Anda di halaman 1dari 160

MODUL PENDIDIKAN ADVOKAT

HUKUM ACARA PERDATA (B)

Oleh : Prof. Dr. H. HASIM PURBA,


SH.,M.Hum
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara

Sabtu, 4 September 2021


MEDAN 1
I. PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERDATA.
A. SOMASI
 Somasi = summation letter; legal warning, atau legal notice
atau sering diartikan surat peringatan.
 Dalam praktek dibanyak negara, dikenal kebiasaan
mengirimkan somasi tersebut diantara pihak yang berperkara.
Membuat surat somasi dan mengirimkannya kepada pihak
lawan si klien, telah berkembang dalam praktek penanganan
berperkara oleh para pengacara/advokat.
 Walaupun harus dipahami bahwa tindakan/ kegiatan
mengirimkan surat somasi, jelas bukan hukum formal atau
tidak ke dalam ranah hukum acara namun dalam praktek
tahap penyampaian somasi sudah merupakan kebiasaan.
 Karena bukan merupakan upaya formal (walaupun surat
somasi ini biasanya berisikan ancaman untuk membawa
perkara ke pengadilan), somasi sebenarnya dapat diartikan
niat baik dari sipengirimnya. 2
 Niat baik tersebut dimaksudkan agar pihak lain yang disomasi
dapat memahami posisi dan pandangan/ analisa hukum dari si
pengirim surat somasi.
 Mengenai format/ bentuk surat somasi itu bebas, dapat saja
memuat usulan penyelesaian masalah disamping memuat teguran
dari si pengirim kepada pihak lawan.
 Hal yang umum dimuat dalam surat somasi adalah adanya
“ancaman” atau penegasan bahwa pihak pengirim surat somasi
akan membawa kasus ke jalur hukum (pengadilan) atau kepada
pihak yang berwajib.
 Apabila Somasi yang disampaikan tidak mendapat respon atau
tanggapan yang baik dari Pihak yang disomasi, maka
permasalahan dapat diselesaikan melalui jalur Pengadilan dengan
mendaftarkan gugatan melalui Pengadilan Negeri.
3
B. Persidangan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri.
Penetapan Majelis oleh Ketua PN
 Apabila somasi yang disampaikan tidak mendapat respon dan
penyelesaian, maka pihak yang berkeberatan/Pembuat somasi
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan
memenuhi prosedur dan pendaftaran gugatan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
Setelah Ketua PN menerima berkas perkara dari Panitera,
segera menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan
memutuskannya.
Apabila Ketua Majelis berhalangan, penetapan majelis dilakukan
oleh Wakil Ketua PN.
Jangka waktu penetapan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
menerima penyerahan dari Panitera (sesuai garisan MA).
a. Penyerahan kepada Majelis Hakim, harus dilakukan segera.
4
b. Majelis paling sedikit 3 (tiga) orang, (Pasal 15 UU No. 14
Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun
1999, dan sekarang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004, yang menentukan :
- Semua pengadilan memeriksa dan memutuskan perkara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) Hakim, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain;
- Seorang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim
(presiding judge), dan yang lain sebagai Anggota;
- Namun dimungkinkan Hakim tunggal berdasarkan faktor
keadaan setempat, misal daerah terpencil; tenaga hakim
kurang; biaya transfortasi mahal.

5
Penetapan Hari Sidang
 Yang menetapkan hari sidang adalah Majelis Hakim yang
menerima pembagian distribusi perkara.
 Penetapan hari sidang dituangkan dalam bentuk surat
penetapan.
 Menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus
dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas
perkara; menurut garis MA, paling lambat 7 (tujuh) hari dari
tanggal penerimaan berkas perkara, Majelis Hakim harus
menerbitkan penetapan hari sidang.
 Berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang
dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berkas perkara
yang bersangkutan.

6
II. PEMANGGILAN PARA PIHAK YANG BERPERKARA

A. Pengertian Pemanggilan (Convocation)

 Dalam Hukum Acara Perdata, pemanggilan adalah


penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly)
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di
pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal
yang diminta dan diperintahkan Majelis Hakim atau
Pengadilan.
 Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang
berfungsi melakukan pemanggilan adalah juru sita.
Kewenangan juru sita ini berdasarkan Pasal 121 ayat (1)
HIR diperoleh lewat perintah Ketua (Majelis Hakim) yang
dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan
pemberitahuan.
7
 Menurut Pasal 388 HIR, pengertian pemanggilan meliputi makna
dan cakupan yang luas yaitu :
a. Pemanggilan sidang pertama kepada Penggugat dan Tergugat;
b. Pemanggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak
atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lain tidak hadir
baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
c. Pemanggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan
salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka
tidak dapat menghadiri saksi yang penting ke persidangan);
d. Pemanggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum
pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain :
- Pemberitahuan putusan PT dan MA
- Pemberitahuan permintaan banding kepada Terbanding
- Pemberitahuan memori banding dan kontra memori
banding
- Pemberitahuan permohonan kasasi dan memori kasasi
kepada Termohon kasasi.
8
B. Tahap Pemanggilan

1. Majelis memerintahkan pemanggilan.


 Dalam perintah panggilan itu kepada Panitera atau juru sita
untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan
Tergugat), supaya hadir di depan sidang pengadilan pada
waktu yang ditentukan untuk itu (Pasal 121 ayat (1) HIR).
2. Yang melaksanakan pemanggilan.
 Pasal 388 jo Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv,
pemanggilan dilakukan olehJuru Sita, sesuai dengan
kewenangan relatif yang dimilikinya.
 Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar jurisdiksi
relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan
ketentuan Pasal 5 Rv yaitu : mendelegasikan pemanggilan
kepada Juru Sita yang berwenang di wilayah hukum
tersebut 9
3. Bentuk panggilan.
 Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3)
Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk :
- Surat tertulis (in writing).
- Sering disebut surat panggilan atau relas panggilan
maupun berita acara panggilan.
- Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan.

10
4. Isi surat panggilan.
 Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv menjelaskan, surat
panggilan pertama berisi :
- Nama yang dipanggil;
- Hari dan jam serta tempat sidang;
- Membawa saksi-saksi yang diperlukan;
- Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
- Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
 Isi surat panggila bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatif
adalah imperatif (mamaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu salah
satu saja lalai mencantumkan, mengakibatkan surat panggilan
cacat hukum, dan dianggap tidak sah.
 Agar surat panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2)
HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk :
- Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan.
- Salinan tersebut dianggap gugatan sah. 11
5. Cara panggilan yang sah.
 Pasal 390 ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan 6 ke-7 Rv mengatur
tata cara panggilan menurut hukum
a. Tempat tinggal tergugat diketahui
(1) Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili
pilihan Tergugat (Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv)
(2) Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau
keluarganya (isteri, suami, anak yang sudah dewasa, ayah,
ibu)
(3) Disampaikan kepada Kepala Desa, apabila yang
bersangkutan atau keluarganya tidak ditemui juru sita di
tempat tinggal atau kediaman.
 Untuk menegakkan kepastian hukum dan tata tertib beracara,
pengembalian penyampaian relaas panggilan ke pengadilan
dianggap merupakan syarat formil keabsahan penyampaian
panggilan guna menghindari kerugian kepada pihak yang
bersangkutan. 12
b. Tempat tinggal tidak diketahui
 Pasal 39 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke 7 Rv, mengatur tata
cara pemanggilan kepada Tergugat yang tidak diketahui
tempat tinggalnya :
1) Surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada
identitas Tergugat, bahwa tempat tinggal atau tempat
kediamannya tidak diketahui.
2) Atau pada identitas Tergugat, surat gugatan
menyebutkan dengan jelas tempat tinggalnya, tetapi
pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata
Tergugat tidak ditemukan ditempat tersebut dan menurut
penjelasan Kepala Desa, yang bersangkutan sudah
meninggalkan tempat tanpa menyebutkan alamat tempat
tinggal yang baru.

13
 Menghadapi hal yang demikian maka :
- Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada Bupati
atau Walikota, sesuai dengan jurisdiksi atau kompetensi relatif
yang dimilikinya;
- Bupati atau Walikota tersebut :
• Mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita tersebut;
• Caranya dengan jalan menempelkannya pada pintu umum
kanan persidangan PN yang bersangkutan.
 Tata cara pemanggilan yang diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR
dalam praktek sehari-hari, disebut panggilan umum atau
pemberitahuan umum (general convercation)
 Untuk PN perlu memedomoni Pasal 6 ke 7 Rv yang menegaskan:
- Selain penempelan di pintu ruang sidang; pengumuman
panggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu surat kabar
harian atau yang terbit berdekatan dengan wilayah PN yang
bersangkutan.
14
6. Panggilan Tergugat yang berada di luar negeri.
 Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 6 ke 8 Rv yaitu :
- Panggilan disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)
sesuai dengan jurisdiksi relatif yang dimilikinya.
- Selanjutnya JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya,
- Dan mengirimkan tiruannya kepada Pemerintah (Menteri Luar
Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
a. Tempat tinggal di luar negeri ketahui
- Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik;
- Penyampainnya kepada Kementerian Luar Negeri, Kedutaan
atau Konsulat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan
JPU.
b. Tempat tinggal di luar negeri tidak diketahui
 Dalam hal ini cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal
390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv yaitu disampaikan melalui
panggilan umum. 15
III. PEMERIKSAAN DI PENGADILAN

1. Upaya Perdamaian Terhadap Para Pihak Yang Berperkara


 Hakim dalam memeriksa perkara perdata yang diajukan oleh
pihak Penggugat kepada pihak Tergugat terlebih dahulu harus
mengupayakan jalan perdamaian sebagaimana disebut dalam
:
1) Pasal 130 HIR ditentukan bahwa :
(1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak
datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan
Ketua mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak.

16
(2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada
waktu bersidang dapat dibuatkan sebuah surat atau akta
tentang itu dalam mana kedua belah pihak dihukum akan
menepati perjanjian yang dibuat itu, surat mana akan
berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang
biasa.
(3) Keputusan yang demikian tidak diizinkan dibanding.
(4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah
pihak perlu dipakai seorang juru bicara, maka peraturan pasal
yang berikut dituruti untuk itu.

17
 Bertitik tolak dari isi Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, sistem
yang diatur hukum acara dalam penyelesain perkara yang diajukan
kepada PN, hampir sama dengan court connected arbitration system
:
- Pertama-tama hakim membantu atau mendorong para pihak
yang berperkara untuk menyelesaiakn sengketa dengan
perdamaian.
- Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara Penggugat
dan Tergugat maka :
a. Kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian
perdamaia yang ditanda tanagani kedua belah pihak;
b. Terhadap perjanjian perdamaian, dibuat akta berupa putusan
yang dijatuhkan pengadilan yang mencantumkan amar,
menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian.
 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg lebih menghendaki pelaksanaan
perkara dengan perdamaian, dengan penetapan konsep win-win
solution yaitu sama-sama menang dari pada penerapan winning or
losing, yaitu menang atau kalah.
18
2. Upaya Perdamaian Bersifat Imperatif

 Hakim wajib merupaya mendamaikan para pihak yang


berperkara.
 Hal ini dapat ditarik dari Pasal 131 ayat (1) HIR yang
menyatakan :
- Jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal
itu mesti disebut dalam Berita Acara Sidang
 Kelalaian menyebutkan upaya perdamaian yang dilakukan
dalam Berita Acara Sidang mengakibatkan pemeriksaan
perkara mengandung cacat hukum formil dan berakibat
pemeriksaan batal demi hukum.
 Jadi upaya mendamaikan adalah bersifat imferatif, tidak boleh
diabaikan. Proses pemeriksaan yang tidak menempuh dan
tidak dimulai dengan tahap mendamaikan, batal menurut
hukum.
19
3. Landasan Formil Proses Mediasi/Perdamaian
 Disamping ketentuan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg, untuk
yang mengefektifkan pelaksaan perdamaian/mediasi, MA
mengeluarkan beberapa surat edaran yaitu :
1. SEMA No. 1 tahun 2002 (tanggal 30 Januari 2002) yang
berjudul : pemberdayaan pengadilan tingkat tinggi pertama
menerapkan lembaga damai (eks Pasal 130 HIR)
 Motivasi yang mendorong SEMA tersebut adalah untuk
membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosedural.
2. PERMA No. 2 Tahun 2003 (Tanggal 11 September 2003)
 PERMA ini menegaskan : dengan berlakunya Peraturan
Makamah Agung (PERMA) ini, surat edaran makamah agung
(SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan pengadilan
tingkat pertama menerapkan lembaga damai (eks Pasal 130
HIR / 154 RBg) dinyatakan tidak berlaku lagui.
 PERMA No. 2 Tahu 2002 yang berjudul Prosedur Mediasi di
Pengadilan. 20
 Pengetian mediasi (Pasal 1 butir 6) ialah proses
penyelesaian sengketa di pengadilan melalui perundingan
antara pihak yang berperkara. Perundingan yang dilakukan
para pihak dibantu oleh Mediator yang berkedudukan dan
berfungsi :
(1) Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak
(impartial), dan
(2) Berfungsi sebagai pembantu atau penolong (hilper)
mencari berbagai kemungkinan atau alternatif
penyelesian sengketa yang terbaik dan saling
menguntungkan kepada para pihak.

21
 Pasal 1 angka 5 dan Pasal 11 ayat (3) PERMA menegaskan
fungsi mediator yaitu :
- Pasal 1 angka 5, mediator berfungsi membantu para pihak
dalam mencari kemungkinan penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan.
- Pasal 2 ayat (1) menegaskan, setiap perkara yang diajukan
ke pengadilan tingkat pertama, wajib dahulu diselesaikan
melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
- Sedang menurut Pasal 11 ayat (3), baik pada saat
perumusan kesepakatan maupun sebelum para pihak
menandatangani kesepakatan, mediator wajib membantu
dan memeriksa kesepakatan tersebut.
 Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas keterlibatan mediator
dalam penyelesaian sengketa dalam proses integrasi mediasi
dalam sisten peradilan, adalah langsung sejak awal hingga
akhir proses. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam pasal
130 HIR/154 RBg. 22
Yang dapat bertindak sebagai Mediator :
 Pasal 1 butir 2, 5 dan 10 beserta Pasal 5 ayat (1) PERMA :
(1) Klasifikasi Mediator (Pasal 1 butir 2 dan Pasal 5 ayat (1)
PERMA yang terdiri dari :
(a) Mediator dalam Lingkungan Pengadilan
- menurut Pasal 1 butir 2, dilingkungan atau pada sebuah
pengadilan, terdapat mediator. Oleh karena itu pada sebuah
pengadilan diharuskan ada :
• Daftar mediator
• Daftar mediator, merupakan dokumen yang memuat
nama-nama mediator
• Daftar mediator dituangkan dalam penetapan ketua
peradilan
 Daftar mediator berisi fanel anggota mediator yang dapat
diplih atau ditunjuk bertindak sebagai mediator dalam
penyelesaian sengketa. 23
 Selanjutnya Pasal 6 mengatur hal-hal berikut :
(1) Yang dapat ditetapkan sebagai berikut :
Pasal 6 ayat (1), yang dapat dicantumkan sebagai mediator
dalam daftar mediator pengadilan :
- Berasal dari kalangan hakim;
- Boleh juga yang bukan hakim;
- Syaratnya telah memiliki sertifikat sebagai mediator.
(2) Jumlah mediator pada setiap pengadilan
Pasal 6 ayat (2) menegaskan, pada setiap pengadilan
memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
(3) Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator
selain mencantumkan nama mediator dalam daftar harus
disertai : Riwayat Hidup dan pengalaman kerja. Hal ini
penting sebagai bahan informasi bagi para pihak dalam
memilih mediator.
24
b. Mediator di Luar Lingkungan Pengadilan
 Pasal 1 butir 2, Pasal 5 ayat (1) PERMA mengakui juga
eksistensi :
- Mediator di luar lingkungan pengadilan;
- Mereka tidak terdaftar sebagai panel dalam daftar
mediator yang ditetapkan ketua pengadilan.
 Menurut Pasal 5 ayat (1), para pihak dapat dan bebas
menyepakati mediator yang berada di luar daftar mediator,
oleh karena itu tidak mutlak harus menyepakati mediator
yang tercantum namanya dalam daftar mediator.

25
(2) Syarat Mediator
 Pasal 1 butir 10 dan pasal 1 butir 5 PERMA :
a. Telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi di tempat pelatihan
atau pendidikan mediasi yang diakui dan diakreditasi oleh MA.
b. Memiliki Sertifikasi mediator
harus memiliki sertifikat mediator dari lembaga pendidikan/pelatihan
mediator yang diakui MA tersebut.
c. Netral dan Tidak Memihak
syarat ini dianggap meliputi sikap independen, sehingga
pengertiannya mencakup :
(1) Bersikap bebas dan merdeka dari pengaruh siapapun.
(2) Bebas secara mutlak dari paksaan dan direktiva pihak manapun.
 Syarat tidak memihak mengandung arti :
- Harus benar-benar bersifat impersialitas, tidak boleh partial
kepada salah salah satu pihak, dan
- Tidak boleh bersikap diskriminatif, tetapi harus memberikan
perlakuan yang sama (egual treatment) kepada para pihak.
26
Lingkup Yurisdiksi

 Adalah batas-batas kewenangan berlakunya proses


integrasi mediasi dalam sistem peradilan
1) Yurisdiksi Instansional
Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 1 butir 7 PERMA, proses
integrasi mediasi dalam sistem peradilan, secara mutlak
menjadi yurisdiksi atau kompetensi instansi peradilan
tingkat pertama, dengan demikian tidak masuk lingkup
kompetensi peradilan tingkat banding dan kasasi.

27
2) Yurisdiksi Substansial
Yang dimaksud dengan yurisdiksi substansial adalah
berkenaan dengan objek jenis sengketa apa saja yang dapat
diselesaikan malalui proses mediasi yang digariskan
PERMA. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 butir 9 PERMA :
a. Meliputi semua jenis perkara perdata; (Pasal 2 ayat (1)
berbunyi : semua perkara yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib lebih dahulu diselesaikan melalui
perdamaian dengan bantuan mediator;
b. Meliputi sengketa publik; (Pasal 1 butir 9) yang dimaksud
dengan sengketa publik meliputi : bidang lingkungan
hidup; bidang Hak Asasi Manusia (HAM); perlindungan
konsumen; pertanahan; dan perburuhan yang melibatkan
kepentingan banyak orang.
28
Syarat Formal Putusan Perdamaian
1. Persetujuan perdamaian mengakhiri perkara
syarat yang pertama, persetujuan perdamaian harus
mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak
boleh ada semua tertinggal. Tidak ada lagi yang
disengketakan kerana semuanya telah diatur dan
dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian.
2. Persetujuan perdamaian berbentuk tertulis.
syarat formil yang kedua, yang digariskan Pasal 1851
KUHPerdata, mengenai bentuk persetujuan :
- Harus berbentuk tertulis, boleh akta dibawah tangan
(onderhandse acte), yang ditanda tangani kedua belah
pihak, dapat juga berbentuk akta autentik.
- Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan (oral)
- Setiap bentuk persetujuan perdamaian yang tidak dibuat
secara tertulis, dinyatakan tidak sah. 29
3. Pihak yang membuat persetujuan perdamaian adalah
orang yang mempunyai kekuasaan.
4. Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam
persetujuan perdamaian.
 Yang ikut dalam persetujuan perdamaian tidak boleh
kurang dari seluruh pihak yang terlibat dalam perkara.
 Tidak boleh hanya dilakukan oleh sebagaian saja, tetapi
harus seluruh pihak yang terlibat dalam perkara.

30
 Putusan perdamaian yang bertentangan dengan Undang-undang
dapat dibatalkan.
 Pasal 1337 KUHPerdata melarang persetujuan yang mengandung
kausa yang haram, yaitu persetujuan tidak boleh melanggar dan
bertentangan dengan :
- Undang-undang;
- Kesusilaan yang baik, dan
- Ketertiban umum
 Hakim tidak dibenarkan mengukuhkan kesepakatan dalam bentuk
penetapan akta perdamaian yang bertentangan dengan Undang-
undang; kesusilaan atau ketertiban umum.
 Pasal 1859 ayat (1) KUHPerdata
Melarang persetujuan perdamaian yang mengandung kekhilafan :
- mengenai : orang, atau
 Apabila ternyata penetapan akta perdamaian yang dijatuhkan
mengandung cacat kekhilafan mengenai orang atau pokok
perkaranya, hal ini dapat dijadikan alasan membatalkan putusan
perdamaia tersebut. 31
 Pasal 1859 ayat (2)
Persetujuan perdamaian tidak boleh dilakukan dengan cara :
- Penipuan
- Paksaan
 Penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan
yang mengandung penipuan yang disebut Pasal 1328
KUHPerdata atau pemaksaan yang diatur dalam Psal 1324
dan 1325 KUHPerdata, dianggap mengandung cacat materil.
Oleh karena itu, menurut Pasal 1859 ayat (2) KUHPerdata
dapat diminta pembatalan atas penetapan akta perdamaian
yang demikian.

32
 Pasal 1860 KUHPerdata
Penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan
yang mengandung cacat. Kesalah pehamanan tentang duduk
perkara dan mengenai alas hak yang batal, bertentangan
dengan undang-undang, dalam hal ini Pasal 1860
KUHPerdata. Oleh karena itu terhadap penetapan akta
perdamaian tersebut dapat dimintakan pembatalan.
 Pasal 1861 KUHPerdata
Persetujuan perdamaian yang diadakan berdasarkan surat-
surat yang kemudian dinyatakan palsu dianggap mengandung
cacat materil
 Sehubungan dengan itu penetapan akta perdamaian yang
bersumber dari persetujuan demikian bertentangan dengan
Pasal 1861 KUHPerdata, oleh karena itu dianggap tidak sah,
dan dianggap batal demi hukum.
33
 Pasal 1862 UHPerdata
 Suatu persetujuan mengenai sengketa yang sudah berakhir
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
tetap (resjuducate), namun hal itu tidak disadari para pihak
atau salah satu dari mereka, mengakibatkan persetujuan itu
batal.
 Oleh karena itu penetapan akta perdamaian yang bersumber
dari persetujuan yang demikian dapat diajukan
pembatalannya.
 Jadi, setiap perdamaian bersumaber dari persetujuan yang
bertentangan dengan undang-undang; dianggap tidak sah,
oleh karena itu terhadapnya dapat dimintakan pembatalan
kepada pengadilan.
 Dengan demikian dalam penetapan akta perdamaian itu tidak
melekat kekuatan eksekusi (excutorial kracht), sehingga
putusan itu bersifat non executable.
34
6. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian

1. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan


hukum tetap.
 Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian diantara
para pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang
penghabisan.
 Hal ini juga ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2)
HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan yang
sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

35
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial
 Pasal 130 ayat (2) HIR, menegaskan :
putusan akta perdamaian berkekuatan sebagai putusan
hakim yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap, dan
juga berkekuatan eksetorial (executorial kracht) sebagai
mana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
 Sesaat setelah putusan dijatuhkan, langsung melekat
kekuatan eksekutorial kepadanya.
 Apabila salah satu pihak tidajk menaati atau melaksanakan
pememnuhan yang ditentyukan dalam perjanjian secara
sukarela, dapat di minta eksekusi kepada PN, dan atas
permintaan itu Ketia PN menjalankan eksekusi sesuai
dengan ketentuan Pasal 195 HIR.

36
3. Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding
 Pasal 130 ayat (3) HIR, menegaskan putusan akta perdamaian tidak
dapat dibanding, artinya terhadap putusan tersebut tertutup upaya
hukum (Banding dan Kasasi)

 Hal ini juga ditegaskan dalam putusan MA No. 1038k/Sip/1973, tanggal


01 Agustus 1873 bahwa terhadap putusan perdamaian tidak mungkin
diajukan permohonan banding.

 Selanjutnya putusan MA No. 975k/Sip/1973, tanggal 01 Agustus 1973


menegaskan bahwa larang upaya hukumterhadap putusan perdamaian
karena berdasarkan Pasal 130 HIR/154 RBg, putusan perdamaian atas
acte van vergelljk, merupakan suatu putusan yang tertinggi, tidak ada
upaya hukum Banding dan Kasasi terhadapnya
.
 Baca lebih lanjut Perma No.1 Tahun 2008 ttg Penyempurnaan Perma
No 2 Tahun 2003 ttg Prosedur Mediasi di Pengadilan.
37
Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis


Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan tanpa alasan yang sah
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut (Pasal 125
HIR/150 RBg).
Putusan verstek merupakan pengecualian dari acara
persidangan biasa sebagai akibat ketidakhadiran Tergugat atas
alasan yang tidak sah.
Dalam persidangan putusan verstek Tergugat dianggap ingkar
menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah dan Tergugat
dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat seluruh
dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan
dalam hal Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari
sidang pertama.
38
 Hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan verstek sesuai
Pasal 125 HIR dengan syarat :
1. Apabila Tergugat tidak datang menghadiri sidang yang
ditentukan tanpa alasan yang sah.
2. Dalam hal seperti itu, Hakim menjatuhkan putusan verstek
yang berisi diktum mengabulkan gugatan seluruhnya atau
sebagian; atau
3. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan
tidak mempunyai dasar hukum.
 Namun menurut Pasal 125 HIR/150 RBg, Hakim sebelum
menjatuhkan putusan verstek wajib untuk memanggil pihak
Tergugat sekali lagi. Artinya apabila atas kebijaksanaan
Hakim telah memanggil pihak Tergugat 3 (tiga) kali secara
sah, namun Tergugat tetap tidak hadir, maka Hakim
sebelum menjatuhkan putusan verstek, memiliki hak untuk
memanggil sekali lagi Tergugat. 39
 Dalam hal ini ingin memutus verstek karena Tergugat tidak
hadir setelah dilakukan pemanggilan yang sah, maka :
a. Putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga;
b. Dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan
diucapkan di luar hari itu, tidak sah (illegal) karena
bertentangan dengan tata tertib beracara (undue process)
yang berakibat putusan batal demi hukum (null and void).
 Apabila Hakim ragu kebenaran dalil gugatan, sehingga benar-
benar diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain
dari pihak Tergugat, maka Hakim dapat mengambil tindakan :
a. Mengundurkan persidangan sekaligus memanggil
Tergugat.
b. Menjatuhkan putusan verstek yang diktumnya gugatan
tidak dapat diterima.
40
Upaya Verzet

Verzet adalah perlawanan Tergugat atas putusan yang


dijatuhkan secara verstek.
Perlawanan merupakan satu kesatuan dari gugatan semula,
perlawanan bukan gugatan baru atau perkara baru, tetapi
merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil
gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan keliru
dan tidak benar.
Putusan MA No. 494K/Pdt/1983 menyatakan bahwa dalam
proses verzet atas verstek,Pelawan tetap berkedudukan sebagai
pihak Tergugat dan Terlawan sebagai Penggugat.

41
Pemeriksaan Verzet/Perlawanan
a.Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula
Dalam putusan MA No. 938K/Pdt/1986, terdapat pertimbangan
sebagai berikut :
- Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan
kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan
Terlawan/Penggugat asal.

42
Jangka Waktu Mengajukan Verzet
(Sema No. 7 Tahun 2012)
a.Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (verzet)
terhadap putusan verstek adalah sebagaimana tercantum dalam
Pasal 129 HIR yaitu :
(1) Jika pemberitahuan putusan kepada Tergugat sendiri,
maka tenggang waktu untuk verzet 14 hari setelah
pemberitahuan tersebut.
(2) Jika pemberitahuan tidak disampaikan kepada Tergugat
sendiri (via Lurah, Kepala Desa), maka tenggang waktu
verzet sampai hari kedelapan sesudah dilakukan teguran
atau aanmanning.

43
(3) Apabila dalam aanmanning Tergugat tidak hadir,
tenggang waktu verzet sampai hari kedelapan setelah
dilaksanakan sita eksekusi (Pasal 197 HIR).
(4) Dalam hal dijalankannya eksekusi riil maka berdasarkan
Pasal 83 Rv, pada saat eksekusi dijalankan verzet masih
dapat diajukan.
 Verzet tidak hanya mempermasalahkan ketidakhadiran
Pelawan/Tergugat asal menghadiri persidangan, tetapi
kebenaran dalil-dalil Penggugat.

44
 Sebagaimana isi Pasal 129 HIR, perlawanan diajukan dan
diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara
perdata.
 Surat perlawanan yang diajukan Pemohon/Tergugat asal
kepada pengadilan pada hakikatnya sama dengan surat
jawaban yang digariskan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR.
 Kwalitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses
verzet dianggap sebagai jawaban Tergugat pada sidang
pertama.

45
Amar Putusan Perkara Verzet

Pada prinsipnya amar putusan dalam perkara verzet adalah


menolak perlawanan (verzet) atau mengabulkan perlawanan
(verzet).
Dalam hal menolak perlawanan (verzet)
- Menyatakan perlawanan adalah perlawanan yang tidak
benar.
- Mempertahankan putusan verzet No…….Tanggal…..
Dalam hal mengabulkan perlawanan (verzet) :
- Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar.
- Membatalkan putusan verstek No……Tanggal…..
- Menolak gugatan Penggugat/Terlawan untuk seluruhnya
atau menyatakan gugatan Penggugat/Terlawan tidak dapat
diterima. 46
IV. GUGATAN

Pengertian Gugatan

 Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak


yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui
pengadilan.

 Gugatan dalam Hukum Acara Perdata umumnya terdapat 2


(dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak Penggugat dan
Tergugat yang mana terjadinya gugatan umumnya pihak
Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan
kewajiban yang merugikan pihak Tergugat (yurisdiksi
contentiosa)
47
 Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak Tergugat
melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan
pihak Penggugat tidak mau secara sukarela memenuhi
kewajiban yang diminta oleh pihak Penggugat, sehingga
akan timbul sengketa antara Penggugat dan Tergugat.

 Sengketa yang dihadapi para pihak apabila tidak bisa


diselesaikan secara damai di luar persidangan umumnya
perkaranya diselesaikan melalui persidangan pengadilan
untuk mendapat keadilan.

48
Gugatan Kontentiosa
1. Pengertian
 Perkataan Contentosa atau Contentious, berasal dari bahasa
Latin salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya
dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penuh
semangat bertanding atau berpolimik.
 Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung
sengketa, disebut yurisdiksi contentiosa atau “contentious
yurisdiction” yaitu kewenangan pengadilan memeriksa perkara
yang berkenaan dengan masalah persengketaan (yurisdiction
of court that is concerned with contested mettters) antara pihak
yang bersengketa (between contending parties).
 Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan
perdata dalam pratktek. Sedang penggunaan gugatan
contentiosa, lebih bercorak pengkajian teoritis untuk
membedakannya dengan gugatan voluntoir. 49
 Dalam perundang-undangan istilah yang dipakai adalah
gugatan perdata atau “gugatan” saja.
 Pasal 118 ayat (2) HIR mempergunakan istilah “gugatan
perdata”, akan tetapi dalam pasal –pasal selanjutnya, disebut
“gugatan” atau “gugat” saja (seperti dalam Pasal 119, 120, dan
sebagainya).
 Pasal 1 Rv menyebut gugatan (tiap-tiap proses perkara
perdata….., dimulai dengan sesuatu pemberitahuan
gugatan….). Namun jika pasal itu dibaca keseluruh, yang
dimaksud dengan “gugatan” adalah “gugatan perdata”.
 Prof. Sudikno Mertokusomo, juga mempergunakan istilah
”gugatan” berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering)
tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.
 Prof. R. Subekti, mempergunakan sebutan “gugatan”, yang
dituangkan dalam “surat gugatan”. Dengan demikian setiap
perkara perdata, diajukan ke PN dalam bentuk surat gugatan.50
 Bertitik tolak dari pengertian di atas, yang dimaksud dengan
gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang
mengandung sengketa diantara pihak yang beperkara yang
pemeriksaan peyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada
pengadilan dengan posisi para pihak:
a. Yang mengajukan penyelesaian sengeka disebut dan
bertindak sebagai Penggugat (plaintiff = plenetus, the
party who institutes a legal action or claim).
b. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam
penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai
Tergugat (defendants, the party against whom a civil
action is brought)

51
 Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan
perdata :
a. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan
mengandung sengketa (disputes, differences)
b. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang
diantara dua pihak.
c. Gugatan perdata bersifat party, dengan komposisi
pihak yang satu bertindak dan berkedudukan
sebagai Penggugat dan pihak yang lain
berkedudukan sebagai Tergugat.

52
2. Bentuk Gugatan
1. Gugatan Berbentuk Lisan.
2. Gugatan Berbentuk Tertulis
1) Gugatan Berbentuk Lisan
 Diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang menegaskan
“bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang
mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
 Pada saat Undang-undang (HIR) dibuat Tahun 1941 (Stb 1941 No. 44),
Ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi
kepentingan anggota masyarakat yang buta huruf yang sangat besar
jumlah pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu
masyarakat yang buta huruf yang tidak mampu membuat dan
menformulasikan gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan
secara lisan kepada Ketua PN, yang oleh Undang-undang mewajibkan
Ketua PN mencatat atau ,menyuruh catat gugatan lisan, dan selanjutnya
Ketua PN menformulasinya dalam bentuk gugatan tertulis. 53
2) Gugatan Berbentuk Tertulis
 Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk
tertulis, hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142
RBg).
 Munurut pasal ini, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN
dengan surat permintaan yang ditanda tagani penggugat atau
kuasanya.
 Yang berhak mengajukan gugatan perdata adalah penggugat
sendiri atau kuasa hukumnya.
a. Penggugat Sendiri
 Surat gugatan dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh penggugat.
Kebolehan penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan
sendiri gugatan ke PN, adalah karena HIR maupun RBg, tidak
menganut sistem verpichte procureur stelling, yang mewajibkan
penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpendidikan
pengacara atau advokad untuk mewakilnya, sebagaimana hal itu
diatur oleh Reglement op de recht vordering (Rv))
54
 Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1)
HIR, dengan demikian :
- Tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi
penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa
dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan
gugatan kepada seorang yang berprofesi pengacara atau
advokad.
- Akan tetapi, hal ini mengurangi haknya untuk menunjuk
seseorang atau beberapa orang kuasa, yang akan
bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan
dan pengajuan gugatan.

55
b. Dengan Kuasa
 Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan
kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat,
menandatangani,mengajukan, atau menyampaikan surat
gugatan kePN.
 Ketentuan ini sejalan dengan yang digariskan pada Pasal
123 ayat (1) HIR, yang menyatakan, baik Penggugat dan
Tergugat (ke dua belah pihak) :
- Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan
untuk melaksanakan tindakan di depan pengadilan, dan
- Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special
power of attorney)

56
 Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan
surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat
hukum, harus ditempuh prosedur berikut :
- Sebelum membuat dan menanda tangani surat gugatan,
kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, harus
lebih dahulu diberi kuasa khusus.
- Berdasarkan surat kuasa, penerima kuasa bertindak
membuat, menanda tangani dan mengajukan surat
gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau
pemberi kuasa (lastgever, mandate)

57
- Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber, mandataris),
membuat, menanda tagani dan mengajukan gugatan sebelum
kuasa atau lebih dahulu membuat dan menanda tangani
gugatan dari pada tanggal surat kuasa maka:
• Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu ,
dianggap mengadung cacat formil.
• Akibatnya gugatan akan dinyatakan pengadilan tidak sah
dan tidak dapat diterima atas alasan gugatan ditanda
tangani oleh orang yang tidak wewenang (unauthorizeid)
untuk itu karena pada waktu kuasa menandatangani
gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.

58
3. Formulasi Surat Gugatan
 Formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation)
surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil
menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
 Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR, tidak
menentukan syarat formulasi atau isi gugatan. Akan tetapi
sesuai dengan perkembangan praktek, ada kecenderungan
yang menutut formulasi gugatan yang jelas fudementum
fetendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem
daguardiing)

59
 Ada beberapa hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat
gugatan yaitu :
1. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai
degan kompensasi relatif.
 Surat gugatan secara formil harus ditujukan dan
dialamatkan kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif.
 Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju, sesuai
dengan patokan kopensasi relatif yang diatur dalam Pasal
118 HIR.

60
 Apabila surat gugatan salah alamat, atau tidak sesuai
dengan kompetensi relatif :
- Mengakibatkan gugatan, megandung cacat formil,
karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada
PN yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadilinya.
- Degan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet onvankelijke) atas alasan hakim tidak
berwenang mengadili.

61
 Pasal 118 HIR/142 RBg, mengatur tentang kompetensi
relatif, dan bagaimana suatu gugatan harus diajukan.
 Surat gugatan dibuat oleh penggugat atau kuasanya
menurut Pasal 118 HIR/142 RBg kepada Ketua PN :
a. Ditempat tinggal (tetap) atau kediaman (sementara)
Tergugat.
b. Jika lebih seorang Tergugat, dipilih salah seorang
Tergugat.
c. Jika beberapa orang Tergugat, hubungannya satu
dengan yang lain sebagai orang yang berhutang
pertama dan penanggung, maka diajukan ke PN
tempat tinggal dari orang yang berhutang pertama.

62
d. Jika tergugat mempunyai tempat tinggal (tetap) atau
tempat kediaman (sementara), gugatan diajukan ke PN
ditempat tinggal penggugat atau salah seorang
penggugat.
e. Jika yang digugat itu barang tetap, gugatan diajukan ke
PN ditempat barang tetap terletak.
f. Jika kedua belah pihak memilik tempat tinggal dengan
suatu akta, maka penggugat dapat mengajukan gugatan
pada PN yang dalam daerah hukum tempat tinggal yang
dipilih tersebut.

63
2. Surat gugatan diberi tanggal

 Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR


dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, pada
dasarnya tidak diwajibkan pencantuman tanggal sebagai
syarat formil.
 Oleh karena itu ditinjau dari segi hukum :
- Pencantuman tanggal tidak imperatif dan bahkan tidak
merupakan syarat formil secara gugatan.
- Dengan demikian kelalaian atas pencantuman tanggal
tidak mengakitbatkan surat gugatan mengandung cacat
formil.
- Surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah
menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan dasar
untuk menyarankan gugatan tidak dapat diterima.
64
 Namun sebaiknya surat gugatan, mencantumkan tanggal,
agar terdapat kepastian hukum pembuatan dan penanda
tanganan surat gugatan.
 Jika terjadi surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal
dapat diselesaikan berdasarkan tanggal register perkara di
Kepaniteran PN.

 Jalan keluar lain atas surat gugatan yang tidak


mencantumkan tanggal, maka pengadilan dapat
memerintahkan perbaikan surat gugatan dengan
pencantuman tanggal gugatan.

65
3. Ditanda tangani penggugat atau kuasa
 Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat
formil surat gugatan. Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan :
• Gugatan perdata harus dimaksukkan ke PN sesuai
dengan kompetensi relatif, dan
• Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan)
yang ditanda tangani oleh penggugat atau kuasanya.
• Tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri yang
dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature)
pada umumnya merupakan tanda tangan inisial nama
yang tuliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan.
• Cap jempol disamakan dengan tanda tangan, berdasarka
Stb 1919 No. 776 Penggugat yang tidak dapat menulis
dapat membubuhkan cap jempol di atas surat gugatan
sebagai pengganti tanda tangan.
66
4. Identitas Para Pihak
 Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat
formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak
menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut
identitas para tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan
dianggap tidak ada.
 Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat
sederhana sekali. Tidak seperti disyaratkan dalam surat
dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 142 ayat
(2) huruf a KUHAP.

67
 Tujuan utama pencantuman identitas agar, dapat
disampaikan pemanggilan pemberitahuan; identitas yang
wajib disebut cukup meliputi :
a. Nama lengkap;
b. Alamat atau tempat tinggal;
c. Penyebutan identitas lain (tidak imperatif)
(nama lengkap dengan jelas, ditambah alias jiga ada;
alamat tepat tinggal atau tempat kediaman
pokok atau tambahan; jabatan yang mewakili perseroan,
apabila yang digugat atau penggugatnya perseroan)

68
5. Fundamentum Petendi
 Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar
tuntutan (grondslog van de lis)
 Dalam praktek peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab
digunakan, antara lain :
• Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
• Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
 Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan
dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian
tidak boleh menyimpang dari gugatan.
 Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada
penggugat untuk membuktikan dalil gugatan sesuai yang
digariskan Pasal 1865 KUHPedata dan Pasal 163 HIR, yang
menegaskan, setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya, maupun membantah hak orang
lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
69
 Ada 2 teori tentang perumusan Fundamentum Petendi atau
dalil gugatan yaitu :
1. Pertama, disebut substanterings theorie, yang mengajarkan
dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa
hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus
menjelaskan faktor-faktor yang mendahului peristiwa hukum
yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut.
2. Kedua, teori individualisasi (Individualisering theorie), yang
menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang
dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas
memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang
menjadi dasar tuntutan. Namun tidak perlu dikemukan
dasar atau sejarah terjadinya hubungan hukum, karena hal
itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan.
 Tentang hal ini, Prof. Sudikno mengemukaan salah satu
putusan MA yang menegaskan perumusan kejadian materi
secara singkat sudah memenuhi syarat. 70
4. Unsur Fundamentum Petendi
 Dalam praktek peradilan biasanya kedua teori di atas
digabungkan dalam perumusan gugatan, untuk
menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang
kabur atau obscuur libel (gugatan yang kabur).
 Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi (dalil
gugatan) yang dianggap lengkap memenuhi syarat,
memuat dua unsur :
1) Dasar Hukum (Rechtellijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai
hubungan hukum antara : Penggugat dengan materi
dan atau objek yang disengketakan, dan antara
penggugat dengan tergugat berkaitan dengan materi
atau objek sengketa.
71
2) Dasar Fakta (Feitelijke grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai :
- Fakta atas peristiwa yang berkaitan langsung dengan
atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara
Penggugat dengan materi atau objek perkara
maupun dengan pihak Tergugat.
- Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan
dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang
didalilkan Penggugat.
 Berdasarkan penjelasan di atas, peserta yang dianggap
terhindar dan cacat obscuur lebel, adalah surat gugatan
yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan penegasan
dasar hukum (rechtelijke grond) yang menjadi dasar hukum
serta dasar fakta atau peristiwa (feitelijke grond) yang
terjadi disekitar hubungan hukum dimaksud.
72
Petitum Gugatan
 Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat
formal, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi
pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas
menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal
apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus
dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
 Petitum gugatan, berisi tuntutan atau permintaan kepada
pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak
penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua
belah pihak.
 Ada beberapa istilah yang sama maknanya dengan petitum,
seperti petita atau petitory maupun conclusum. Akan tetapi
istilah yang berlaku dan paling sering dipergunakan dalam
praktek peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.
73
Ruang Lingkup Petitum Gugatan
a. Bentuk Petitum
 Macam-macam bentuk petitum adalah sebagi berikut :
1. Bentuk Tunggal
Petitum disebut dalam bentuk tinggal, apabila deskripsi yang
menyebut satu persatu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan
susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau
subsidair (subsidiary)
 Perlu diingat, betuk petitum tanggal tidak boleh hanya berbentuk
compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan) saja. Tetapi
harus berbentuk rincian satu persatu, sesuai dengan yang
dikehendaki penggugat dikaitkan dengan dalil gugatan.
 Petitum yang hanya mencantumkan mohon keadilan atau ex-
aequo et bono tidak memenuhi syarat formil dan materi petitum,
akibatnya cacat formil, sehingga harus ditolak.
74
2. Bentuk Alternatif
Petitum gugatan yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasi
a. Petitum Primair Subsidair sama-sama dirinci baik petitum primair
maupun subsidair, sama-sama dirinci satu persatu dengan rincian
yang saling berbeda. Misalnya pada angka 1, ada petitum primer,
penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik yang sah,
dan menghukum tergugat untuk menyerahkan barang tersebut
kepadanya yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi.
sedangkan pada angka 1 dan 2 petitum subsidair, penggugat
meminta dinyatakan orang yang berhak atau pemilik barang, dan
meminta agar tergugat dihukum untuk membayar harga barang.
 Pada contoh ini jelas dapat dilihat perbedaan pokok tuntutan pada
premair, (menghukum tergugat menyerahkan barang).
Sedangkan pada subsidair meminta menghukum tergugat
membayar harga barang. 75
V. JAWABAN TERGUGAT SERTA EKSEPSI

A. Jawaban Tergugat
Pengertian dan Isi Jawaban Tergugat
 Jawaban Tergugat terhadap gugatan dalam praktek
Hukum Acara Perdata diajukan setelah usaha
perdamaian yang dilakukan oleh Hakim terhadap para
pihak tidak berhasil.
 Jawaban Tergugat pada umumnya berisikan tentang :
1. Bantahan
2. Fakta-fakta lain

76
1) Bantahan
 Yang dimaksud dengan bantahan adalah suatu
pengingkaran terhadap apa yang dikemukakan oleh
penggugat dalam dalil-dalil gugatannya.
 Dalam bantahan itu Tergugat akan menyatakan tidak benar
dalil-dalil Penggugat. Dalam jawaban juga ada
kemungkinan Tergugat mengakui dalil-dalil yang diajukan
penggugat.
 Pengakuan atau pembenaran atas gugatan tersebut
biasanya tidak dijawab secara tegas oleh Tergugat, akan
tetapi juga tidak mengakui secara pasti, sehingga dalam
praktek memerlukan pembuktian atas tuntutan Penggugat.

77
2) Fakta-fakta Lain
Dalam persidangan PN pada umumnya untuk
mempertahankan hak-haknya terjadi perdebatan antara
pihak Penggugat dan pihak Tergugat yang dalam praktek
dikenal dengan Refliek dan Dupliek.
Pasal 142 Rv menegaskan, bahwa dalam tenggang
waktu yang sama para pihak dapat saling menyampaikan
surat-surat jawaban (refliek) dan jawaban balik (dupliek)
yang dengan cara yang sama, bersama-sama dengan
surat-surat yang bersangkutan diserahkan kepada
Panitera.
Jawaban Tergugat ada kemungkinan juga mengemukan
adanya fakta-fakta lain yang dapat dipergunakan untuk
membenarkan kedudukannya untuk melawan adanya
gugatan yang diajukan Penggugat. 78
 Dalam proses persidangan seringkali terjadi jawaban
untuk kedua kalinya yang disertai dengan bukti-bukti
atas jawaban tersebut. Jawaban ini dalam praktek
dikenal dengan :
1. Repliek
 Yaitu jawaban balasan Penggugat terhadap jawaban
Tergugat dalam suatu perkara di sidang pengadilan.
 Repliek umumnya berisi tentang hal-hal tambahan
untuk menguatkan dalil-dalil surat gugatan yang telah
diajukan oleh Penggugat. Dalam Replik ini penggugat
tidak mengakui atau membenarkan jawaban tergugat
yang disertai dengan alat bukti yang ada.

79
2. Dupliek

Yaitu jawaban kedua Tergugat atas Repliek Penggugat.


Dalam Dupliek ini berisi tentang dalil-dalil untuk
menguatkan jawaban Tergugat dalam persidangan.
Jadi Repliek dan Dupliek yang terjadi dalam persidangan
adalah jawaban balasan yang dibuat masing-masing pihak
baik Penggugat dan Tergugat untuk menyangkal atau
membenarkan yang disertai dengan dalil-dalil.

80
 Dalam praktek setelah terjadi jawaban Replek dan Dupliek,
yang diserta dengan pembuktian, maka masing-masing pihak
membuat kesimpulan-kesimpulan atau konklusi tentang
kebenaran Rupliek dan Dupliek.
 Tujuan dari pada kesimpulan ini adalah untuk menyampaikan
pendapat para pihak baik Pengguga maupun Tergugatt
kepada Hakim tentang terbukti tidaknya suatu gugatan.
 Jadi dengan adanya konklusi, duduk permasalahan yang
dihadapi kedua belah pihak yang bersengketa menjadi jelas,
sehingga dalam prakteknya dapat mempermudah Hakim
dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang sedang
diperiksa di persidangan.

81
B. Eksepsi

 Dalam eksepsi ini umumnya tangkisan atau jawaban yang


diajukan oleh tergugat tidak ada hubungannya dengan pokok
perkara, karena tangkisannya hanya ditujukan terhadap
kewenangan Pengadilan Negeri dalam mengadili suatu
perkara atau berwenang tidaknya PN mengadili suatu perkara.
 Adapun eksepsi tidak berwenangnya hakim dalam mengadili
suatu perkara diatur dalam :
a. Pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan :
“Akan tetapi jika tergugat di dalam surat jawabannya yang
tersebut pada Pasal 121 mengemukakan perlawanan
(eksepsi) bahwa PN tidak berkuasa memeriksa perkaranya,
maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir Ketua PN
wajib memberikan keputusan tentang perlawanan itu, sesudah
didengarnya penggugat dan hanya jika perlawanan itu sudah
diterima, maka Ketua PN memutuskan tentang perkara itu”.82
 Jadi yang dimaksud dengan eksepsi adalah tangkisan pihak
tergugat yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara,
tetapi tangkisannya hanya mempermasalahkan tentang
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili karena
berdasarkan kompensi relatif masuk wewenang pengadilan
pemeriksa perkara.
 Tujuannya agar pengadilan :
- Menjatuhkan putusan negatif, yang menyatakan gugatan
tidak dapat diterima (niet ontvankeliejk)
- Berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara
diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian materi pokok
perkara.

83
 Dalam praktek persidangan di PN pengajuan eksepsi ada
yang menyangkut eksepsi mengenai kompetensi absolut dan
eksepsi mengenai kompetensi relatif.
a. Eksepsi Mengenai Kewenangan Absolut (Exeption
Declinatoir)
 Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (absolute
competency) diatur dalam Pasal 134 HIR, dan Pasal 132 Rv.
Berdasarkan hal tersebut eksepsi absolut dapat diajukan
tergugat setiap saat, selama proses pemeriksaan
berlangsung di sidang tingkat pertama; Tergugat dapat dan
berhak mengajukannya sejak proses pemeriksaan dimulai
sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dengan demikian
eksepsi ini dapat diajukan kapan saja.

84
 Pasal 132 Rv berbunyi :
“Dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya,
maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidak
wenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak
berwenang”.
 Misalnya :
 A dan B Isteri beragama Islam mengajukan gugatan perceraian ke
Pengadilan Negeri, karena A dan B Suami Isteri yang beraga Islam,
maka oleh Pengadilan Negeri akan ditolak dengan alasan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkaranya
berdasarkan kompetensi absolut masuk dalam wewenang
Pengadilan Agama (PA).
 Apabila PN menerima gugatan perceraian Suami Isteri yang
beragama Islam, dan mengadili serta memutuskan perkara
tersebut, maka keputusannya itu cacat dan batal demi hukum
karena tidak mempunyai wewenang untuk mengadili perkara 85
perceraian Suami Isteri yang bergama Islam.
b. Eksepsi Relatif (Relative Competentie)
 Memperhatikan Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR,
pengajuan eksepsi relatif harus diajukan pada sidang pertama,
dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara, baik secara lisan maupun
tertulis.
 Yang termasuk eksepsi prosesuil adalah eksepsi/tangkisan
dari tergugat yang menyatakan bahwa pengadilan tidak
berkuasa dan tidak berwenang mengadili suatu perkara yang
diajukan oleh penggugat,
misalnya :
a. Perkara yang diajukan penggugat merupakan kekuasaan
atau kewenangan Pengadilan Negeri (PN) lain.
b. Pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai
Penggugat dalam suatu perkara yang diajukan di
pengadilan atau tidak mempunyai hak untuk menggugat
(eksepsi disqualificationary) 86
 Eksepsi dari Tergugat tentang kewenangan Pengadilan Negeri (PN)
menangani suatu perkara perdata menurut Hukum Materil terdapat 2
(dua) macam eksepsi yaitu :

a. Eksepsi Delatoir
Yaitu tangkisan dari Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan
Penggugat tidak bisa diterima karena belum waktunya.
Misalnya :
1. Jangka waktu pelunasan utang-piutang antara penggugat dan
tergugat sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati
bersama belum lewat atau belum melalui syarat terjadinya
wanprestasi, akan tetapi telah diajukan gugatan.
2. Pihak penggugat dan pihak tergugat telah sepakat membuat
perjanjian di bawah tangan tentang penundaan pembayaran
sebelum terjadinya gugatan, tetapi digugat oleh penggugat di
pengadilan dengan alasan bahwa tergugat telah terjadi wanprestasi.
87
b. Eksepsi Peremptoir
 Adalah tangkisan dari Tergugat langsung mengenai pokok
perkara yang bertujuan untuk menghalangi dikabulkannya
suatu tuntutan, yang diajukan oleh penggugat.
Misalnya :
1. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat telah
kedaluarsa.
2. Tergugat telah dibebaskan dari pembayaran utang
oleh pihak penggugat berdasarkan surat perjanjian
yang dibuat di bawah tangan.
3. Perkaranya telah diberikan putusan oleh Pengadilan
Negeri lain dan telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.

88
 Jadi eksepsi atas gugatan yang diajukan oleh Tergugat yang berupa
tangkisan atau jawaban pada umumnya ada 2, yaitu :
a. Eksepsi atau tangkisan Tergugat yang berhubungan langsung
dengan pokok perkara dengan cara membantah kebenaran tentang
hal-hal yang diajukan Penggugat dalam petitumnya (verweer ten
principale)
Misalnya :
A menyewa mesin alat berat dari B dengan harga sewa Rp
1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) perhari. Jangka waktu sewa selama
1 (satu) Tahun dengan catatan mesin tersebut harus tetap siap
pakai. Setelah berjalan 1 (satu) Bulan mesin tersebut rusak, tetapi B
tidak memperbaikinya, sehingga mesin alat berat yang di sewa si A
tidak dapat dipakai untuk bekerja sampai berakhirnya perjanjian. Si
B menuntut kepada A untuk melunasi uang sewa selama satu (satu)
tahun. Dalam kasus ini dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan
yang kuat bagi si A untuk menangkis gugatan penggugat agar tidak
dikabulkan oleh pengadilan. 89
b. eksepsi/tangkisan Tergugat yang tidak langsung mengenai
pokok perkara
 Dalam eksepsi Tergugat mencari kelemaha-kelemahan atas
gugatan yang diajukan Penggugat dengan menggunakan dalil-
dalil yang ada dalam peraturan perundang-undangan dijadikan
sebagai alasan-alasan untuk menolak suatu gugatan yang
diajukan oleh Penggugat agar gugatan menjadi lemah dan
dapat dibatalkan, baik berdasarkan kompetensi absolut
maupun kompetansi relatif.
 Eksepsi yang diajukan Tergugat dengan alasan berdasarkan
kewenangan absolut maupun kewenangan relatif, Pengadilan
Negeri tidak mempunyai wewenang mengadili suatu perkara
karena domisili Tergugat, Penggugat dan objek sengketa
berada didaerah hukum Pengadilan Negara lain atau masuk
dalam kewenangan Pengadilan Agama.

90
Misalnya :
1. A digugat oleh B (suami isteri beragama Islam) dalam
perkara perceraian di Pegadilan Negeri. A dapat
mengangkat gugatan dengan menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili karena
berdasarkan kompetensi absolut masuk kewenangan
Pengadilan Agama.
2. A berutang kepada B yang keduanya berdomisili di Medan,
di gugat oleh B di Pengadilan Negeri P. Siantar. Dalam
kasus ini A dapat memberikan kopetansi relatif Pengadilan
Negeri Pematang Siantar tidak berwenang mengadili
perkarnya kerana masuk dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Medan.

91
VI. TENTANG PEMBUKTIAN.
A. Pengaturan Pembuktian.

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam :


1. Pasal 163 HIR ditentukan bahwa :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia
menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
2. Pasal 1865 BW ditentukan bahwa :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak atau guna meneguhkan hak sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
3. Pasal 283 RBg ditentukan bahwa :
“Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu
keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak
seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu”. 92
 Dari beberapa bunyi pasal tentang pembuktian sebagaimana
tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pembuktian adalah suatu pernyataan tentang hak
atau peristiwa didalam persidangan apabila disangkal oleh
pihak lawan dalam suatu perkara, harus dibuktikan tentang
kebenaran dan keabsahannya.
 Dari pengertian tentang pembuktian diatas, dapat dijelaskan
bahwa penekanan pembuktian terdapat pada beban
pembuktian terhadap sesuatu hak dan kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa tertentu yang ada dalam suatu kehidupan
bermasyarakat dalam hubungan hukum antara pihak yang
satu dengan pihak lainnya seringkali dijadikan bukti dalam
suatu perkara di pengadilan.

93
 Dalam Praktek Hukum Acara Perdata dipersidangan
pengadilan beban pembuktian yang harus dibuktikan
hanyalah terhadap sesuatu hak dan kejadian yang
disangkal oleh pihak lawan, sedangkan yang tidak
disangkal oleh pihak lawan tidaklah harus dibuktikan
karena beban pembuktian yang tidak disangkal oleh
pihak lawan pada umumnya kebenarannya dan
keabsahannya terhadap sesuatu hak dan kejadian telah
diakui oleh para pihak yang bersengketa, sehingga
pembuktiannya tidak dipermasalahkan.

94
B. MACAM – MACAM ALAT BUKTI
 Macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal
284 RBG, dan Pasal 1866 BW yang mana pada intinya adalah
sebagai berikut :
1) Alat bukti dengan surat atau tertulis;
2) Alat bukti dengan saksi
3) Alat bukti persangkalan-persangkalan
4) Alat bukti pengakuan
5) Alat bukti sumpah.

 Macam-macam alat bukti tersebut diatas sebenarnya masih


kurang karena dalam praktek persidangan masih ada bukti
lain lagi, yaitu :
1. Bukti tentang pemeriksaan setempat dan;
2. Bukti tentang keterangan saksi ahli.
95
 Untuk lebih jelasnya tentang macam-macam alat bukti dalam Hukum Acara
Perdata akan dibahas lebih lanjut satu persatu sebagaimana disebutkan di
bawah ini :
1. Alat Bukti Surat atau Tertulis
Alat bukti berupa surat atau tertulis ini dapat berupa surat yang dibuat
secara tertulis baik oleh para pihak yang berperkara secara di bawah
tangan atau dibuat pihak lain yang karena jabatannya mempunyai hak
untuk itu.
Alat bukti berupa surat atau tertulis terdapat 3 (tiga) macam yaitu:
a. Akta Autentik
Alat bukti berupa akta autentik diatur dalam :
1) Pasal 165 HIR di nyatakan bahwa:
“Surat (akta) yang sah ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau
di hadapatn pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi
bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian
orang yang mendapat hak dari padanya tentang segala apa yang disebut di
dalam surat itu dan juga tentang segala yang ada dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu”. 96
2) Pasal 285 RBg dinyatakan bahwa:
“Sebuah akta autentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang
sesuai dengan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang ditempat akta itu dibuat merupakan
bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan
mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di
dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal
terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung
dengan apa yang menjadi pokok akta itu”.
3) Pasal 1868 BW dinyatakan bahwa:
“Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat di mana akta dibuatnya”. 97
 Dari bunyi ketiga pasal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan akta autentik adalah suatu
surat yang dibuat secara tertulis oleh pejabat umum yang
karena jabatannya mempunyai wewenang untuk itu.
 Dalam praktik surat yang dibuat secara tertulis yang dilakukan
secara notariil adalah sebuah surat yang dibuat oleh seorang
notaris, atas permintaan para pihak yang telah menghadap
yang memerlukan jasanya untuk dibuatkan suatu surat
tertentu yang telah disepakatii oleh para pihak dituangkan ke
dalam bentuk akta.
 Umumnya dalam pembuatan akta yang dibuat di hadapan
notaris, isi dan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam akta
telah ditentukan oleh para pihak yang berkepentingan dan
notaris menuangkan dalam bentuk akta.
98
b. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan diatur dalam:
1) Pasal 286 RBg dinyatakan bahwa:
(1) Akta-akta di bawah tangan adalah akta-akta yang ditandatangani
di bawah tangan, surat-surat, daftar-daftar, surat-surat mengenai
rumah tangga dan surat-surat lain yang dibuat tanpa campur
tangan pejabat pemerintah.
(2) Cap jari yang dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan
disamakan dengan tanda tangan asal disahkan dengan suatu
surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia
mengenai pemberian cap jari atau yang diperkenalkan kepadanya
dan bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada di pembubuh cap
jari dan bahwa cap jari tersebut dibubuhkan di hadapannya.

99
(3) Pejabat tersebut membukukan surat itu.
(4) Pernyataan serta pembukuannya dilakukan menurut apa yang
ditentutakn dalam ordinasi atau menurut peraturs-peraturan
yang akan ditetapkan.

2) Pasal 287 RBg ditentukan bahwa:


(1) Apabila dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan, di luar
hal seperti tersebut dalam ayat (2) Pasal 286, maka surat-surat
di bawah tangan yang ditandatangani dapat dilengkapi dengan
keterangan yang bertanggal yang dibuat oleh noatris atau
pejabat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang menyatakan mengenai di penanda tangan
atau yang telah diperkenalkan kepadanya dan bahwa isi akta
itu telah dijelaskan kepada si penanda tangan dan bahwa
kemudian tanda tangan telah dibubuhkan di hadapannya.
(2) Untuk ini berlaku ayat (3) dan (4) pasal yang lalu 100
c. Surat Biasa
 Bukti berupa surat biasa umumnya pembuatannya dilakukan
secara sepihak. Misalnya: surat tanda terima pembayaran
(kuitansi), surat penyerahan barang (tanda terima penyerahan
barang), wesel, pembukuan, surat menyurat yang ada
hubungan dengan bisnis, polis asuransi, dan sebagainya.
 Alat bukti berupa surat biasa ini dalam praktik persidangan di
pengadilan umum hanya akan dijadikan alat bukti penunjang
yang sifatnya insidentil dan bukan merupakan alat bukti yang
pokok dalam suatu sengketa, kecuali apabila dalam sengketa
yang dihadapi oleh para pihak tidak ada bukti lain yang sah,
maka bukti surat biasa dapat dijadikan sebagai alat bukti pokok
dalam suatu perkara ditambah dengan alat bukti sumpah.
101
2. Alat Bukti Dengan Saksi
a. Siapa Saja yang Dapat Dijadikan sebagai saksi dalam
persindangan?
 Tentang siapa saja yang dapat dijadikan sebagai saksi dalam
perkara perdata di persidangan secara yuridis pada asasnya
semua orang yang sudah dewasa dan mempunyai akal yang
sehat dapat dijadikan sebagai saksi dalam suatu perkara,
kecuali terhadap orang-orang yang masih ada hubungan
keluarga, orang-orang yang belum cukup umur 15 (lima belas)
tahun dan orang-orang yang berada dibawah pengampunan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 433 dan 434 BW jo. Pasal
145 HIR jo. Pasal 172 RBg., karena orang-orang ini digolongkan
atau termasuk orang-orang yang tidak punya cakap dalam
melakukan perbuatan hukum.
102
 Dalam Praktik Hukum Acara Perdata umumnya ada 3 (tiga)
macama saksi antara lain sebagai berikut:
1) Saksi yang sengaja dihadirkan dan keberadaannya sangat
diperlukan karena telah menyaksikan adanya kejadian atau
peristiwa dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para
pihak yang membutuhkannya (Pasal 1902 BW).
2) Saksi yang kebetulan pada saat terjadinya suatu kejadian atau
peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak yang beperkara
mereka melihat, mendengar dan menyaksikan secara langsung
bukan mendengar dari cerita orang lain.
3) Kesaksian dari pendengar (testimonium de a auditu atau biasa
disebut dengan saksi de auditu).
Kesaksian dari pendengaran ini umumnya saksi tidak mengalami
dan menyaksikan secara langsung tentang terjadinya suatu
peristiwa hukum, tetapi saksi ini mengetahui adanya peristiwa
hukum hanya berdasarkan cerita orang tuanya atau orang lain.

103
 Saksi yang tersebut nomor 1 (satu) dan nomor 2 (dua)
tersebut di atas umumnya dalam praktik persidangan
sangatlah diperlukan karena mereka dapat menjelaskan
dan menerangkan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan terjadinya suatu peristiwa hukum secara detail baik
itu tentang alasan-alasan dan sebab-sebab terjadinya
suatu peristiwa (Pasal 171 HIR jo. Pasal 1907 alinea kedua
BW).
 Kedua macam saksi tersebut di atas merupakan saksi yang
sering dipergunakan dalam persindangan karena mereka
telah melihat, mendengar, dan menyaksikan secara
langsung terjadinya peristiwa hukum

104
 Khusus untuk saksi yang tersebut nomor 3 (tiga) di atas, yaitu
kesaksian dari pendengaran (testimonium de a auditu atau biasa
disebut dengan saksi de auditu) yang tidak melihat, mengalami,
dan menyaksikan secara langsung tentang terjadinya peristiwa
hukum, apabila pengadilan membutuhkan keterangannya bukan
merupakan bukti kesaksian melainkan kesaksiannya hanyalah
sebatas untuk menjelaskan dan atau menerangkan tentang
terjadinya peristiwa hukum yang di dengar dari orang tuanya atau
orang lain.
 Dalam Praktik Hukum Acara Perdata kesaksian dari pendengaran
ini tidak dilarang, kesaksian yang larang oleh peraturan perundang-
undangan adalah saksi yang memberikan keterangannya dengan
cara memperkirakan atau mengira-gira tentang terjadinya peristiwa
hukum yang dipersengketakan oleh para pihak yang sedang
beperkaraa (Pasal 171 ayat (2) HIR jo. Pasal 308 ayat (2) RBg).
 Keterangan kesaksian dari pendengaran ini umumnya bermanfaat
untuk menyusun gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

105
3. Alat Bukti Persangkaan
 Yang dimaksud dengan persengketaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim
ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah suatu
peristiwa yang tidak terkenal (Pasal 1915 alinea ke satu BW).
 Dari pengertian alat bukti persangkaan menurut BW tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
persengketaan adalah kesimpulan-kesimpulan sementara
terhadap terjadinya suatu peristiwa hukum berdasarkan
undang-undang dan keyakinan hakim yang belum terbukti
tentang kebenarannya.

106
 Dari kesimpulan tersebut jelaslah sudah bahwa alat bukti
berupa persangkaan-persangkaan di dalam Hukum Acara
Perdata terdapat 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut.

a. Persangkaan menurut Undang-Undang


 Yang dimaksud dengan persangkaan menurut undang-
undang adalah persangkaan yang berdasarkan suatu
ketentuan khusus yang ada di dalam undang-undang yang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa hukum tertentu (Pasal 1916 alinea ke satu
BW).

107
b. Persangkaan berdasarkan keyakinan hakim
 Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang ini
umumnya adalah persangkaan-persangkaan atau dugaan-dugaan
yang disimpulkan oleh hakim berdasarkan peristiwa hukum dalam
perkara.
 Dalam praktik alat bukti persangkaan dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan hakim dalam hal menentukan suatu putusan.
 Pertimbangan keputusan yang diawali dengan adanya
persangkaan saja tidaklah cukup harus ada persangkaan-
persangkaan lain yang saling berhubungan dengan peristiwa
hukumnya sehingga dari beberapa persangkaan yang saling
berhubungan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim
untuk menentukan siapakah yang salah dalam suatu perkara.

108
 Umumnya alat bukti persengketaan ini akan diterapkan
(dipakai) oleh Hakim apabila ternyata dalam perkara yang
ditangani oleh pengadilan ternyata tidak ada alat bukti saksi
yang mendengar, mengalami dan menyaksikan langsung
terjadinya peristiwa hukum yang dialami oleh para pihak yang
sedang beperkara.
 Persangkaan-persangkaan ini dalam Praktik Hukum Acara
Perdata maupun Hukum Acara Pidana dipergunakan sebagai
petunjuk untuk mengetahui siapa yang bersalah dalam suatu
perkara dan dapat juga dipergunakan oleh Hakim untuk dasar
membuat pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjebak pihak
yang salah dalam satu perkara.

109
4. Alat Bukti Pengakuan
 Alat bukti berupa pengakuan dalam Hukum Acara Perdata
apabila pihak Tergugat atau pihak lawan dalam perkara di
persidangan telah mengakui adanya sesuatu peristiwa
hukum, umumnya tidak perlu adanya pembuktian.
 Namun, jika ternyata dalam suatu perkara pengakuan
seseorang terhadap hak kepemilikan atas suatu benda baik
bergerak maupun tidak bergerak dan terjadinya suatu
peristiwa hukum disangkal oleh pihak lawan, maka pihak
yang disangkal tersebut harus dapat membuktikan adanya
bukti hak kepemilikan atas bendanya dan bukti atau saksi
yang melihat dan mendengar terjadinya peristiwa hukum yang
dilakukan oleh pihak yang sedang beperkara.

110
 Pengakuan dalam Hukum Acara Perdata menurut Pasal 1923
Bw, terdapat 2 (dua) macam:
a. Pengakuan di muka Hakim
 Pengakuan di muka Hakim yang telah disumpah baik itu
dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan maupun melalui
kuasa hukumnya dan tidak disangkal oleh pihak lawannya,
maka pembuktian dari pengakuan tersebut telah sempurna
dan kekuatan pembuktiannya mutlak (Pasal 1925 BW jo.
Pasal 174 HIR jo. Pasal 311RBg).
 Pengakuan semacam ini masuk dalam pengakuan yang murni
karena pihak lawan atau tergugat membenarkan secara
keseluruhan gugatan penggugat dan tidak mengadakan
pelawanan atas gugatan Penggugat.
111
b. Pengakuan lisan di luar persidangan
 Pengakuan lisan di luar sidang pengadilan secara yuridis
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna
karena pengakuan tersebut dilakukan tidak dengan
sumpah, kecuali pengakuan lisan di luar sidang pengadilan
yang dilakuakn oleh saksi, walaupun tanpa disumpah
pengakuannya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
sempurna.
 Pengakuan lisan di luar persidangan tanpa disumpah
berharga tidaknya suatu pengakuan tersebut sebagai alat
bukti sepenuhnya tergantung pada pertimbangan Hakim
dalam menilai sebuah pengakuan (Pasal 1927 dan 1928
Bw jo. Pasal 175 HIR jo. Pasal 312 RBg)

112
 Misalnya apabila kehadiran saksi betul-betul dibutuhkan dalam
persidangan, tetapi saksi tidak bisa hadir disebabkan oleh karena
sakit yang penyembuhannya diperkirakan dalam jangka waktu yang
lama, maka hakim atas permohonan salah satu pihak yang sedang
bersengketa dan menurut pengadilan diperlukan kesaksiannya,
dapat memerintahkan hakim anggota yang turut serta menangani
perkara yang dibantu oleh panitera untuk mendatangi saksi di
rumahnya dan meminta keterangan dari saksi tanpa disumpah atas
terjadinya peristiwa hukum yang dilihat, didengar, dan dialami oleh
saksi.
 Selanjutnya, Hakim Anggota dan Panitera yang telah memeriksa
saksi, membuat berita acara tentang pemeriksaan yang telah
dilaksanakan (Pasal 169 RBg).
 Pengakuan lisan di luar persidangan yang tanpa disumpah
sebagaimana disebutkan di atas dapat menjadi alat bukti yang
sempurna, walaupun tanpa disumpah karena saksi yang demikian ini
merupakan saksi yang telah menyaksikan secara langsung tentang
terjadinya suatu perkara yang dilakukan oleh para pihak yang
sedang beperkara tanpa adanya rekayasa. 113
5. Alat Bukti Sumpah
 Yang dimaksud dengan alat bukti sumpah adalah sumpah yang diucapkan
oleh seseorang di muka hakim untuk memberikan keterangan yang sejujur-
jujurnya tentang terjadinya suatu peristiwa hukum dalam suatu perkara.
 Dalam pengucapan sumpah di muka hakim umumnya disesuaikan dengan
agama yang dianut oleh seseorang yang akan disumpah karena pengucapan
sumpah yang disesuaikan dengan agama atau keyakinannya di maksudkan
agar yang bersangkutan setelah disumpah dapat memberikan keterangan
yang jujur terhadap terjadinya peristiwa hukum yang didengar, dialami dan
dilihatnya secara langsung tanpa adanya unsur kebohongan.
 Alat bukti berupa sumpah dalam hukum acara perdata sangatlah penting di
dalam persidangan karena keterangan di atas sumpah dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah terhadap suatu peristiwa hukum yang dihadapai
oleh para pihak yang sedang beperkara.
 Dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan apabila tidak ada alat bukti
lain dalam suatu perkara, maka sumpah dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah dan juga dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim
untuk menentukan suatu putusan apabila dinyatakan dengan jujur tanpa
adanya rekayasa. 114
 Sumpah menurut Pasal 1929 BW ada 2 (dua) macam, yaitu:

a. Sumpah karena Jabatan


 Yang dimaksud dengan sumpah karena jabatan adalah
seorang hakim yang karena jabatannya mempunyai hak
untuk memerintahkan salah satu pihak yang beperkara untuk
bersumpah sebelum dilakukan pemeriksaan.
 Dalam hukum acar perdata apabila dalam suatu perkara yang
ditangani oleh hakim dalam persidangan di pengadilan alat
bukti yang ada tidak sempurna dan tidak ada bukti lain lagi
untuk menguatkannya, maka hakim karena jabatannya
mempunyai hak untuk memerintahkan salah satu pihak yang
beperkara atau kuasanya yang sah untuk bersumpah
dihadapan hakim.
115
 Sumpah yang dilakukan oleh salah satu pihak yang
beperkara ini dalam pelaksanaanya akan dipergunakan
oleh Hakim untuk menentukan putusan dikabulkan atau
tidak dikabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat.
 Jika yang diperkarakan di persidangan pengadilan tentang
sejumlah uang yang besarnya diragukan karena alat
buktinya tidak sempurna dan tidak ada alat bukti lain lagi,
maka untuk meyakinkan besarnya jumlah uang yang
diperkarakan hakim dapat memerintahkan salah satu pihak
yang beperkara untuk melakukan sumpah.

116
 Apabila dalam suatu perkara perdata ternyata yang diperintah untuk
bersumpah berhalangan karena suatu sebab tertentu tidak dapat
hadir dalam persidangan dan tidak dapat melaksanakan perintah
tersebut, maka hakim dapat memerintahkan hakim anggotanya untuk
melakukan sumpah di rumahnya yang disaksikan oleh pihak lawan.
 Apabila rumah yang diperintahkan untuk bersumpah letaknya di luar
wilayah hukum pengadilan negeri yang menangani perkara, maka
Ketua Pengadilan Negeri yang menangani perkara tersebut dapat
mememinta bantuan kepada pengadilan negeri lain atau kepala
pemerintah setempat di tempat tinggal yang diperintahkan untuk
melakukan sumpah di rumahnya yang disaksikan oleh pihak
lawannya.
 Dalam hal sumpah yang dilaksanakan di rumah salah satu pihak
yang beperkara, hakim membuat proses verbal untuk dilaporkan
kepada hakim ketua yang menangani perkara.

117
b. Sumpah Pemutus
 Yang dimaksud dengan sumpah pemutus adalah sumpah di
muka hakim yang dilakukan oleh salah satu pihak atas
permintaan pihak lawan dalam suatu perkara untuk memperkuat
pengakuan tentang terjadinya peristiwa hukum yang menjadi
sengketa.
 Sumpah pemutus dalam perkara perdata di persidangan
pengaduilan dapat dijadikanb sebagai bahan pertimbangan oleh
hakim dalam memutuskan suatu perkara.

118
 Apabila dalam suatu perkara perdata bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak tidak sempurna atau tidak kuat, maka salah satu
pihak yang beperkara dapat meminta kepada Hakim agar pihak
lawannya diperintahkan untuk bersumpah di muka Hakim.
 Sumpah pemutus dalam hukum acara perdata dapat
dipergunakan segala persengketaan dalam setiap tingkatan
pengadilan baik itu Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Tinggi.
 Apabila pihak yang beperkara masing-masing saling
mempertahankan tuntutan dan atau pembelaannya, maka
hakim atas permintaan salah satu pihak dalam suatu perkara
baik itu penggugat maupun tergugat dapat memerintahkan
salah satu pihak yang sedang beperkara untuk bersumpah di
muka hakim. 119
6. Alat Bukti Keterangan Saksi Ahli
 Yang dimaksud dengan alat bukti keterangan saksi ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang ahli dalam bidang ilmu
tertentu terhadap terjadinya peristiwa hukum dalam suatu
perkara.
 Alat bukti berupa keterangan ahli baru akan dipergunakan oleh
hakim dalam persidangan apabila dalam sengketa yang dihadapi
oleh para pihak yang sedang beperkara untuk menjelaskan dang
mengungkap adanya peristiwa hukum diperlukan adanya
keterangan seorang saksi ahli di bidang ilmu pengetahuan
tertentu yang berhubungan dengan perkara yang dihadapi oleh
para pihak, maka hakim karena jabatannya atau atas permintaan
kedua belah pihak yang beperkara dapat mengangkat seorang
ahli yang keahliannya ada hubungannya dengan perkara yang
sedang dihadapi oleh para pihak. 120
 Pengangkatan seorang ahli yang dibutuhkan dalam persidangan
harus disumpah terlebih dahulu di muka Hakim, tetapi jika
tempat tinggal ahli tersebut berada di luar wilayah pengadilan
yang memeriksa perkara, maka Ketua Pengadilan dapat
meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri Lain atau
Kejaksaan yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau domisili
ahli yang dibutuhkan.
 Seorang ahli tersebut sebelum memberikan keterangan tentang
peristiwa hukum yang sedang dihadapi oleh para pihak yang
sedang beperkara harus disumpah oleh Hakim Pengadilan
Negeri Lain atau Kejaksaan yang telah ditunjuk untuk itu.

121
7. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat
 Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan
langsung yang dilakukan oleh Hakim Anggota dan Panitera Pengganti
terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang menjadi
objek sengketa para pihak.
 Dalam persidangan apabila ada permintaan dari salah satu pihak atau para
pihak yang sedang beperkara atau karena jabatannya Hakim memandang
perlu untuk mengadakan pemeriksaan setempat terhadap objek yang
menjadi sengketa para pihak yang sedang beperkara dan diperkirakan
objeknya tidak dapat diajukan ke depan sidang pengadilan, maka hakim
ketua dapat memerintahkan hakim anggota yang dibantu oleh panitera
pengganti mengadakan pemeriksaan setempat terhadap objek sengketa.
 Pemeriksaan setempat ini sangat diperlukan dalam hal penyitaan terhadap
barang-barang jaminan baik barang-barang bergerak maupun tidak
bergerak karena selain untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya juga
dapat dipergunakan untuk bahan mengambil keputusan, khususnya
terhadap barang-barang yang tidak begerak harus diketahui betul tentang
letak ban batas-batasnya. 122
VII. KESIMPULAN/KONKLUSI
 Dalam persidangan PN pada umumnya untuk mempertahankan
hak-haknya terjadi perdebatan antara pihak Penggugat dan
pihak Tergugat yang dalam praktek dikenal dengan Refliek dan
Dupliek.
 Pasal 142 Rv menegaskan, bahwa dalam tenggang waktu yang
sama para pihak dapat saling menyampaikan surat-surat
jawaban (refliek)dan jawaban balik (dupliek) yang dengan cara
yang sama, bersama-sama dengan surat-surat yang
bersangkutan diserahkan kepada Panitera.
 Jawaban Tergugat ada kemungkinan juga mengemukakan
adanya fakta-fakta lain yang dapat dipergunakan untuk
membenarkan kedudukannya untuk melawan adanya gugatan
yang diajukan Penggugat.
 Pada akhir dari semua proses pemeriksaan perkara perdata
sebelum hakim menjatuhkan putusan para pihak berperkara
diberi kesempatan menyampaikan kesimpulan/konklusi.
123
VIII. PEMBACAAN PUTUSAN
 Asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 178 HIR,
Pasal 189 RBg, dan Pasal 18 UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (dahulu UU No. 14 Tahun 1970).

1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci


 Menurut asas ini putusan yang dinyatakan harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak
memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup
pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient
judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar
pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan :
- Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan;
- Hukum kebiasaan;
- Yuridis;
- Doktrin hukum. 124
 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970,
sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan
sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 yang
menyatakan : bahwa segala putusan pengadilan harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan
pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang
bersangkutan dengan perkara yang diputuskan atau berdasarkan
dasar hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin
hukum.
 Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, Hakim karena
jabatannya atau secara ex officio, wajib mencukupkan segala
alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang
berperkara.
 Untuk memenuhi kewajiban itu, Pasal 27 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun
1999, sekarang dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2007,
memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak
hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam maysarakat. 125
 Hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali
nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat.
 Putusan Majelis hakim yang tidak cukup pertimbangan adalah
masalah yuridis; akibatnya, putusan yang seperti itu, dapat
dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.

2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan


 Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HRI, Pasal 189
ayat (2) RBg, dan Pasal 50 Rv, putusan harus secara total
dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi
gugatan yang diajukan; tidak boleh hanya memeriksa dan
memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan
sebelumnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan
dengan asas yang digariskan undang-undang.

126
3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
 Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR; Pasal 189 ayat
(3) RBg, dan Pasal 50 Rv.
 Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
diajukan dalam gugatan.
 Larangan ini disebut ultra petitum portium.
 Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum
gugatan, dianggap melampaui batas wewenang atau ultra
vires yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the
powers of his authority).
 Putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat
(invalit) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik
(goog faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum
(public interest).

127
4. Putusan diucapkan di muka umum
a) Prinsip keterbukaan untuk umum bersifat imperatif, oleh
karena itu persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum, merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial.
 Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus
berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir.
 Dengan demikian, prisip peradilan terbuka untuk umum
mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan,
merupakan bagian dari asas fair trial.
b) Akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan.
 Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 berbunyi : “semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

128
c) Dalam hal pemeriksanaan secara tertutup, putusan tetap
diucapkan dalam Sidang Terbuka.
 Dalam kasus tertentu, peraturan perundang-undangan
membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.
Akan tetapi pengecualian ini terbatas, yang paling utama
dalam bidang hukum kekeluargaan, khususnya mengenai
perkara perceraian.
 menurut Pasal 39 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tata cara perceraian didepan sidang pengadilan
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
 Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975, sebagai peraturan
pelaksana, prinsip sidang tertutup mengenai perkara
perceraian menurut penjelasan Pasal 33 tersebut :
- tidak hanya terbatas pada pemeriksaan para pihak yang
berperkara;
- tetapi meliputi juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. 129
d) Diucapkan di dalam sidang pengadilan
 Di mana ditegaskan prinsip pemeriksaan dan pengucapan
putusan yang terbuka untuk umum; dilakukan dalam ruang
sidang gedung pengadilan yang ditentukan untuk itu.
- pemeriksaan berlangsung terbuka untuk umum;
- putusan mesti tetap diucapkan diruang sidang gedung
pengadilan dengan cara terbuka untuk umum.
e) Radio & Televisi dapat menyiarkan langsung pemeriksaan dari
ruang sidang.
 Apakah makna persidangan terbuka untuk umum itu, meliputi
kebolehan menyiarkan atau menayangkan proses pemeriksaan
dan pengucapkan putusan langsung dari dalam ruang sidang.
 Bahwa prinsip open justice tidak terlepas kaitannya dengan
kebebasan berekspresi (The freedom of expression) mengenai
aktivitas pemerintahan, termasuk juga kekuasaan kehakiman
(judical power) tiada lain dari pada pelaksanaan kekuasaan
negara di bidang peradilan (judical power of the state). 130
Formalitas Isi Putusan
(a) Setiap Putusan Hakim Harus Selalu dimulai dengan kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.
 Irah-irah tersebut mengandung makna bahwa keputusannya
mempunyai kekuatan eksekutorial, yang mana dalam praktek
apabila ternyata pihak yang dihukum atau dikalahkan dalam
suatu sengketa di pengadilan ternyata lalai atau tidak mau
dengan sukarela menyerahkan barang-barang yang menjadi
jaminan baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak
sesuai dengan keputusan pengadilan, maka penyerahannya
kepada pihak yang dimenangkan dalam suatu perkara di
pengadilan dapat dilaksanakan dengan cara paksa oleh pihak
pengadilan yang dibantu oleh pihak aparat teritorial setempat.
 Apabila putusan hakim tidak memuat irah-irah tersebut maka
putusan itu dapat dinyatakan cacat hukum, sehingga putusan
tersebut tidak dapat dilaksanakan. 131
(b) Setiap putusan harus memuat tanggal putusan dijatuhkan dan
diucapkan di dalam sidang pengadilan
 Pencantuman tanggal putusan adalah penting selain untuk
mengetahui kapan putusan dijatuhkan, juga untuk
menentukan batas waktu pelaksanaan putusan dan batas
waktu kesempatan memberikan perlawanan pihak yang
dikalahkan dalam persidangan.
 Pada asasnya batas waktu adanya perlawanan dari pihak
yang dikalahkan dalam suatu perkara pengadilan peradilan
suatu sengketa adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak
adanya putusan Pengadilan Negeri dan atau keputusannya
telah in kracht van gewijsde atau mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.

132
 Khusus untuk mereka yang dikalahkan dalam suatu sengketa
di peradilan dan pada saat diputus ternyata mereka tidak
hadir dalam persidangan atau in absenia dan diberikan
keputusan verstek, maka batas waktunya adalah 14 (empat
belas) hari terhitung sejak pihak yang dikalahkan menerima
pemberitahuan dari pihak pengadilan, (Pasal 128 ayat (1) dan
Pasal 129 ayat (2) HIR).
 Bagi pihak yang dikalahkan yang melakukan banding atas
putusan hakim tetapi mereka tidak mau membayar dan/atau
terlambat membayar biaya kepada Panitera pengadilan,
setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka
perlawanannya akan ditolak pengadilan karena kadaluarsa.

133
(c) Setiap putusan pengadilan harus dibacakan dalam sidang
pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum, (Pasal 13
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)
1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain;
2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunayai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum;
3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan putusan batal demi
hukum.

134
(d) Setiap putusan harus ditandatangani oleh Hakim Ketua,
Hakim Anggota dan Panitera
 Pasal 184 ayat (1) HIR, Jo Pasal 195 ayat (3) RBg, Jo Pasal
50 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
 Suatu putusan pengadilan yang tidak ditandatangani Hakim
Ketua, Hakim Anggota dan Panitera yang telah memeriksa
suatu perkara secara yuridis, tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat kepada para pihak yang berperkara.
 Apabila Hakim Ketua tidak dapat menandatangani putusan
karena berhalangan atau karena suatu sebab dapat
digantikan oleh Hakim anggota yang turut memeriksa dalam
persidangan perkara tersebut yang pangkat dan jabatannya di
bawah Hakim Ketua (Pasal 187 ayat (1) HIR, Jo Pasal 198
ayat (1) RBg.

135
Substansi & Sistematika Putusan Mejelis Hakim
 Format substansi dan sistematika putusan adalah semua isi
dan sistematika yang harus dimuat dalam putusan sehingga
putusan tersebut memenuhi syarat perundang-undangan.
 Format putusan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR atau
Pasal 195 RBg, apabila putusan yang dijatuhkan tidak
mengikuti susunan perumusan yang digariskan pasal
tersebut, maka putusan itu tidak sah dan harus dibatalkan.
(contoh kasus putusan MA No.132k/Sip/1974, tentang
kasusu putusan PN tidak mencantumkan rumusan posita
gugatan atau duduk perkara, dan juga tidak mencantumkan
dalam putusan jawaban tergugat, padahal jawaban
dibarengi dengan gugatan rekonvensi, putusan yang seperti
ini bertentangan dengan Pasal 184 ayat (1) HIR.

136
 Mengenai format putusan tidak hanya diatur dalam Pasal 184
ayat (1) HIR, dan Pasal 195 RBg, tetapi juga dalam Pasal 23
UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No.
35 Tahun 1999, saat ini Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004, maka
fornat yang harus dimuat dalam putusan adalah :
1. Memuat secara ringkas dan jelas Pokok Perkara, Jawaban,
Pertimbangan dan Amar Putusan.
Hal-hal yang perlu dimuat dalam putusan

a. Dalil Gugatan
 Dalil gugatan atau fundamentum petendi, dijelaskan dengan
singkat dasar hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan;
penerapan uraian dalil gugatan dalam putusan, dibawah
penyebutan identitas para pihak.
137
b. Mencantumkan Jawaban Tergugat
 Kaharusan mencantumkan jawaban tergugat menurut Pasal
184 ayat (1) HIR, cukup dengan ringkas: tidak mesti
keseluruhan; cukup diambil yang pokok dan relevan dengan
syarat, tidak boleh menghilangkan makna hakiki jawaban
tersebut.
 Pengaturan jawaban dalam arti luas, meliputi reflik dan duplik
serta konklusi.
c. Uraian Singkat Ringkasan dan Lingkup Pembuktian
 Uraian selanjutnya deskripsi fakta dan alat-alat bukti atau
pembuktian yang ringkas dan lengkap.
 Dimulai dengan alat bukti atau pembuktian yang diajukan
penggugat, dan dilanjutkan dengan pembuktian tergugat:
- alat bukti apa saja yang diajukan masing-masing pihak;
- terpenuhi atau tidak syarat formil dan syarat materil
masing-masing alat bukti yang diajukan. 138
d. Pertimbangan Hukum
 Pertimbangan hukum menjadi jiwa dan intisari putusan.
 Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau
kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara.
 Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas
berdasarkan undang-undangan pembuktian:
1) Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat
memenuhi syarat formil dan materil;
2) Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal
pembuktian;
3) Dalil gugatan apa saja dan dalil bantahan apa saja yang
terbukti;
4) Sejauhmana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para
pihak.
 Selanjutnya, diikuti analisis, hukum apa yang diterapkan
menyelesaikan perkara tersebut. 139
 Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan melakukan argumentasi
yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan
dalil gugatan atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum
yang diterapkan.
e. Ketentuan perundang-undangan
 Keharusan menyebutkan pasal-pasal tertentu peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dalam putusan, digariskan
dalam Pasal 184 ayat (2) HIR yang menegaskan, apabila putusan
didasarkan pada aturan undang-undang yang pasti maka aturan itu
harus disebut pada bagian memperhatikan.
 Juga diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970
sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang
diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009,” segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-
dasar putusan, harus juga memuat pasal-pasal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan putusan,
atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tak tertulis yang
menjadi dasar pertimbangan dan putusan.
140
f. Amar Putusan
 Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang
berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak
dengan barang objek yang disengketakan.
 Dan juga berisi perintah atau penghukuman atau condemnatoir
yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara.
 Amar putusan harus jelas dan ringkas perumusannya, dengan
acuan sebagai berikut :
(1) Gugatan mengandung cacat formal;
(2) Gugatan tidak terbukti;
(3) Menolak gugatan penggugat seluruhnya;
(4) Mencantumkan biaya perkara :
Prinsip pembebanan biaya perkara merujuk pada Pasal 181 ayat
(1) HIR, Pasal 192 ayat (1) RBg, biaya perkara dibebankan :
- dibebankan kepada pihak yang kalah, hal ini apabila putusan
mutlak mengalahkan pihak penggugat;
- kemenangan tidak mutlak, dibebankan secara berimbang. 141
PENGAMBILAN KEPUTUSAN

 Salinan Putusan Pengadilan hanyan diberikan pengadilan


kepada para pihak yang berperkara. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 52 A ayat (2) UU No. 49 tahun 2009 tentang
perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
“Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada
para pihak dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
sejak putusan diucapkan”.
 Sedangkan masyarakat umum atau media hanya boleh
mendapat foto copy atau naskah elektronik putusan.

142
IX. UPAYA HUKUM

 Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah suatu upaya


yang diberikan oleh undang-undang kepada semua pihak yang
sedang berperkara dipengadilan untuk mengajukan
perlawanan terhadap keputusan hakim.
 Maksud dari pada kalimat upaya hukum yang diberikan oleh
undang-undang kepada setap orang disini adalah bahwa
setiap orang yang sedang berperkara dipengadilan baik itu
penggugat maupun tergugat diberikan hak untuk mengajukan
perlawaan terhadap keputusan hakim yang telah
memeriksanya.
 Dengan adanya hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
setiap orang yang sedang berperkara di pengadilan bermanfaat :
1. Untuk mencegah adanya keputusan yang salah;
2. Untuk mencegah adanya Hakim yang berpihak kepada salah
satu pihak yang dalam suatu perkara;
3. Untuk mencegah adanya kesewang-wenangan Hakim dalam
menangani suatu perkara;
4. Untuk memicu Hakim dalam melaksanakan tugasnya agar
supaya dalam menangani suatu perkara dapat bertindak
bijaksana dan memberikan keputusan yang adil;
5. Untuk terciptanya asas peradilan yang dapat dilaksanakan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;
6. untuk menjadi tumpuan akhir bagi para pencari keadilan;
7. Untuk mendidik para Hakim menjadi Hakim yang profesional;
8. Utuk memperbaiki keputusan Hakim yang salah.
144
 Upaya hukum dalam Hukum Acara Perdata terdapat 2 (dua)
macam upaya hukum yaitu :
1. Upaya Hukum Biasa
 Yang termasuk dalam upaya hukum biasa antara lain sebagai
berikut :
a. Verstek
 Verstek, yaitu putusan tidak hadirnya Tergugat dalam
persidangan 2 (dua) kali berturut-turut dan tidak menyuruh
wakilnya atau kuasa hukumnya yang diberikan kuasa khusus
untuk itu (Pasal 129 HIR).
 Dalam putusan ini pihak Tergugat yang berada dalam pihak
yang dikalahkan dapat mengajukan perlawanan (verzet)
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung setelah
Putusan Pengadilan diberitahukan kepada Tergugat (Pasal
128 ayat (1) HIR jo. Pasal 152 ayat (1) RBg. 145
b. Banding
Memory banding adalah risalah mengenai penjelasan keberatan
(memorie van grieven) atau memory of objection terhadap
pertimbangan dan kesimpulan putusan Pengadilan Negeri
berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum yang sebenarnya.
Pada dasarnya pengajuan banding dengan menyertakan memory
banding buksn merupakan syarat formil. Hal ini diatur dalam Pasal
199 ayat (1) Rechtsregment Buitengwesten (RBg) yang
menyatakan : “....jika dikehendaki (pemohon banding), dapat disertai
dengan surat memori dan surat lain yang dianggap perlu....”.
Menurut putusan MA No. 663K/SIP/1971 putusan kasasi
mengenai pengajuan memori banding mengatakan bahwa memori
banding bukan syarat formal permohonan banding karena undang-
undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan memori atau
risalah banding.
146
 Selanjutnya putusan MA No. 3135K/Pdt/1983 juga
menyatakan tanpa memori atau kontra memori banding,
permohonan banding sah dan dapat diterima dan oleh karena
itu perkara tetap diperiksa ulang secara keseluruhan.
 Mengenai tenggang waktu memori banding, tidak ada diatur
secara tegas, karena memori banding bukan merupakan
syarat formil pengajuan banding.
 Penyampaian memori banding yang dianggap tepat dilakukan
bersamaan dengan permohonan banding. Denegan demikian
pada saat pemberitahuan banding kepada terbanding, juru sita
tidak mengalami kendala untuk sekaligus menyerahkan
salinan memori banding kepada terbanding. Namun banding
dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat
banding belum memutus perkara tersebut.

147
ALUR PENDAFTARAN BANDING PERKARA PERDATA
1 2 3

Permohonan Banding Petugas banding


Permohonan banding
Mengajukan banding dan Mencatat pendaftaran
Membayar panjar biaya perkara ke kasir
memberikan memory banding permohonan banding

Panitera Muda Perdata


Memeriksa permohonan
4
banding dan menunjuk juru
sita pengganti

Panitera/Sekretarris
Juru sita pengganti
Memeriksa dan 6
5 Mengirim pemberitahuan banding, memori
menandatangi permohonan
banding dan inzaghe (pemeriksaan berkas)
banding

Petugas banding 7
Menerima kontra memori banding (bila ada)

Juru sita pengganti


8
Mengirim kontra memori banding

Petugas banding
9
Mengirimkan budel perkara ke Pengadilan 148
Tinggi (PT)
 Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah
diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan di luar
hadir para pihak.
 Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya
perkara banding telah dibayar lunas.
 Apabila panjar biaya banding telah dibayar lunas, maka
pengadilan wajib membuat akta pernyataan banding, dan
mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk
dan register banding.
 Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah
disampaikan kepada lawannya.

149
 Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding
harus dicatat, dan salinannya disampaikan kepada masing-
masing lawannya dengan membuat relaas
pemberitahuan/penyerahannya.
 Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, harus
diberi kesempatan kepada kedua belajh pihak untuk
mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan
dituangkan dalam akta.
 Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding
diajukan, seluruh berkas banding (budel) di kirim ke
Pengadilan Tinggi.

150
ALUR PENDAFTARAN KASASI PERKARA PERDATA
1 2 3

Permohonan Kasasi Petugas Kasasi


Permohonan Kasasi
Mengajukan Kasasi dan Mencatat pendaftaran
Membayar panjar biaya perkara ke kasir
memberikan memory Kasasi permohonan Kasasi
(wajib)
Panitera Muda Perdata
Memeriksa permohonan
4
Kasasi dan menunjuk juru sita
pengganti

Panitera/Sekretarris
Juru sita pengganti
Memeriksa dan 6
5 Mengirim pemberitahuan Kasasi, memori
menandatangi permohonan
Kasasi dan inzaghe (pemeriksaan berkas)
Kasasi

Petugas Kasasi 7
Menerima kontra memori Kasasi

Juru sita pengganti


8
Mengirim kontra memori Kasasi

Petugas Kasasi
9
Mengirimkan budel perkara 151
ke Mahkamah Agung
 Permohonan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah putusan diucapkan atau diberitahukan,
dalam hal putusan tersebut di luar hadir.
 Pernyataan kasasi dapat diterima, apabila panjar biaya
perkara kasasi telah dibayar lunas.
 Setelah pemohon membayar biaya perkara, pengadilan pada
hari itu juga wajib membuat akta pernyataan kasasi yang
dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan
kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register
kasasi.
 Permohonan kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari harus
disampaikan kepada pihak lawan.

152
 Memori kasasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja sesudah pernyataan kasasi, harus sudah diterima
pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
 Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan
memori kasasi, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari salinan memori kasasi tersebut disampaikan
kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud.

153
 Jawaban kontra memori kasasi, selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari sesudah disampaikannya memori kasasi
harus sudah diterima pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
 Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi
diajukan, berkas kasasi (seluruh budel) harus dikirim ke
Mahkamah Agung.

154
X. PENINJAUAN KEMBALI (PK)
A Dasar Hukum.
Pasal 67-77 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1
(satu) kali.
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut selama belum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan Peninjauan
Kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

155
B.TATA CARA PENINJAUAN KEMBALI

Permohonan Peninjauan Kembalidiajukan sendiri oleh para


pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Apabila selama Peninjauan Kembali, pemohon meninggal
dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Tenggang waktu pengajuan Peninjauan Kembali didasarkan
atas alasan seperti pada Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang
MA adalah 180 (seratus delapan puluh) hari.

156
C. ALASAN-ALASAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA
PERDATA

Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU


No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :
Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Perkara Perdata yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a.Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim
Pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang waktu perkara diperiksa tidak
dapat ditemukan. 157
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari pada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum
diputus dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu hal
yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang
sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
Hakim atau kekeliruan yang nyata.

158
 Pasal 69 UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung menyatakan : Tenggang waktu
pengajuan permohoan Peninjauan Kembali yang didasarkan
atas alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 adalah
180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. Yang disebut pada huruf a, sejak diketahui kebohongan atau
tipu muslihat atau sejak putusan Hakim Pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap, dam telah diberitahukan kepada pihak
yan berperkara.
b. Yang disebut pada huruf b, sejak ditemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di
bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

159
c. Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan
kepada pihak yang berperkara.
d. Yang tersebut pada huruf e, sejaka putusan yang terakhir dan
yang bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukam kepada pihak yang berperkara.

160

Anda mungkin juga menyukai