Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KORUPSI SEBELUM INDONESIA MERDEKA

KELOMPOK 1

AFDAL DINILHAQ
ANITA REFANDA
AZFAHRA OTEMA
BAGUS IRWANDA
CHICHY ELFANI
CITRA WERDI DWI EDO
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak
dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era
Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya
masih jauh panggang dari api. Periodisasi
korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi
dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan.
Demikian mengawali tulisan berjudul Sejarah Korupsi
di Indonesia, tertanggal 17 Desember 2019. Penulisnya
adalah Lestari Moerdijat yang akrab di panggil Mbak
Rerie – lahir di Surabaya, 30 November 1967. Ibu dari
empat orang anak ini menyelesaikan pendidikan
sarjananya dan lulus sebagai arkeolog dari Universitas
Indonesia. Jenjang S2 diselesaikannya di Universitas
Pelita Harapan, dan saat ini tengah melanjutkan
program S3 pada universitas yang sama. Sejumlah
Executive Programme juga ditempuhnya, termasuk
salah satunya adalah program IDEAS Indonesia –
fellowship program dari MIT Sloan School of
Management dan UID (Yayasan Upaya Indonesia Dam).
Blog Aspirasi merangkum tulisan Lestari Moerdijat
berjudul SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA
:Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena
didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng
dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi,
Suro dan lain- lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).
Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya,
Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup
dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau
penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih
Gajah Mada. Mataram lemah dan semakin tidak punya
gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya
oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC
memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu
Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta
menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan
Surakarta dan Mangkunegaran. Kesultanan Yogyakarta
juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun
1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar
karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat
“nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak
terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk
mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain
tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan
yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang
pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari
perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari
muka atau berperilaku oportunis.
Pada masa Orde Lama, dibentuk Badan Pemberantasan
Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin
oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota
yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya.
Era sebelum Indonesia Merdeka Sejarah sebelum Indonesia
merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi”yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan
dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam
berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya,
Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng
dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir
dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso),
perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya
sampai terjadinya beberapa kali peralihan.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hal. 9kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang
dilakukan oleh Raja Jawa ditiruoleh Belanda ketika
menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman
Inggris (1811 – 1816)
Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-
perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-
lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu
penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia
yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri.
Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada
pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman
produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru
sangat memprihatinkan
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam
CS sebenarnya sangat “manusiawi”dan sangat
“beradab”, namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi,
mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem
Pemaksaan”.
Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di
Indonesia mengganti sebutan CS menjadi
DS. mengganti ungkapan “Sistem
Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa

Anda mungkin juga menyukai