Anda di halaman 1dari 148

HUKUM ACARA

PERADILAN
HAK ASASI MANUSIA
By : Heru Susetyo, S.H., LL.M, M.Si. Ph.D.
hsusetyo@ui.ac.id

 Advokat HAM pada PAHAM Indonesia


 Manajer Riset dan Publikasi FH-UI
 Wakil Sekjen DPN PERADI

PKPA FHP
JAKARTA , Agustus 2020
1
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia

Berdasarkan Pasal 7 bahwa yang di


maksud dengan Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat meliputi:
A. kejahatan genosida;
B. kejahatan terhadap kemanusiaan;

2
Statuta Roma

 Article 5 (1), crimes within teh jurusdiction


of Court:
 “The jurisdiction of the Court shall be limited
to the most serious crimes of concern to
the international community as a whole. The
Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crimes”:
a. The crime of genocide;
b. Crimes against humanity;
c. War crimes;
d. The crime of aggresion

3
Apa itu Pelanggaran HAM?

 Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap


perbuatanseseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak sengaja, atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia).

4
5
Perkembangan Pengadilan
Pidana Internasional
Pengadilan Pidana Internasional
sebelum berdirinya International
Criminal Court – Statuta Roma 1998
1.International Military Tribunal (IMT)
Nurenberg
2.International Military Tribunal for the
Far East (IMTFE) Tokyo
3.International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY)

6
7
4. International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR)
5. Mixed/ Hybrid International Court :
a. Special Court for Sierra Leone
b. Extraordinary Chambers in the Court of
Cambodia
c. Special Panels at Dili District Court

International Criminal Court (ICC);


didirikan tahun 1998 dengan Statuta
Roma dan mulai operasional pada tahun
2002 setelah diratifikasi 60 negara.
8
Pengadilan Pelanggaran HAM Berat >
Nurnberg Tribunal & Tokyo Tribunal WW II

9
ICTY dan ICTR – Tribunal > Former
Yugoslavia (1992 – 1996) & Rwanda
1994

10
11
Hybrid Tribunal : Cambodia
& Sierra Leone

12
HAK ASASI MANUSIA

Adalah seperangkat hak yang melekat pada


hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
(vide UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM)

13
Thomas Jefferson
(US Declaration of Independence 1776)

“ We hold these truths to be self-


evident, that all men are created
equal, that they are endowed by their
Creator with certain unalienable
rights, that among these are Life,
Liberty, and the Pursuit of Happiness.”

14
Apa saja Issue HAM di Indonesia?
1. The right of self determination : Aceh,
Papua
2. Racism, racial discrimination, xenophobia,
and all forms of discrimination :
Minority, Indigenous People, Women,
3. The right to development
4. Economic, social, and cultural rights:
poverty, education, debt, corruption,
labour, OTODA

15
4.Civil and Political rights, including :

- torture and arbitrary detention


- disappearances and summary executions
- freedom of expression
- independence of the judiciary
- administration of justice
- impunity
- religious intolerance
- states of emergency
- conscientious objection to military
service

16
7. Integration of the human rights of women and the
gender perspective
- violence against women

8. Rights of the child


9. Specific groups and individuals :
- migrant workers
- minorities
- forced migration and Internally Displaced - other
vulnerable groups and individuals
10. Indigenous issues
11. Internal Conflict
17
‘Kejahatan HAM Berat’ 1980 – 2015

Tanjung Priok 12 September 1984


Talangsari Lampung, Februari 1989
DOM di Aceh 1989 – 1998
Kekerasan di East Timor 1976 – 2000
Tragedi Haur Koneng, Majalengka 1993
Tragedi Waduk Nipah Sampang, 1994
Peristiwa 27 Juli 1996
Kekerasan pada Peristiwa Mei 1998
Tragedi Semanggi I dan II 1999
Kekerasan di Sape, Sumbawa? Konflik
pertanahan di Mesuji Lampung? Kekerasan
thd penolak tambang liar di Lumajang?
18
Konflik SARA di Sanggau Ledo 1996 – 1997
Konflk SARA di Sambas 1999
Konflik SARA di Poso 1998 –
Konflik SARA di Maluku dan Maluku Utara
1999-
Ninja dan dukun santet di Jawa Timur 1999
Penembakan misterius 1980-an

19
Kasus-kasus yang dituntut masyarakat
untuk dibawa ke Pengadilan HAM

1. Kasus Trisakti 12 Mei 1998


2. Kasus Semanggi I 13 November 1998
3. Kasus Semanggi II 22 – 24 September
1999
4. Kasus Tanjung Priok 12 – 13 September
1984
5. Kasus DOM di Aceh 1989 – 1999
6. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor
Leste dalam wilayah hukum Liquica, Dili dan
Suai
20
Beberapa Istilah

Gross violation of human rights


Extraordinary crimes
International crimes
Transnational crimes

21
Transnational Crimes

Human trafficking
People smuggling
Smuggling/ trafficking of goods (arms
trafficking and drug trafficking)
Sex slavery
Money laundering

22
TERORISME = PELANGGARAN HAM BERAT = Extra Ordinary Crimes?

Bom di rumah Dubes Philipina 2000


Rangkaian bom di 18 kota di Indonesia
pada malam natal tahun 2000
Bom Bali I 12 Oktober 2002
Bom J.W. Marriot 5 Agustus 2003 & 2009
Bom Kedubes Australia 9 September 2004
Bom Bali II 1 Oktober 2005

23
Apa itu terorisme?

Pasal 6 Perpu No. 1 tahun 2002


 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan
 menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal
 dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain
 atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional

24
TINDAK PIDANA TERORISME

Pasal 8
setiap orang yang:
menghancurkan, membuat tidak dapat
dipakai atau merusak bangunan untuk
pengamanan lalu lintas udara atau
menggagalkan usaha untuk pengamanan
bangunan tersebut;
dengan sengaja atau melawan hukum,
menghancurkan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain;
25
Tindak Pidana Terorisme (2)

Pasal 10
 setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana
teror, atau rasa takut terhadap orang secara
meluas, menimbulkan korban yang bersifat
massal, membahayakan terhadap kesehatan,
terjadi kekacauan terhadap kehidupan,
keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi
kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas
publik, atau fasilitas internasional.
26
Tindak Pidana Terorisme (3)

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun, setiap orang yang
dengan sengaja menyediakan atau
mengumpulkan dana dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan
digunakan sebagian atau seluruhnya
untuk melakukan tindak pidana terorisme

27
Tindak Pidana Terorisme (4)

 tindakan secara melawan hukum menerima,


memiliki, menggunakan, menyerahkan,
mengubah, membuang bahan nuklir, senjata
kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan
atau dapat mengakibatkan kematian atau luka
berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
 mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata
kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif, atau komponennya ;
 penggelapan atau memperoleh secara tidak sah
bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya;
28
PELANGGARAN
HAM BERAT?

29
TANJUNG PRIOK 1984

30
Peristiwa Talangsari Lampung 1989
31
KONFLIK HORIZONTAL :
Poso, Maluku dan Maluku Utara
32
SAMBAS & SANGGAU LEDO
Peristiwa Sanggau
Ledo : 1996 – 1997

Peristiwa Sambas :1999

Peristiwa Sampit :
2001

33
Pengungsi Poso
34
Anak-Anak di Ambon

35
EAST TIMOR (Timor Leste)

36
VIOLENCE

37
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HAM DI
INDONESIA
 UUD 45 (utamanya pasal 28 amandemen kedua
tahun 2000)
 TAP MPR No. XVII/ MPR/ 1998 tentang Hak Asasi
Manusia (dinyatakan tidak berlaku).
 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
 UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (putusan MK)
 PP No. Tahun 2002 tentang Tata Cara
Pemberian Ganti Rugi dalam Pelanggaran HAM
Berat
 Keppres No. 50 tahun 1993 tentang Komnas HAM
 UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi dari
Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
 UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi dari
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik
 UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis 2008

38
Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM
Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM
berat di Timor-timur selama pra dan pasca
jajak pendapat belum ada yang terselesaikan.
sorotan dunia internasional terhadap
Indonesia = marak pelanggaran HAM
pertanggungjawaban pelanggaran HAM
yang terjadi di Timor-timur selama proses
jajak pendapat
Latar Belakang (Dianti, 2014)
resolusi Komisi HAM PBB = ditolak
Indonesia secara tegas. Indonesia akan
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
dengan menggunakan ketentuan nasional
karena konstitusi Indonesia
memungkinkan untuk menyelenggarakan
peradilan hak asasi manusia
Atas penolakan tersebut, mempunyai
konsekuensi bahwa Indonesia harus
melakukan proses peradilan atas
terjadinya pelanggaran HAM di Timor-
Timur .
Latar Belakang

(Dianti,2014)
PENGERTIAN

Pengadilan Hak Asasi Manusia


adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat

41
DASAR HUKUM
PENGADILAN HAM INDONESIA

 Pasal 104 UU No. 39 tahun 1999


tentang HAM :
(1) Untuk mengadili pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di
lingkungan Peradilan Umum

 UU No. 26 tahun 2000 tentang


Pengadilan HAM

42
Dalam UU No. 26 tahun 2000 tidak
terdapat ketentuan tentang cara
pembentukan Pengadilan HAM, yang ada
adalah cara pembentukan Pengadilan HAM
Ad Hoc, yaitu dengan Keputusan Presiden
seperti tercantum dalam pasal 43 ayat (2).
Di dalam praktek menunjukkan bahwa cara
pembentukan Pengadilan HAM dilakukan
dengan Keppres, misalnya Keppres No. 31
tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan HAM pada PN Jakpus, PN
Surabaya, PN Medan dan PN Makassar.
(R. Wiyono, 2006 : 11)
43
APAKAH YURISDIKSI
UU NO. 26 TAHUN 200O
TENTANG PENGADILAN HAM?

CRIME AGAINST HUMANITY?


WAR CRIMES?
VIOLATION TO GENEVA CONVENTION
1949?
GENOCIDE?
CRIME AGAINST PEACE/ AGRESSION?
TERRORISM

44
Yurisdiksi Pengadilan HAM

1. Material Jurisdiction (rationae materiae)


> jenis pelanggaran berat yang bisa diadili
pengadilan HAM meliputi Kejahatan
Genosida dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan.
2. Temporal jurisdiction (rationae
temporis)> berlakunya UU No. 26 tahun
2000 adalah sejak diundang-undangkan per
23 November 2000. Meskipun demikian
pasal 43 (1) memperkenankan
penyelenggaraan Pengadilan HAM Ad Hoc
untuk perkara2 sebelum UU ini lahir.
45
Yurisdiksi Pengadilan HAM (2)

3. Personal Jurisdiction (rationae


personae); pengadian HAM ditujukan
kepada individu (yang berusia di atas 18
tahun).
4. Territorial Jurisdiction (rationae loci);
pemberlakuan asas teritorial dan
nasionalitas aktif.

(Harifin Tumpa, et.al, 2010)

46
Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM Berat merupakan extra
ordinary crimes dan berdampak secara luas
baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP serta
menimbulkan kerugian, baik materiil
maupun immateriil yang mengakibatkan
perasaan tidak aman, baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat…
(R. Wiyono, 2006 : 11)
47
Extra Ordinary Crimes
dan Asas Retroaktif

UU Pengadilan HAM berlaku surut atau


retroaktif
Pelanggaran HAM Berat mempunyai sifat
khusus dan digolongkan sebagai kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime)
sehingga berlaku asas retroaktif
(menyimpang dari asas legalitas dalam
kejahatan biasa)
Menyimpangi asas non retroaktif dalam
Pasal 28 UUD 45
48
Perlawanan terhadap Asas Retroaktif

Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) UU No.


26 tahun 2000 pernah di-ujimaterilkan
oleh mantan Gubernur Timtim Abilio
Jose Soares ke Mahkamah Konstitusi
(MK) namun mayoritas Hakim MK
berpendapat bahwa asas retroaktif bisa
dijalankan terhadap kasus-kasus
kejahatan paling serius (extraordinary
crime) yang menjadi perhatian
masyarakat internasional
(vide

Putusan MKRI No. 065/ PUU-


II/2004).
49
Kekhususan Pengadilan HAM

Terhadap perkara pelanggaran HAM yang


berat diperlukan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan yang bersifat khusus :
1.Diperlukan penyelidikan dengan
membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc,
penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.
2. Penyelidikan hanya dilakukan KOMNAS
HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang
menerima laporan ataupun pengaduan.

50
3. Diperlukan ketentuan untuk tenggang
waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai
perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan
tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran
HAM yang berat.
(R. Wiyono, 2006 : 11 – 12)

51
Note :

Hukum Acara Peradilan Militer


sebagaimana termaktub
dalam UU No. 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer tidak
berlaku untuk Pengadilan
HAM.
52
Pembentukan Pengadilan HAM
Ad Hoc
Sebelum putusan MK No. 18/ PUU-V/2007,
pengaturan kasus-kasus kategori ‘masa
lalu’ haruslah ditempuh melalui DPR
berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden, khususnya atas
dugaan ‘pelanggaran HAM yang berat’.
Kontrol kekuasaan non yudisial melalui
DPR dan Keppres begitu kuat.
Namun setelah putusan tersebut, tidak
lagi memerlukan ‘persetujuan politik’ DPR
dalam mengupayakan penyelidikan
KOMNAS HAM dan penyidikan Kejaksaaan
Agung (Wiratraman, 2008).
53
Proses Perkara

Laporan

Penyidik KPP HAM


Penyidik Kejaksaan Agung
Pembahasan DPR
Keppres Penuntut Umum Pengadilan
HAM ad hoc

54
YURISDIKSI PENGADILAN
HAM RI

Pasal 4 UU No. 26 tahun 2000 :


Memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat

Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 :


Pelanggaran HAM berat meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Kepada Kemanusiaan

55
Perbandingan dengan
International Criminal Court
(Rome Statute 1998)
Article 5
1.         The jurisdiction of the Court shall
be limited to the most serious crimes of
concern to the international community as
a whole. The Court has jurisdiction in
accordance with this Statute with respect
to the following crimes:
(a)     The crime of genocide;
(b)     Crimes against humanity;
(c)     War crimes;
(d)     The crime of aggression.
56
Genocide dalam Rome Statute
1998
Article 6
Genocide
"genocide" means any of the following acts
committed with intent to destroy, in whole
or in part, a national, ethnical, racial or
religious group, as such:
(a)     Killing members of the group;
(b)     Causing serious bodily or mental harm
to members of the group;
(c)     Deliberately inflicting on the group
conditions of life calculated to bring about
its physical destruction in whole or in part;
(d)     Imposing measures intended to
prevent births within the group;
(e)     Forcibly transferring children of the
group to another group.
57
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998
 Article 7
 1.         For the purpose of this Statute,
"crime against humanity" means any of
the following acts when committed as
part of a widespread or systematic attack
directed against any civilian population,
with knowledge of the attack:
(a)     Murder;
(b)     Extermination;
(c)     Enslavement;
(d)     Deportation or forcible transfer of
population;
(e)     Imprisonment or other severe
deprivation of physical liberty in violation
of fundamental rules of international law;
(f)     Torture; 58
Crime Against Humanity
dalam Rome Statute 1998 (2)

(g) Rape, sexual slavery, enforced prostitution,


forced pregnancy, enforced sterilization, or any
other form of sexual violence of comparable
gravity;
(h) Persecution against any identifiable group or
collectivity on political, racial, national, ethnic,
cultural, religious, gender as defined in
paragraph 3, or other grounds that are
universally recognized as impermissible under
international law, in connection with any act
referred to in this paragraph or any crime within
the jurisdiction of the Court;
(i)  Enforced disappearance of persons;
(j)  he crime of apartheid;
(k) Other inhumane acts of a similar character
intentionally causing great suffering, or serious
injury to body or to mental or physical health.
59
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000

Kejahatan terhadap kemanusiaan


adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau
sistematik (widespread and
systematic attack) yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk
sipil, berupa :

60
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
(2)

(a) pembunuhan
(b) pemusnahan
(c) Perbudakan
(d) pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa
(e) perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan
fisik lain

61
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (3)

(f) penyiksaan
(g) perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan, dan lain-
lain
(h) penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu
(i) Penghilangan orang secara paksa
(j) Kejahatan apartheid

62
WIDESPREAD AND SYSTEMATIC ATTACK

Yang dimaksud dengan “serangan


yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil” adalah
suatu rangkaian perbuatan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil
sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi
(Munarman, 2005)
63
Pengertian ‘meluas’

Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakpus 14


Agustus 2002 No.
01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST :

‘meluas’ karena pada peristiwa-peristiwa


yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan
secara besar-besaran, berulang-ulang dalam
skala yang besar, yang dilakukan secara
kolektif dengan akibat yang sangat serius
berupa jumlah korban nyawa yang besar.

64
Sedangkan pengertian ‘sistematik’
vide Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc
tanggal 14 August 2002 tsb adalah :
1.Adanya tujuan politik;
2.Melakukan tindak pidana dengan skala
yang besar terhadap suatu kelompok
penduduk sipil atau berulang-ulang
atau terus menerusnya tindakan tidak
manusiawi yang saling berhubungan
antara yang satu dengan yang lainnya.

65
3.Adanya persiapan dan penggunaan
yang signifikan dari milik atau
fasilitas publik atau perorangan.
4. Adanya implikasi politik tingkat
tinggi atau otoritas militer dalam
mengartikan atau mewujudkan
rencana yang metodologis.

(R. Wiyono, 2006)


66
KEJAHATAN GENOSIDA (GENOCIDE)
(pasal 8 UU No. 26 tahun 2000)

Kejahatan genosida (genocide) adalah


setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :

67
KEJAHATAN GENOSIDA (GENOCIDE) (pasal 8)

(a) Membunuh anggota kelompok


(b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
berat kepada anggota-anggota kelompok.
(c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
(d) Memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok;
(e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain

68
BEBERAPA KATA KUNCI DALAM MENGKAJI PELANGGARAN BERAT
HAM

Command responsibility
Widespread and systematic
Attack
Superior authority
Failure to act
Under duress
International crimes
Universal jurisdiction?

69
PENGADILAN MILITER
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang pada
waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang
dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau
jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai
Prajurit berdasarkan undang-undang;
70
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai
akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu
putusan.
71
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah
hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu
kesatuan yang berada di daerah
hukumnya.

72
HUKUM ACARA
PENGADILAN HAM
(UU No. 26 tahun 2000)

73
Hukum Acara

Pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 :

Dalam hal tidak ditentukan lain dalam


UU No. 26 tahun 2000, hukum acara atas
perkara pelanggaran HAM yang berat
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
acara pidana (hukum acara pidana yang
berlaku untuk pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum).

74
Penyelidikan > Dilakukan
oleh KOMNAS HAM
Penyidikan> Dilakukan
oleh Jaksa Agung

75
JENIS
PENGADILAN HAM
(Munarman, 2005)

AD HOC REGULER

SEBELUM SETELAH
UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 26 TAHUN 2000
(24 NOV 2000)

76
PERTANGGUNGJAWABAN
PELANGGARAN HAM (Munarman, 2005)
STATE
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Negara

PERISTIWA TINDAKAN
PELANGGARAN PENGHUKUMAN THD
HAM PELAKU

INDIVIDUAL
RESPONSIBILITY
(Pertanggungjawaban
Individu)
77
LINGKUP KEWENANGAN
PERADILAN HAM
BAB III PSL. 4 – 6 (Munarman, 2005)

PELANGGARAN HAM BERAT


(GROSS VIOLATION OF HUMAN RIGHTS)

GENOCIDE CRIMES AGAINST HUMANITY

TERITORIAL
TERITORIAL

NASIONALITASAKTIF
NASIONALITAS AKTIF

TIDAK BERLAKU BAGI PELAKU YG BERUMUR DIBAWAH 18 TAHUN 78


BY COMMISSION
GENOCIDE
GENOCIDE

CRIMES
CRIMESAGAINST
AGAINST
HUMANITY
HUMANITY

BY OMMISSSION

Munarman,
(2005)
DELIK-DELIK
PELANGGARAN HAM BERAT
(Munarman, 2005)

DELICT BY COMMISSION
(PASAL 8 DAN 9 UU NO 26 TAHUN 2000)

DELICT BY OMMISSION
(PASAL 42 UU NO 26 TAHUN 2000)

Munarman, (2005) 80
DELICT BY OMMISSION

Unsur Pasal 42 UU No. 26 tahun


2000:
Command responsibility
Aware/ should aware
Failure to act
Ignoring the information

81
DELICT BY OMMISSION
(PEMBIARAN)

Komandan militer atau seseorang yang secara efektif


bertindak sebagai komandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di
dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan
yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang
efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak
dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau
atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa
pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan
tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
82
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya,
bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena
atasan tersebut tidak melakukan pengendalian
terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar
mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
83
Superior responsibility

Pada putusan MA RI tanggal 4 Nov 2004 No.


45/ 2004 disebutkan dalam pertimbangan
hukumnya bahwa ‘pertanggungjawaban
atasan’/ superior responsibility adalah
(merujuk pada ICTR dan ICTY) :
1.Adanya otoritas, baik de jure maupun de
facto serta hubungan atasan dan bawahan
yang berada dalam pengendalian yang
efektif.
2.Atasan mengetahui bahwa bawahannya
akan atau sedang melakukan pelanggaran
kejahatan yang dilarang oleh hukum
internasional.
84
Superior responsibility (2)

3. Atasan gagal mencegah atau


menghentikan atau menghukum
bawahannya tersebut

85
PENANGKAPAN

KEWENANGAN PENANGKAPAN HANYA


PADA JAKSA AGUNG
JANGKA WAKTU PENANGKAPAN HANYA
UNTUK PALING LAMA 1 HARI

86
PENAHANAN

TINGKAT PENYIDIKAN

90 HARI 60 HARI
90 HARI

Ka. Pengdl. HAM Ka. Pengdl. HAM


JAKSA AGUNG

(Munarman, 2005) 87
PENAHANAN

 (Munarman, 2005)

30 HARI 20 HARI 20 HARI

JAKSA AGUNG Ka.Pengdl.HAM Ka.Pengdl.HAM

88
PENAHANAN

TINGKAT PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN


TK.PERTAMA

90 HARI 30 HARI

Ka.Pengdl.HAM Ka.Pengdl.HAM

(Munarman, 2005)89
PENAHANAN

TINGKAT PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN


TK. BANDING & KASASI

60 HARI 30 HARI 60 HARI 30 HARI

Ka.P.T Ka.P.T Ka.M.A Ka.M.A


90
Hukum Acara

Berlaku KUHAP
Utk penyidikan Jaksa Agung menangkap
& menahan
Penahanan utk:
◦ penyidikan 90 hr
◦ penuntutan 30 hr
◦ pemeriksaan di pengad 90 hr
◦ Pemeriksaan tk banding 60 hr
◦ Pemeriksaan tk kasasi 60 hr

91
PENYELIDIKAN

PENYELIDIK ADALAH KOMNAS HAM


KOMNAS DAPAT MEMBENTUK TIM AD
HOC
PENYELIDIK MEMBERITAHUKAN KEPADA
PENYIDIK DIMULAINYA PENYELIDIKAN
KESIMPULAN PENYELIDIKAN
DISAMPAIKAN KEPADA PENYIDIK, 7 HARI
SETELAHNYA MENYERAHKAN SELURUH
HASIL PENYELIDIKAN
APABILA DIKEMBALIKAN OLEH PENYIDIK,
DALAM 30 HARI SEJAK DIKEMBALIKAN
PENYELIDIK WAJIB MELENGKAPI
KEKURANGAN TERSEBUT
92
Penyidikan & Penuntutan

Dilakukan Jaksa Agung


Jaksa Agung dapat membentuk tim
ad hoc utk penyidikan
Max 90 hr & dpt diperpanjang 90 hr
+ 60 hr

93
Proses Pengadilan

Hakim:
Majelis Hakim 5 Orang:
◦ 2 hakim karir
◦ 3 hakim non-karir
Diangkat & diberhentikan oleh Presiden
atas usulan Ketua MA
Masa jabatan 5 th & dpt diangkat
kembali

94
Acara Pemeriksaan

Maximum 180 hr
Banding di PT 90 hr oleh majelis
hakim 5 org (2 karir & 3 non-karir)
Kasasi di MA 90 hr majelis hakim 5
org (2 karir & 3 non-karir)

95
Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelangggaran HAM Berat

1. Undang Undang Nomor 26 tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
A. Mendapatkan perlindungan fisik dan mental
dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan
dari pihak manapun.
Pasal 34 ayat (1), bahwa “Setiap korban dan
saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun”;
96
B. Mendapatkan kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi (termasuk ahi
warisnya)
Pasal 35 ayat (1), bahwa “Setiap korban
dan saksi dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi”

97
Restitusi

Dimaksud Restitusi, berdasarkan Penjelasan


Pasal 35 (3) adalah “ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran
ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu”;

98
Kompensasi:

Dimaksud kompensasi, berdasarkan


Penjelasan Pasal 35 (1) adalah “ganti
kerugian yang diberikan oleh negara karena
pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi
tanggung jawabnya”;

99
Rehabilitasi:

Dimaksud dengan Rehabilitasi, berdasarkan


Penjelasan pasal 35 (3) adalah "rehabilitasi"
adalah, pemulihan pada kedudukan semula,
misalnya kehormatan, nama baik, jabatan,
atau hak-hak lain.

100
2. Undang-Undang Nomor 13 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
a. Mendapatkan bentuk perlindungan fisik,
non-fisik dan hukum, sebagaimana
terlihat dalam Pasal 5 ayat (1),

101
Memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
Ikut serta dalam proses memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
Memberikan keterangan tanpa
tekanan;
Mendapatkan penerjemah;
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
102
Mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus;
Mendapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan;
Mengetahui dalam hal terpidana
dibebaskan;
Mendapat identitas baru;
Mendapatkan kediaman baru;
Memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan;
Mendapat nasihat hukum;
Memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu
tertentu. 103
b. Mendapatkan perlindungan non-fisik
berupa bantuan medis dan bantuan
rehabitasi psiko sosial, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 bahwa:
 “Korban dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat selain
berhak atas hak sebagaimana
dimaksudd dalam pasal 5 ayat (1)
juga berhak:
1. Bantuan medis;
2. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

104
Rehabilitasi Psikososial:
Dalam penjelasannya yang dimaksud
dengan bantuan rehabilitasi Psiko –sosial
adalah bantuan yang diberikan oleh
psikolog kepada korban yang menderita
trauma atau masalah kejiwaan lainnya
untuk memulihkan kembali kondisi
kejiwaan korban.

105
c. Melalui LPSK dapat mengajukan kompensasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bahwa:
 “Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke
pengadilan berupa:
1. Hak atas kompensasi dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
2.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang
menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana.

106
d. Mendapatkan perlindungan keamanan memberikan
keterangan tanpa hadir di persidangan, sebagaimana di
maksud dalam Pasal 9 bahwa:

1. Saksi
dan/atau korban yang berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa;

2. Saksi dan/atau korban dapat memberikan


kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan
dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang memuat
tentang kesaksian tersebut;

3. Saksi/dan atau korban dapat pula didengar


kesaksiaannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan di dampingi oleh pejabat yang
berwenang;
107
e. Mendapatkan perlindungan hukum untuk
tidak dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata, sebagaimana di maksud
dalam Pasal 10 bahwa:
Saksi, korban dan/atau pelapor tidak
dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian
yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
3) Ketentuan sebagaimana di maksud
ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi,
korban dan pelapor yang memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.
108
f. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi
dan Korban
1. Pasal 28, bahwa bentuk perlindungan
saksi dan/atau korban yaitu
perlindungan:
A. Fisik;
B.Non-fisik;
C.Hukum
109
Perlindungan Fisik

Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk


perlindungan fisik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a),
meliputi: keamanan, pengawalan dan
penempatan ditempat rumah aman;

110
Perlindungan-non Fisik

Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk


perlindungan non-fisik sebagaimana
dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan
mengadakan pelayanan jasa: Psikologi,
dokter, psikiater, ahli spritual,
rohaniawan, pekerja sosial dan
penerjemah

111
Perlindungan hukum
 Pasal31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum
sebagaimana dimaksud pasal 28 huruf (c), diberikan
dengan mengadakan: pelayanan jasa penasehat hukum,
pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat
memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses
peradilan pidana yang sedang dan telah dihadapi,
memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan
kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau
perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan
keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan
tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat),
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus,
medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan
mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan.

112
Perlindungan Darurat

2). Berdasarkan Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan


darurat yakni:
 a).Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap
saksi dan/atau korban, LPSK dapat melakukan perlindungan
darurat;
b). Perlindungan yang bersifat darurat sebagaimana di
maksud pada ayat (1) melakukan tindakan pengamanan,
pengawalan, menempatkan pada rumah aman, serta dapat
memberikan perndampingan terhadap saksi dan/atau korban
dalam pemeriksaan pada tingkat proses peradilan pidana;
 C). Ketentuan persyaratan baik formil maupun materiil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 sementara
dapat diabaikan

113
3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 tentang Tata cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

A. Perlindungan adalah suatu bentuk


pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan
untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi,
dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan
pada tahap penyelidikan. penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan (Pasal 1 angka 1 ).
114
B. Ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan adalah segala bentuk perbuatan
memaksa yang bertujuan menghalang-
halangi atau mencegah seseorang,
sehingga baik langsung atau tidak
langsung; mengakibatkan orang tersebut
tidak dapat memberikan keterangan yang
benar untuk kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1
angka 4).

115
C. Bentuk Perlindungan: (Pasal 4).
1.perlindungan atas keamanan pribadi
korban atau saksi dari ancaman fisik dan
mental;
2. perahasiaan identitas korban atau
saksi;
3. pemberian keterangan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa
bertatap muka dengan tersangka,

116
D. Pihak yang melakukan perlindungan
adalah aparat penegak hukum dan aparat
keamanan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) bahwa:
“Setiap korban atau saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh perlindungan dari
aparat penegak hukum dan aparat
keamanan”.

117
e. Jangka waktu perlindungan sejak pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat
(2) bahwa:
“Perlindungan oleh aparat penegak hukum
dan aparat keamanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”.
118
4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat
A. Korban adalah adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahli warisnya (Pasal 1 angka 3)
119
B. Korban atau ahli warisnya atas
pelanggaran hak berat mendapatkan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Pengertian kompensasi (Pasal 1 angka 4),
Restitusi (Pasal 1 angka 5) dan Rehabilitasi
(Pasal 1 angka 6) sama dengan dalam UU
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia di atas.

120
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan kepada Saksi dan Korban.

A. Mendapatkan Kompensasi (Pasal 2)


1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat berhak memperoleh kompensasi;
2. Permohonan untuk memperoleh kompensasi
sebagaimana di maksud pada ayat (1) diajukan
oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan
surat kuasa;
3.Permohonan untuk memperoleh Kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas
kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui
LPSK.
121
B. Mendapatkan Restitusi (Pasal 3)
1. Korban tindak pidana berhak
memperoleh Restitusi;
2. Permohonan untuk memperoleh
Restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh Korban,
Keluarga, atau kuasanya dengan surat
kuasa khusu;
3. Permohonan untuk memperoleh
Restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai
cukup kepada pengadilan melalui LPSK 122
Ketentuan Pidana
Genosida: 10 (min)-25 th (max),
seumur hidup, mati.
KTK: 10 (min)-25 th (max),
seumur hidup, mati; utk;
pembunuhan, pemusnahan,
deportasi, perampasan
kemerdekaan, apartheid
KTK: 5 (min)-15 (max) utk
perbudakan, penyiksaan
 KTK: 10 – 20 th utk perkosaan &
kejahatan seksual, penganiayaan /
persekusi, penghilangan orang
Percobaan / Permufakatan /
Pembantuan: Sama
123
Pengadilan HAM Ad Hoc

Untuk Peristiwa sebelum


UU 26 berlaku
Dibentuk dgn Keppres
atas usul DPR
Berada di lingkungan
Pengadilan Umum

124
LOKASI PENGADILAN HAM

Jakarta Pusat : DKI Jkt, Jabar, Banten,


Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar,
Kalteng
Surabaya : Jatim, Jateng, DIY, Bali,
Kalsel, Kaltim, NTB, NTT
Makasar : Sulsel, Sultra, Sulteng,
Sulut, Maluku, Maluku Utara, Irja
Medan : Sumut, Aceh, Riau, Jambi,
Sumbar

125
Keppres RI No. 53 tahun 2001

Pengadilan HAM berwenang memeriksa


dan memutus perkara pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Timor Timur dalam
wilayah hukum Liquica, Dili dan
Suai pada bulan April 1999 dan
bulan September 1999 dan yang
terjadi di Tanjung Priok pada bulan
September 1984

126
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat
Putusan Kasus Timor Timur (1)
Terdakwa Keputusan

Abilio Soares (mantan Gubernur Timtim) Divonis 3 tahun di PN


Dikuatkan di tingkat PT
MA menolak kasasi-nya
MA mengabulkan PK-nya (ada novum)

Timbul Silaen (mantan Kapolda Timtim) Bebas, Jaksa mengajukan Kasasi namun tidak dapat
diterima
Herman Sedyono, Liliek K., Gatot Subiakto, Bebas, Jaksa Mengajukan Kasasi namun tak dapat
A. Syamsudin, Sugito diterima
Eurico Guterres (mantan panglima milisi pro Divonis 10 tahun di tingkat PN
integrasi) Dikurangi menjadi 5 tahun di tingkat PT
Kembali dipidana 10 tahun di tingkat Kasasi
Dibebaskan setelah 2 thn menjalani pidana karena
PK dikabulkan

Endar Priyanto (mantan Dandim 1627 Dili) Bebas 127


Kasasi Jaksa tak dapat diterima
Putusan kasus Timor Timur (2)

Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Bebas


Martin Kasasi Jaksa tak dapat diterima

Yayat Sudrajat Bebas. Kasasi Jaksa tak dapat diterima

Tono Suratman (Mantan Danrem Wira Bebas


Dharma) Kasasi Jaksa tak dapat diterima

Adam Damiri 3 tahun


(mantan Pangdam Udayana) Di tingkat PT dibebaskan

128
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Timbul Silaen

Dakwaan :
Failure to act (tanggungjawab komando)
Tidak menyerahkan pelaku
Melakukan kejahatan kepada kemanusiaan
Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
Vonis : Bebas
Alasan : saksi tidak merasa aman, intimidasi
di dalam dan di luar pengadilan, terdakwa
dianggap tidak memiliki pengendalian
efektif terhadap milisi, dakwaan lemah, dll

129
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc :
Kasus Abilio Soares

Dakwaan :
Mengetahui terjadinya pelanggaran HAM
berat oleh bawahannya namun tidak
mengambil tindakan yang efektif
Membentuk dan mendanai Pamswakarsa
pro integrasi
Tuntutan : 10 tahun 6 bulan
Vonis : 3 tahun (namun dibebaskan di
tingkat kasasi)

130
PENGADILAN HAM KASUS TANJUNG
PRIOK
Kasusterjadi pada 12 – 13
September 1984 dan berlanjut
dengan penangkapan dan
penahanan besar-besaran

131
Putusan Kasus Tanjung Priok

1. Mayjen Sriyanto (mantan perwira


Kodim Jakut) > bebas
2. Kapten Sutrisno Mascung (Danru
Arhanudse 6) > divonis 3 tahun, bebas
di Banding dan kasasi
3. Mayjen Pranowo (Dan Pomdam Jaya)
> bebas
4. Mayjen R.A. Butar-Butar (Dandim
Jakut) > divonis 10 tahun, bebas di
banding dan kasasi
5. Mantan Pangab Benny Moerdani?
Mantan Pangdam Jaya Try Soetrisno?
132
Tuntutan : 10 tahun penjara
Tingkat pertama Kapten Sutrisno Mascung : 3 tahun
penjara, anak buahnya 2 tahun penjara (Agustus 2004)
Selain hukuman kurungan badan, para terdakwa juga
diharuskan mengganti biaya kerugian immateriil dan
materiil sebesar Rp 1 miliar kepada seluruh korban yang
menolak islah. Majelis hakim juga memerintahkan negara
mengganti rugi kepada sekitar 15 korban Tanjungpriok yang
tidak mengikuti islah sebesar Rp 19 miliar dan
merehabilitasi nama mereka
Tingkat banding : Dibebaskan (Mei 2005)
Tingkat kasasi : Dibebaskan (memperkuat banding) Februari
2006

Kapten Sutrisno Mascung


dan 10 anak buahnya
Tingkat Pertama (April 2004) : 10 tahun
penjara
Tingkat banding (8 Juni 2005) : bebas
Tingkat kasasi (MA) : bebas

Putusan Mayjen Rudolf A. Butar


Butar
Pada tingkat pertama, Terdakwa Rudolf A.
Butar Butar terbukti melanggar pasal 42 (2) a
dan b Undang-undang No.26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Menurut majelis, berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap selama persidangan, jelas
menunjukkan adanya pembunuhan terhadap
warga negara sipil. Saat itu, terdakwa
mengetahui benar pasukan regu III
Arhanudse melakukan penembakan.
Pasal 42
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan
akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
◦ komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan
saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
◦ komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat
yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Pasal 42
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab
secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak
melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan
benar, yaitu:
◦ atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang
secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
◦ atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Dari empat berkas perkara yang diajukan ke Pengadilan
HAM Tanjung Priok, pengadilan telah menghasilkan dua
jenis putusan yang satu sama lain saling bertentangan.
Pertama, putusan yang menyatakan bahwa dalam
peristiwa Tanjung Priok telah terjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan berupa pembunuhan, percobaan
pembunuhan dan penyiksaan sebagaimana yang
didakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Kedua, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
dalam peristiwa Tanjung Priok tidak terjadi kejahatan
terhadap kemanusiaan.

(ELSAM, Final Progress Pengadilan


HAM Tanjung Priok)
Dalam putusan pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Majelis
Hakim, unsur-unsur yang terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
peristiwa Tanjung Priok adalah : adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil,
serangan yang meluas atau sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua,
unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi. Mengenai unsur meluas atau sistematik ini,
Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum
yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan
bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur dari
kejahatan kemanusiaan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan
oleh Jaksa Penuntut Umum atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di
Jalan Yos Soedarso, Tanjung Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika
atau spontan antara aparat dan massa (bandingkan dengan tuntutan JPU).
Dengan demikian, bentrokan yang terjadi secara spontan atau seketika bukan
merupakan delik adanya kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran HAM
yang berat karena bentrokan seketika atau spontan merupakan ciri yang biasa yang
terjadi di dalam kejahatan pada umumnya.

(ELSAM, Final Progress Pengadilan


HAM Tanjung Priok)
Dalam putusan model kedua ini, Majelis Hakim
menyatakan bahwa suatu serangan dapat dikatakan
bersifat meluas atau sistematik apabila serangan
tersebut dilakukan atas dasar rencana yang telah
matang dipikirkan, merupakan operasi yang
dipersiapkan dan direncanakan untuk membunuh
penduduk sipil sehingga terjadi pembunuhan
(sebagai salah satu bentuk dari kejahatan terhadap
kemanusiaan - Pen) akibat kegiatan operasi yang
telah direncanakan sebelumnya tersebut. Bukan
merupakan bentrok sipil yang terjadi seketika.

(ELSAM, Final Progress Pengadilan


HAM Tanjung Priok)
VONIS PENGADILAN HAM
KASUS ABEPURA
Bermula dari serangan 30 warga Papua ke
Mapolsek Papua di Abepura pada 7
Desember 2000 dengan dalih akan
melapor, namun malah menyerang
petugas.
Serangan oknum warga meluas ke wilayah
permukiman, bisnis dan pemerintahan,
korban tewas dan luka kian banyak.
Brimob Polda Papua dan Polres Jayapura
segera melakukan pengejaran dan
penangkapan. Dalam pengejaran dan
penangkapan tersebut sejumlah warga
ditangkap dan tewas di tempat.

141
Pengadilan HAM kasus Abepura (2)
Dan Brimob Polda Papua Johny Wainal Usman
dan Kapolres Jayapura Kombes Daud
Sihombing jadi tersangka.
Dalam Pengadilan HAM di Makassar kedua
Terdakwa dibebaskan dalam kasus
terbunuhnya delapan mahasiswa dan melukai
ratusan lainnya di sejumlah asrama mahasiswa
di Abepura 7 Desember 2000 dengan alasan :
tak terpenuhi unsur ‘langsung terhadap
penduduk sipil’, ‘kebijakan penguasa’ dan
‘meluas serta ‘sistematik’
(Harifin Tumpa, et.al, 2010)

142
Beberapa Kelemahan
Pengadilan HAM RI
 Legislasi(UU 26/2000)
 Expertise
 Independency & Impartiality
 Infra Structure
 Budaya Menghormati Proses
Pengadilan

143
Kelemahan UU 26/2000 (1)

Definisi ‘Pelanggaran HAM Berat’


kurang jelas
Tidak memasukan ‘Kejahatan Perang’
seperti halnya ICC
 Tidak jelasnya definisi ‘Meluas’
(widespread), ‘Sistematik’
(systematic) dan ‘diketahui’
(intention)
Tidk dilengkapi ‘elements of crime’

144
Kelemahan UU No. 26/ 2000 (2)

Terjemahan ‘directed against any


civilian population’ : ditujukan secara
langsung, lalu populasi sama tidak
dengan penduduk? (menimbulkan
ketidakpastian hukum)
Tidak dicantumkan ‘perbuatan tidak
manusiawi lainnya …’
Terjemahan ‘persecution’:
penganiayaan?
Pembatasan 180 hari

145
Hukuman Minimum
Tdk ada pre trial chamber
Tidak mempunyai hukum acara
tersendiri tetapi masih digunakan
KUHAP

146
Infra Structure

Kantor & manajemen tersendiri


Ruang sidang yg aman & memadai
Galeri publik
Fasilitas keamanan saksi, hakim jaksa
Aparat keamanan

147
Budaya Menghormati
Persidangan

Gangguan thdp independensi &


impartialitas
Ketepatan waktu
Kehadiran pengunjung

148

Anda mungkin juga menyukai