Anda di halaman 1dari 17

BAB IV

HARTA
PENINGGALAN

OLEH :
Dra. Tuti Herawati, SH.,MH
Pasal 1066 KUHPerdata menetapkan adanya hak dan ahli waris untuk
menuntut diadakannya suatu pemisahan harta warisan, namun dapat pula
diadakan persetujuan para ahli waris untuk selama waktu tertentu tidak
melakukan pemisahan, yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Pewarisan
terjadi secara langsung pada saat ada yang meninggal tetapi dalam
mendapatkan warisannya perlu suatu proses yang dilakukan oleh pejabat
yang berwenang untuk membuat suatu surat keterangan kematian dan
harus membayar ganti rugi dan bunga sebagai pengeluaran dalam
melakukan pendaftaran penyegelan dari barang peninggalan, untuk
keperluan pemisahan dan pembagian bagi para ahli waris yang tercantum
dalam akta keterangan ahli waris.
PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA WAKTU
PEWARIS MASIH HIDUP

Membolehkan pembagian harta warisan sebelum terjadinya kematian pada


diri pewaris. Hal ini diatur pada pasal 187 ayat (1) sebagai berikut:
a. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh
pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa
orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
1. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para
ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.
2. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai
dengan pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
b. Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan
yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Pasal 187 ayat (1)
tersebut memperkenalkan cara lain proses waris-mewarisi yang tidak
pernah ditemukan dalam fikih kewarisan. Kebolehan pelaksanaan waris-
mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian tidak mutlak atau
masih bersifat tentatif (belum pasti) Pertama, mengandung makna boleh
melaksanakan waris-mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian
terhadap diri pewaris. Kedua, mengangdung makna tidak boleh
melaksanakan waris-mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu kematian
terhadap diri pewaris
Seperti telah diuraikan pada penjelasan pasal 187 ayat (1) di atas, bahwa
kebolehan pelaksanaan waris mewarisi tanpa didasari oleh adanya suatu
kematian adalah tidak mutlak atau masih bersifat tentatif (belum pasti)
pelaksanaannya, maka sebelum pelaksanaannya ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
a. Menyisihkan sebagian harta pewaris untuk keperluan hidup, keperluan
sakit dan biaya tajhiz, kecuali para ahli waris sepakat untuk menanggung
itu semua.
b. Tidak ada lagi ahli waris baru yang muncul atau dilahirkan oleh pewaris.
c. Tidak ada di antara para ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari
pada sipewaris.
d. Tidak ada kekhawatiran di antara para ahli waris ada yang murtad.
e. Apabila tidak dilakukan pembagian harta warisan semasa hidupnya
pewaris, akan terjadi perselisihan dan menimbulkan kemudaratan di antara
para ahli waris.
PEMBAYARAN UTANG PENINGGAL
HARTA PENINGGAL

Tentang pembayaran utang-utang si peninggal harta peninggalan/pewaris ini, diatur


oleh pasal 1100 sampai dengan pasal 1111 BW, yang pada pasal 1100 nya menyatakan
bahwa :
Kewajiban membayar utang hanya dibebankan kepada ahli waris yang menerima harta
peninggalan tanpa syarat (aanvaarden).
Besar kecilnya beban membayar utang ini disesuaikan dengan yang mereka terima.
Seorang ahli waris yang diberi bagian berupa barang tak bergerak, sedangkan benda
tak bergerak tersebut terdapat beban hipotek, maka ia wajib membayar beban hipotek
tersebut, namun jika yang dibayarkan tersebut melebihi bagiannya maka ia berhak untuk
meminta kekurangnnya pada ahli waris yang lainnya.
PENGURUS HARTA PENINGGALAN

Pengurus Harta Peninggalan (Bendvoeder), oleh BW diatur dalam pasal 1019


sampai dengan pasal 1022 BW.
Dimulai dari pasal 1019 BW yang menetapkan bahwa pewaris berhak untuk
menunjuk seorang pengurus harta peninggalan untuk selama waktu tertentu atau
selama hidupnya ahli waris. Si peninggal warisan ini dapat menunjuk pengurus
harta warisan hanya hak memetik hasil (vrucht gebruik) yang diberikan kepada
ahli waris yang di bawah umur atau yang ada di bawah pengampunan.
Selanjutnya jika pengurus harta peninggalan ini karena suatu hal kemudian
berhalangan untuk melakukan tugasnya dan oleh si pewaris tidak ditentukan
penggantinya maka Hakim harus menunjuk penggantinya setelah mendengarkan
pendapat dari Jaksa (1020 BW).
Cara penunjukkan pengurus harta peninggalan ini oleh pasal 1019 BW
ditentukan dalam testamen atau di dalam akta Notaris khusus dan tidak boleh
dalam akta bawah tangan.
HARTA PENINGGALAN TAK
TERURUS

Seseorang yang meninggal dunia, sedang ia meninggalkan harta akan tetapi tidak
ada ahli warisnya ataupun semua ahli warisnya menolak atau dinyatakan tidak patut,
maka menurut pasal 1126 BW, Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)-lah yang
berkewajiban untuk mengurusnya.
Tentang ada atau tidaknya harta peninggalan yang tak terurus ini adalah menurut
keputusan Hakim atas permintaan jaksa Penuntut Umum atau atas permintaan orang
yang berkepentingan.
Ketentuan dari pasal 1128 BW adalah bila Balai Harta Peninggalan
mulai mengurus, maka BHP akam melakukan penyegelan barang warisan dan
kemudian menginventariseer dan selanjutnya harus mengurusnya sebaik-
baiknya.
BHP berkewajiban, pula untuk melakukan pemanggilan terhadap para
ahli waris. Dan jika terjadi gugatan terhadap harta peninggalan yang
diurusnya maka BHP berkewajiban untuk menghadap Hakim.
Jika tidak ada ahli waris maka BHP harus membuat pertangung-jawaban
kepada Negara, dimana selanjutnya Negaralah yang berhak atas harta
peninggalan tak terurus tersebut.
HARTA WARISAN MENJADI MILIK NEGARA

Seperti telah ditentukan dalam Pasal 520 BW, yaitu benda-benda pewaris
yang meninggal dunia tanpa ahli waris, atau yang harta peninggalannya
telah ditinggalkan atau ditelantarkan, menjadi milik negara. Menurut Pasal
832 ayat 2 BW¸ negara wajib memenuhi utang dari pewaris sejauh nilai
benda-benda itu mencukupi.
Kasus harta peninggalan tak terurus ini menurut ketentuan dalam Pasal
1126 BW dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu jika pada waktu harta
peninggalan terbuka, tidak ada orang yang tampil untuk menuntut haknya
dan/atau jika ahli waris yang dikenal menolak warisan yang sama. Selain
dua hal tersebut diatas, kasus harta peninggalan tak terurus ini dapat terjadi
apabila pewaris semasa hidupnya tidak membuat suatu wasiat dimana
pewaris melakukan penunjukan seseorang untuk melakukan pengelolaan
atas harta waris yang ia tinggalkan.
HARTA WARISAN MENJADI MILIK NEGARA

Karena tanpa adanya pihak yang mengelola harta peninggalan tersebut,


apabila pewaris semasa hidupnya pernah melakukan perjanjian utang-
piutang dengan kreditor, maka kreditor akan merasa dirugikan karena hak
dari kreditor atas pelunasan utang dari debitor (pewaris) tidak dapat
dipertahankan, dan dapat menimbulkan ketidakadilan kepada kreditor.
Apabila tidak ada ahli waris yang tampil pada saat warisan terbuka atau
ahli waris menolak warisan tersebut, berarti tidak ada pihak yang akan
mengelola harta peninggalan tersebut. Sehingga hak-hak dari pihak ketiga
seperti kreditor atau legataris tidak dapat dipertahankan, maka perlunya
mengatur mengenai harta peninggalan tak terurus ini di dalam ketentuan
BW.
HARTA WARISAN MENJADI MILIK NEGARA

apabila dalam jangka waktu pengelolaan harta peninggalan tak terurus


selama 3 (tiga) tahun tersebut (vide Pasal 1129 BW) sebelum jatuh menjadi
milik negara, BW tidak mengatur apabila suatu saat ditemukan ahli waris
yang sah atas harta warisan pewaris tersebut (dengan melakukan
pembuktian bahwa ahli waris tersebut memang benar ahli waris yang
benar), maka prosedur penuntutan hak atas warisan ini belum diatur
hukumnya dimana si ahli waris ini akan melakukan penuntutan atas harta
warisnya untuk mempertahankan haknya tersebut demi terciptanya
keadilan bagi si ahli waris tersebut.
HARTA WARISAN MENJADI MILIK NEGARA

Jika harta peninggalan yang tak ada pemiliknya tersebut berada di Nangroe
Aceh Darussalam, maka masalah hukum pengelolaan harta tersebut dapat
diselesaikan oleh Lembaga Baitul Maal di Aceh. Namun apabila diluar
wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang mayoritas tidak mempunyai
lembaga Baitul Maal yang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat atau
sejenisnya di wilayah hukumnya, maka siapakah yang akan mengelola
harta tersebut kalau bukan Lembaga Balai Harta Peninggalan, walaupun
seseorang tersebut tunduk pada hukum waris BW, hukum waris Islam
maupun hukum waris adat.
Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan
sistem KUH Perdata (BW).

Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara


anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak
semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata


menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya
ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak
mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan
hukum Islam.
Persamaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH
Perdata (BW).

Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut


Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH
Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut
system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya
pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris.
Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi
sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan
individul bilateral (Subekti, 1953: 69).
Perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH
Perdata (BW).

sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut
harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan
zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih,
baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut,
perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris
masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak
membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut
hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.

Anda mungkin juga menyukai