnya yang sangat kaya, membuat
pertumbuhan ekonomi Amerika pada saat itu pesat dan tidak
terganggu oleh perang. Amerikalah yang juga membantu membangun
kembali industri di Eropa yang juga hancur akibat perang.
Rostow (1962), berdasarkan atas pengamatannya terhadap
perkembangan kesejahteraan Eropa menggambarkan bahwa
pembangunan itu melalui suatu tahapan linear. Teori ini yang dipakai
oleh Amerika untuk membangun dunia ketiga.
Pembangunan industri di Eropa dengan memperbarui mesin-
mesinnya ternyata tidak berhasil memperbaiki produksi. Kurt Lewin,
seorang sosio-psicologist membawa gagasan baru, yakni buruh tak
bisa dipisahkan dengan mesin. Mengubah cara kerja buruh dan
modernisasi mesin adalah dua faktor yang harus diintroduksikan
secara bersama untuk membenahi industri. Gagasan Lewin ini
kemudian berkembang menjadi Demokratisasi Industri.
 
Kerja Kurt Lewin
Menurut Greenwood dan Levin (1998), Kurt Lewin
adalah orang yang meletakkan batu penjuru sehingga
penelitian partisipatoris bisa berkembang. Lewinlah
yang mencetuskan gagasan untuk memecahkan
masalah riil melalui penelitian. Ia menciptakan peran
baru bagi peneliti, daripada hanya “sebagai pengamat
yang jauh”, menjadi “terlibat langsung dalam
pemecahan masalah riil”. Gagasannya muncul ketika
ia membuat penelitian tentang bagaimana caranya
mengubah ibu rumah tangga di Amerika supaya
bersedia mengganti daging sapi dengan babat sebagai
menu makan malam.
Kurt Lewin (1943) melakukan penelitian tentang
bagaimana caranya untuk membuat ibu-ibu rumah
tangga di Amerika Serikat mau memasak babat
sebagai menu makan malamnya, daripada memasak
daging sapi. Dia membuat dua perlakuan, satu
perlakuan adalah ibu rumah tangga yang diberi
latihan memasak babat untuk menu makan malam,
sedangkan perlakuan lainnya adalah ibu rumah
tangga yang tidak dilatih. Dari penelitian ini Lewin
menemukan model perubahan sosial yang disebut
sebagai three-stage process, yaitu: membuka struktur
yang ada (pencairan), mengubah struktur
(mengubah), mengunci mereka dengan struktur baru
yang permanen (pembekuan). Model sosial ini telah
merangsang berbagai temuan, seperti misalnya
dinamika kelompok, produksi model T, konsultasi,
khususnya dalam pengembangan organisasional
(organizational change).
.
Dari gagasan Lewin tersebut, Tavistock Institute of
Human Relation (Tavistock) di London menggunakannya
untuk memperbaiki kondisi industri di Eropa yang rusak
parah akibat perang dunia II.
Tavistock dikontrak oleh pemerintah Inggris untuk
menelaah mengapa pabrik batubara yang telah dimodernisasi
mesinnya tidak meningkat produktifitasnya. Dari pada
membuat penelitian, Tavistock melibatkan buruh perusahaan
tersebut untuk memecahkan masalah tersebut secara
bersama-sama. Dari pengalaman tersebut, muncullah teori
sociotechnical. Teori tersebut mengungkapkan pentingnya
kelompok yang diberi wewenang yang cukup, sehingga
mereka termotivasi, untuk memutuskan sesuatu tentang
produksi. Teori ini juga telah mengubah cara produksi
perusahaan-perusahaan Eropa yang dulunya bermodel
“tailoring”, yang sangat terdeferensiasi dalam pekerjaan,
menjadi lebih demokratis.
Teori ini kemudian dipakai diberbagai negara untuk
memperbaiki atau membangun kembali industrinya. Swis dan
Jepang adalah dua contoh dalam hal ini. Perusahaan otomitif
Swis Volvo, Saab-Scania dan Alfa Laval mengubah organisasi
kerjanya berdasarkan teori ini. Jepang membangun kembali
industrinya dengan menerapkan “siklus kualitas”, yaitu
dengan membentuk team “penyelesai masalah (problem-
solving groups)”. Group ini terdiri dari para pekerja dan
insinyur yang bertanggung jawab untuk memecahkan
masalah produksi. Teori ini berkembang pesat di industri di
Jepang karena Jepang mempunyai budaya gotong-royong.
Sumbangan Lewin dalam hal ini adalah memberikan
peran baru bagi peneliti, yaitu terlibat langsung dalam
penyelesaian persoalan. Namun sayangnya, gagasan itu
tumbuh di tempat yang kurang memberi peranan pada
tujuan yang lebih luas. Gagasan Lewin kemudian mandek
pada penggunaannya untuk sekedar efisiensi perusahaan saja

Anda mungkin juga menyukai