Anda di halaman 1dari 22

Abu Ubaid

 Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia
lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan
Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya,
pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah,
Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir,
hadis, dan fiqih.
Abu Ubaid
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang
dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai
perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum
internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas
tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang
administrasi pemerintahan.
Abu Ubaid
kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama
hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para
sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid,
dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi
dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas
dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga
mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-
Hasan asy-Syaibani.
Abu Ubaid
Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi
tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-
lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola
pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini
adalah rakyat.
Abu Ubaid
Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :

1. Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan


publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara,
dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
Fa’i yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan
lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan
yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau
harta peninggalan tanpa pemilik.
Abu Ubaid
2. A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan
untuk mengelola wilayah kekayaan publik.

3. Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas,


tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
Abu Ubaid
4. Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim
dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat
harta itu didistribusikan.

Dalam permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan
pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan
kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib
zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat
(mustahik)
Abu Ubaid
dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi menjadi dua, yaitu
kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang tidak
tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan
politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah).
Sebaliknya, harta yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak
memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar zakat dari jenis
kekayaan ini. berkebalikan dengan harta yang tampak, yang masuk
dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam
wilayah zakat berkarakter religius.
Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari
prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada
dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan
negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan
berpihak pada kepentingan publik.

Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.
Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui
( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut
terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban
administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat
pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3)
menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan
pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan  diseminasi (penyebaran)
keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap
keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5)
memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.
Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap
perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan
martabat perkotaan.Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial
berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur
esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas
sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan
antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara
Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena
pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan
dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang
pertama dan generasi yang terakhir
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan
yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.
Abu Ubaid
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian
ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit.Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’
terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus
atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian.Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan
didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam.
Abu Ubaid
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi
jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses
yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah
diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan
dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi).
Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk
pelayanan masyarakat.
Abu Ubaid
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang
berhak menerima zakat.Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang
berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari
penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi
(ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling
penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta
bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan.
Abu Ubaid
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib
zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak
menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia
mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid
mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”
(likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi
setiap orang adalah menurut haknya”,
Abu Ubaid
Pada prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak
mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of
exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam
hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa
pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang
paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan
untuk membeli sesuatu (infaq).
Abu Ubaid
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori
konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan
mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya
menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini
menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang
logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan
perak dibanding dengan komoditas yang lain.
Abu Ubaid
Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan
dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan
peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar
penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi
penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan
minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abu Ubaid
Secara umum, pemikiran ekonomi yang diajukan oleh Abu Ubaid adalah sebagai berikut :
1. Negara memiliki sumber pendapatan utama dari fai, khums, dan shadaqah, serta pendistribusian
atas berbagai pendapatan negara tersebut kepada masyarakat.
2. Kepemilikan Individu apabila berbenturan dengan kepentingan public, kepentingan publik harus
diutamakan
3. pendistribusian yang berbeda atas kelompok badui dan urban, yaitu kelompok urban mendapatkan
hak yang lebih dibandingkan dengan badui karena sumbangsihnya terhadap negara.
4. Menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara
merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas
tertinggi terhadap bagia perorangan
5. Fungsi uang yang hanya bisa sebagai sarana pertukaran (medium of exchange) dan sarana
penyimpan nilai (store of value)
6. Konsep timbangan dan ukuran dalam transaksi ekonomi.
Ibnu Taimiyah
Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan
dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan
peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar
penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi
penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan
minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Ibnu Taimiyah
Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan
dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan
peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar
penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi
penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan
minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

Anda mungkin juga menyukai