Anda di halaman 1dari 35

RUANG LINGKUP FIKIH

MUAMALAH

Tidak diperkenankan untuk digunakan bagi kepentingan lain tanpa persetujuan tertulis
AGENDA PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN
II. PENGERTIAN MUAMALAH
III. CAKUPAN MUAMALAH
IV. TUJUAN MU’AMALAH
V. PRINSIP-PRINSIP MU’AMALAH
I. PENGERTIAN
 Mu’amalat ‫امالت‬
( ‫ ) مع‬adalah bentuk jamak dari kata mu’amalah
(‫) معاملة‬, bentuk masdar dari kata ’amala, yu’amilu,
mu’amalatan yang semakna dengan mufa’alah berasal dari
kata fa’ala, yufa’ilu, mufa’alatan, yang artinya saling berbuat,
saling bertindak, dan saling beramal atau juga berarti
kegiatan atau pekerjaan.

 Kata ini menggambarkan suatu kegiatan atau aktivitas yang


dilakukan oleh seseorang atau lebih dari satu orang dalam
memenuhi kebutuhan masing-masing.
I. PENGERTIAN
 Secara terminologi, para ulama memberikan definisi yang
beragam, ada yang mendefinisikan muamalah dalam arti luas,
dan sebagian lain mendefinisikan muamalah dalam artian
terbatas (khas).
 Dalam artian luas, muamalat didefinisikan antara lain sbb:
 Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum
manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan”
 Aturan-aturan Allah yang ditujukan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan
yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
kemasyarakatan (M. Yusuf Musa).
 Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hak dan
kewajiban dalam hidup bermasyarakat”.
I. PENGERTIAN

 Dalam artian luas tersebut, lingkup pembahasan


hukum muamalat meliputi masalah nikah, talak, jual
beli, perjanjian, peradilan, kesaksian dan hal-hal
yang berhubungan dengan peradilan dan
kesaksian, kejahatan dan sanksinya, hibah, wakaf
dan yang semacamnya, kewarisan dan lain
sebagainya.
 Dalam artian terbatas, Mazhab Syafii membatasi
muamalat hanya masalah jual beli (Kitab Buyu’). Al-
Bakri, salah seorang ahli hukum dari kalangan
mazhab Syafii, dengan jelas menyebut Kitab
tentang jual beli adalah muamalat ( Al-Bakri, I’anatu
Ath-Thalibin, Kairo : Isa Al-Halabi, I, hal. 21 dan III,
hal. 2.
I. PENGERTIAN
 Namun penulis kontemporer, seperti Muhammad
Utsman Syubair, menyatakan bahwa muamalat
tidak terbatas hanya pada masalah jual beli tetapi
mencakup semua bidang hukum yang mengatur
hubungan antar manusia yang berkaitan dengan
harta benda (al-mal).
 Ia menegaskan, “Muamalat adalah hukum syar’i
yang mengatur hubungan hukum manusia di
bidang harta benda, seperti jual beli, sewa
menyewa, wakaf, hibah, rahn, hiwalah (pengalihan
hutang) dan sebagainya” (Muhammad Utsman Syubair, al-Mu’amalat al-
Maliyyah al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Yordan: Dar al-Nafa’is, 1996, h. 10).
 Pendapat inilah yang pada umumnya didukung
oleh mayoritas ulama termasuk didalamnya Al-
Zarqa’(Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhy al-‘Amm al-Fiqh al-Islami fi Tsubih al-
Jadi, Damsyiq: Mathabi’ Alif Ba’ al-Adib, 1968, jilid 1, hal. 55).
II. CAKUPAN MUAMALAH
Secara garis besar sistematika hukum Islam dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Hukum I’tiqadiyyah (aqidah). Hukum ini mengatur
hubungan rohaniah manusia dengan Allah dalam masalah
keimanan dan ketaqwaan.
b. Hukum khuluqiyah (akhlak). Hukum ini mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lain
dalam hubungan beragama, bermasyarakat, dan
bernegara, termasuk hubungan manusia dengan dirinya
sendiri.
c. Hukum ‘amaliyah (syariah). Hukum ini mengatur
hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan
makhluk lain, dengan Tuhan-nya selain bersifat rohani,
dan dengan alam sekitarnya.
II. CAKUPAN MUAMALAH
Ddilihat dari substansinya para ulama juga
mengelompokkan hukum Islam pada dua kategori
besar, yaitu Ibadah dan Muamalah.
Ibadah, dalam arti sempit adalah hubungan
manusia dengan Tuhannya secara langsung seperti
shalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah pokok
lainnya. Ibadah dalam arti luas, mencakup segala
hubungan antar manusia yang dilakukan dalam
rangka mencari ridha Allah Ta’ala, sebagaimana
diungkapkan dalam al-Quran dalam surat al-Zariyat
ayat 56
KAEDAH IBADAH DAN MUAMALAH

‫اآلصل في العبادة التحريم حتى يدل الدليل على إ باحتها‬

“Pada dasarnya dalam ibadah adalah haram, kecuali ada dalil


Yang membolehkannya”

‫اآلصل في المعاملة االبا حة حتى يدل الدليل على تحريمها‬

“Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh


kecuali ada dalil yang melarangnya”
Qath’iy dan Zhaniy dalam Alquran

Al-quran

Dilalah Tsubut

Qath’iy
Qath’iy zhanniy

Semua ayat
Ayat yang Ayat yang Alquran
memiliki memiliki Qath’iy
makna yang Ast subut
makna yg pasti
Karena
(tunggal) beragam
periwayatannya
(multi tafsir) mutawatir
Makna teks-teks Al-Quran

Dilalah Al-Quran

Qath’iy Zhanniy

Qath’iy ad-Dilalah Kepastian makna nash,tidak ada makna lain

Zanniy ad-Dilalah Ayat yang multi-tafsir


II. CAKUPAN MUAMALAH
 Muamalah didefinisikan sebagai hukum-hukum atau
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan
manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan
(horisontal), misalnya hukum yang mengatur masalah
ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain.
 Cakupan Hukum mu’amalah secara luas adalah sbb:
1). Hukum perdata (mu’amalat).
2). Hukum perkawinan (munakahat).
3). Hukum waris (al-Mirats).
4). Hukum pidana (jinayat).
5). Hukum politik (siyasah).
II. CAKUPAN MU’AMALAH

1. .
ISLAM

AKIDAH SYARI’AH AKHLAK

FIQIH

IBADAH MU’AMALAH
II. CAKUPAN MUAMALAH

1. CAKUPAN MUMALAH
MU’AMALAH

POLITIK EKONOMI SOSIAL


(SIYASAH) (IQTISHADIYAH) (IJTIMAIYAH)
PIDANA PERDATA
(JINAYAH) (MUNAKAHAT/
AL-TURATS)

PRODUKSI KONSUMSI DISTRIBUSI KEUANGAN


(FINANCE)
II. CAKUPAN MUMALAH DALAM KEUANGAN

Islamic
Financial
System

Surplus Islamic Deficit


Spending Financial Market Spending

Direct Islamic Indirect


Financial Money Market Financial
Market Market
Commercial
Bank
Takaful
Islamic
Capital Market
Finance Unit
Islamic Companies Merchant Trusts
Islamic Bank
Bond market Equity Market
III. TUJUAN FIKIH MU’AMALAH
 Tujuan dasar dari fikih muamalah adalah untuk
mengatur ketertiban bermuamalah, sehingga
diharapkan tujuan akhir dari segala aktifitas
termasuk ekonomi, yaitu mencapai Al-Falah.
 Persoalan muamalah, Al Qur'an dan Sunnah lebih
banyak menentukan pola-pola, prinsip-prinsip, dan
kaidah-kaidah yang bersifat umum.
Pengembangan selanjutnya diserahkan kepada
para ahlinya. Akibatnya dalam aplikasi,
pengaturan bidang muamalah terjadi
keanekaragaman dalam proses untuk mencapai
kesejahteraan. Hal itu dimungkinkan apabila
memang memberikan maslahat bagi masyarakat.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH
Pertama, ‫ا‬H‫حْ ِر ْي ِم َه‬HHH‫ ُد َّلدَ لِي ٌْل َع َلى َت‬HH‫ ْن َي‬Hَ‫ َّالأ‬HH‫اح ُة ِإ‬
َ ‫ ِ َبإل‬HH‫التْا‬ ْ ‫ى‬HHH‫ َألصْ ُل ِف‬HH‫ا‬.َ
ِ َ ‫ا َم‬H‫لم َُع‬HH‫ا‬

Kedua, mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan


mendatangkan manfaat dan menghindarkan
mudharat (‫ )جلب المصالح ودرء المفاسد‬atau Maslahat.
Segala bentuk muamalat yang dapat merusak
atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak
dibenarkan.
Ketiga, mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara nilai
keseimbangan (tawazun) dalam
pembangunan.
Keempat, mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara
nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur
kezaliman.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH….
I. Prinsip ‫ا‬5‫ ْح ِر ْي ِم َه‬55‫د َُّل دَ لِ ْي ٌل َع َلى َت‬55‫ ْن َي‬5َ‫ َّالأ‬5 ِ‫اح ُة إ‬ ْ ‫ َأل‬5 َ‫ا‬
ْ ‫ى‬555‫ص ُل ِف‬
َ ‫ ِ َإلب‬5 ‫ا َم َال ِت ْا‬5‫ل ُم َع‬55‫ا‬
Dari prinsip di atas, dapat dipahami bahwa:
a. Untuk menetapkan kebolehan suatu bentuk muamalat
tidak diperlukan mencari dasar hukum syar’inya (Al-
Qur’an dan as-Sunnah); karena hukum asalnya adalah
boleh (mubah), bukan haram.
b. Keterangan tekstual (nash) dalam Qur’an dan sunnah
tentang muamalat tidak dimaksudkan sebagai
pembatasan dalam menciptakan bentuk-bentuk
muamalah baru yang tidak termuat dalam Qur’an dan
sunnah.
c. Dalam menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru,
untuk menentukan hukum kebolehannya, tidak perlu
dianalogkan dengan bentuk muamalat yang telah
dijelaskan dalam nash.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH….

I. Prinsip ‫ا‬5‫ ْح ِر ْي ِم َه‬55‫د َُّل َدلِ ْي ٌل َعلَى َت‬55‫ ْن َي‬5َ‫ َّالأ‬5 ِ‫اح ُة إ‬ ْ ‫ َأل‬5 َ‫…ا‬..
ْ ‫ى‬555‫ص ُل ِف‬
َ ‫ ِ َإلب‬5 ‫ا َم َال ِت ْا‬5‫ل ُم َع‬55‫ا‬
d. Di samping itu, untuk menentukan kebolehan juga tidak
perlu dianalogkan (ilhaq) dengan suatu pendapat
hukum Islam hasil ijtihad, atau dengan beberapa bentuk
muamalat yang telah ada dalam literatur hukum Islam,
termasuk tidak diperlukan penggabungan beberapa
pendapat (taufik).
e. Ketentuan satu-satunya yang harus diperhatikan dalam
menentukan kebolehan muamalah baru adalah “tidak
melanggar nash yang mengharamkan, baik nash Al-
Qur’an maupun As-Sunah”.
f. Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan ketika
membuat sebuah muamalat baru adalah meneliti dan
mencari nash-nash yang mengharamkannya, bukan
nash yang membolehkannya.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH….

1. Mensejahterakan
2. Membahagiakan
Mendatangkan 3. Menguntungkan
manfaat 4. Memudahkan
5. Meringankan
Indikator
Maslahat

1. Menyengsarakan
Menghindarkan 2. Menyusahkan
mudharat 3. Merugikan
4. Menyulitkan
5. Memberatkan
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH ….

1. Kemaslahatan (maslahah)
 Hakekat kemaslahatn dalam Islam adalah segala
bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral
duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta
individual dan kolektif.
 Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika memenuhi
dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) dan
bermanfaat serta membawa kebaikan (thayyib) bagi
semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan
mudharat dan merugikan pada salah satu aspek.
 Secara luas, maslahat ditujukan pada pemenuhan visi
kemaslahatan yang tercakup dalam maqasid (tujuan)
syariah yang terdiri dari 5 unsur, al-dien,al-nasl, al-
nafs, al-maa, al-‘aql.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH ….

2. Keseimbangan (tawazun)
 Konsep keseimbangan dalam konsep
syariah/mumalah Islam meliputi berbagai segi
yang antara lain meliputi keseimbangan antara
pembangunan material dan spiritual;
pengembangan sektor keuangan dan sektor riil;
dan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya.
 Pembangunan ekonomi syariah tidak hanya
ditujukan untuk pengembangan sektor korporasi
namun juga pengembangan sektor usaha kecil
dan mikro yang terkadang luput dari upaya-upaya
pengembangan sektor ekonomi secara
keseluruhan.
IV. PRINSIP DASAR MU’AMALAH ….

3. Keadilan (‘adalah)

 Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya


pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya
pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu
sesuai posisinya.

 Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi


berupa aturan prinsip muamalah yang melarang
adanya unsur Riba, Dzalim, Maysir, Gharar, obyek
transaksi yang Haram.
PRINSIP-PRINSIP DAN ASAS-ASAS
MUMALAH
I. PRINSIP HUKUM MUAMALAT

1. Pada Dasarnya Segala bentuk Muamalat adalah Boleh


Kecuali yang dilarang oleh Nash.
A. Menetapkan Kebolehan Tdk Perlu Mencari Dasar
Hukum Syar’i
PRINSIP
HUKUM B. Nash Tdk Dimaksudkan Sebagai Pembatasan
MUAMALAT
secara umum C. Menciptakan Bentuk Muamalah Baru Tidak Perlu
Mencari padanannya (qiyas) Dalam Nash

D. Menetapkan Kebolehan Tdk Perlu Menganalogkan


Atau mentakhrij hasil Ijtihad Para Ulama

E. Tidak Melanggar Nash Yang mengharamkan

2. Muamalat Dilakukan Atas Pertimbangan Maslahah

3. Muamalat Dilaksanakan Untuk memelihara Nilai


Keadilan
II. PRINSIP HUKUM MUAMALAT
SECARA KHUSUS

1. Tadlis
1. HAL-HAL
YANG 2. Ihtikar
DILARANG 3. Bai’ Najasy
4. Taghrir/Gharar
PRINSIP 5. Riba
HUKUM 6. Maysir
MUAMALAH
7. Risywah
SECARA
KHUSUS

2. HAL-HAL 1. Halal & Thayyib


YANG
DIPERINTAH 2. An’taradhin
KAN 3. Amanah
PENYEBAB
DILARANGNYA
TRANSAKSI

Haram zatnya Haram selain zatnya Tidak Sah Akad

1. Tadlis 1. Rukun tdk terpenuhi


2. Ihtikar 2. Syarat tdk terpenuhi
3. Bai’ Najasy 3. Terjadi Ta’alluq/
4. Taghrir/Gharar bai’ al-’inah
5. Riba 4. Terjadi “2 in 1”/
6. Risywah bai’atain/shafqatain
7. Maysir
TADLIS

Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip


arridhaiyyah. Mereka harus memiliki informasi yg sama shg
tidak ada pihak yang dicurangi/ditipu karena ada suatu yang
Unknown to one party = assymetric information.
Unknown to one party dalam fiqh disebut dengan Tadlis

Tadlis ini dapat terjadi dalam 4 hal yaitu dalam:


Kuantitas : pengurangan timbangan
Kualitas : penyembunyian kecacatan obyek
Harga : memanfaatkan ketidaktahuan harga pasar
Penyerahan: penjual tdk mengetahui scr pasti penyerahan brg
TAGHRIR/
GHARAR

 Situasi dimana terjadi incomplete information karena


adanya uncertainty to both parties.
 Kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki kepastian
mengenai sesuatu yang ditransaksikan.
 Gharar terjadi bila sesuatu yang harusnya bersifat pasti
(certain) menjadi tidak pasti (uncertain

Gharar dapat terjadi dalam 4 hal, yakni:


Kuantitas = kasus ijon
Kualitas = menjual sapi masih dalam perut induknya
Harga = pengambilan margin 20 % untuk 1 tahun
atau 40 % untuk 2 tahun
Waktu Penyerahan = menjual barang hilang seharga Rp X
dan disetujui oleh pembelinya
IHTIKAR

Rekayasa pasar dalam supply = Produsen/penjual


mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dg cara
mengurangi supply agar harga produk yg dijual naik.

Ihtikar = entry barrier = menjadi pemain tunggal di pasar


(monopoli). Ihtikar = monopoli = penimbunan.

a.mengupayakan adanya kelangkaan barang


b.menjual lebih tinggi dibanding harga sblm kelangkaan
c.mengambil keuntungan lebih tinggi dibanding sblm a dan b
BAI’ NAJASY

Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen/


pembeli menciptakan permintaan palsu, seoalah-olah banyak
permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk
itu akan naik.

Rekayasan demand ini dalam fikih disebut dg Bai al-najsy.


Pengambilan tambahan dari
RIBA harta pokok secara batil
yaitu tanpa satu transaksi
pengganti atau penyeimbang
yg dibenarkan syariah.

FADL=BUYU’ NASIAH=DUYUN JAHILIYAH

Hutang-piutang yg tdk
Pertukaran barang Hutang yang dibayar
memenuhi kriteria untung
sejenis yg tidak muncul bersama risiko melebihi dari pokok
memenuhi kriteria dan hasil usaha muncul pinjaman, karena
sama kualitas, bersama biaya. sipeminjam tidak
kuantitas, Adanya perbedaan, perubahan, mampu mengembalikan
waktu penyerahan. atau tambahan antara barang dana pinjaman pada
Sebabnya karena yg diserahkan hari ini waktu yg telah ditetapkan
dg brg yg diserahkan
ada unsur gharar
kemudian.
Unsur-unsur riba:
 Adanya tambahan pembayaran atas modal
yang dipinjamkan.

 Tambahan itu tanpa risiko kecuali sebagai


imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh
si peminjam.

 Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian


piutang dan tenggang waktu.

 Adanya tekanan dan kezaliman.


Rasulullah melarang mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun
sebagai syarat atas suatu pinjaman. Tambahan yang tidak sama dengan praktek
yang ditunjukan tersebut diatas tidak termasuk riba yang diharamkan,
sebagaimana di contohkan dalam sebuah Hadist :
Dari Abu Rafi’ r.a., katanya Rasulullah SAW pernah meminjam unta
muda usia kepada seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta
sedekah kepada beliau. Lalu Nabi SAW menyuruh Abu Rafi’ membayar
unta muda yang dipinjamnya. Abu Rafi’ mengatakan kepada beliau : “ Ya
Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada hanyalah unta pilihan yang
telah dewasa “. Sabda beliau : “Berikanlah itu ! Sebaik-baik manusia, ialah
yang mengutamakan pelunasan suatu hutang”. (Hadis Shahih Muslim)
Dari Hadist tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak
termasuk riba apabila :
1. Tambahan itu tidak disyaratkan dimuka atau tidak dijanjikan terlebih
dahulu,
2. Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam,
3. Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
MAYSIR

Transaksi yang mengandung unsur perjudian,


untung-untungan
atau spekulatif yang tinggi

RISYWAH

Tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya


yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas ata
kemudahan dalam suatu transaksi.

Anda mungkin juga menyukai