PERADILAN
HAK ASASI MANUSIA
By : Heru Susetyo, S.H., LL.M, M.Si. Ph.D.
hsusetyo@ui.ac.id
PKPA FHP
JAKARTA , Agustus 2020
1
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
2
Statuta Roma
3
Apa itu Pelanggaran HAM?
4
5
Perkembangan Pengadilan
Pidana Internasional
Pengadilan Pidana Internasional
sebelum berdirinya International
Criminal Court – Statuta Roma 1998
1.International Military Tribunal (IMT)
Nurenberg
2.International Military Tribunal for the
Far East (IMTFE) Tokyo
3.International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY)
6
7
4. International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR)
5. Mixed/ Hybrid International Court :
a. Special Court for Sierra Leone
b. Extraordinary Chambers in the Court of
Cambodia
c. Special Panels at Dili District Court
9
ICTY dan ICTR – Tribunal > Former
Yugoslavia (1992 – 1996) & Rwanda
1994
10
11
Hybrid Tribunal : Cambodia
& Sierra Leone
12
HAK ASASI MANUSIA
13
Thomas Jefferson
(US Declaration of Independence 1776)
14
Apa saja Issue HAM di Indonesia?
1. The right of self determination : Aceh,
Papua
2. Racism, racial discrimination, xenophobia,
and all forms of discrimination :
Minority, Indigenous People, Women,
3. The right to development
4. Economic, social, and cultural rights:
poverty, education, debt, corruption,
labour, OTODA
15
4.Civil and Political rights, including :
16
7. Integration of the human rights of women and the
gender perspective
- violence against women
19
Kasus-kasus yang dituntut masyarakat
untuk dibawa ke Pengadilan HAM
21
Transnational Crimes
Human trafficking
People smuggling
Smuggling/ trafficking of goods (arms
trafficking and drug trafficking)
Sex slavery
Money laundering
22
TERORISME = PELANGGARAN HAM BERAT = Extra Ordinary Crimes?
23
Apa itu terorisme?
24
TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 8
setiap orang yang:
menghancurkan, membuat tidak dapat
dipakai atau merusak bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara atau
menggagalkan usaha untuk pengamanan
bangunan tersebut;
dengan sengaja atau melawan hukum,
menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain;
25
Tindak Pidana Terorisme (2)
Pasal 10
setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana
teror, atau rasa takut terhadap orang secara
meluas, menimbulkan korban yang bersifat
massal, membahayakan terhadap kesehatan,
terjadi kekacauan terhadap kehidupan,
keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi
kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas
publik, atau fasilitas internasional.
26
Tindak Pidana Terorisme (3)
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun, setiap orang yang
dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan dana dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan
digunakan sebagian atau seluruhnya
untuk melakukan tindak pidana terorisme
27
Tindak Pidana Terorisme (4)
29
TANJUNG PRIOK 1984
30
Peristiwa Talangsari Lampung 1989
31
KONFLIK HORIZONTAL :
Poso, Maluku dan Maluku Utara
32
SAMBAS & SANGGAU LEDO
Peristiwa Sanggau
Ledo : 1996 – 1997
Peristiwa Sampit :
2001
33
Pengungsi Poso
34
Anak-Anak di Ambon
35
EAST TIMOR (Timor Leste)
36
VIOLENCE
37
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HAM DI
INDONESIA
UUD 45 (utamanya pasal 28 amandemen kedua
tahun 2000)
TAP MPR No. XVII/ MPR/ 1998 tentang Hak Asasi
Manusia (dinyatakan tidak berlaku).
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (putusan MK)
PP No. Tahun 2002 tentang Tata Cara
Pemberian Ganti Rugi dalam Pelanggaran HAM
Berat
Keppres No. 50 tahun 1993 tentang Komnas HAM
UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi dari
Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi dari
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik
UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis 2008
38
Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM
Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM
berat di Timor-timur selama pra dan pasca
jajak pendapat belum ada yang terselesaikan.
sorotan dunia internasional terhadap
Indonesia = marak pelanggaran HAM
pertanggungjawaban pelanggaran HAM
yang terjadi di Timor-timur selama proses
jajak pendapat
Latar Belakang (Dianti, 2014)
resolusi Komisi HAM PBB = ditolak
Indonesia secara tegas. Indonesia akan
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
dengan menggunakan ketentuan nasional
karena konstitusi Indonesia
memungkinkan untuk menyelenggarakan
peradilan hak asasi manusia
Atas penolakan tersebut, mempunyai
konsekuensi bahwa Indonesia harus
melakukan proses peradilan atas
terjadinya pelanggaran HAM di Timor-
Timur .
Latar Belakang
(Dianti,2014)
PENGERTIAN
41
DASAR HUKUM
PENGADILAN HAM INDONESIA
42
Dalam UU No. 26 tahun 2000 tidak
terdapat ketentuan tentang cara
pembentukan Pengadilan HAM, yang ada
adalah cara pembentukan Pengadilan HAM
Ad Hoc, yaitu dengan Keputusan Presiden
seperti tercantum dalam pasal 43 ayat (2).
Di dalam praktek menunjukkan bahwa cara
pembentukan Pengadilan HAM dilakukan
dengan Keppres, misalnya Keppres No. 31
tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan HAM pada PN Jakpus, PN
Surabaya, PN Medan dan PN Makassar.
(R. Wiyono, 2006 : 11)
43
APAKAH YURISDIKSI
UU NO. 26 TAHUN 200O
TENTANG PENGADILAN HAM?
44
Yurisdiksi Pengadilan HAM
46
Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM Berat merupakan extra
ordinary crimes dan berdampak secara luas
baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP serta
menimbulkan kerugian, baik materiil
maupun immateriil yang mengakibatkan
perasaan tidak aman, baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat…
(R. Wiyono, 2006 : 11)
47
Extra Ordinary Crimes
dan Asas Retroaktif
50
3. Diperlukan ketentuan untuk tenggang
waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai
perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan
tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran
HAM yang berat.
(R. Wiyono, 2006 : 11 – 12)
51
Note :
Laporan
54
YURISDIKSI PENGADILAN
HAM RI
55
Perbandingan dengan
International Criminal Court
(Rome Statute 1998)
Article 5
1. The jurisdiction of the Court shall
be limited to the most serious crimes of
concern to the international community as
a whole. The Court has jurisdiction in
accordance with this Statute with respect
to the following crimes:
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.
56
Genocide dalam Rome Statute
1998
Article 6
Genocide
"genocide" means any of the following acts
committed with intent to destroy, in whole
or in part, a national, ethnical, racial or
religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm
to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group
conditions of life calculated to bring about
its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to
prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the
group to another group.
57
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998
Article 7
1. For the purpose of this Statute,
"crime against humanity" means any of
the following acts when committed as
part of a widespread or systematic attack
directed against any civilian population,
with knowledge of the attack:
(a) Murder;
(b) Extermination;
(c) Enslavement;
(d) Deportation or forcible transfer of
population;
(e) Imprisonment or other severe
deprivation of physical liberty in violation
of fundamental rules of international law;
(f) Torture; 58
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998 (2)
60
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
(2)
(a) pembunuhan
(b) pemusnahan
(c) Perbudakan
(d) pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa
(e) perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan
fisik lain
61
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (3)
(f) penyiksaan
(g) perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan, dan lain-
lain
(h) penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu
(i) Penghilangan orang secara paksa
(j) Kejahatan apartheid
62
WIDESPREAD AND SYSTEMATIC ATTACK
64
Sedangkan pengertian ‘sistematik’
vide Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc
tanggal 14 August 2002 tsb adalah :
1.Adanya tujuan politik;
2.Melakukan tindak pidana dengan skala
yang besar terhadap suatu kelompok
penduduk sipil atau berulang-ulang
atau terus menerusnya tindakan tidak
manusiawi yang saling berhubungan
antara yang satu dengan yang lainnya.
65
3.Adanya persiapan dan penggunaan
yang signifikan dari milik atau
fasilitas publik atau perorangan.
4. Adanya implikasi politik tingkat
tinggi atau otoritas militer dalam
mengartikan atau mewujudkan
rencana yang metodologis.
67
KEJAHATAN GENOSIDA (GENOCIDE) (pasal 8)
68
BEBERAPA KATA KUNCI DALAM MENGKAJI PELANGGARAN BERAT
HAM
Command responsibility
Widespread and systematic
Attack
Superior authority
Failure to act
Under duress
International crimes
Universal jurisdiction?
69
PENGADILAN MILITER
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang pada
waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang
dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau
jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai
Prajurit berdasarkan undang-undang;
70
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai
akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu
putusan.
71
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah
hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu
kesatuan yang berada di daerah
hukumnya.
72
HUKUM ACARA
PENGADILAN HAM
(UU No. 26 tahun 2000)
73
Hukum Acara
74
Penyelidikan > Dilakukan
oleh KOMNAS HAM
Penyidikan> Dilakukan
oleh Jaksa Agung
75
JENIS
PENGADILAN HAM
(Munarman, 2005)
AD HOC REGULER
SEBELUM SETELAH
UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 26 TAHUN 2000
(24 NOV 2000)
76
PERTANGGUNGJAWABAN
PELANGGARAN HAM (Munarman, 2005)
STATE
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Negara
PERISTIWA TINDAKAN
PELANGGARAN PENGHUKUMAN THD
HAM PELAKU
INDIVIDUAL
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Individu)
77
LINGKUP KEWENANGAN
PERADILAN HAM
BAB III PSL. 4 – 6 (Munarman, 2005)
TERITORIAL
TERITORIAL
NASIONALITASAKTIF
NASIONALITAS AKTIF
CRIMES
CRIMESAGAINST
AGAINST
HUMANITY
HUMANITY
BY OMMISSSION
Munarman,
(2005)
DELIK-DELIK
PELANGGARAN HAM BERAT
(Munarman, 2005)
DELICT BY COMMISSION
(PASAL 8 DAN 9 UU NO 26 TAHUN 2000)
DELICT BY OMMISSION
(PASAL 42 UU NO 26 TAHUN 2000)
Munarman, (2005) 80
DELICT BY OMMISSION
81
DELICT BY OMMISSION
(PEMBIARAN)
85
PENANGKAPAN
86
PENAHANAN
TINGKAT PENYIDIKAN
90 HARI 60 HARI
90 HARI
(Munarman, 2005) 87
PENAHANAN
(Munarman, 2005)
88
PENAHANAN
90 HARI 30 HARI
Ka.Pengdl.HAM Ka.Pengdl.HAM
(Munarman, 2005)89
PENAHANAN
Berlaku KUHAP
Utk penyidikan Jaksa Agung menangkap
& menahan
Penahanan utk:
◦ penyidikan 90 hr
◦ penuntutan 30 hr
◦ pemeriksaan di pengad 90 hr
◦ Pemeriksaan tk banding 60 hr
◦ Pemeriksaan tk kasasi 60 hr
91
PENYELIDIKAN
93
Proses Pengadilan
Hakim:
Majelis Hakim 5 Orang:
◦ 2 hakim karir
◦ 3 hakim non-karir
Diangkat & diberhentikan oleh Presiden
atas usulan Ketua MA
Masa jabatan 5 th & dpt diangkat
kembali
94
Acara Pemeriksaan
Maximum 180 hr
Banding di PT 90 hr oleh majelis
hakim 5 org (2 karir & 3 non-karir)
Kasasi di MA 90 hr majelis hakim 5
org (2 karir & 3 non-karir)
95
Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelangggaran HAM Berat
97
Restitusi
98
Kompensasi:
99
Rehabilitasi:
100
2. Undang-Undang Nomor 13 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
a. Mendapatkan bentuk perlindungan fisik,
non-fisik dan hukum, sebagaimana
terlihat dalam Pasal 5 ayat (1),
101
Memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
Ikut serta dalam proses memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
Memberikan keterangan tanpa
tekanan;
Mendapatkan penerjemah;
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
102
Mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus;
Mendapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan;
Mengetahui dalam hal terpidana
dibebaskan;
Mendapat identitas baru;
Mendapatkan kediaman baru;
Memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan;
Mendapat nasihat hukum;
Memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu
tertentu. 103
b. Mendapatkan perlindungan non-fisik
berupa bantuan medis dan bantuan
rehabitasi psiko sosial, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 bahwa:
“Korban dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat selain
berhak atas hak sebagaimana
dimaksudd dalam pasal 5 ayat (1)
juga berhak:
1. Bantuan medis;
2. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
104
Rehabilitasi Psikososial:
Dalam penjelasannya yang dimaksud
dengan bantuan rehabilitasi Psiko –sosial
adalah bantuan yang diberikan oleh
psikolog kepada korban yang menderita
trauma atau masalah kejiwaan lainnya
untuk memulihkan kembali kondisi
kejiwaan korban.
105
c. Melalui LPSK dapat mengajukan kompensasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bahwa:
“Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke
pengadilan berupa:
1. Hak atas kompensasi dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
2.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang
menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana.
106
d. Mendapatkan perlindungan keamanan memberikan
keterangan tanpa hadir di persidangan, sebagaimana di
maksud dalam Pasal 9 bahwa:
1. Saksi
dan/atau korban yang berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa;
110
Perlindungan-non Fisik
111
Perlindungan hukum
Pasal31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum
sebagaimana dimaksud pasal 28 huruf (c), diberikan
dengan mengadakan: pelayanan jasa penasehat hukum,
pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat
memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses
peradilan pidana yang sedang dan telah dihadapi,
memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan
kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau
perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan
keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan
tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat),
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus,
medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan
mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan.
112
Perlindungan Darurat
113
3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 tentang Tata cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
115
C. Bentuk Perlindungan: (Pasal 4).
1.perlindungan atas keamanan pribadi
korban atau saksi dari ancaman fisik dan
mental;
2. perahasiaan identitas korban atau
saksi;
3. pemberian keterangan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa
bertatap muka dengan tersangka,
116
D. Pihak yang melakukan perlindungan
adalah aparat penegak hukum dan aparat
keamanan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) bahwa:
“Setiap korban atau saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh perlindungan dari
aparat penegak hukum dan aparat
keamanan”.
117
e. Jangka waktu perlindungan sejak pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat
(2) bahwa:
“Perlindungan oleh aparat penegak hukum
dan aparat keamanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”.
118
4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat
A. Korban adalah adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahli warisnya (Pasal 1 angka 3)
119
B. Korban atau ahli warisnya atas
pelanggaran hak berat mendapatkan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Pengertian kompensasi (Pasal 1 angka 4),
Restitusi (Pasal 1 angka 5) dan Rehabilitasi
(Pasal 1 angka 6) sama dengan dalam UU
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia di atas.
120
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan kepada Saksi dan Korban.
124
LOKASI PENGADILAN HAM
125
Keppres RI No. 53 tahun 2001
126
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat
Putusan Kasus Timor Timur (1)
Terdakwa Keputusan
Timbul Silaen (mantan Kapolda Timtim) Bebas, Jaksa mengajukan Kasasi namun tidak dapat
diterima
Herman Sedyono, Liliek K., Gatot Subiakto, Bebas, Jaksa Mengajukan Kasasi namun tak dapat
A. Syamsudin, Sugito diterima
Eurico Guterres (mantan panglima milisi pro Divonis 10 tahun di tingkat PN
integrasi) Dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PT
Kembali dipidana 10 tahun di tingkat Kasasi
Dibebaskan setelah 2 thn menjalani pidana karena
PK dikabulkan
128
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Timbul Silaen
Dakwaan :
Failure to act (tanggungjawab komando)
Tidak menyerahkan pelaku
Melakukan kejahatan kepada kemanusiaan
Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
Vonis : Bebas
Alasan : saksi tidak merasa aman, intimidasi
di dalam dan di luar pengadilan, terdakwa
dianggap tidak memiliki pengendalian
efektif terhadap milisi, dakwaan lemah, dll
129
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Abilio Soares
Dakwaan :
Mengetahui terjadinya pelanggaran HAM
berat oleh bawahannya namun tidak
mengambil tindakan yang efektif
Membentuk dan mendanai Pamswakarsa
pro integrasi
Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
Vonis : 3 tahun (namun dibebaskan di
tingkat kasasi)
130
PENGADILAN HAM KASUS TANJUNG
PRIOK
Kasusterjadi pada 12 – 13
September 1984 dan berlanjut
dengan penangkapan dan
penahanan besar-besaran
131
Putusan Kasus Tanjung Priok
Pasal 42
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab
secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak
melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan
benar, yaitu:
◦ atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang
secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
◦ atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Dari empat berkas perkara yang diajukan ke Pengadilan
HAM Tanjung Priok, pengadilan telah menghasilkan dua
jenis putusan yang satu sama lain saling bertentangan.
Pertama, putusan yang menyatakan bahwa dalam
peristiwa Tanjung Priok telah terjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan berupa pembunuhan, percobaan
pembunuhan dan penyiksaan sebagaimana yang
didakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Kedua, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
dalam peristiwa Tanjung Priok tidak terjadi kejahatan
terhadap kemanusiaan.
141
Pengadilan HAM kasus Abepura (2)
Dan Brimob Polda Papua Johny Wainal Usman
dan Kapolres Jayapura Kombes Daud
Sihombing jadi tersangka.
Dalam Pengadilan HAM di Makassar kedua
Terdakwa dibebaskan dalam kasus
terbunuhnya delapan mahasiswa dan melukai
ratusan lainnya di sejumlah asrama mahasiswa
di Abepura 7 Desember 2000 dengan alasan :
tak terpenuhi unsur ‘langsung terhadap
penduduk sipil’, ‘kebijakan penguasa’ dan
‘meluas serta ‘sistematik’
(Harifin Tumpa, et.al, 2010)
142
Beberapa Kelemahan
Pengadilan HAM RI
Legislasi(UU 26/2000)
Expertise
Independency & Impartiality
Infra Structure
Budaya Menghormati Proses
Pengadilan
143
Kelemahan UU 26/2000 (1)
144
Kelemahan UU No. 26/ 2000 (2)
145
Hukuman Minimum
Tdk ada pre trial chamber
Tidak mempunyai hukum acara
tersendiri tetapi masih digunakan
KUHAP
146
Infra Structure
147
Budaya Menghormati
Persidangan
148