Anda di halaman 1dari 15

Khilafiyah

Khilafiyah/ikhtilaf merupakan istilah yang diambil dari bahasa arab yang berarti berselisih, tidak sepaham.
Sedangkan secara terminologis khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqih
sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah
kauniyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
َّ‫ين إِاَّل َمن َّر ِح َم َربُّكَ ۚ َولِ ٰ َذلِكَ َخلَقَهُ ْم ۗ َوتَ َّمتْ َكلِ َمةُ َربِّكَ أَل َ ْمأَل َن‬ َ ُ‫اس أُ َّمةً َوا ِح َدةً ۖ َواَل يَ َزال‬
َ ِ‫ون ُم ْختَلِف‬ َ َّ‫َولَ ْو شَا َء َربُّ َك لَ َج َع َل الن‬
َ ‫س أَ ْج َم ِع‬
‫ين‬ ِ ‫َج َهنَّ َم ِم َن ا ْل ِجنَّ ِة َوالنَّا‬
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih
pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka.
kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam
dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. [Hud/11 : 118-119]
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
1. Al-Isytirak Fi al-Ma’na; (‫لمعنى‬GG‫ىا‬GGG‫ك ف‬G‫الشترا‬GG‫)ا‬
Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an karena Adanya Kata-Kata Musytarak
Kita mengenal kata yang disebut musytarok. Yaitu kata yang mengandung lebih dari satu makna.
Contoh, kata quru’ dalam firman Allah swt
ِ ُ‫ص َن بِأَ ْنف‬
‫س ِهنَّ ثَاَل ثَةَ قُ ُرو ٍء‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَت ََرب‬
“Wanita-wanita yang dicerai handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al-
Baqarah/2: 228).
Kata quru’ adalah bentuk jama’ dari qor’ un yang memiliki dua makna, yaitu suci dan haid. Lalu
apa makna yang dimaksud di dalam ayat? Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
berpendapat dengan makna yang pertama (suci). Sehingga wanita yang dicerai wajib menunggu
selama tiga kali suci dari haid. Masa tunggu itu disebut iddah, dan tidak boleh menikah selagi
masih dalam masa iddah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu
riwayat bahwa maknanya adalah haid. Sehingga masa iddah wanita yang dicerai adalah tiga kali
haid.
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
2. Perbedaan mereka di dalam memahami arti amar ( perintah ) dan nahi (larangan)
baik dari Al Qur’an maupun Sunnah
ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما أُ ِه َّل بِ ِه لِ َغ ْي ِر هَّللا‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.(Al baqoroh ayat 173)”
Sebagian ulama seperti golongan hanafiah mengatakan bahwa khinzir yang
dimaksud disini umum, mereka berpegang kepada dhohir lafadz. Karenanya haramlah
babi darat dan laut. Dan sebagian ulama mema’nakannya dengan babi darat saja dan
menghalalkan babi laut, karena mengingat firman Allah:
ُ‫ص ْي ُد ا ْلبَ ْح ِر َوطَ َعا ُمه‬ َ ‫أُ ِح َّل لَ ُك ْم‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.”
(QS. Al Maidah: 96)
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
3. Ikhtilaf al-Qira-at; ( ‫ت‬G‫لقراءا‬GG‫ختالفا‬G‫)ا‬
Ikhtilaf al-Qira-at  adalah perbedaan dalam cara membaca nash al-Qur’an. Sebagai contoh pada bacaan ayat
al-Qur’an yang menjelaskan tentang cara berwudu, khususnya dalam membasuh kaki; apakah kaki itu wajib
dibasuh atau cukup diusap saja. Adanya perbedaan hukum mengenai wajib tidaknya membasuh kaki ini
disebabkan adanya perbedaan dalam membaca nash al-Qur’an al maidah:6 berikut ini:

‫إِلَى ا ْل َك ْعبَ ْي ِن‬ ‫ َوأَ ْر ُجل ُك ْم‬ ‫س ُك ْم‬


ِ ‫ُوو‬
ْ ‫س ُح ْوا بِ ُرئ‬ ِ ِ‫سلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ا ْل َم َراف‬
َ ‫ق َوا ْم‬ َّ ‫يَاأَ ُّي َهاالَّ ِذيْنَ أَ َمنُ ْوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬
ِ ‫صالَ ِة فَا ْغ‬
Ulama berbeda pendapat dalam membaca nash ayat tersebut, khususnya pada kata ” G‫وأرجلكم‬ “  .
ُ ‫ َوأَ ْر‬ . Bacaan ini
Imam Nafi’, Ibnu ‘Amir dan al-Kisa-i membaca kata G‫م‬G‫وأرجلك‬ dengan me-nashab-kan, yakni G‫ ْم‬G‫جلَ ُك‬
mengandung konsekwensi hukum wajibnya membasuh kedua kaki pada saat wudu, karena menjadi
‘athaf (mengikut) pada perintah membasuh muka dan kedua tangan.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membaca kata G‫م‬G‫وأرجلك‬ dengan men-jarr-kan, yakni G‫ ْم‬G‫جلِ ُك‬ ُ ‫ َوأَ ْر‬ .
Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya mengusap kaki ketika melakukan wudu, karena menjadi
‘athaf (mengikuti) pada perintah mengusap kepala.
Tentang ini, mayoritas ulama lebih cenderung pada pendapat yang pertama, yakni wajib membasuh kaki ketika
melakukan wudu
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
4. ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; ‫ث‬( ‫لحدي‬GG‫الطالع علىا‬GG‫ ا‬G‫)عدم‬
       Yang dimaksud dengan ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits adalah tidak mendapatkan suatu hadits dalam masalah
hukum tertentu.  Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan para sahabat Nabi berbeda-beda. Ada yang banyak
menguasai hadits atau sunnah Nabi, ada juga yang hanya sedikit saja. Di samping itu adakalanya, ketika Nabi
sedang menyampaikan keterangan tentang sesuatu hukum, sebagian sahabat tidak hadir, sehingga tidak mengetahui
tentang hukum suatu masalah. Akibat tidak seragamnya pengetahuan sahabat Nabi tentang hadits itu menyebabkan
mereka berbeda dalam menetapkan suatu hukum.
       Sebagai contoh, pada suatu ketika seorang sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Bakr (sahabat kecil) mendengar
Abu Hurairah berkata: 
ُ َ‫َمنْ أَد َْر َكهُ ا ْلفَ ْج ُر ُجنُبا ً فَالَ ي‬
‫ص ْم‬
Artinya:“Barangsiapa masuk waktu subuh masih dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”.
        Ketika mendengar ucapan Abu Hurairah seperti itu maka oleh Abu Bakr kemudian dikonfirmasikan kepada
ayahnya ( Abd al-Rahman bin al-Harits), lalu ayahnya itu tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah
itu. Selanjutnya kedua orang itu datang kepada ‘Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. dan menanyakan persoalan tadi
kepada keduanya. Lalu ‘Aisyah dan Ummu Salamah menjelaskan bahwa:
ُ َ‫صبِ ُح ُجنُبا ً ِمنْ َغ ْي ِر ِح ْل ٍم ثُ َّم ي‬
‫ص ْو ُم‬ ْ ُ‫سلَّ َم ي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ان النَّبِ ُّى‬
َ ‫َك‬
Artinya: “Nabi Saw pernah di pagi hari masih dalam keadaan junub, tetapi ia tetap melanjutkan puasanya”.
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
3.      Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (‫لحديث‬GG‫بوتا‬GG‫ىث‬GGG‫لشك ف‬GG‫)ا‬
       Yang dimaksud dengan Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits adalah keraguan terhadap keberadaan sebuah hadits. Hal
ini menjadi bagian dari sikap kehati-hatian para sahabat dan ulama berikutnya dalam menerima hadits Nabi Saw.
Mereka, para sahabat itu, tidak buru-buru mengamalkan suatu hukum sebelum jelas benar bahwa memang ada
hadits dari Nabi yang menerangkannya. Jika tidak yakin terhadap keberadaan hadits maka mereka
memilih tawaqquf atau diam yakni tidak mau mengamalkan sesuatu amalan yang tidak jelas dasarnya.
Sebagai contoh kasus tentang orang yang makan atau minum di saat puasa karena kelupaan. Tentang ini,
mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa apabila ada orang yang lupa makan dan minum di saat puasa
Ramadlan maka ia tidak berkewajiban mengqadlanya atau membayar denda. Para ulama ini berpendapat
berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:
َ ‫ص ْو َمهُ فَإِنَّ َما أَ ْط َع َمهُ هللاُ َو‬
ُ‫سقَاه‬ َ ‫صائِ ٌم فَأَ َك َل أَ ْو‬
َ ‫ش ِر َب فَ ْليُتِ َّم‬ ِ َ‫سلَّ َم َمنْ ن‬
َ ‫س َى َوه َُو‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
ِ ‫س ْو ُل‬
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa lupa makan atau minum pada saat ia dalam keadaan berpuasa
maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah memberikannya makan dan
minum”. 
          Tentang ini Imam Malik berbeda pendapat. Menurutnya, orang yang sedang berpuasa kemudian ia makan
karena lupa maka batallah puasanya dan ia wajib mengqadlanya.
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
5. Ta’arudl al-Adillah; (‫الدلة‬FF‫ارضا‬F‫ع‬FFF‫)ت‬
Ta’arudl menurut bahasa, ialah taqabul dan tamanu, pertentangan satu sama lain dan tidak dapat dipertemukan.
Ta’arudl menurut istilah, yaitu dua dalil yang masing masing menafikan apa yang ditunjuki oleh dalil yang lain.
Dengan demikian ta`arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung sebuah dalil, tetapi pada saat
yang sama ada dalil yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama.
Contoh Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT :
ُ ُ‫َوا ْل َخ ْي َل َوا ْلبِ َغا َل َوا ْل َح ِم ْي َر لِت َْر َكبُ ْو َها َو ِز ْينَةً َويَ ْخل‬
‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, bighal, dan keledai haya diperuntukkan untuk
kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :
‫ي َج َع َل لَ ُك ُم األَ ْن َعا َم لِت َْر َكبُ ْوا ِم ْن َها تَأْ ُكلُ ْو َن‬
ْ ‫هللاُ الَّ ِذ‬
Allah-lah yang menjadkan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk
kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
SEBAB- SEBAB KHILAFIYAH
 6.      ‘Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah; (‫لة‬GG‫لمسأ‬GG‫ىا‬GGG‫لنصف‬GG‫ وجود ا‬G‫)عدم‬
Di antara penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh adalah karena “Adamu
Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah”,  tidak adanya dalil atau nash yang menerangkan tentang seuatu
masalah. Misalnya kasus orang banyak beramai-ramai membunuh satu orang. Kasus seperti ini tidak
pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, tetapi pernah terjadi pada masa ‘Umar bin al-Khaththab ra. Pada
waktu itu ‘Umar bin al-Khaththab menetapkan hukuman bunuh bagi semua yang terlibat dalam
pembunuhan satu orang itu. ‘Umar berkata:
َ‫شت ََر ُك ْوا فِ ْى قَ ْتلِ ِه لَقَتَ ْلتُ ُه ْم أَ ْج َم ِعيْن‬ َ ‫َوهللاِ لَ ْو أَنَّ أَ ْه َل‬
ْ ِ‫ص ْن َعا َء إ‬
Artinya:  “Demi Allah, kalau sekiranya seluruh penduduk Shan’a bekerja sama dalam membunuh satu
orang, maka aku akan membunuh seluruhnya”.
Ada di antara para sahabat yang setuju dengan keputusan ‘Umar ini dan Adapun yang menentang
pendapat ‘Umar tersebut di kalangan sahabat adalah Ibnu al-Zubair. Ia hanya menetapkan dengan
hukuman diat atau denda. Ini juga merupakan pendapat al-Zuhri, Ibnu Sirin, Dawud, Ibnu al-Mundzir
dan ini juga  menjadi pendapat Ahmad. Terjadinya perbedaan pendapat tentang hukuman terhadap orang
banyak yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang ini dikarenakan memang tidak ada dalil dari
Nabi Saw yang menerangkannya. Karena itu masing-masing berijtihad untuk menetapkan hukum 
berdasarkan ruh al-tasyri’.
Contoh khilafiyah
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya: Hadits Bara’ bin ‘Adzib
‫ب‬ ْ ‫ َو‬،‫ح‬
:ِ ‫ ِر‬G‫ل َم ْغ‬GG‫ا‬ ُّ ‫ل‬GG‫يا‬GGG‫ ْقنُ ُت ِف‬GG‫ َان َي‬G‫ َك‬G‫سلَّ َم‬
ِ ‫ص ْب‬ ُ ‫لَّى‬GG‫ص‬
َ ‫ َو‬G‫هللا َعلَ ْي ِه‬ َ ‫هللا‬
ِ ‫ول‬ ُ ‫َ َّن َر‬G‫أ‬
َ ‫س‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib”
(HR. Muslim 678)Hadits dari Muhammad bin Sirin:
ُ‫ فَقِي َل لَه‬،‫ نَ َع ْم‬:‫ح؟ قَا َل‬ ُّ ‫سلَّ َم فِي ال‬
ِ ‫ص ْب‬ َ ‫ أَقَنَتَ النَّبِ ُّي‬:‫س ْبنُ َمالِ ٍك‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ َ‫سئِ َل أَن‬
ُ :
‫سي ًرا‬
ِ َ‫وع ي‬ ِ ‫»أَ َوقَنَتَ قَ ْب َل ال ُّر ُك‬
ِ ‫ «بَ ْع َد ال ُّر ُك‬:‫وع؟ قَا َل‬
“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut
ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum
ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
Contoh khilafiyah
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat
shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
Hadits Anas bin Maalik:
ُ‫سولَه‬
ُ ‫ت هللاَ َو َر‬ َ ‫صيَّةُ َع‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ َو َذ ْك َو‬،‫ح يَ ْدعُو َعلَى ِرع ٍْل‬
َ ‫ ُع‬:‫ َويَقُو ُل‬،‫ان‬ ُّ ‫صاَل ِة‬
ِ ‫الص ْب‬ ِ ‫الر ُك‬
َ ‫وع فِي‬ َ ‫سلَّ َم‬
ُّ ‫ش ْه ًرا بَ ْع َد‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَنَتَ َر‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan
terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003,
Muslim 677)
Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:
‫ ما شعرت ان احدا يفعل‬: ‫سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال‬
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun
(sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa
Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats
Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.
Khilafiyah pada masa rasulullah
Pada masa Rasulullah, para sahabat mendengarkan ajaran agama dari Rasulullah, baik berupa ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, secara lisan dari Rasulullah sendiri, yang dikenal dengan hadis qawliy,
melihat praktek Rasulullah, yang dikenal dengan hadis fi’liy, dan terkadang juga sahabat mengerjakan sesuatu
pekerjaaan yang boleh jadi diakui oleh Rasulullah, yang terkenal dengan sebutan hadis taqririy. Pada saat
Rasulullah mengerjakan sesuatu, para sahabat meniru begitu saja, tanpa mengetahui apakah yang dikerjakan
oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau sunnah. Para sahabat menyaksikan Rasulullah shalat, mereka
langsung mengikutinya, menyaksikan Rasulullah melaksanakan ibadah haji, mereka langsung menirunya, dan
mereka melihat Rasulullah berwudlu’, juga langsung menirunya. Demikian kebanyakan perilaku Rasulullah,
tanpa disertai penjelasan, apakah sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau
sunnah dan sebagainya. Keadaan tersebut berlangsung sampai Rasulullah wafat.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terpencar ke daerah-daerah, dan mereka menjadi panutan bagi
masyarakat tempat tinggal mereka. Peristiwa dan permasalahan makin berkembang, dan merekalah yang
menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat. Mereka memberi jawaban, sesuai dengan dalil al-Quran dan hadis
Rasulullah yang mereka hafal, dan sesuai dengan kemampuan istinbath (kemampuan dalam mengambil
keputusan hukum) mereka, dari dalil-dalil tersebut. Seandainya jawaban para sahabat belum memenuhi
harapan masyarakat, maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan ra’yu (pendapat) dengan
mempertimbangkan illat (faktor) yang dijadikan pertimbangan oleh Rasulullah, ketika bersabda atau
melakukan sesuatu perbuatan. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah untuk memahami apa yang dikehendaki
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi demikian, terjadilah khilafiyah di kalangan para sahabat, yang
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.
Solusi Terhadap Masalah Khilafiyah
Menurut ulama hadis, bila terdapat hadis yang saling bertentangan makna dalam
sesuatu persoalan, maka dapat ditempuh beberapa cara untuk menyelesaikannya, yaitu:
a . al-Tarjih
Dari segi bahasa, al-tarjih adalah menguatkan. Al-Tarjih, sebagai solusi dalam
masalah hadis, adalah melakukan penelitian pada semua hadis yang saling
bertentangan, untuk mengetahui mana hadis yang bernilai shahih, dan mana hadis yang
bernilai dhaif, dan mana hadis yang bernilai lebih shahih, dan mana hadis yang bernilai
shahih saja, mana hadis yang bernilai mutawatir, dan mana hadis yang berrnilai ahad.
Dengan menggunakan solusi al-tarjih, kita tinggal melakukan penelitian, mana diantara
dua hadis tersebut yang shahih, dan mana yang dhaif.
Solusi Terhadap Masalah Khilafiyah
b. Al-Jam’u.
Al-jam’u, dari segi bahasa, berarti mengumpulkan. Dalam kaitan
dengan hadis-hadis yang bertentangan dari segi makna, yang dimaksud
dengan al-jam’u adalah mengkompromikan makna hadis yang
bertentangan, sehingga tidak terlihat lagi bertentangan. Komprominya,
dapat saja dengan cara dipahami bahwa hadis yang mewajibkan membaca
al-fatihah adalah shalat sendirian, sedangkan hadis yang tidak mewajibkan
membaca al-fatihah adalah shalat berjamaah, khususnya bagi makmum.
Solusi Terhadap Masalah Khilafiyah
c. Nasikh Mansukh
Jika solusi pertama dan kedua, yaitu al-tarjih dan al-jam’u, tidak
dapat menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan makna, maka kita
boleh menggunakan solusi ketiga, yaitu al-nasikh wa al-mansukh.
Nasikh, dari segi bahasa, adalah menghapus, atau membatalkan.
Sedangkan mansukh adalah yang dihapus atau dibatalkan. Menurut
ulama hadis, nasikh mansukh hadis adalah membatalkan atau
menghapus berlakunya hukum yang ditetapkan terlebih dahulu, dengan
adanya atau munculnya hukum baru yang ditetapkan setelanya.
Menyikapi Khilafiyah Dengan Bijaksana
Sikap kita dalam masalah khilafiyah
1. Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari terjadinya. Khilafiyah sudah ada
sejak awal mula risalah Islam pertama kali diturunkan di muka bumi.
2. Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa, justru sebaliknya kita jadi semakin punya khazanah yang
kaya tentang ragam alur hukum.
3. Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan sewot dan emosi, melainkan
sebuah kewajaran yang manusiawi.
4. Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah pasti muncul perbedaan pendapat. Karena sejak zaman
nabi dan shahabat di mana Quran sedang turun dan hadits masih diucapkan oleh nabi, sudah ada
perbedaan pendapat di kalangan mereka. Kalau perbedaan pendapat mau dihilangkan, maka hapus
dulu Quran dan sunnah dari muka bumi.
5. Kita diharamkan merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal kapasitas kita tidak pernah
sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum.
6. Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh mereka ahli bid'ah, hanya
lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya dengan apa yang kita pikirkan.
7. Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan
menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini hanya
dilakukan oleh mereka yang jahil dan tak berilmu.

Anda mungkin juga menyukai