Anda di halaman 1dari 80

HUKUM PERLINDUNGAN

KONSUMEN
Latar belakang
• Undang-undang perlindungan konsumen tidak terlepas dari
gerakan perlindungan konsumen di seluruh dunia. Sebagimana
diketahui perkembangan perekonomian yang pesat telah
menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi. Diversifikasi produk yang sedemikian luas dan dengan
dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, telah
menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan
jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara.
• Perubahan pemasaran tersebut membawa pengaruh pula tentang
konsep perlindungan konsumen secara global. AZ. Nasution
menggambarkan fenomena ini dengan “Dunia yang secara teknis
dan psikologis makin mengecil menyebabkan denting garpu disalah
satu pojok dunia terdengar jelas di pojok lainnya.”
• Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan
jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi
domestik maupuni impor. Kondisi yang demikian disatu sisi sangat
bermanfaat bagi konsumen, karena kebutuhan yang diinginkan dapat
dipenuhi dengan disertai kebebasan untuk memilih variasi barang dan
jasa tersebut. Namun, di sisi lain akan dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang di mana konsumen pada
posisi yang lemah. Konsumen hanya dijadikan obyek aktifitas bisnis
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha
• Fenomena itu kemudian mengilhami gerakan perlindungan konsumen di
seluruh dunia. Oleh karena itu lahirnya gerakan konsumen di seluruh
dunia merupakan bukti bahwa hak-hak masyarakat (konsumen)
dijunjung tinggi.
Konsep Perlindungan
Konsumen
• Pengertian Pelaku Usaha menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah:
• “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
• maupun badan usaha hukum yang didirikan dan bukan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”Pengertian Pelaku Usaha yang diatur dalam pasal tersebut berarti
sangat luas, yaitu meliputi setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang melakukan usaha di Indonesia.
• Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen)
menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini
sama dengan pelaku usaha.
3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
• Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen  disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus,
memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
•  konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan
posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau
dilanggar oleh pelaku usaha.
Tujuan perlindungan
konsumen
• Bagi produsen:
1. Azaz Manfaat, dimana dalam proses perdagangan
bukan hanya konsumen yang mendapatkan manfaat,
akan tetapi pelaku usaha pun akan mendapatkan
manfaatnya.
2. Azas keadilan, bahwa pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual dalam
era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. 
3. Azaz Keselamatan atau keamanan dari produk atau jasa.
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan jasa yang digunakan
4. Azaz Kepastian,  
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
3. Asas Keseimbangan;
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
Pasal 3 Undang – undang Nomor 8 Tahun 1999
• Bagi Konsumen
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
Perlindungan konsumen tidaklah senantiasa selalu berkaitan dengan
penegakan norma-norma UUPK. Sebelum masuk ke arah perlindungan
penegakan hukum, perlindungan konsumen lebih diarahkan untuk
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
Kesadaran konsumen akan pentingnya perlindungan konsumen
merupakan salah satu bentuk mencegah terjadinya kerugian yang akan
timbul. Dengan meningkatnya perlindungan kesadaran konsumen,
maka konsumen akan cenderung lebih berhati-hati dalam
mengonsumsi atau perlindungan menggunakan barang dan/atau jasa.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan jasa.
Konsumen dalam posisinya yang lemah menjadi objek dari pelaku
usaha dan sering menyebabkan posisi tawar lemah jika
dibandingkan dengan pelaku usaha. Untuk itu, paradigmanya
adalah konsumen harus sejajar dengan pelaku usaha. Konsumen
bukan lagi menjadi objek, melainkan menjadi salah satu subyek
dalam kegiatan perdagangan, di mana baik pelaku usaha maupun
konsumen merupakan 2 (dua) pihak yang sejajar dan saling
membutuhkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengangkat harkat dan martabat konsumen adalah dengan
perlindungan mengampanyekan konsumen cerdas.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Pemberdayaan konsumen merupakan salah satu cara efektif
untuk mewujudkan perlindungan terhadap konsumen. Salah
satu cara pemberdayaan konsumen yakni membekali
konsumen dengan pengetahuan perlindungan tentang hukum
perlindungan konsumen, sehingga konsumen diharapkan
memiliki pengetahuan dalam menuntut perlindungan hak-
haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
Pemberlakuan UUPK telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban
bagi konsumen dan pelaku usaha. Hak dan kewajiban tersebut
menjadi pedoman yang harus ditaati oleh konsumen dan pelaku
usaha. Pelanggaran terhadap norma-norma UUPK membawa
konsekuensi adanya kemungkinan gugatan baik dari seorang atau
sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat(LPKSM), maupun pemerintah atau instansi
terkait. UUPK telah memberikan kemudahan-kemudahan serta
akses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK selain
penyelesaian sengketa konsumen di pengadilan.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang,
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Pengertian
• Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas –asas dan
kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara
penyedia dan penggunaanya dalam bermasyarakat.
• Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, hukum konsumen
adalah : keseluruhan asas-asas dan kaidah – kaidah yang mengatur
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang
dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunaannya, dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan batasan berikutnya adalah
batasan hukum perlindungan konsumen, sebagai bagian khusus dari
hukum konsumen, dan dengan penggambaran masalah yang telah
diberikan dimuka
Dasar Hukum Konsumen
di Indonesia
• Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang
menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di
Indonesia, yakni:
• Pertama, Undang-Undang Dasar 1945
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan
pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem
pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi
barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
• Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Lahirnya Undang-undang ini memberikan
harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian
yang diderita atas transaksi suatu barang dan
jasa. UUPK menjamin adanya kepastian
hukum bagi konsumen.
Susunan UUPK
Pihak-pihak dalam
UUPK
• Konsumen
• Pelaku Usaha
• Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
• LSM
• Penyidik
• Pengadilan
• Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
• Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
• Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dan konsumen.
• Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia disingkat YLKI
adalah organisasi non-pemerintah dan nirlaba yang
didirikan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1973. Tujuan
berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran
kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya
sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan
lingkungannya.
• Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
• Pengadilan atau Mahkamah adalah
sebuah forum publik, resmi, di mana kekuasaan
publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk
menyelesaikan perselisihan dan
pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh,
administratif, dan kriminal di bawah hukum.
Pengertian Pelaku
Usaha
• Pengertian
• Apakah perantara pengusaha di luar
lingkungan perusahaan termasuk
pelaku usaha?
Pengertian

• Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Apakah perantara pengusaha di luar
lingkungan perusahaan termasuk
pelaku usaha ?

• Termasuk, Bedasarkan pengertian Dalam Pasal 1 angka 3


UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang berbunyi “Pelaku Usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.


Hak Pelaku Usaha
• Pasal 6
• Hak pelaku usaha adalah:
• hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
• hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
• hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
• hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang
diperdagangkan;
• hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban Pelaku
Usaha
• Pasal 7
• Kewajiban pelaku usaha adalah:
• beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
• memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
• memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
• menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
• memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
• memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
• memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan yang dilarang
dilakukan pengusaha
• Pasal 8
• Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
– tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
– tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
– tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
– tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut,
– tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
– tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
– tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
– tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
– tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
– tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
• Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
• Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
• Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta
wajib menariknya dari peredaran.
• Pasal 9
• Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak
benar, dan/atau seolah-olah:
– barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu,
gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
– barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
– barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
– barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
– barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
– barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
– barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
– barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
– secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
– menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek
sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
– menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
• Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
• Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan
pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
• Pasal 10
• Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai:
• harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
• kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
• kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa;
• tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
• bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
• Pasal 11
• Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
• menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu;
• menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung
cacat tersembunyi;
• tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud
untuk menjual barang lain;
• tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup
dengan maksud menjual barang yang lain;
• tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
dengan maksud menjual jasa yang lain;
• menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
• Pasal 12
• Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau
diiklankan.
• Pasal 13
• Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
• Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat,
obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain.
• Pasal 14
• Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
• tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
• mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
• memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
• mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
• Pasal 15
• Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
• Pasal 16
• Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
• tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
• tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
• Pasal 17
• Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
– mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau
jasa;
– mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
– memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
– tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
– mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
– melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
• Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat 1.
Prinsip tanggung jawab

Ada 5 Prinsip Tanggung jawab, yaitu


1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2.  Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
(Pembuktian terbalik)
3.  Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4.  Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)
5.  Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
1. Prinsip Tanggung Jawab
Berdasarkan Kesalahan

• Kalau yang digugat tidak terbukti maka yang tergugat bebas, harus
dapat dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan tergugat,
• Pasal 1365 KUHper (perbuatan melawan hokum); Unsur-unsurnya
1. adanya perbuatan
2. Adanya unsure kesalahan
3. adanya kerugian yang diderita
4. adanya hub kausalitas antara kesalahan dan kerugian
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu
Bertanggung Jawab
(Pembuktian terbalik)

• Tergugat selalu dianggap bertanggung


jawab ,sampai ia dapat membuktikan, ia
tidak bersalah. Jadi beban pembuktian
ada pada si tergugat
3. Prinsip Untuk Selalu Tidak
Bertanggung Jawab

• Hanya dikenal dalam lingkup transaksi


konsumen yang sangat terbatas, dan
pembatasan demikian biasanya secara
common sense dapat dibenarkan contoh
pada hokum pengangkutan pada
bagasi/kabin tangan, yang didalam
pengawasan konsumen sendiri
4. Prinsip Tanggung Jawab
Mutlak (strict liability)
• Biasanya prinsip ini diterapkan karena (1), Konsumen tidak dalam posisi
menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses
produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih
dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas
kesalahannya,missal dengan asuransi atau menambah komponen biaya
tertentu pada harga produknya, (3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih
berhati-hati.
• Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang)
yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
• Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: (1) melanggar
jaminan, missal khasiat tidak sesuai janji, (2) Ada unsure kelalaian
(negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3)
Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Prinsip Tanggung Jawab
Dengan Pembatasan

• Contoh dalam hal cuci cetak film , “bila


film yang dicuci hilang maka konsumen
hanya dibatasi ganti kerugian nya
sebesar sepeluh kali harga.
Kontrak Baku
Hubungan klausula baku
dengan pelaku usaha
• Klausula baku dibuat oleh pihak yang
kedudukannya lebih kuat,seperti pelaku
usaha. Hubungan klausula baku itu
sendiri dengan pelaku usaha adalah
dimana klausula baku merupakan
perjanjian baku yang berarti patokan
dan acuan pelaku usaha.
• Isi klausula baku • Jika konsumen
sering kali menolak klausula baku
merugikan pihak tersebut ia tidak akan
yang menerima mendapatkan barang
klausula baku ataupun jasa yang
tersebut, yaitu pihak dibutuhkan karena
konsumen karena klausula baku juga
dibuat secara akan ditemui di tempat
sepihak. lain.
• Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju
terhadap isi klausula baku walaupun memojokannya. Bagi para
pengusaha atau pelaku usaha ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien,praktis, dan cepat.tetapi konsumen
justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena
hanya dihadapkan pada satu pilihan, yaitu menerima dengan
berat hati (Abdulkadir Muhammad, 1992:6)
• Penjelasan mengenai kontrak baku
secara detail

Istilah perjanjian baku atau kontrak baku merupakan terjemahan


dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan. Mariam
Darus mendefinisikan baku adalah perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Darus
Badrulzaman, 1978: 48). Hondius merumuskan perjanjian baku
sebagai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa
membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang
sifatnya tertentu (Mariam Darus Badrulzaman, 1978: 48).
• Sudaryatmo (1994: 93) mengungkapkan karakteristik klausula
baku sebagai berikut:
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang
posisinya relatif lebih kuat dari kosnumen.
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan
isi perjanjian.
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.
d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong
oleh faktor kebutuhan.
• Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan,
klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara seiphak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen (Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
• Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada
prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan
konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak
mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar
dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen
hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut
begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan.
beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi
beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.
• Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab
seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena
kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh
perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti kerugian
dalam hal perbuatan iangkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan
apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal itu (Zulham,
2013: 68). Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang,
maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang
betul-betul bebas untuk menuntukan apa yang diinginkannya dalam
perjanjian. Dengan hal demikian, pihak yang memmiliki posisi yang
lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk
menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku.
Sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihak yang
terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam bentuk
perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian telah dirancang
oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat (Zulham, 2013: 68).
• Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah
pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, tentu saja dapat
dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausulaklausula
yang menguntungkannya. Serta bukan tidak mungkin juga
meringankan atau menghapuskan beban dan kewajiban
tertenty yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya (Zulham,
2013: 68).
KONSUMEN
• Istilah konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Secara yuridis formal
pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ”konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan”.
PENGERTIAN
KONSUMEN
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau
consument/konsument (Belanda).Pengertian tersebut secara harfiah
diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau
seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah
barang”.Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen”
yang berasal dari consumerberarti ”pemakai”, namun dapat juga
diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang
cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai,
bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum
dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.Perancis
berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang
mengartikan konsumen sebagai ”the person who obtains goods or
services for personal or family purposes”.
Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen
hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk
keperluan pribadi atau keluarganya.1815 Celina Tri Siwi Kristiyanti,
Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.
2216 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen
(Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media,
Bandung, 2008, hlm. 717 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., h lm.
2318 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi
Revisi 2006, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.
3 India juga mendefinisikan konsumen dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen India yang menyatakan ”konsumen adalah
setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut
harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang
mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial.
HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN BAGIAN DARI
HUKUM KONSUMEN
• HUKUM KONSUMEN : ASAS-ASAS DAN KAIDAH-KAIDAH HUKUM
YANG MENGATUR HUBUNGAN DAN MASALAH ANTARA BERBAGAI
PIHAK SATU SAMA LAIN BERKAITAN DENGAN BARANG DAN ATAU
JASA KONSUMEN
– HAK DAN KEWAJIBAN (UMUM), MISALNYA KEWAJIBAN KONSUMEN
MEMBAYAR

• HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN : HUKUM YANG MEMUAT ASAS-


ASAS ATAU KAIDAH KAIDAH BERSIFAT MENGATUR , DAN JUGA
MENGANDUNG SIFAT YANG MELINDUNGI KEPENTINGAN
KONSUMEN
– HAK UNTUK MENYAMPAIKAN KELUHAN

• PERLINDUNGAN KONSUMEN: SEGALA SESUATU YANG MENJAMIN


ADANYA KEPASTIAN HUKUM UNTUK MEMBERI PERLINDUNGAN
BAGI KONSUMEN (PASAL 1 AYAT 1 UUPK)
– PERLINDUNGAN HUKUM: PREVENTIF DAN REPRESIF
4 KEPENTINGAN
KONSUMEN

4 HAK DASAR

J.F Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen,


adalah sebagai berikut:
a. Hak memperoleh keamanan (the tight to safety)
b. Hak memilih (the right to choose)
c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)
d. Hak untuk didengar (the right to be heard) .
KONSUMEN YANG DILINDUNGI
(PASAL 1 BUTIR 2 UUPK)

• setiap orang pemakai barang dan/atau jasa


yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.
HAK KONSUMEN

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8


Tahun 1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-
hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
• 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak- hak
konsumen yang dipandang sebagai jalan masuk yang tepat
dalam masalah etis
CONTOH:
•     Konsumen berhak memilih produk yang akan dibeli.
         Contoh kasus ini adalah ketika seseorang berobat ke
dokter. Biasanya, dokter akan segera menuliskan resep
pembelian obat merek tertentu. Dan bukan rahasia lagi bahwa
untuk tiap obat yang ditulis oleh si dokter, dia akan mendapatkan
insentif dari perusahaan farmasi yang memproduksi obat
tersebut. Pasien sebagai konsumen biasanya cuma bisa pasrah
ketika harus menebus obat tersebut. Dokter yang peduli kepada
pasien, harusnya bisa membiarkan sang pasien memilih obat
yang akan dibelinya. Misalnya si pasien sakit flu. Obat flu itu
yang dijual pasti beragam. Dokter bisa merekomendasikan
(misal) 3 yang paling baik. Setelah itu biarkan pasien yang
memilih sesuai kemampuannya.
• Konsumen berhak mendapatkan edukasi tentang pembelian
mereka
Contohnya, pembelian sebuah camera digital merek canon, tipe
Powershot A400. Sebagai orang awam, saya selaku konsumen
akan mencoba menggunkan camera tersebut. Tetapi saya akan
terbantu jika mendapatkan buku petunjuk . Tentang bagaimana
menggunaan camera, baterai apa yang harus digunakan,
memory card seperti apa, dan tutorial menggunakan camera
semaksimal mungkin. Banyak kesalhan yang dilakukan produsen
yang tidak menyediakan informasi yang cukup dan membiarkan
konsumen nya untuk belajar sendiri
KEWAJIBAN KONSUMEN
• Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan  barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2.Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
3.Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut
DASAR GUGATAN ATAS
TANGGUNG JAWAB PRODUK
(jelaskan)
• MELANGGAR JAMINAN
(BREACH OF WARRANTY)
• ADA UNSUR KELALAIAN
(NEGLIGENCE)
• MENERAPKAN TANGGUNG
JAWAB MUTLAK (STRICT
LIABILITY)
UPAYA PENYELESAIAN
SENGKETA
UPAYA PENYELESAIAN
SENGKETA
• PENYELESAIAN SECARA NON LITIGASI (JELASKAN)
Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan
(hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian
sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi),
yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
 
• Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian
masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai
berikut:
• a.    Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada
klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
• b.    Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
• c.    Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator.
• d.    Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
• e.    Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat
teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya
• Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase,
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli
merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Artinya, bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi
meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi
bagian dari proses litigasi, seperti mediasi yang dilakukan di
pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan litigasi itu
sendiri adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang
dilakukan di muka pengadilan.
• SECARA LITIGASI
Litigasi adalah proses menyelesaikan perselisihan hukum
di pengadilan dimana setiap pihak yang bersengketa
mendapatkan kesempatan untuk mengajukan gugatan-
gugatan dan bantaha. Dalam Undang-undang senidri tidak
memeberikan defenisi litigasi. Padal 6 AYAT (1) UU No. 30
Tahun 1999 tentang Alternatif sengketa berbungi :
“ Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan
oleh pihak melaui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan menyampingkan
penyelesaian secara litigasi di perngadilan negeri “
Lembaga penyelesaian sengketa litigasi ada dua yaitu pengadilan
umum dan pengadilan niaga.
1 Pengadilan Umum
Pengadilan negeri berwenang memeriksa sengketa,
mempunya karakteristik :
a. proses sangat formal
b. keputusan dibuat pleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(hakim)
c. Para pihaj tidak terlibat dalam pembiatan keputusan
d.Sifar kepurtusan memaksa dan mengikat
e. Orientasi kepada fakta hukum
f.Persidangan bersifat terbuka
2. Pengadilan niaga
Pengadilan niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadolan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan
memutuskan Permohonan Pernyaan dan Penundaan Kewajiban
Pmebayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI .Pengadillan memiliki
karakteristik sebagai berikut :
a.Prosesnya sangat formal
b. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
c. Sifat keputusan memaksa dan mengikat
d. Para pigak tidak terlibar dalam pembuatan keputusan
e. Orientasi pada fakta hukum
f. Proses persidangan bersifat terbuka
g. Waktu singkat.
Kebaikan dari sisitem ini adalah ruang lingkup
pemeriksaanya yang lebih luas kerena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
SANKSI-SANKSI
• SANKSI PERDATA: PEMBERIAN GANTI KERUGIAN
(PS 19 UUPK)
• SANKSI ADMINISTRASI: PENETAPAN GANTI RUGI
YANG MENJADI KEWENANGAN BPSK SEBESAR
RP.200.000.000,-(PS 60 UUPK)
• SANKSI PIDANA: PIDANA PENJARA DAN DENDA
(PS 62 UUPK)
• PIDANA TAMBAHAN (PS 63 UUPK)
• PERAMPASAN BARANG TERTENTU
• PENGUMUMAN KEPUTUSAN HAKIM
• PEMBAYARAN GANTI RUGI
• PERINTAH PENGHENTIAN KEGIATAN TERTENTU
YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA KERUGIAN
KONSUMEN
• KEWAJIBAN PENARIKAN BARANG DARI
PEREDARAN
• PENCABUTAN IJIN USAHA
BPSK
(Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen )
• Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai
BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen
berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota
di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-
undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di
luar lembaga pengadilan umum, BPSK beranggotakan unsur
perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha
atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri,
dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen,
BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang
bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau
kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat
dan penyelesaian akhir bagi para pihak.[1]
• Tugas BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase
atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun
tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan
pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku
usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi
ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran
terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
• mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau
alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian
di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa
konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
membentuk majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah
anggota majelis tiga orang terdiri dari seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang
anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur
pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta
dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final
dan mengikat
• BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu
duapuluh satu hari kerja setelah gugatan diterima; serta dalam
waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima putusan, para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan
putusan kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan
dalam jangka waktu paling lambat empatbelas hari kerja sejak
menerima pemberitahuan putusan dianggap menerima putusan
BPSK dan apabila setelah batas waktu ternyata putusan BPSK
tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK dapat menyerahkan
putusan tersebut kepada pihak penyidik dengan penggunaan
Putusan Majelis BPSK sebagai bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik untuk melakukan penyidikan dengan penggunaan Putusan
majelis BPSK dapat dimintakan penetapan eksekusinya kepada
Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.a
• Bantahan atas putusan Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan
putusan atas keberatan pelaku usaha dalam waktu paling
lambat duapuluh satu hari sejak diterimanya keberatan dari
pelaku usaha; dan terhadap putusan Pengadilan Negeri, para
pihak dalam waktu paling lambat empatbelas hari dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia;
kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib
mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat tigapuluh
hari sejak menerima permohonan kasasi.
YLKI
(Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia)
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (disingkat: YLKI)
merupakan organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan
independen yang didirikan pada tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan
YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis
konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi
dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. Pada awalnya, YLKI
berdiri karena keprihatinan sekelompok ibu-ibu akan kegemaran
konsumen Indonesia pada waktu itu dalam mengkonsumsi produk
luar negeri. Terdorong oleh keinginan agar produk dalam negeri
mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia maka para pendiri
YLKI tersebut menyelenggarakan aksi promosi berbagai jenis hasil
industri dalam negeri dan mendukung kepedulian masyarakat akan
penggunaan produk-produk dalam negeri.
• Kedudukan dan Tugas YLKI
• Berdasarkan Pasal 1 bab 9 UU Perlindungan Konsumen,
kedudukan YLKI sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen.
• Tugasnya meliputi kegiatan [Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen]:
• menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
• memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
• bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
• membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
• melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
• Hak Konsumen adalah :
– hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
– hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
– hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
– hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
– hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
– hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
– hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
– hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
– hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
• Kewajiban/Tanggungjawab Konsumen adalah :
• membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
• beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
• membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.

Anda mungkin juga menyukai