Anda di halaman 1dari 59

Journal Reading

“The ABC’s of Thoracic Trauma Imaging”

Pembimbing: dr. Maz Isa Ansyori, Sp.BTKV

Oleh:
Ida Bagus Ngurah Adrian Adinugraha – Imam Fadhlulah Pratama
H1A015031 – H1A015032
2

Outline
IDENTITAS JURNAL
ISI JURNAL
Pulmonary Parenchymal Injuries
Extraparenchymal Thoracic
Injuries
Identitas Jurnal

 Judul : The ABC’s of Thoracic Trauma Imaging


 Jurnal : Seminars in Roentgenology
 Penulis : Mary Costantino, Marc V. Gosselin, and Steven L. Primack
 Tahun : 2006
Isi Jurnal
Parenkimal
Trauma toraks pada artikel ini dibagi
menjadi 2 kategori besar
Ekstra-parenkimal

Parenkimal Ekstra-parenkimal

• Pulmonary Contusion,
• A: Aortic injury
Laceration, and Traumatic
• B: Bronchial Tree
Lung Cyst • C: Cord
• D: Diaphragm
• Aspiration pneumonitis
• E: Esophagus
• Atelektasis • F: Fractures
• G: Gas
• Edema paru non-
• H: Heart
kardiogenik • I: Iatrogenic
Trauma  penyebab no-3 secara keseluruhan dan
penyebab no-1 untuk yang berusia kurang dari 35
tahun.

Trauma toraks  25-35% kematian terkait trauma

Mortalitas blunt chest trauma  great vessel injury


Hanya 1% dari seluruh blunt chest trauma
mengalami great vessel injury

Cidera parenkim paru seperti kontusio dan laserasi


“Angka morbiditas dan mortalitas lebih sering terjadi, terjadi pada 30 hingga 70%
trauma di USA sangat besar” korban trauma toraks tumpul.
Saat ini, supine chest radiography digunakkan sebagai pemeriksaan skrining untuk sebagian besar pasien trauma
dan tetap menjadi alat yang sangat baik untuk deteksi dini cedera toraks yang mengancam jiwa.

Dalam setting
"membaca cepat" akan membantu tim utama dalam triase pasien
kedaruratan

Meskipun CT scan dada + CT scan perut dan


Radiografi tidak usang dan
panggul semakin sering digunakkan seiring
mempertahankan peran penting dalam
peningkatan frekuensi pada pasien trauma
diagnosis dini dan triase pasien.
tumpul,
Pulmonary Parenchymal Injuries
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Kontusio
Penyebab utama opasifikasi paru pada trauma dada tumpul, terjadi pada 30-75% pasien
Parenkim
Paru Mortalitas bervariasi dari 14 - 40%, berdasarkan tingkat keparahan & tingkat penyakit.

Hantaman langsung ke paru normal


Causative force
countre-coup injury didalam parenkim paru

• Hemoptisis dari transudasi • bronkorea


Gejala klinis darah • penurunan curah jantung
• demam ringan • gagal napas akut.
• takipnea
• hipoksia

Sekitar 50% pasien dengan kontusio paru datang tanpa gejala


Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Kontusio Menunjukkan kombinasi edema parenkim dan perdarahan sekunder akibat gangguan
Parenkim membran kapiler alveolar.
Paru Berbagai gaya traumatis dapat meningkatkan permeabilitas membran kapiler alveolar
Deselerasi Ditemukan dalam kecelakaan bermotor, low-density alveoli robek dari ikatan
mendadak
bronkovaskular dengan densitas yang lebih tinggi

Trauma langsung Secara langsung merusak alveoli paru seperti pada kasus tulang rusuk yang merusak
parenkim paru

Spallation forces Terjadi ketika energi kinetik yang ditransmisikan dari direct blow secara lokal pada
liquid–gas interface seperti pada udara-darah dalam alveoli paru.

Implosive forces ekspansi komponen gas dalam alveoli dengan lewatnya gelombang kejut bertekanan
rendah.
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Secara radiografi digambarkan sebagai area fokal atau multifokal dari opacity ground glass
atau konsolidasi
Kontusio tidak dibatasi oleh batas-batas segmental dan biasanya di pinggiran paru
berdekatan dengan lokasi trauma langsung.

Kontusio Sering ada cedera terkait seperti patah tulang rusuk atau tulang belakang
Parenkim Air bronchograms biasanya tidak ada karena darah yang mengisi saluran udara kecil.
Kontusio mungkin tidak terlihat secara radiografi pada foto toraks awal, tetapi berkembang
Paru dalam waktu 6 jam setelah cedera awal.
Terlihat maksimal secara radiografi dalam 24-72 jam, dan berangsur menghilang dalam 3-
10 hari
Opasitas pulmoner yang tidak menghilang/malah meningkat dalam jangka waktu tersebut,
meningkatkan kecurigaan adanya perkembangan infeksi sekunder atau ARDS
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Secara radiografi digambarkan sebagai area fokal atau multifokal dari opacity ground glass
atau konsolidasi
Kontusio tidak dibatasi oleh batas-batas segmental dan biasanya di pinggiran paru
berdekatan dengan lokasi trauma langsung.

Kontusio Sering ada cedera terkait seperti patah tulang rusuk atau tulang belakang
Parenkim Air bronchograms biasanya tidak ada karena darah yang mengisi saluran udara kecil.
Kontusio mungkin tidak terlihat secara radiografi pada foto toraks awal, tetapi berkembang
Paru dalam waktu 6 jam setelah cedera awal.
Terlihat maksimal secara radiografi dalam 24-72 jam, dan berangsur menghilang dalam 3-
10 hari
Opasitas pulmoner yang tidak menghilang/malah meningkat dalam jangka waktu tersebut,
meningkatkan kecurigaan adanya perkembangan infeksi sekunder atau ARDS
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst
Deteksi kontusi secara signifikan lebih baik pada CT scan dibandingkan dengan radiografi
konvensional.

• CT mendeteksi kontusio paru pada 100% kasus 37,5% dengan


• ukuran dan luasnya cedera ≈ spec patologis radiografi dada

Namun, dalam satu seri klinis dari 73 korban trauma


dada tumpul, hanya kontusio paru yang terlihat oleh foto
polos yang secara klinis signifikan.
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Laserasi
Robekan parenkim paru sekunder akibat shearing stress
Paru –
Kista paru Secara klinis  hemoptisis
traumatis
Radiolusen ovoid akibat sifat elastisitas parenkim paru di sekitarnya

Gambaran Sering dikaburkan pada radiografi awal akibat kontusio parenkim yang berdekatan
radiologi
Sementara laserasi sering dikaburkan pada radiografi, CT scan jelas menunjukkan
laserasi sebagai pengumpulan udara lokal dalam area kontusio.

Dengan pembersihan kontusio paru  laserasi paru muncul sebagai kista berdinding
tipis yang terisi udara dan / atau darah

Dengan adanya udara dan darah dalam kista, maka dapat terlihat air fluid level.
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst

Kista paru Hematoma


traumatis Ketika komplit opasifikasi/menjadi penuh dengan darah pulmoner
Laserasi biasanya menghilang secara spontan selama 3 minggu hingga satu tahun, dapat bertahan sebagai opacity
nodular paru karena produk darah yang tertahan dalam ruang kistik
Laserasi traumatis kadang-kadang terjadi komplikasi fistula bronkopleural persisten atau infeksi di dalam kista yang
membutuhkan perawatan bedah.
tipe I  akibat cedera kompresi yang menghasilkan kista yang berisi udara atau
cairan di dalam parenkim paru yang mengalami kontusio
Laserasi paru dan kista
tipe II  kista di paravertebralis paru sekunder akibat gaya geser kompresi lateral
paru traumatis ketika parenkim paru menekan tubuh vertebral
diklasifikasikan menjadi 4 tipe III  Fraktur tulang rusuk yang menembus parenkim paru  lucensi linear
kategori berdasarkan jenis parenkim perifer atau rongga yang berdekatan dengan lokasi trauma osseus

gaya trauma dan temuan CT tipe IV  Adhesi pleuropulmonary memberikan kekuatan robek pada parenkim
paru-paru dengan trauma tumpul dan didiagnosis hanya secara patologis
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst
Pulmonary Contusion, Laceration, and Traumatic Lung Cyst
Aspiration Pneumonitis

Aspiration
Membedakan aspirasi atau kontusio pada pasien trauma akan mempengaruhi perawatan
Pneumoniti
pasien, karena manajemen yang berbeda dari dua kondisi tersebut
s
Opasitas centrilobular “tree-in-bud” berbatas tidak tegas
Radiologi
Gambaran CT scan “tree-in-bud” dari aspirasi mencerminkan material
aspirasi yang mengisi saluran udara kecil bagian distal,

Segmen basilar superior dan posterior lobus bawah dan segmen posterior
lobus atas paling sering terlibat dalam aspirasi.

Dalam beberapa jam, opasitas "tree-in-bud" ini menjadi lebih rapat,


menghasilkan gambaran konsolidasi.
Aspiration Pneumonitis
Atelektasis

Kolapsnya paru-paru pada pasien trauma dapat dibedakan ke dalam kategori atelektasis
Atelektasis
obstruktif, pasif, tekan, dan adhesif.

Atelektasis obstruktif terjadi karena sumbat lendir, benda asing (Gambar 6), darah
endobronkial, traumatic bronchorrhea, atau rupturnya jalan napas

Atelektasis pasif  Pemisahan pleura parietal dan visceral oleh hemotoraks atau
pneumotoraks mengganggu sifat elastisitas paru

Atelektasis tekan  Kista atau kontusio paru traumatis yang besar dapat menyebabkan
efek massa intrapulmoner.

Atelektasis adhesif  Memar paru menyebabkan penurunan produksi surfaktan


menciptakan atelektasis adhesif.
Atelektasis
Atelektasis

Atelektasis biasanya dapat dibedakan dari kontusio dan aspirasi dengan tampilan yang lebih
Radiologi padat dan homogen serta adanya deviasi fisura secara simultan.

Paru-paru yang mengalami atelektasis juga menunjukkan peningkatan corakan yang lebih
besar daripada konsolidasi paru-paru, mengingat memerahnya kontras yang kuat pada
pembuluh darah paru yang banyak dan “berdesakan”.

Tanda-tanda sekunder dari kehilangan volume yaitu seperti pergeseran struktur


mediastinum dan hilus, crowding bronkovaskular, dan elevasi diafragma juga dapat terjadi.
Edema Paru Non-Kardiogenik
Edema paru dini dan segera pada pasien trauma sering mencerminkan cedera neurologis, obstruksi jalan napas, atau
inhalasi gas beracun.
Edema paru dalam 24 jam pertama biasanya disebabkan oleh overhidrasi atau reaksi transfusi,
Edema paru dengan presentasi >24 jam biasanya merupakan pengembangan ARDS, sindrom embolisme lemak, atau
overhidrasi.

Edema kardiogenik  karena overhidrasi yang dengan penyakit dasar berupa cardiac
output yang buruk atau cardiac kontusio
Radiologi  pelebaran pedikel vaskular, kekaburan vaskular paru lobus sentral dan
bawah, dan penebalan septum interlobular.
Trauma
Edema nonkardiogenik  diinduksi secara traumatis dari sindrom emboli lemak, cedera
neurogenik, atau obstruksi jalan napas
Radiologi  kekaburan vaskuler yang lebih difus / ground glass opacity tanpa penebalan
septum atau pedikel vaskuler yang melebar.
Meskipun biasanya dapat dibedakan pada radiografi, perbedaan imaging edema kardiogenik
dan nonkardiogenik akan lebih jelas pada CT scan.
Edema Paru Non-Kardiogenik
Meskipun adanya emboli lemak pada organ yang jauh setelah fraktur tulang signifikan terjadi pada >90% kasus,
perkembangan menjadi sindrom emboli lemak sangat jarang terjadi, insidensi sekitar 1-2% pada fraktur satu tulang
panjang dan 5 - 10% pada fraktur multipel.

Gejala klinis • dispnea • perubahan status •


takikardia;
• takipnea; mental; petekie pada leher,

biasanya terjadi 1 hingga • sianosis; • oliguria; aksila, dan
• demam; konjungtiva;
4 hari sejak trauma.
• perdarahan petekie
retina. 3 mekanisme
Emboli lemak memicu kerusakan parenkim paru dan edema nonkardiogenik sekunder melalui

Partikel lemak secara langsung menyumbat kapiler paru yang menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah paru, hipertensi arteri paru, dan edema lokal sekunder

Lipase endotel paru menghidrolisis globula lemak netral menjadi asam lemak bebas  cedera kimia
langsung ke endotel pembuluh darah, sehingga mengganggu membran kapiler.

Pelepasan serotonin, histamin, dan peptida vasoaktif lokal yang dipicu oleh cedera lainnya mungkin
berkontribusi pada edema lokal dan gangguan vaskular.
Edema Paru Non-Kardiogenik

Radiologi

Secara radiografi, karakteristik edema paru non-


kardiogenik dan kerusakan parenkim dari sindrom
emboli lemak muncul sebagai opasitas nodular 5-10 mm
yang secara dominan pada pinggiran dan basis paru-
paru, kemungkinan sekunder akibat ukuran kecil dari
emboli lemak dan penyebaran hematogennya
Edema Paru Non-Kardiogenik
Edema Paru
Neurogenik
Dapat terjadi akibat abnormalitas SSP seperti trauma,
infark vaskular, atau tumor otak yang meningkatkan
tekanan intrakranial.

Secara radiografi, edema paru neurogenik mungkin


awalnya melibatkan zona paru bagian atas dan perifer
sebelum berkembang menjadi distribusi difus.
Tanda-tanda sekunder khas edema paru kardiogenik
umumnya tidak ada (Gbr. 8).
Extraparenchymal Thoracic Injuries
Extraparenchymal Thoracic Injuries

Untuk membahas evaluasi ekstraparenchymal dari radiografi


dada pada pasien trauma, pendekatan sistematis yang
disajikan oleh Dr Gurney di chestxray.com akan diuraikan,
yang didasarkan pada ABC
Aorta (Traumatic Aortic Injury)
Mulai dari hematoma kecil akibat rusaknya vasa vasorum
hingga transeksi komplit aorta dengan kehilangan darah yang cepat

Sedikit pasien dengan transeksi aorta datang dalam kondisi hidup saat tiba di rumah sakit, dan pada saat kedatangan,
pasien yang syok atau dengan BP < 90 memiliki angka kematian dini hampir 100%.
Dalam sebuah
penelitian Kematian dalam 1 jam pada 94%
Menunjukkan kebutuhan
terhadap 104
pasien dengan akan suatu diagnosis cepat
transeksi aorta Kematian dalam 24 jam pada 99%

• jatuh dari 10 kaki, • penumpang yang


Dalam mendiagnosis, • kecelakaan kendaraan • pengemudi yang tidak terlontar,
mekanisme cedera bermotor dengan menggunakan sabuk • pejalan kaki yang
menjadi faktor paling kecepatan 30 mph, pengaman, tertabrak kendaraan
penting bermotor,

Semua mekanisme trauma tersebut dianggap sebagai mekanisme yang sangat mengarah kepada transeksi aorta
Aorta (Traumatic Aortic Injury)
Gambaran mediastinum yang melebar (8 cm) pada supine portable chest radiograph dapat menjadi meragukkan
dalam setting trauma.
Pelebaran mediastinum telah terbukti sensitif terhadap hematoma dan / atau pembentukan pseudoaneursym, tetapi
memiliki spesifisitas yang sangat buruk, karena :

• Kaset tidak diletakkan langsung di bawah pasien, melainkan di bawah papan trauma atau di meja trauma
• Radiograf portabel yang diperoleh saat resusitasi jarang mencerminkan proyeksi AP yang sebenarnya. 
adanya angulasi caudal-to-cephald karena pasien sering diputar, sehingga meregangkan mediastinum.
• Jarak tabung-ke-pasien yang bervariasi, memperbesar jantung dan mediastinum pada film.
• Kepatuhan pasien terhadap instruksi pernapasan tidak memadai  tidak dalam inspirasi penuh menghasilkan
perubahan perseptual dalam mediastinum, membuatnya tampak lebih pendek dan lebih luas.

Sekitar 7% pasien dengan cedera pembuluh darah besar (great vessel injury) yang selamat dalam transport ke rumah
sakit memiliki tampakan mediastinum normal pada radiograf.

Dengan demikian, jika ada kecurigaan klinis yang tinggi untuk cedera aorta berdasarkan mekanisme, maka
mungkin lebih bijaksana untuk mengevaluasi lebih lanjut dengan CTA, terlepas dari apapun hasil radiograf.
Aorta (Traumatic Aortic Injury)
Mungkin tanda radiografi yang lebih bermanfaat dan spesifik  dapat menggunakan kepadatan paratrakeal kanan

Ruang paratrakea kiri terlihat padat karena left-sided thoracic aortic arch.
Pada radiografi normal, ruang paratrakeal kanan relatif lebih lusen dibandingkan dengan arkus.

Ketika densitas ruang


paratrakea kanan sama atau
lebh dari arkus aorta
paratrakea kiri 
kecurigaan utama adalah
partial flowing mediastinal
hematoma
Aorta (Traumatic Aortic Injury)
Mungkin tanda radiografi yang lebih bermanfaat dan spesifik  dapat menggunakan kepadatan paratrakeal kanan

Ruang paratrakea kiri terlihat padat karena left-sided thoracic aortic arch.
Pada radiografi normal, ruang paratrakeal kanan relatif lebih lusen dibandingkan dengan arkus.
Aorta (Traumatic Aortic Injury)

Contained aortic rupture 


bermanifestasi sebagai efek massa dan
peningkatan densitas fokal di sekitar
lengkungan arkus aorta berbatas tidak
tegas.

Tampakan melebarnya aorta torakalis


desenden dari tulang belakang juga sangat
sugestif darah meluas ke arah kaudal
Aorta (Traumatic Aortic Injury)
Pergeseran mendasar dalam pendekatan radiografi pada mediastinum harus mencerminkan pencarian hematoma,
daripada ajaran lama yaitu pencarian “madiastinum yang melebar”.

Tanda-tanda tidak langsung dari cedera aorta pada foto thoraks dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tidak ada — mediastinum normal

2. Darah yang mengalir bebas atau sebagian — peningkatan densitas paratrakeal kanan relatif
terhadap lengkungan, lengkung aorta dengan batas yang kabur, apical cap, peningkatan lebar dan
densitas aorta desendens ± pelebaran mediastinum.
3. Contained rupture/hematoma — deviasi ke kanan dari trakea / tabung NG,
perpindahan/displacement ke bawah bronkus kiri, hilangnya definisi lengkung aorta, peningkatan
densitas lengkung, peningkatan lebar dan densitas aorta desendens.
Cord (Trauma Tulang Belakang)
 Evaluasi pada Thoracic Spinal Column dan pada Central Canal paling baik
dilakukan pada posisi lateral view, yang mana hal ini jarang dilakukan pada saat
kondisi terjadniya trauma.
 Identifikasi awal berupa penilaian adanya fraktur lucencies, adanya peningkatan
hematoma di daerah paraspinal atau mediastinum, bentuk dari spinal canal,
gambaran radiopaq fragmen tulang, serta adanya misalignment/dislokasi yang
mengarah ke trauma tulang belakang
 Kecelakaan sepeda motor merupakan penyebab utama terjadinya trauma pada
tulang belakang, fraktur pada lumbal spine (48%), cervical spine (43%), dan
thoracic spine (28%), ditambah 19% merupakan fraktur kombinasi di lokasi
yang lain.
Cont
 CT-Scan dinilai lebih unggul
untuk mengevaluasi adanya
fraktur cervical spine, karena
dapat memperlihatkan
penampang secara sagittal dan
coronal sehingga memudahkan
dalam mendeteksi adanya
fraktur
Ruptur Diafragma
 Ruptur diafragma paling sering disebabkan oleh
trauma tumpul (74%) dan luka tusuk
 Hemidiafragma kiri merupakan lokasi tersering
mengalami ruptur (90% kasus)
 Ruptur diafragma bilateral dapat terjadi, meskipun
kasusnya jarang
 Sebagian besar ruptur diafragma memiliki
kedalaman 10 cm dan terjadi di lokasi
posterolateral
 30% pasien memiliki gejala berupa sakit perut,
sesak napas, nyeri dada, dan 94% pasien terdapat
trauma tambahan di tempat lain.
 Gambaran “collar sign”
Cont
 Pada pemeriksaan rontgen dada, dapat ditemukan gambaran elevasi
dan herniasi isi abdomen ke dalam rongga toraks dengan atau tanpa
efek massa.
 Gambaran opasitas pada lobus bawah menandakan adanya trauma
pada diafragma sehingga memberikan gambaran asimetris
 Definitif diagnosis dilakukan dengan cara pembedahan (explorasi).
 Pemeriksaan CT-Scan dapat memberikan gambaran “collar sign”
Ruptur Esofagus
 Perforasi pada esophagus akibat trauma tumpul jarang terjadi, lebih sering
disebabkan karena iatrogenic atau adanya benda asing yang tertelan
 Peningkatan tekanan intraluminal akibat adanya force decompression dapat
menyebabkan rupture esophagus
 Perforasi lebih sering terjadi pada level servikal karena trauma langsung pada
daerah tersebut atau adanya laserasi oleh fragmen fraktur tulang yang
berdekatan
 Morbiditas dan mortalitas akan meningkat jika terlambat dalam mendiagnosis
 Komplikasi yang dapat terjadi jika tidak ditangani berupa abses periesofageal,
mediastinitis, dan pembentukan fistula esofagus-trakea
Cont
 Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukan adanya gambaran
emfisema servikal yang dalam, gas periesofageal, efusi
pleura, dan penebalan esophagus
 Diagnosis utama rupture esophagus menggunakan esofogram
Fraktur
Tujuan menilai tulang
saat trauma

Jika terdapat fraktur 


dapat menjelaskan
Jika ada nyeri 
seberapa kuat trauma
mungkin terdapat fraktur
yang didapat dan pola
cideranya
Cont
 Pada fraktur tulang rusuk misalnya, dapat terjadi perdarahan akibat adanya
arteri interkosta yang berdekatan
 Fraktur tulang rusuk terjadi 10% dari total kasus trauma yang terjadi, dan
merupakan trauma tumpul pada dada yang umum terjadi pada orang
dewasa
 Pada fraktur ini, perlu diperhatikan tulang rusuk yang terkena untuk
mengetahui seberapa kuat trauma yang didapat, apalagi jika mengenai
tulang rusuk 1-3, mekanisme forcenya mungkin sangat hebat
 Selain itu, perlu dicari tanda kelainan pada pleksus brachial dan trauma
pada maxillofacial.
Cont
 Fraktur tulang rusuk 4-9 sangat berkaitan erat dengan terjadinya flail chest.
 Flail chest merupakan kondisi dimana terjadinya ketidakstabilan dari dinding
dada disertai gerakan focal paradoxical saat respirasi
 Perlu diperhatikan juga keterlibatan cidera pada otot-otot interkosta, dan juga
beberapa fraktur segmental yang dapat terjadi
 Stabilisasi dapat dilakukan pada fraktur tulang rusuk, untuk imobilisasi pada
tulang
 Surgical Plating dilakukan pada pasien dengan flail chest
 Fraktur pada tulang costa 10-12 berkaitan dengan kerusakan pada visceral
pada organ hati, limpa, dan ginjal
Cont
 fraktur di Fraktur
clavicula di Clavicula
tatalaksanai
secara Fracture 1/3
Fraktur 1/3
konservatif Fractur distal
medial
 jika di distal, midclavicula clavicular
clavicula
sangat tinggi lateral
insidensi untuk
terjadi
nonunion
Cont
 Fraktur sternum  paling sering disebabkan karena kecelakaan
sepeda motor (84%) dan berhubungan dengan adanya fraktur di
thorakal spine.
 Fraktur ini tidak berhubungan dengan trauma pada dada,
termasuk cardiac contusion, hal ini disebabkan sternum akan
menerima semua force yang didapat sehingga bahkan tidak
terjadi kerusakan atau trauma pada bagian yang lebih dalam.
 Pemeriksaan rontgent toraks yang disarankan adalah dengan
posisi lateral
Cont
 Fraktur pada scapula sangat berhubungan erat dengan
trauma di tempat lain.
 Fraktur dapat terjadi pada lokasi lain seperti pada fraktur
tulang rusuk, fraktur tulang ekstremitas atau tulang belakang
(40 hingga 75%), akromion (16%), leher (5 hingga 32%),
glenoid (10 hingga 25%), dan coracoid (3 hingga 13%)
 Pada fraktur skapula, sedikit kemungkinan juga untuk
mengalami trauma pada aorta.
Gas
 Pneumothoraks dan Pneumomediastinum  gangguan
pleura yang dapat mengancam nyawa
 Pneumothoraks terjadi aibat meningkatnya tekanan alveolar
paru melebihi tekanan interstisial paru.
 Pemeriksaan radiografi dibutuhkan untuk mendiagnosis,
terutama pemeriksaan pada posisi LLD

Karena terisi
Menyebabkan Udara berpindah Udara berpindah
Tekanan alveolar udara di pleura, Paru menjadi
pecahnya ke ruang dan masuk ke
meningkat paru tidak dapat kolaps/atelektasis
alveolar interstisial ruang pleura
mengembang
 Pada pemeriksaan radiologi, walaupun tidak terlihat adanya
tanda pneumotoraks, namun apabila terdapat fraktur tulang
rusuk dan emfisema. Maka dugaan pneumotoraks harus tetap
ada.
 Tanda pneumotoraks
yang dapat dilihat
adalah  “deep
sulcus sign” sudut
kostofrenikus yang
tajam
 Tension pneumothoraks  terjadi trauma pada parenkim paru
dan cidera pada bornkial, akibatnya saat respirasi udara masuk
ke ruang pleura namun tidak dapat keluar atau terperangkap
 Tanda yang muncul saat pemeriksaan radiografi  pelebaran
(pembesaran diameter thoraks), deep sulcus sign, pergeseran
mediastinum, dan penekanan pada diafragma.
 Penanganan tension pneumothoraks adalan tindakan dekompresi
dengan menggunakan jarum untuk mengubah tekanan di dalam
paru
 Pergeseran mediastinum
dari kanan ke kiri
 Hemidiafragma kanan yang
tertekan kebawah
 Pneumomediastinum  prosesnya seperti
pneumothoraks, udara melewati peribronkial dan
masuk ke dalam mediastinum
 Pada pemeriksaan radiologi  posis AP sangat
baik dalam melihat tanda pneumomediastinum.
 Tampak gambaran radio lusen sepanjang aorta
descending, adanya udara pada soft tissue,
pembuluh darah brakio sefalik.
 Gambaran double bronchial wall sign, continuous
diaphragm sign dapat muncul
Jantung

 Evaluasi jantung pada radiografi atau CT


pada pasien trauma memiliki keterbatasan.
 Efusi pericardial di diagnostik dengan
radiografi dan CT scan.
 Kontusio yang besar dapat terlihat pada
CT-Scan. Dilihat secara klinis dan juga
dengan temuan EKG dan pemeriksaan
enzim jantung.
Iatrogenik
 Iatrogenik  akibat tindakan prosedura yang
salah
 Seperti pada intubasi, saat pemasangan
endotrakeal tubes.
 contoh lain seperti pemasangan nasogastric tube
 dapat menyebabkan perdarahan pada gaster
 Pemasangan kateter sentral juga dapat
menyebabkan komplikasi  Pneumotoraks, enous
air embolism, dan arterial puncture
 Pemasangan chest tube juga berpontensial sebagai
penyebab iatrogenik
Kesimpulan
 Trauma pada thoraks dapat memberikan gambaran
radiologi yang khas, beragam, dan perubahan
seiring pemeriksaan yang dilakukan. Diagnosis
yang tepat akan mempengaruhi prognosis
kedepannya karena berkaitan dengan tatalaksana
yang sesuai sehingga dapat mengurangi mortalitas
dan morbiditas pasien
Daftar pustaka
 Costantino, M., Gosselin, M.V., and Primack,
S,L. The ABC’s of Thoracic Trauma Imaging.
Seminars in Roentgenology. 2006.
59

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai