Anda di halaman 1dari 58

BIMBINGAN

5 Juli 2021
Lumbal Pungsi
Pengertian
• Lumbal puncture atau pungsi lumbal adalah upaya pengeluaran
cairan serebrospinal dengan memasukan jarum ke dalam ruang
subarakhnoid
• Test ini dilakukan untuk
 pemeriksaan cairan serebrospinal
 mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal
 menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal 
untuk mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal
 memberikan antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal
terutama kasus infeksi.
INDIKASI
1. Mengambil bahan pemeriksaan CSF untuk
diagnostic dan persiapan pemeriksaan pasien
yang dicurigasi mengalami meningitis,
encepahilitis atau tumor malignan.
2. Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam
CSF akibat trauma atau dicurigai adanya
perdarahan subarachnoid.
3. Untuk mengidentifikasi adanya tekanan
intrakarnial/intraspinal,untuk memasukan obat
intratekal seperti terapi antibiotik atau obat
sitotoksik.
KONTRA INDIKASI
1. Pasien syok
2. Infeksi dekat tempat penusukan. Kontaminasi dari infeksi
akan menyebabkan meningitis.
3. Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
4. Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra
degeneratif. Hal ini akan sulit untuk penusukan jarum ke
ruang interspinal.
5. Bleeding diathesis, seperti Coagulopathy dan penurunan
platelet.
6. Pola pernafasan abnormal
ALAT DAN BAHAN
•Jarum LP (Spinal needle) no 18, 20 dan stylet
•Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70%
•3 buah tabung reaksi
•Botol kecil steril
•Sarung tangan steril
•Kassa steril, kapas, dan plester
•Duk steril
•Anestesi local
- Spuit dan jarum untuk memberikan obat
anestesi local
- Obat anestesi lokal (lidokain 1%)
PROSEDUR

1. Cuci tangan dan gunakan


sarung tangan steril
2. Baringkan pasien miring
sisi kiri (lateral dekubitus),
bawa sedekat mungkin ke
sisi kanan tempat tidur
3. Posisikan pasien seperti
mencium lututnya
4. Punggung berada pada
posisi vertikal
PROSEDUR
5. Tandai tempat untuk melakukan LP
yaitu celah vertebra L3-4 atau L4-5
6. Desinfeksi daerah punggung bawah
berpusat di tempat yang telah
ditandai sebagai tempat melakukan
LP
7. Pasang duk steril
8. Berikan anastesi lokal pada tempat
tusukan dengan suntikan lidokain,
tusukan secara tegak lurus kemudian
disuntikkan di bagian subcutan,
intramuskuler, dan juga intraspinalis,
dengan menggunakan spuit 3cc
PROSEDUR
9. Lakukan penusukan jarum pungsi pada tempat
yang sudah ditandai. Jarum pungsi dimasukkan
pelan-pelan diarahkan ke ruang sub arachnoid
10. Sampai terasa sensasi seperti menembus kertas
cabut stylet, bila LCS keluar periksa aspek warna,
kecepatan tetesan.
11. Ambil tabung Nonne Pandy lalu teteskan LCS ke
dalamnya (untuk mengetahui ada/tidaknya protein)
12. Ambil 3 tabung steril dan diisi LCS untuk diperiksa
jumlah sel, glukosa, protein dan hitung sel
PROSEDUR
13. Mencabut jarum pungsi dengan benar, setelah cukup
pengambilan cairan serebrospinalis, jarum pungsi dapat
ditarik kembali dengan memasukkan stylet terlebih
dahulu
14. Lepaskan duk steri
15. Bekas tusukan diberi betadine dan ditutup dengan kassa
steril dan di plester
16. Pasien tiduran kembali dengan posisi terlentang selama
30 menit.
Interprestasi Hasil Lumbal Pungsi
(Lumbal Puncture)
BAKTERIAL VIRAL TB

WARNA PURULENT JERNIH XANTOKROM

LEUKOSIT CSF 3 3 3
1000-5000/mm <100/mm 100-500/mm

PREDOMINAN PMN MN MN
NEUTROFIL LIMFOSIT LIMFOSIT

TEKANAN CSF MENINGKAT NORMAL VARIABLE

PROTEIN CSF ++ + +++

GLUKOSA CSF NORMAL TO NORMAL LOW


DECREASE
MENINGITIS
Meningitis merupakan peradangan pada membran
meningens (Dura mater, Arachnoid mater, dan Pia
mater)
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
cacing, riketsia dan protozoa
Gejala klasik dari meningitis yaitu: demam, sakit kepala
(menjalar ke leher dan punggung) dan kaku kuduk
Gejala lainnya: mual, muntah, kejang, fotofobia,
penurunan kesadaran, otot kaku dan nyeri, pada bayi
bisa muncul bercak apa kulit, tidak mau digendong dan
sangat rewel
“Meningeal sign”

1. Kaku kuduk (Nuchal rigidity)


Kekakuan atau spasme pada otot ketika
dilakukan gerakan pasif fleksi volunter
pada leher pasien (dagu menyentuh
dada).
2. Kernig sign

3. Brundzinski 1
Diagnosis 
Laboratorium
•Pemeriksaan Rutin: DL, Tes Fungsi Ginjal/hati, electrolyte, Gula darah
•Analisis CSF  (Pungsi lumbal (LP) adalah prosedur yang dilakukan untuk
mendapatkan Cairan Serebrospinal (CSF).Pemeriksaan sampel CSF termasuk
analisis rutin, uji kultur & sensitivitas, dll. Tetap menjadi prosedur diagnostik gold
standar pada infeksi SSP)
•Spesifik : Smear (Gram, AFB, India ink), PCR, TB-GenXpert 

Pencitraan : CT scan Kepala/ MRI dengan kontras


TATALAKSANA
• Terapi Mikroba Empiris
• Imunokompeten, 50 tahun : Chephalosporin generasi ke-3 (cefotaxime
2 g / 4 jam atau ceftriaxone 2 g / 12 jam)
• > 50 tahun/ defisiensi imunitas yang diperantarai sel: ampicilin 2 g
intravena setiap 4 jam untuk menutupi Listeria
• Jika S. pneumonia dicurigai pertimbangkan untuk menambahkan
vancomysin, 45-60 mg/kg secara intravena per hari dibagi menjadi
setiap 6 jam atau setiap 8 jam
• Kortikosteroid (mencegah peradangan karena bakteriolisis yang
diinduksi antimikroba) : Deksametason 0,15 mg/kg iv dan sebaiknya
dimulai sebelum dosis pertama antimikroba dan diberikan setiap 6 jam
selama 4 hari
• Terapi lainnya : antipirektik, antikejang,dll
• Antivirus : Acyclovir oral (800 mg, lima kali sehari),
vamcyclovir (500 mg, dua kali sehari), atau valacyclovir
(1000 mg, dua kali sehari) 
• Antifungal :  Amphotericin B deoxycholat IV 0,7-1
mg/kg/hari + fluocitocyne 100 mg/kg/hari  selama 2
minggu (pasien non HIV memerlukan fase yang lebih
lama 4-6 minggu) Atau Fluconazole po 800-2000
mg/hari selama 2 minggu
ENSEFALITIS
Ensefalitis merupakan peradangan pada parenkim otak
Berdasarkan penyebabnya ensefalitis dapat dibedakan menjadi
ensefalitis supurativa, ensefalitis syphilis, ensefalitis virus,
ensefalitis parasit, ensefalitis fungi dan riketsia.
Trias ensefalitis: Demam, Kejang dan Kesadaran Menurun
Gejala lainnya: nyeri kepala yang kronik-progresif, muntah,
penglihatan kabur, TIK meningkat, motorik menurun
Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis → kelainan autoimun saraf perifer
karena terbentuknya antibodi terhadap reseptor
postsinaptik asetilkolin pada neuromuscular junction

Menyebabkan terjadinya kelemahan yang bersifat


progresif dan menyebar pada otot skeletal

Gejala bertambah buruk setelah beraktifitas dan


melakukan gerakan yang berulang-ulang dan membaik
setelah beristirahat
Epidemiologi
Di bawah 40 tahun → wanita > pria (3: 1)

Antara 40-50 tahun → wanita = pria

Diatas 50 tahun MG sering terjadi pada pria

15% pasien thymoma mengalami Myasthenia Gravis


Etiologi
Etiologi myasthenia gravis (MG) adalah reaksi autoimun yang umumnya bersifat idiopatik.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan MG adalah:

■ Penyakit timus: timoma, hiperplasia timus


■ Tumor ekstra timus: penyakit Hodgkin, kanker paru tipe small cell
■ Hipertiroidisme
■ Genetik: NF-kB, TNIP1, Anti-AChR antibodi, Antibodi MuSK
■ Human Leukocyte Antigen (HLA)-A1, HLA-A3, HLA-B7, HLA-B8, HLA-DRw3, HLA-DQw2
■ Sensitisasi antigen asing yang cross-reactive dengan reseptor ACh nikotinik
Patofisiologi
Gejala Klinis
Kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan
ini akan meningkat apabila beraktivitas.

Kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat

Progresi → kraniokaudal
Diagnosis

MG diagnosis based on history & typical clinical symptoms → fluctuating muscle weakness
Diagnosis is made, if weakness caused by fatigue.

Pemeriksaan Fisik

Tes wartenberg: memandang objek di atas


bidang antara kedua bola mata > 30 detik,
lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif)
Pemeriksaan Fisik

- Sustained tight closure of the eyelids can induce fatigue of the


orbicularis oculi muscles resulting in the white sclera of the eye
slowly becoming apparent under the partially open eye. This is
called the “peek sign.”

- Diplopia stress test: pasien diminta untuk melihat ke samping secara maksimal selama 30 detik,
positif apabila muncul gejala diplopia

- Tes pita suara: penderita diminta menghitung 1-100, maka suara akan menghilang secara
bertahap (tes positif)
Pemeriksaan Fisik

Tanda Cogan: tampak kedutan transien pada kelopak mata segera setelah pasien diminta untuk
melihat ke bawah dan ke atas secara cepat

Pemeriksaan Motorik: temuan yang paling banyak pada pemeriksaan motorik adalah paresis ekstremitas.
Tensilon (edrophonium chloride) test:
- Edrophonium Chloride → acetylcholinesterase inhibitors
- fast work → increase the length of ACh activity in NMJ
- Giving 2 mg tensilon IV → if there is no reaction can be given again as
much as 8 mg IV
- Pay attention to weak muscles (ptosis eyelids) → If weakness is caused
by MG ptosis will disappear
- Need to monitor heart condition & BP, arrhythmia & hypotension
- Tensilon test sensitivity for MG diagnosis 71.5-95%

Prostigmine Test (neostigmine):


- 3 cc / 1.5 mg prostigmin methylsulfate IM is given (if necessary, also given atropine ¼ or ½
mg).
- If weakness is caused by MG → the symptoms will disappear
Kinin Test:
- Three tablets of kinin were given 200 mg each. Three hours later given 3 more tablets (200 mg
per tablet)
- If weakness is caused by MG → symptoms will get worse

Ice Pack Test:


- When tensilon test contraindicated
- Put the ice bag in the ptosis eyes
for 2-5 minutes - evaluate the improvement
of ptosis
Pemeriksaan Penunjang

Tes elektrofisiologi → dapat menunjukkan ada atau tidaknya kelainan konduksi saraf dan kelainan
pada neuromuscular junction (NMJ)
- Single-fiber ElectroMyoGraphy (EMG)
- Repetitive nerve stimulation (RNS)

Laboratorium:
- Anti-AChR antibodi
- Anti-MuSK

Rontgen toraks, MRI, atau CT scan: To exclude thymoma

Thyroid Function Test


MG patients can be accompanied by thyroid disease examination of thyroid function is needed at the
beginning of the diagnosis of MG.
Pasien-pasien MG juga dapat dikelompokkan berdasarkan derajat penyakitnya sesuai klasifikasi Myasthenia
Gravis Foundation of America (MGFA), yaitu:
I Kelemahan otot okuler, kelemahan dalam menutup mata, kekuatan otot lainnya normal.

II Kelemahan ringan pada otot, dapat disertai dengan kelemahan otot okuler

IIa Kelemahan dominan pada otot tungkai, aksial, atau keduanya. Dapat mengenai otot orofaring.

IIb Kelemahan dominan pada otot orofaring, pernafasan, atau keduanya. Dapat mengenai otot tungkai, aksial, atau
keduanya

III Kelemahan sedang pada otot, dapat disertai dengan kelemahan otot okuler

IIIa Kelemahan dominan pada otot tungkai, aksial, atau keduanya. Dapat mengenai otot orofaring

IIIb Kelemahan dominan pada otot orofaring, pernafasan, atau keduanya. Dapat mengenai otot tungkai, aksial, atau
keduanya

IV Kelemahan berat pada otot, dapat disertai kelemahan otot okuler.

IVa Kelemahan dominan pada otot tungkai, aksial, atau keduanya. Dapat mengenai otot orofaring
IVb Kelemahan dominan pada otot orofaring, pernafasan, atau keduanya. Dapat mengenai otot tungkai, aksial, atau
keduanya.

V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik


Myasthenic Crisis

Myasthenia crisis occurs when myasthenic weakness affects the respiratory muscles → breathing
is disturbed → the volume of air in the lungs decreases (atelectasis) → respiratory failure →
need intubation & mechanical ventilation
Within 2-3 years after dx is established → 12-16% of MG patients experience MC
Triggers: infections, aspirations, emotional & physical stress, changes in medication.
Cholinergic Crisis

Cholinergic crisis arises when there is an overdose of anti-cholinesterase drugs

Respiratory disorders → bronchoconstriction, paralysis of the chest muscles, depression of the


respiratory center (central)

Sx: miosis, hyperhydrosis, hypersalivation, the body when touched feels cold, sopor and 'confused',
nausea and vomiting, bradycardia and hypotension, fasciculation, diplopia, diarrhea and abdominal
cramps

Medicines should be stopped immediately.


Tata Laksana

Antikolinesterase

Antikolinesterase berupa neostigmine (7,5-45 mg) dan pyridostigmine (30-90 mg) dengan pemberian masing-masing 2-
6 jam dan 6 jam.

Antikolinesterase → menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga degradasi neurotransmiter asetilkolin berkurang.


Hasilnya adalah jumlah asetilkolin yang meningkat pada sinaps untuk menduduki reseptornya pada postsinaps dan
menghasilkan aksi potensial.

Kortikosteroid

Kortikosteroid berupa prednisone (15-25 mg) digunakan untuk mengontrol myasthenia pada otot okuler. Kortikosteroid
juga bisa dipakai dalam jangka panjang pada pasien dengan kelemahan menyeluruh yang tidak respon penuh dengan
pemberian antikolinesterase.
Tata Laksana

Azathioprine

Dosis awal azathioprine 50 mg per harinya, dengan dosis terapeutik 2-3 mg/kg/hari. Terapi ini diberikan apabila
terdapat kontraindikasi, gagal respon, atau bertoleransi buruk terhadap pemberian kortikosteroid. Agen
imunosupresif lainnya yang dapat digunakan adalah golongan cyclosporine, mycophenolate, atau
cyclophosphamide.

Plasma Exchange (Plasmaferesis)

Dosis plasmaferesis yang digunakan adalah 55 ml/kg/hari selama 5 hari. Perbaikan biasanya terjadi setelah
pemberian ketiga kalinya dan menetap hingga 2-4 minggu. Indikasi pemilihan plasmaferesis adalah pre-
timektomi, krisis miastenik, kelemahan yang cepat dan progresif.
Tata Laksana

Imunoglobulin Intravena (IVIG)

Dosis yang direkomendasikan adalah 400 mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 gram/kg/hari selama 2 hari. Pemilihan
tatalaksana ini dibuat karena adanya kontraindikasi terhadap plasmaferesis. Terapi ini memiliki toleransi yang baik dan
komplikasi yang lebih jarang dibandingkan plasmaferesis meskipun efek sampingnya lebih berbahaya.

Tata laksana juga harus dilakukan dalam kondisi krisis, seperti krisis miastenik dan krisis kolinergik. Pasien dalam
kondisi krisis miastenik berisiko mengalami gagal napas, sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik.

Terapi Operasi

Operasi timektomi dapat dilakukan pada pasien MG dengan kelainan timus. Pendekatan operatif yang digunakan
adalah suprasternal karena paling sedikit memunculkan efek nyeri postoperatif dan lebih tidak invasif. Operasi ini
bersifat elektif dan tidak untuk digunakan pada pasien yang sedang dalam perburukan akut myasthenia gravis
4. GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala
yang merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi
dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau
arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan


karena hilangnya mielin, material yang membungkus saraf.
Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi. Demielinisasi
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut
menjadi lambat atau berhenti sama sekali.

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai


saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan
tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun
Manifestasi klinis
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai
dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara
cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat
ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral

Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama


sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas
bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat

Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot


respiratorik dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan
ventilasi mekanik

Kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan


dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang
biasanya proprioseptif dan sensasi getar
Tipe GBS
Tipe GBS
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan patologi klinis demielinisasi perifer
multifaktoral yang dapat dipengaruhi baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat
progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi yang terbentuk dalam tubuh yang
melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai adanya
proses demielinisasi tetapi ada inflamasi nodus ranvier. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni yang
biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi
terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.

4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G merusak
gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus yang memiliki gejala yang khas
berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan,
dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.

5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat jarang terjadi.
Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pem. lab
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe
lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,
dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan
2.Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas
ditemukan adanya kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl)
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel.
3.Elektromiografi
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih
dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu
pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya
perbaikan.
Pengobatan
● IVIG: Dosis anak 1-2 g/kgBB IV, selama 2-3 hari; dosis dewasa 400 mg/kgBB IV selama 5 hari berturut-turut dalam
14 hari sejak onset GBS
● Plasma exchange dosis 4-6 kali exchange selang satu hari antar prosedur
Score taken after 7 days of patient’s
admission to hospital to predict the
probability of patient’s ability to
walk
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai