Anda di halaman 1dari 10

Kelompok 14

▫ Cahyani Asri Pratiwi (933408719)


▫ Khoti Muhayati (933413519)
▫ Kharisma Dewi Aminah
(933413719)
▫ Fabi Annisa Farikha (933416319)

1
ABDURRAHMAN
WAHID
BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Beliau banyak mengahabiskan waktunya


Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 dengan mondok dibeberapa pesantren NU
September 1940 dari latar belakang kalangan terkemuka dari tahun 1957-1959. Kemudian
tradisional, sejak kecil ia dididik dan pada tahun 1964, Abdurrahman Wahid
dibesarkan dalam naungan keluarga ulama. berangkat ke Mesir untuk melanjutkan
Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo
Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri pada Department of higher Islamic and
Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Arabic Studie. Di Mesir ia tidak
Hasyim Asy’ari. menyelesaikan studinya karena universitas
tersebut dianggap tidak kondusif bagi
dirinya.

3
▫ Sekembalinya ke Indonesia Abdurrahman Wahid menetap di Jakarta bersama ibunya
dan melangsungkan pernikahannya dengan Nuriyah pada Desember tahun 1971.
Sejak saat itu Abdurrahman Wahid sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi di
Indonesia terutama tentang kondisi pesantren-pesantren yang ada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Gus Dur menyambut gembira gerakan untuk merubah pesantren,
akan tetapi ia gundah karena unsur-unsur tradisional dalam proses pembelajaran
sangat diabaikan. Sejak saat itulah beliau merasa perlu adanya perbaikan dalam
proses pembelajaran yang ada di pondok pesantren. Akhirnya beliau memutuskan
untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan di Indonesia dan menggagalkan
rencana studinya di Belanda.

4
Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui
paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang
menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam
tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga,
berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia.
Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang
terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi. Di bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak di pengaruhi oleh pemikir
Barat, terutama dengan filsafat humanisme. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh
para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besardalam membentuk pemikiran Gus
Dur kisah tentang Kyai Fatah dari tambak beras, KH.Ali Ma'shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari
Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan sentuhan
kemanusiaan.

5
Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang
sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua,
budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional
dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk
sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu
berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus
Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi. Posisi Gus Dur
sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus adalah sesuatu yang memang langka. Dan
kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang
mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati
tampak tidak menguntungkan secara politik. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala
pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya
sendiri.

6
Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pluralisme

Gus Dur bukan hanya menjadi pahlawan pluralisme melainkan juga ikon perjuangan pluralisme di
Indonesia yang dibangun dalam tatanan demokrasi yang plural, artinya sebuah kesadaran dan keterbukaan
untuk menerima dan mengakui perbedaan yang ada sembari mengolahnya dalam sikap saling
menghormati. Sikap pluralis tidak menyangkal adanya mayoritas dan minoritas, akan tetapi akan
menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar. Gus Dur memformulasikan konsep iman tidak hanya
dalam domain ketuhanan saja tapi juga dalam domain kemanusiaan. Manusia sebagai individu maupun
kelompok mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum negara maupun agama. Pluralisme dalam
pandangan Gus Dur bukanlah menganggap bahwa semua agama sama, pluralisme bukan masalah agama,
tetapi masalah sosiologis dan kemasyarakatan. Masing-masing agama menjalankan akidahnya, tetapi
hubungan antar agama harus tetap terjalin dengan baik. Misi Gus Dur dalam konsep pluralismenya adalah
berusaha menghilangkan sikap kebencian antar agama satu dengan lainnya, sebab kebencian dapat
menimbulkan permusuhan.

7
3 gagasan tujuan utama pluralisme Gus Dur :

Islam &Kebangsan Islam & Demokrasi HAM


Menurut Gus Dur agama sangat berkaitan
Menurut konsep Gus Dur Hubungan Islam dan demokrasi
dengan HAM, Dalam hal islam
dalam konteks kebangsaan, pada dasarnya sangat aksiomatis,
merumuskan tentang hak asasi manusia
Islam tidak memiliki bentuk karena islam merupakan agama dan
yang bertujuan untuk mendukung untuk
negara. Yang utama dalam risalah yang mengatur ibadah,
membina dan membentuk makhluk yang
Islam adalah etik akhlak manusia. Demokrasi
secara moral memiliki kesempurnaan.
kemasyarkatan. merupakan sebuah sistem
HAM yang dirumuskan Gus Dur bertujuan
pemerintahan dan mekanisme kerja
untuk menghilangkan adanya diskriminasi
antar anggota masyarakat serta
dalam masyarakat plural seperti yang sering
simbol yang diyakini membawa
terjadi di Indonesia.
banyak hal positif.

8
Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan-
kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Pribumisasi Islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma ini
menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh
variasi pemahaman nass, dengan tetap memberikan peranan kepada usul al-fiqh dan qawa’id al-fiqh. Di
sini, wahyu dalam pandangan Gus Dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan. Menurut Gus Dur yang dipribumikan adalah
manifestasi kehidupan islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan
formalnya. Tidak diperlukan Al-Qur’an Batak dan Hadits Jawa. Islam tetap Islam, dimana saja berada.
Namun tidak semua harus disamakan bentuk luar-nya. Yang menjadi agenda Gus Dur adalah berpikir
tentang bagaimana melestarikan agama islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan
kepentingan seluruh bangsa.

9
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai