Anda di halaman 1dari 53

INTRAEPITHELIAL

DISEASE OF
CERVIX, VAGINA
AND VULVA
INTRAEPITHELIAL
DISEASE OF CERVIX
Anatomi Serviks
◦ Serviks tersusun dari epitel kolumnar yang
melapisi endoserviks dan epitel skuamosa yang
melapisi eksoserviks
◦ Lapisan antara endoserviks dan eksoserviks
disebut squamocolumnar junction (SCJ)
Squamocolumnar
Junction
◦ SCJ mengalami perubahan terhadap stimulasi dari pubertas,
kehamilan, menopause, dan stimulasi hormonal.
◦ Pada neonates, SCJ berada di eksoserviks. Saat menstruasi, estrogen
menstimulasi epitel vagina memproduksi glikogen. Glikogen yang
dihasilkan di metabolisme oleh bakteri Lactobacilli yang ada di
vagina, membuat lingkungan vagina menjadi lebih asam. Lingkungan
asam ini menstimulasi sel subkolumnar reverse untuk metaplasia.
◦ Metaplasia dimulai dari original SCJ menuju ke arah
ostium eksternal, membuat zona transformasi.
◦ Pada saat epitel di zona transformasi matur, sel tersebut
akan mulai produksi glikogen dan berubah menyerupai
epitel skuamosa jika dilihat secara histologis.
◦ Kelainan Cervical Intraepithelial Neoplasia, bermula di
zona transformasi yang sudah matur.
◦ Bibir anterior serviks beresiko 2x lipat terkena CIN
daripada bagian posterior.
◦ Pada epitel metaplastik matur yang membentuk glikogen (disebut
healed transformation zone), akan berperan menjadi pelapis,
sehingga akan menurunkan resiko terinfeksi terhadap stimuli
onkogenik.
◦ Saat menstruasi dan pasca hamil, merupakan waktu dimana proses
metaplasia sangat aktif terjadi, sehingga meningkatkan resiko
yang lebih rentan terhadap stimuli onkogenik.
◦ Sebaliknya, pada saat menopause, proses metaplasia akan
berkurang, sehingga menurunkan resiko CIN dengan penyebab
infeksi Human Pappiloma Virus (HPV) yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
◦ Dari berbagai macam studi disimpulkan bahwa faktor resiko
terjadinya CIN adalah infeksi HPV yang bersifat onkogenik.
Zona Transformasi Normal
◦ Original epitel skuamosa vagina dan eksoserviks memiliki 4 lapisan:
◦ Lapisan basal  satu lapis epitel berupa sel imatur dengan rasio inti sel yang lebih besar daripada sitoplasma.
◦ Lapisan parabasal  2-4 lapisan epitel berupa sel imatur yang memiliki gambaran mitotik normal dan akan
menggantikan lapisan epitel diatasnya.
◦ Lapisan intermediate  4-6 lapisan epitel dengan jumlah sitoplasma yang banyak, berbentuk polyhedral yang
dipisahkan ruang interselular. Ruangan interselular tersebut berfungsi sebagai tempat produksi glikogen.
◦ Lapisan superfisial  5-8 lapisan epitel sel pipih dengan intisel yang uniform dan sitoplasma yang banyak
mengandung glikogen. Inti sel menjadi pyknotic dan sel akan terlepas dari permukaan (exfoliation). Sel ini menjadi
dasar dari pemeriksaan Papanicolaou (Pap), yang lebih dikenal dengan pemeriksaan sitologi serviks.
Epitel Kolumnar
◦ Metaplasia pada SCJ dimulai dari sel subkolumnar reverse yang akan proliferasi, menyebabkan epitel kolumnar terdorong ke
atas, akibat dari stimulasi lingkungan yang asam.
◦ Proses metaplasia secara seluler dimulai dari bagian vili kolumnar yang pertama kali terpapar lingkungan asam vagina. Ketika
metaplasia terjadi, maka epitel kolumnar akan tergantikan, kapiler sentral pada bagian villi akan hancur, epitel menjadi pipih,
kemudian terlepas dari epitel bersama jaringan kapiler
◦ Semakin dalam letak cleft, maka proses penggantian oleh epitel metaplastik tidak akan sempurna, dan menyisakan sel
kolumnar yang menyekresikan mucus yang terjebak dibawah epitel skuamosa.
◦ Beberapa kelenjar terbuka ke arah permukaan epitel, sebagian terbungkus dengan mucus dalam nabothian cyst.
◦ Gland openings dan nabothian cyst menjadi tanda original SCJ dan batas terluar dari zona transformasi original.
Human Pappiloma Virus
◦ Perubahan sitologi yang disebabkan oleh HPV pertama kali diketahui oleh Koss and Durfe pada tahun 1956 dan diberi istilah
koilocytosis.
◦ Akivitas molecular yang menunjukan tinggginya DNA HPV dan kapsid, menunjukkan infeksi aktif virus pada sel koilositik.
◦ Perubahan yang disebabkan oleh HPV ditemukan pada setiap derajat neoplasia serviks. Infeksi HPV dan lesi prekursornya
menjadi penyebab utama kanker serviks.
◦ Ketika derajat lesi CIN semakin berat, koilosit akan menghilang, jumlah HPV berkurang dan antigen kapsid menghilang. Hal
ini mengindikasikan bahwa virus tidak bisa bereproduksi pada sel yang kurang terdiferensiasi dengan baik.
◦ Untuk menjadi keganasan, maka diperlukan integrasi DNA transkripsi virus ke sel host. Transformasi keganasan ini
membutuhkan ekspresi dari oncoprotein HPV E6 dan E7.
◦ Terdapat lebih dari 120 jenis tipe HPV yang sudah diidentifikasi, dengan 30 diantaranya menjadi agen infeksi primer sel epitel
skuamosa pada jalur anogenital pria dan wanita.
◦ HPV-16 menjadi tipe paling sering yang ditemukan pada CIN 2 dan CIN 3. Tipe tersebut menjadi tipe paling umum yang ditemukan
pada wanita dengan sitologi normal.
◦ Infeksi HPV-16 bukan menjadi temuan spesifik dan dapat ditemukan pada 16% wanita dengan low grade lesion dan 14% pada wanita
dengan sitologi normal.
◦ HPV-18 ditemukan pada 23% wanita dengan kanker invasif, 5% pada wanita dengan CIN 2 dan CIN 3, 5% pada wanita dengan HPV
dan CIN 1, <2% pada pasien dengan temuan negative. HPV-18 lebih spesifik dibandingkan HPV-16 pada tumor invasif.
◦ Infeksi HPV memerlukan beberapa tahun hingga menimbulkan gejala.
◦ Dalam beberapa kasus kebanyakan infeksi HPV akan hilang dalam 9-15 bulan. Sedikit dari wanita yang mengalami infeksi HPV
berlanjut menjadi CIN.
◦ Faktor resiko yang memengaruhi infeksi HPV menjadi persisten adalah rokok, penggunaan kontrasepsi, infeksi dengan STI lain, atau
nutrisi. Faktor tersebut juga memengaruhi integrasi DNA HPV ke dalam genome pasien.
SCREENING
Sitologi Serviks
◦ Berdasarkan system Bathesda III (2001), lesi squamous premaligna yang berpotensi dibagi menjadi 3 kategori: atypical
squamous cell (ASC), low grade squamous intraepithelial lesions (LSILs), dan High grade squamous intraepithelial lesions
(HSILs).
◦ ASC dibagi menjadi 2 kategori: ASC unknown significance (ASC-US) dan ASC dengan high grade lesion (ASC-H)
◦ LSILs termasuk CIN 1 (mild dysplasia), dan perubahan HPV, disebut koilositotik atipia.
◦ HSILs termasuk CIN 2 dan CIN 3 (moderate dysplasia, severe dysplasia, dan CIS).
Akurasi Sitologi Serviks
◦ Skrining kanker serviks dengan menggunakan exfoliative cervicovaginal cytology, atau Pap smear mampu mengurangi
insidensi kanker serviks hingga 79% dan mortalitas 70% sejak tahun 1950. inisidensi menurun dari 8 kasus menjadi 5 kasus
per 100000 wanita, jadi kira-kira 8200 wanita terdiagnosis kanker serviks tiap tahunnya.
◦ Dalam sebuah studi oleh Agency for Healthcare Research and Quality menyimpulkan bahwa sensitivitas pemeriksaan sitologi
konvensional untuk mendeteksi lesi pre kanker adalah 51% dengan estimasi false-negative 49%.
◦ Dalam review dari 3 studi, sensitifitas assessment sitologi untuk deteksi CIN 2 dan CIN 3 antara 47 – 62% dan spesifitas
antara 60 – 95%.
Skrining Kanker Serviks
◦ American Collage of Obstetric and Gynecology (ACOG) merekomendasikan bahwa wanita tidak perlu melakukan skrining
kanker serviks hingga usia 21 tahun, terlepas dari pernah melakukan aktivitas seksual atau tidak.
◦ Frekuensi skrining setiap 2 tahun sekali mulai dari usia 21 tahun – 29 tahun dan 3 tahun sekali pada wanita usia >30 tahun
setelah menjalani hasil 3x negative untuk intraepithelial lesion atau keganasan.
◦ Frekuensi yang lebih sering direkomendasikan untuk pasien dengan HIV positif (2x pada tahun pertama dan selanjutnya setiap
tahun), pada wanita dengan imunsupres, anak wanita dengan diethylstilbestrol (DES), Riwayat CIN 2 atau diatasnya (setelah
skrining rutin 20 tahun).
◦ Berhenti untuk melakukan skrining boleh dilakukan antara usia 65 tahun – 70 tahun dengan sebelumnya melakukan
assessment ulang faktor resiko.
Perbandingan Guideline Skrining
Atypical Squamous Cell
◦ ASC tidak dikategorikan sebagai tumor jinak, reaktif dan memiliki perubahan reparative, berdasarkan klasifikasi Bathesda III,
dikategorikan sebagai hal normal.
◦ Diagnosis sitologi ASC-US berkaitan dengan 10-20% kejadian CIN1, dan 3-5% resiko CIN 2 atau 3.
◦ Pemeriksaan kolposkopi yang cepat diasumsikan akan sangat sensitif dalam deteksi CIN 2 dan CIN 3. 80% pasien tidak
memiliki lesi yang signifikan, maka penting untuk menghindari overinterpretasi pada temuan kolmposkopik
◦ Assessment pap smear ASC-US dapat mengidentifikasi 90% pasien dengan CIN 2 atau CIN 3.
◦ Wanita dengan ASC-H harus melakukan kolposkopi karena memiliki resiko tinggi menjadi CIN 2 atau CIN 3.
Skrining LSILs dan HSILs
◦ Low-Grade Squamous Intraepithelial Lesions  melakukan pemeriksaan sitologi dan kemudian dilakukan pemeriksaan
kolposkopi untuk dievaluasi
◦ High-Grade Squamous Intraepithelial Lesions  menjalani pemeriksaan kolposkopi dan biopsy specimen.
Diagnosis Kolposkopi
◦ Dalam melakukan pemeriksaan kolposkopik perlu dilakukan
pemeriksaan komprehensif seperti identifikasi acetowhitening
atau lesi lainnya dan interpretasi menyeluruh dari pemeriksaan
(normal/benign, low-grade, high-grade, cancer).
Temuan Kolposkopi
◦ Acetowhite Epithelium  merupakan epitel yang menadi putih karena aplikasi dari asam asetat (3-5%). Pemberian asam
asetat akan mengkoagulasi protein inti sel dan sitoplasma yang membuat protein menjadi pecah dan menjadi putih.
◦ Asam asetat dipengaruhi maturitas, epitel penghasil glikogen menyebabkan asam tidak mampu penetrasi 1/3 luar epitel. Sel
pada regio ini memiliki inti sel kecil dan banyak glikogen. Area ini akan tetap menjadi pink ketika dilakukan kolposkopi.
◦ Sel displastik akan sangat berpengaruh karena memiliki inti sel yang besar dan jumlah protein (kromatin) yang banyak.
◦ Leukoplakia  merupakan plak berwarna
putih, terlihat sebelum aplikasi asam asetat.
Leukoplakia menunjukkan lapisan keratin
pada epitel. Sel epitel skuamosa yang imatur
memiliki potensi menjadi sel keratin atau sel
yang produksi glikogen (diferensiasi normal)
di vagina atau serviks.
◦ Leukoplakia dapat dengan mudah
dibersihkan dengan aplikator ujung kapas.
Produksi keratin menunjukkan abnormalitas
pada mukosa cervicovaginal.
◦ Leukoplakia merupakan kondisi umum saat
terjadi infeksi HPV dan perlu dilakukan
biopsi
◦ Punctation  kapiler yang berdilatasi pada
ujung permukaan, berbentuk dots atau titik-
titik. Ketika pembuluh darah ini berada pada
area acetowhite, maka mengindikasikan
abnormalitas, biasanya high-grade CIN.
Pembuluh darah punctate terbentuk sejak
proses migrasi epitel metaplastic ke arah vili
kolumnar
◦ Mosaik  ujung kapiler yang membentuk pola sirkuler
atau polygonal. Pola mosaic ini bisa mengindikasikan
high-grade lesion (CIN 2 atau CIN 3).
◦ International Federetion for Cervical Pathology and
Colposcopy menambahkan kriteria kolposkopi pada CIN
3, yaitu ridge sign.
◦ Ridge sign  acetowhite yang pekat, tebal meluas
sepanjang cervical ridge dan inner border sign
◦ Tanda ini menambahkan dari tanda sebelumnya,
gambaran cuffer gland (acetowhite yang pekat skitar
gland opening dan rag sign), menunjukkan gambaran
epitel yang terkelupas pada area acetowhite.
Management
◦ CIN 1  secara histopatologi memberikan gambaran infkesi HPV, namun bukan prekursor dari kanker. Pada CIN 1 yang
menetap selama 24 bulan atau lebih, pasien yang sudah menjalani pemeriksaan kolposkopik yang cukup diberikan pilihan
untuk melanjutkan observasi atau menghancurkan area zona transformasi dengan menggunakan ablasi atau eksisi.
◦ CIN 2 dan CIN 3  lesi pada CIN 2 dan CIN 3 merupakan prekursor neoplastik. Wanita berusia >25 tahun dengan
pemeriksaan kolposkopi yang adekuat dan melakukan pemeriksaan histologi untuk CIN 2 dan CIN 3, diperlukan terapi untuk
menghancurkan atau eksisi zona transformasi.
◦ Ablasi tidak direkomendasikan jika kolposkopi tidak adekuat. Terdapat pengecualian untuk rekomendasi terapi ini:
◦ Wanita hamil yang tidak ada invasive disease, diikuti pemeriksaan sitologi dan kolposkopi, sampai reevaluasi 6 minggu post partum
◦ Pada wanita hamil <25 tahun dengan CIN 2 atau CIN 3, diperlukan observasi intensif dan pemeriksaan sitologi dan kolposkopi pada bulan ke
6 dan 12, jika hasil normal maka dilakukan pemeriksaan Kembali 1 tahun lagi
Cont. Management
◦ Pada pasien dengan CIN 2 atau CIN 3 direkomendasikan terapi dengan menggunakan LEE. Terapi ablasi menggunakan
krioterapi, laser atau Teknik lain tidak di rekomendasikan ketika CIN 2 atau CIN 3 berada di endoserviks berdasarakan
pemeriksaan kolposkopi dan endoservical curettage (ECC) atau adanya mikroinvasif atau kanker invasive pada pemeriksaan
sitologi, kolposkopi, ECC dan biopsy.
◦ CIS  terdapat adenokarsinoma In situ (AIS), sel glandular di endoserviks yang digantikan oleh sel kolumnar dengan
stratifikasi inti sel, hiperkromasia, iregular, dan peningkatan aktivitas mitotik yang atipikal.
◦ AIS merupakan perkursor kanker dan disarankan pada wanita yang sudah memiliki cukup anak, terdiagnosis AIS secara histopatologi dari
specimen yang diambil, untuk menjalani histerektomi. Temuan AIS secara histologi dan sitologi belum cukup untuk menjustifikasi melakukan
histerektomi.
◦ Managemen konservatif dengan conization dapat dipertimbangkan pada wanita yang masih subur atau ingin memiliki anak.
◦ Pada semua kasus post conization untuk AIS, diperlukan reassessment 6 bulan kemudian dengan pemeriksaan sitologi, kolposkopi, uji DNA
HPV dan pengambilan sampel endoserviks pada wanita yang tidak menjalani histerektomi.
MODALITAS TERAPI
Krioterapi
◦ Krioterapi menghancurkan permukaan epitel serviks dengan melakukan pengkristalan air intraselular yang menyebabkan
kehancuran sel.
◦ Suhu yang dibutuhkan untuk efektivitas menghancurkan sel adalah antara -20 OC hingga -30OC. Nitrous Oxide (-89OC) dan
Carbondioxide (-65OC) merupakan dua gas yang umum digunakan dalam prosedur ini.
◦ Teknik yang paling efektif adalah metode freeze-thaw-freeze dimana akan terbentuk bola es (ice ball) berukuran 5mm pada
probe. Waktu yang dibutuhkan tergantung pada tekanan yang dihasilkan gas, semakin tinggi tekanan, semakin cepat bola es
terbentuk.
◦ Krioterapi merupakan terapi yang efektif untuk CIN, relatif aman dengan resiko rendah seperti stenosis serviks, pendarahan
pasca terapi yang sangat jarang terjadi.
◦ Tingkat kesembuhan berkorelasi pada derajat lesi.
◦ Kriteria krioterapi:
◦ CIN 1 yang persisten selama 24 bulan, atau CIN 2
◦ Lesi yang berukuran kecil
◦ Berlokasi hanya di ectoserviks
◦ Sampel endoserviks negative
◦ Tidak ada keterlibatan kelenjar endoserviks pada biopsy
Loop Electrosurgical Excision
◦ Loop Electrosurgical Excision merupakan alat penting untuk diagnosis dan terapi CIN. Keuntungannya yang dimiliki adalah
dalam satu kali visit sudah bisa didapatkan diagnosis dan pengobatan.
◦ Jaringan yang terkena energi listrik dari alat ini, bergantung pada elektron (ukuran wire), daya (watt), dan jumlah cairan dalam
jaringan. Jika daya terlalu kecil, efeknya akan menjadi electrocauter, efek termal akan menyebabkan perluasan luka. Jika daya
tinggi (35 – 55 W) dan loop wire kecil (0.5mm), efeknya akan electrosurgical yang menghasilkan luka termal berukuran kecil.
◦ Setelah dilakukan eksisi, elektroda bentuk bola dengan diameter 5mm dan daya 50W digunakan untuk menghasilakn percikan
listrik, proses ini disebut electrofulguration, berfungsi untuk membuat luka termal menjadi hemostasis. Namun, jika terlalu proses
fulguration terlalu banyak, pasien akan mengalami eschar dengan banyak cairan, serta resiko infkesi dan pendarahan meningkat.
◦ Loop excision tidak seharusnya digunakan HSILs sebelum ada hasil histopatologi.
◦ LEE meningkatkan resiko kelahiran preterm, PROM, dan LBW dengan kehamilan >20minggu
◦ Komplikasi LEE relatif rendah seperti pendarahan saat operasi, pendarahan pasca operasi dan stenosis serviks, namun jarang
terjadi.
Conization
◦ Conization dapat dijalani dengan menggunakan scalpel, electrosurgical needle, atau laser.
◦ Sebelum ada kolposkopi, conization menjadi standard untuk mengevaluasi dari hasil pap smear yang abnormal.
◦ Conization di indikasikan untuk wanita dengan diagnosis CIN 3 atau AGC-AIS, dan dapat dipertimbangkan beberapa keadaan
dibawah ini:
◦ Batasan lesi yang tidak bisa di lihat dengan kolposkopi
◦ SCJ yang tidak bisa dievaluasi dengan kolposkopi
◦ Hasil pemeriksaan jaringan didapatkan positif CIN 2 atau CIN 3
◦ Kurangnya korelasi antara sitologi, biopsi, dan hasil kolposkopi
◦ Adanya kecurigaan microinvasion berdasarkan biopsi, kolposkopi dan hasil sitologi
◦ Kolposkopi tidak bisa menyingkirkan adanya kanker yang invasif
Histerektomi
◦ Histerektomi merupakan terapi terakhir untuk CIN derajat berat yang rekuren.
◦ Beberapa kondisi dimana histerektomi menjadi pilihan yang tepat:
◦ Microinvasion
◦ Secara histologi terkonfirmasi CIN derajat berat yang rekuren
◦ Berdasarkan pemeriksaan patologi ginekologi didapatkan kondisi seperti fibroid, prolapse, endometriosis, dan pelvic inflammatory disease
VAGINAL
INTRAEPITHELIAL
NEOPLASIA (VAIN)
VAIN
◦ VAIN biasanya muncul bersamaan dengan CIN dan memiliki etiologi yang sama.
◦ Lesi dari CIN dapa mengalami perluasan menuju vagina atau terdapat lesi satelit yang muncul pada bagian vagina atas.
◦ Vagina tidak memiliki zona transformasi dengan epitel immature yang dapat diinfeksi oleh HPV, maka mekanisme masuknya
HPV adalah melalui abrasi ringan yang terjadi pada saat hubungan seksual.
◦ Ketika abrasi ini sembuh dengan sel skuama mateplastik, HPV akan tumbuh karena menyerupai zona transformasi pada
serviks.
◦ Lesi pada VAIN bersifat asimtomatik. Karena VAIN ini disebabkan oleh infeksi HPV yang aktif, biasanya pasien memiliki
keluhan kutil pada vulva atau keluarnya cairan vagina dari kutil tersebut.
Diagnosis
◦ Pemeriksaan kolposkopi dan biopsy adalah pemeriksaan standard untuk diagnosis VAIN.
◦ Pasien dengan VAIN harus melaksanakan prosedur pemeriksaan CIN karena memiliki penyebab yang sama.
◦ Wanita dengan hasil sitologi abnormal yang persisten, tanpa ada bukti patologis serviks dan pada pasien dengan sitologi
abnormal pasca terapi CIN, harus di lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk VAIN
◦ Pada wanita yang sudah melakukan pengangkatan serviks karena high-grade cervical neoplasia, pemeriksaan Pap harus
dilakukan regular dengan interval (misal: tahunan), dengan pertimbangan diagnosis dan derajat berat lesi.
◦ Ciri khas dari VAIN, lesinya berada disepanjang vaginal ridge, berbentuk oval/ovoid, sedikit elevasi, dan biasanya memiliki
permukaan spikula.
Ktegori VAIN
◦ VAIN 1  biasanya disertai beberapa koilositosis,
mengindikasikan asal infeksi HPV.
◦ VAIN 2  memperlihatkan gambaran acetowhite
epithelium yang tebal, batas eksternal yang lebih
menonjol, dan kurang mampu mengangkut iodine (pada
pemeriksaan lugol).
◦ VAIN 3  permukaan seperti papilla, gambaran
pembuluh darah yang mosaik atau punctation.
Terapi
◦ Pasien dengan VAIN 1/HPV atau VAIN 2 tidak membutuhkan terapi, sehingga hanya dilakukan observasi. Lesi ini biasanya
akan berulang jika di lakukan tindakan ablasi.
◦ Dalam sebuah studi yang melibatkan 32 pasien menjalani prosedur upper vaginectomy untuk VAIN 3, ditemukan 9 pasien
dengan karsinoma infasif. Dianjurkan pada pasien yang berusia tua yang lokasi lesi VAIN 3 berada di dimples of vaginal cuff,
perlu di eksisi untuk mengetahui keberadaan kanker invasif.
◦ Pada pasien dengan VAIN 3 yang sederhana dan tanpa invasi kanker, dapat diterapi dengan laser atau terapi eksisi.
Keuntungan dari penggunaan laser:
◦ Pengaturan kedalaman dan lebar area yang dihancurkan.
◦ Proses penyembuhan yang lebih cepat (3-4 minggu) dan epitel baru yang terbentuk adalah epitel matur mengandung glikogen.
◦ Ketika laser kontak dengan jaringan, energi diserap oleh air didalam sel, membuat air mendidih dengan cepat. Selnya akan
meledak menjadi uap. Protein dan mineral yang ada didalam sel akan terbakar oleh panas dan meninggalkan bercak
kemerahan pada area yang terekspos.
◦ Kedalaman laser menghancurkan jaringan diatur oleh kekuatan beam (dalam watt), area beam (milimeter kuadrat), dan durasi
waktu laser. Beam harus bergerak satu arah melewati jaringan, untuk menghindari destruksi yang lebih dalam.
◦ Laser beam akan menyebabkan penguapan pada daerah sentral dan menyisakan zona nekrosis hasil panas laser.
◦ Tujuan dari laser vaporization adalah untuk meminimalisir area jaringan yang nekrosis. Hal ini dapat diwujudkan dengan
menggunakan watt yang tinggi (20 W) dengan ukuran beam 1.5 mm dan menggerakan laser satu arah dengan cukup cepat
melewati permukaan.
◦ Zona termal nekrosis akan menjadi 0.1mm ketika laser digunakan dengan kriteria tersebut.
◦ Bedah krio (Cryosurgery) tidak bisa digunakan pada vagina, karena kedalaman luka tidak bisa dikontrol dan beresiko melukai
kandung kemih atau rektum.
◦ Vaginektomi total diperlukan pada pasien dengan VAIN 3 yang lesinya mengokupasi seluruh vagina. Prosedur ini harus
disertai dengan skin graft.
◦ Potensi keganasan VAIN pada pasien yang menderita CIS (carcinoma in situ) dapat dikatakan rendah. Dari sebuah studi
menyatakan 136 pasien penderita CIS vagina yang berusia >30 tahun, 4 diantara nya berlanjut ke kanker infasif vagina.
VULVAR
INTRAEPITHELIAL
DISEASE (VIN)
VIN
◦ Klasifikasi VIN dari International Society for the
Study of Vulvar Disease (1989)
◦ VIN terbagi dalam beberapa derajat: 1 (ringan), 2
(sedang), 3 (berat atau carcinoma in situ/CIS),
berdasarkan maturitas sel, abnormalitas inti sel,
gangguan maturasi, dan aktivitas mitotik.
◦ VIN 1  sel imatur, disorganisasi aktivitas
selular, aktivitas mitotic yang terjadi hanya
1/3 bagian bawah epitel.
◦ VIN 3  sel imatur dengan sitoplasma yang
sangat sedikit dan perubahan kromatin yang
ada di hampir seluruh epitel.
◦ VIN 2  diantara VIN 1 dan VIN 3.
◦ Pada infeksi HPV, ditemukan perinuclear
halo yang inti sel nya di gantikan oleh
protein intrasitoplasmik virus, penebalan
dinding sel, binucleation, multinuclation,
yang terjadi pada lapisan superfisial,
biasanya ditemukan pada VIN 1 dan VIN 2.
◦ Adanya perubahan oleh virus ini bukan menjadi bukti
definitive neoplasia, melainkan indikasi pajanan virus.
◦ Kebanyakan kondiloma pada vulva disebabkan oleh HPV -6
dan HPV -11, sedangkan HPV-16 terderteksi >80% kejadian
VIN dengan pemeriksaan molekuler.
◦ VIN 3 merupakan precursor neoplastik yang bisa unifocal
ataupun multifocal. Ciri khas pada VIN 3 terdapat lesi
hiperpigmentasi yang kecil pada labia mayora.
◦ Istilah Bowenoid papulosis (Bowenoid dysplasia) digunakan
untuk menjelaskan lesi VIN multifocal dari derajat 1 sampai
3.
Terapi
◦ American Collage of Obstetric and Gynecology mempublikasikan terkait management VIN. Dalam laporan menjelaskan
bahwa VIN 1 tidak lagi di anggap sebagai lesi pre-kanker, mereka menyebutnya sebagai lesi HPV dan tidak memenuhi syarat
terapi. VIN 2 dengan p16 positif harus di terapi sama dengan VIN 3, namun jika p16 negative maka hanya dilakukan
observasi.
◦ Rekomendasi terapi pada CIS adalah vulvectomy, namun terdapat beberapa alternatif lainnya seperti eksisi sederhana, ablasi
laser, dan vulvectomy superfisial dengan atau tanpa skin grafting.
◦ Laser karbondioksida dapat digunakan untuk lesi multifocal, tidak untuk lesi unifocal
◦ Superficial vuvectomy sangat cocok untuk VIN 3 yang luas dan rekuren.
◦ Tujuan dari pembedahan adalah untuk ekstirpasi sebanyak mungkin bagian yang sakit dan menyisakan sebanyak mungkin
juga vulva yang normal. Vulva anterior dan klitoris harus dipertahankan sebisa mungkin. Jika Tindakan oeprasi nya luas maka
dilakukan skin grafting untuk menutupi defek yang luas. Graft diambil dari kulit yang tebal seperti bokong atau paha.
Paget Disease of Vulva
◦ Paget disease merupakan kelainan intraepithelial, karena
lesi nya menggambarkan diferensiasi apokrin, maka
dikatakan bahwa sel ganas berasal dari sel basal yang tidak
terdiferensiasi, yang terkonversi menjadi tipe sel tambahan
selama sitogenesis.
◦ Sel yang bertransformasi menyebar secara intraepitel
melalui epitel skuamosa dan bisa meluasi hingga ke
jaringan aksesori/tambahan.
◦ Pada pasien yang memiliki penyakit penyerta seperti
karsinoma kelenjar apokrin, kelenjar Bartholin, atau
anorectal, di yakini bahwa keganasan menyebar melalui
struktur ductus pada kulit dan mencapai ke epidermis. Pada
kasus seperti ini, metastasis ke bagian nodis limfa sekitar
dapat terjadi.
Manifestasi Klinis
◦ Paget disease pada vulva banyak menyerang wanita kulit putih
yang sudah menopause dan meberikan gambaran gejala seperti
pruritus (gatal) dan nyeri pada bagian vulva.
◦ Lesi nya menyerupai eczema yang terlihat secara makroskopik dan
biasanya muncul pada bagian vulva yang berambut. Lesi ini dapat
meluas hingga ke bagian mons pubis, paha, bokong, mukosa
rectum dan mukosa pada saluran kemih
◦ Ketika sudah melibatkan mukosa anal, biasanya disertai dengan
adenokarsinoma rektum
Terapi
◦ Terapi paget disease tidak bisa menggunakan laser karena dalam terapinya perlu mengangkat jaringan dermis yang
mendasarinya juga untuk kepentingan evaluasi pemeriksaan histologi.
◦ Pada paget disease maka perlu dilakukan vulvectomy dan juga ipsilateral lymphadenectomy pada inguinal-femoral. Hal ini
juga dilakukan pada lesi rekuren yang hampir selalu in situ, sehingga lesi rekuren dapat menjadi alasan dilakukannya tindakan
pembedahan.
Referensi
◦ Berek J S. Berek & Novak's Gynecology. 16th ed. 2019. Chapter 16. Hal: 910 – 959
◦ Speroff L,Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 9 th ed. 2020

Anda mungkin juga menyukai