Anda di halaman 1dari 9

Sumber-Sumber Hukum

Hukum Tanah Nasional


• Norma-norma Hukum tertulis dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
a.UUD 1945 (Khususnya Pasal 33 ayat 3)
b.UUPA
Tertulis c.Peraturan Pelaksana UUPA
d.Peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA,
yang dikeluarkan sesudah tanggal 24
September 1960 karena sesuatu masalah
Sumber-Sumber perlu diatur. (misalnya UU No. 51/Prp1960
Hukum Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa
Hukum Tanah Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, LN 1960-
Nasional
158, TLN 2160)
e.Peraturan-peraturan lama yang untuk
sementara masih berlaku, berdasarkan
ketentuan Pasal-Pasal Peralihan.

•Berupa Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan


Baru yang bukan Hukum Adat. Misalnya:
Tidak Tertulis a.Hukum Adat yang sudah di “saneer”
menurut ketentuan Pasal 5, 56 dan 58.
b.Hukum Kebiasaan Baru termasuk
Yurisprudensi dan Praktik Administrasi.
Selain kedua sumber hukum tersebut diatas, dalam
menghadapi dan menyelesaiakan kasus-kasus konkret, perjanjian
yang diadakan oleh para pihak merupakan hukum bagi hubungan
konkret yang bersangkutan. (perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dapat dijadikan sumber hukum, Pasal 1338 KUHPerdata).
Sepanjang perjanjian yang diadakan itu tidak melanggar atau
bertentangan dengan Ketentuan-ketentuan UUPA.
Misalnya, tidak boleh diadakan perjanjian yang
mengandung unsur pemerasan, Pasal43 ayat 3,” Perjanjian sewa
tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan.”
Hukum Tanah Sebelum
Berlakunya UUPA Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, dalam masyarakat
adat telah terdapat penguasaan dan pemilikan tanah
yang diatur sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku
pada masyarakat tersebut. (peraturan tidak tertulis”
 Pada saat Belanda menjajah Indonesia, Belanda
Hukum Tanah
Yang Dualistik menerapkan peraturan hukum pertanahan yg berlaku
dinegaranya ke Indonesia. Sehingga tanah-tanah yang
ada di Indonesia diatur oleh dua peraturan, yaitu
peraturan dari hukum adat dan paraturan dari Belanda
(misalnya Hak Opstal, Hakk erpaccht, Hak Eigendom)

 Disamping kedua paraturan dari Hukum Adat


dan Belanda, Pemerintah Swapraja
menciptakan hukum atas tanah yang berlaku di
Hukum Tanah
daerahnya, misalnya “Grand Sultan”.
Yang Pluralistik
Sehingga dengan adanya 3 peraturan mengenai
hak-hak atas tanah maka timbulah
“Pluralistik” hak atas tanah yang ada di
Indonesia.
 Tonggak Pertama 1811
Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih
Sejarah diposisikan sebagai alat untuk menarik pajak bumi demi kepentingan
Pengaturan Hak pemerintah jajahan. Pemerintah Belanda gagal melakukan administrasi
Atas Tanah Di pertanahan dengan baik. Setelah pemerintah belanda digantikan oleh
Indonesia Inggris administrasi pertanahan mulai ditata.
Salah seorang penggagas administrasi pertanahan
adalah Raffles, dengan menggunakan sistem domein dengan menerapkan
sistem pajak bumi seperti yang diterapkan pemerintah Inggris pada India.
Raffles membentuk panitia penyelidikan statistik
mengenai keadaan agraria di Indonesia dan menarik kesimpulan bahwa
semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan pegangan ini maka
dibuatlah sistem penarikan pajak bumi yg dikenal dengan “Landrente” .
Sistem ini mewajibkan setiap petani membayar pajjak sebesar 2/5 dari hasil
tanah garapannya.

 Tonggak Kedua 1830


Pengaturan hak atas tanah zaman ini ditandai dengan kembalinya Indonesia
ke tangan Belanda. Pemerintah Belanda di Indonesia dipimpin oleh
Gubernur Jenderal Van den Bosch, yang mempopulerkan konsep
penguasaan tanah Cultuurstelsel atau yg biasa disebut sistem Tanam
Paksa. Tujuannya adalah untuk menolong negeri Belanda yang keadaan
keuangannya dalam keadaan buruk.
Sistem tanam paksa ini tetap mengacu pada teori Raffles, tanah adalah
milik pemerintah. Para kepala Desa dianggap menyewa kepada pemerintah,
dan selanjutnya kepala desa meminjamkan pada petani. Isi pokok
Cultuurstelsel adalah bahwa pemilik tanah tidak usah lagi membayar
Landrente tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu
yg dikehendaki pemerintah Belanda, misalnya nila, kopi,tembakau, tebu.
Kemudian hasilnya diserahkan pada pemerintah Belanda.
Tonggak ketiga 1848
Dengan adanya monopoli pemerintah Belanda dalam penguasaan hak atas
Sejarah tanah, menimbulkan kecemburuan dari kaum pemilik modal dari aliran liberal
Pengaturan yang ada diperlemen. Mereka menuntut agar bisa turut campur dalam urusan
pertanahan. Hal ini terlihat pada perubahan UUD Balanda yang menyebutkan
Hak Atas bahwa pemerintah ditanah jajahan harus diatur dengan Undang-undang.
Tanah Di
Indonesia Perubahan UUD Belanda antara lain dengan dikeluarkannya Regerings
Reglement (RR), salah satu ketentuan tersebut yaitu Pasal 62 RR yang
menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan
ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan ordonansi. Tujuan utama gerakan
kaum liberal antara lain:
1.Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh
pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan
dan penyewaan. Sebab, tanah-tanah dibawah hak kekuasaan adat tidak dapat
dijual atau disewa.
2.Agar dengan asas domein pemerintah memberikan kesempatan kepada
pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan
murah. (yaitu Erpacht).
Untuk mencapai tujuan tersebut pada tahun 1865kaum liberal mengajuka RUU
antara lain Gubernur jenderal akan memberikan hak erpacht selama 99 tahun ,
hak milik pribumi diakui sebagai hak mutlak, dan tanah komunal dijadikan hak
milik perorangan (eigendom). Tetapi RUU ini ditolak oleh parlemen.
Sejarah Pengaturan Hak Atas
Tanah Di Indonesia

Tonggak Keempat 1870


Pada tahun ini dikeluarkan suatu ketentuan Agrarische Wet 1870 yang
diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblaad) No. 55 tahun 1870.
ketentuan-ketentuan didalamnya, pelaksanaannya diatur dalam berbagai
peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah
Agrarische Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 118, tahun
1870 Agrarische Besluit ini yang memuat suatu pernyataan penting
tentang “Domain Verklaring”
 Tonggak Kelima 1960
Perhatian Pemerintah terhadap pengatuaran agraria dimulai sejak tahun
1948 dengan dibentuknya “’Panitia Agraria”. Setelah 15 tahun indonesia
merdeka barulah lahir UU No.5 tahun 1960, melalui proses yang panjang,
antara lain dimulai dengan:
a. Panitia Yogya (1948)
untuk memberikan landasan hukum kepada panitia
dalam bekerja menyusun konsep UU Agraria pemerintah mengeluarkan
penetapan presiden No. 16 tahun 1948 , yang dikenal dengan “Panitia
Agraria Yogya”. Tugas yang diemban panitia ini adalah mengembangkan
pemikiran-pemikiran untuk sampai kepada usulan-usulan dalam rangka
menyusun hukum agraria baru pengganti hukum kolonial yg berlaku di
Indonesia sejak tahun 1870..
b. Panitia Jakarta (1951)
Panitia Jakarta selain mengembangkan gagasan panitia yogya, kemuadian
menghasilkan usulan-usulan baru gagasan yang diusulkan antara lain:
1. Dianggap perlu untuk adanya penetapan batas luas maksimum dan batas
minimum
2. Yang dapat memiliki tanah untuk usaha tanah kecil hanya WNI
3. Pengakuan hak rakyat atas kuasa undang-undang.

C. Panitia Soewahjo (1956)


Panitia ini terbentuk tahun 1955, bertepatan dengan terbentuknyya kabiner baru hasil
Pemilu. Mandat utama yang diemban oleh panitia ini adalah menyusun seccara
konkret RUU agraria nasional. Panitia ini berhasil memuat antara lain:
1. Asas domain dihapuskan diganti dengan asas “ Hak Menguasai Oleh Negara”’
sesuai kketentuan pasal 38 ayat 3 UUDS.
2. Asas bahwa tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya

d. Panitia Soenario (1956)


Pada tanggal 24 April 1958 pemerintah menyampaikan naskah RUUPA yang dikenal
dengan rancangan Soenario kepada DPR. Dalam hal ini terdapat kerasama antara
Departemen Agraria, Panitia ad hoc DPR dan Univversitas Gajah Mada.

e. Rancangan Sadjarwo
Pada tanggal 1 Agustus 1960 RUU diterima dan disahkan oleh DPR-GR, dan
diundangkan tanggal 24 September 1960, sebagai UUPA No.5 Tahun 1960. dan
pada tahun 1960 pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Prp Nomor 56 Tahun 1960) yang dikenal dengan UU Landreform
.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai