Anda di halaman 1dari 17

“Konsep gangguan

sistem perkemihan
inkontinensia urine”
Kelompok 2/7A:
Fitria Diana Maghfirotul Inaya 1130017001
Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu
penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,
merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh (Kholifah, 2016).

Masa Lanjut usia adalah masa yang dimulai semenjak seseorang susdah mencapai usia 60 tahun
dan berakhir dengan kematian. Masa ini merupakan dimana seseorang melakukan penyesuaian
terhadap berkurangnnya kekuatan dan kesehatan, menata kembali kehidupan, masa pensiun dan
penyesuaian dirinya terhadap peran-peran sosialnya (Setianto, 2017).
Menurut WHO (1999) dalam Kholifah (2016) menjelaskan
batasan lansia adalah sebagai berikut :

usia pertengahan (Middle Usia lanjut (elderly)


Age) 45-59 tahun antara usia 60-74 tahun

Usia sangat tua (very old)


Usia tua (old) :75-90 tahun adalah usia > 90 tahun
Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

1. Lansia merupakan 2. Lansia memiliki status


periode kemunduran. kelompok minoritas.

3. Menua membutuhkan 4. Penyesuaian yang


perubahan peran. buruk pada lansia.
Perubahan Pada Lanjut Usia

Peubahan fisik Perubahan psikososial

Perubahan emosi dan kepribadian


Definisi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine yang


tidak dapat dikontrol, disebabkan oleh tekanan
intravesika. Inkontinensia merupakan salah satu
masalah perawatan kesehatan yang paling umum
terjadi dan paling sering menyebabkan distres
pada lansia (saputri, 2019).

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan


menahan kemih dalam vesikaurinaria yang bisa
terjadi karena gangguan neurologis atau mekanis
pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih
normal (saputri, 2019).
klasifikasi pada
inkontinensia urine

1. Inkontinensia urine akut


2. Inkontinensia urine kronik
Etiologi
Menurut Setiati dan Pramantara (2007) dalam Saputri (2019)
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan karena adanya kelainan
urologis, fungsional atau neurologis. Inkontinensia urine karena kelainan
urologis disebabkan adanya penyakit lain yang mempengaruhi urologi
seperti adanya tumor, batu, dan peradangan. Adanya kelaianan-kelainan
tersebut menimbukan gangguan pada fungsi dan hilangnya sensibilitas
pada kandung kemih.

Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fungsi dari organ


kemih karena adanyanya penurunan esterogen, kebiasaan mengejan
yang tidak benar, dan adanya kelemahan pada otot dasar panggul yang
disebabkan oleh menopause, kegemukan, kehamilan, setelah
melahirkan, operasi vagina atau kurangnya aktivitas. Berat badan yang
berlebih dan kehamilan dapat menekan otot dasar panggul sehingga
dapat menimbulkan kelemahan.
Sedangkan menurut Soeparman & Waspadji Sarwono (2001)
Umairoh (2013) Etiologi inkontinensia urine, yaitu :

1. Poliuria, nokturia
2. Gagal jantung
3. Faktor usia: lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun
4. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada laki- laki hal ini
disebabkan oleh :
a. Penurunan produksi estrogen menyebabkan atropi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan dapat mengakibatkan
penurunan otot- otot dasar panggul.
b. Perokok, minum alcohol.
c. Obesitas.
d. Infeksi saluran kemih (ISK).
Patofisiologi
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan Kapasitas kandung kemih
(Vesika Urinarial) normal sekitar 300- 600 ml. Keinginan untuk berkemih antara 150- 350 ml.
Berkemih dapat ditunda 1- 2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika ingin berkemih atau
miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter eksternal relaksasi
yang membuka uretra, proses ini pada orang dewasa muda.

Pada lansia tidak semua urine dikelurkan tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap
adekuat. Jumlah lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan lain pada
proses penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Lansia wanita terjadi
penurunan produksi estrogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot- otot dasar.

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih terjadi
hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung
kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung
kemih bocor bila batuk ataubersin (Reny, 2014).
Manifestasi Klinis
1. Inkontinensia dorongan
Gejalanya berkemih sering disertai oleh tingginta frekuensi berkemih (lebih sering
dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah
kecil (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).
2. Inkontinensia stres
Gejalanya adalah keluarnya urine pada saat tekanan intra abdomen meningkat
dan seringnya berkemih.
3. Inkontinensia refleks
Gejalanya adalah tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi,
kurangnya untuk berkemih, kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dicegah.
4. Inkontenensia fungsional
Gejalanya rasa mendesak keinginan untuk berkemih menyebabkan urine keluar
sebelum mencapai tempat yang sesuai.
5. Inkontinensia overflow
Gejala keluar sedikit urine tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah
penuh, distensi kandung kemih
Komplikasi
Menurut Reny (2014) komplikasi yang timbul pada inkontinensia
urine, yaitu :

1. Kerusakan kulit
2. Infeksi saluran kencing
3. Infeksi kulit daerah kemaluan
4. Gangguan tidur
5. Masalah psiko sosial seperti depresi, mudah marah, dan rasa
terisolasi
Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
4. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
5. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih
dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur uretra, dan tahap gangguan uretra
prostatik stenosis (pada pria).
6. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria, membantu diagnosis
struktur dan obstruksi orifisium uretra.
7. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarus eksternal.
8. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau nyeri,
kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga
dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat mentebabkan inkontinensia.
9. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih.
Penatalaksanaan
1. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika
inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakstabilan pada otot destrusor. Obat
antispasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas otot polos kandung
kemih. Estrogen baik dalam bentuk oral, topikal, maupun supositoria, digunakan jika
ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stress kadang dapat diterapi dengan obat
antidepresan.
2. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu berkemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul (latihan kegel). Pendekatan yang
dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan
latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi.
Latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang
utuh yang mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya tidak dipilih
untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik
tambahan, seperti umpan biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai
tambahan pada terapi perilaku.Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang
mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih
yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
Lanjutan......
3. Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang
mengalami kelainan anatomi seperti prolaps uterus berat atau
relaksasi pelvik. Spiral tersebut dapat dipakai secara internal,
seperti diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar
kandung kemih serta uretra, yang mencegah inkontinensia
selama ketegangan fisik.

4. Toileting terjadwal
Penggunaan pada Indwelling kateter, jika retensi urine tidak
dapat dikoreksi secara medis/pembedahan dan untuk
kenyamanan klien terakhir.
Askep Teori Lihat di Word
THANKS

Anda mungkin juga menyukai