sangat berbahaya • Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri. Basillus Klebs-Löffler karena ditemukan Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Morfologi Bentuk batang 1,5 - 5 µm dan lebar 0,5 - 1 µm. Biasanya salah satu ujungnya mengembung sehingga berbentuk gada. tidak berkapsul, tidak berspora, tidak bergerak, tidak tahan asam. Pada kultur, kelompok bakteri ini akan berhubungan satu sama lain dan membentuk seperti huruf “ Y, X, V “, dan membentuk seperti huruf Tionghoa. Dijumpai bentuk pleomorfik bila dibiakkan dalam suasana kurang optimal Granula Babes-Ernst dapat dilihat dengan pewarnaan menurut Neisser Fakultatif anaerob. Pertumbuhan optimal suasana anaerob Granula “babes ernst” bakteri corynebacterium diphtheriae pada pewarnaan Neisser dan Albert. Klassifikasi Kerajaan : Bacteria Filum : Actinobacteria Ordo : Actinomycetales Famili : Corynebacteriaceae Genus : Corynebacterium Spesies : C. diphtheriae
Nama binomial Corynebacterium diphtheriae
• Terdapat tiga subspesies (biotipe) yang dikenal yakni: C. diphtheriae gravis ( penyakit berat/parah) C. diphtheriae intermedius ( Pertengahan) C. diphtheriae mitis (penyakit lunak/ringan) meskipun nama ini sudah tidak sesuai karena adakalanya terdapat starin strain yang toksigenik dan tidak toksigenik. Penyakit difteri Infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Dominan menyerang anak anak, biasanya tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas. Cara Penularan Penyakit Difteri: Kontak langsung maupun tidak langsung. Droplet kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada orang orang disekitarnya. Patogenitas Masa inkubasi 1-7 hari. Toksin yang terbentuk pada lesi lokal diabsorbsi oleh darah dan diangkut kebagian tubuh lain, efek nya terutama pd jantung dan saraf perifer. Organisme berkembang biak pd lapisan superfisial selaput lendir, eksotoksin diuraikan menyebabkan nekrosis. Membentuk pseudomembran yang terdiri dari; bakteri, sel sel epitel yg mengalami nekrotik, sel sel fagosit dan fibrin Mula mula membran tersebut terdapat pada tonsil menyebar keatas ke bagian palatum dan nasofaring, dan ke laring dan trakhea Gejala Penyakit Difteri: • Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9°C • Batuk dan pilek yang ringan. • Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan • Mual, muntah , sakit kepala. • Adanya pembentukan selaput di tenggorokan
berwarna putih ke abu abuan kotor.
• Kaku leher Selaput Putih pada saluran nafas penderita Akibat Penyakit Difteri:
Setelah melalui masa inkubasi, kuman difteri membentuk
toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan Berlanjut dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Pemeriksaan Laboratorium Sampel; Swab kapas steril. Media transport : AMIES Swab tenggorok; faring harus jelas terlihat dibawah penerangan yg baik. Tekan lidah dgn spatel, usap tenggorok tanpa menyentuh lidah dan bagian dalam pipi, gosok swab pada membran, bintik bintik putih atau daerah meradang, sedikit ditekan dan dengan gerakan memutar pada swab. Swab Nasofaring ; Masukkan swab kelobang hidung, sampai ketemu dinding faring, apuskan dengan hati hati. • Preparat langsung • Kultur dengan medium Loeffler atau telurin untuk pemeriksaan toksigenitas • Tes Shick (imunitas) Terapi umum 1. Istirahat • Penderita diisolasi dan istirahat di tempat tidur 2-3 minggu. • Jalan napas dibersihkan, membran diangkat dengan laringoskopi/bronkoskopi • Paralisis : dilakukan fisioterapi Inokulasikan lempeng agar darah, Slant lofller, dan lempeng telurit dan diinkubasi pada suhu 37oC. Isolat C.diphtheriae presumtif harus dijadikan subjek pada pengujian untuk toksigenitas. Terdapat beberapa metode, sbb: a. Cakram kertas filter yang mengandung antitoksin diletakkan di atas lempeng agar. Setelah 48 jam inkubasi, antitoksin yang berdifusi dari biakan toksigenik dan menyebabkan pita presipitat antara cakram dan pertumbuhan bakteri. Uji toksigenitas C.diphtheri adalah dengan metode: Elek ouchterlony yang dimodifikasi yang dideskripsikan oleh Unit Rujukan Difteri WHO. b.Metode berbasis reaksi rantai polimerase telah dijelaskan untuk deteksi gen toxin difteri (tox). Uji PCR untuk tox juga dapat digunakan secara langsung pada spesimen pasien sebelum ada hasil biakan. Biakan positif menegakkan uji pCR positif. Biakan negatif setelah terapi antibiotik bersama dengan uji PCR yang positif menunjukkan bahwa pasien mungkin menderita difteri. Enzim-linked immunosorbent assay dapat digunakan untuk mendeteksi toksin difteri dari isolat C.diphtheriae klinis.