Anda di halaman 1dari 20

FAT EMBOLISM (FE) DAN

FAT EMBOLISM SYNDROME (FES)


DAVID L. ROTHBERG, MD | CHRISTOPHER A. MAKAREWICH, MD
2018

Shabrina Yasyfi Hanifati (22004101096)

Pembimbing:
dr. Ida Bagus Adhi Prayoga, Sp. OT
◦ Fat Embolism (FE) adanya globul lemak pada sirkulasi pulmonal maupun
perifer.
◦ FE biasanya muncul setelah trauma atau saat dilakukan prosedur ortopedik.
◦ Beberapa penelitian mengungkapkan adanya kaitan antara FE dengan
gangguan neurokognitif dan terjadinya Deep Venous Thrombosis (DVT).
◦ Fat Embolism Syndrome (FES) gejala klinis yang mengikuti
gangguan tersebut, yaitu berupa trias:
1. Respiratoy Distress
2. Gejala Neurologis
3. Petechial Rash
EPIDEMIOLOGI
FE (Fat Embolism)
◦ Tidak mengancam nyawa dan cukup sering terjadi, pada otopsi FE ditemukan pada 68-82% pasien trauma tumpul.
◦ 87% pasien yang dioperasi ortopedik, ditemukan FE berupa gambaran material echogenic yang berjalan melewati
jantung. Emboli mayor (>1 cm) ditemukan pada 43% pasien.

FES (Fat Embolism Syndrome)


◦ Berpotensi mengancam nyawa, tetapi jarang terjadi.
◦ Kejadian FES<FE.
◦ FES ditemukan pada 30% pasien trauma ortopedik.
◦ Biasanya terjadi pada usia 10-40 tahun. Rata-rata usia pasien 31 tahun. Lebih sering pada laki-laki.
◦ Onsetnya biasanya 24-48 jam pasca trauma.
◦ 95% mengalami patah tulang ekstremitas bawah, dan lebih sering terjadi pada fraktur tertutupInsiden FES paling
banyak terjadi pada kasus Multiple fractures yang melibatkan femur.
PATOFISIOLOGI
◦ Patofisiologi FES belum diketahui secara pasti.
◦ Teori Mekanik dan Biokimia

1. Teori Mekanik/Mechanical Obstruction (Gauss, 1924)


◦ Trauma dan patah tulang panjang mengganggu lemak di sumsum dan juga merobek pembuluh darah
intraosseous.
◦ Vena dicirikan memiliki dinding yang lemah dan fleksibel; namun, di tulang, terkandung tubulus yang
terkalsifikasi dengan selubung perivaskular yang kakumemungkinkan ujung vena yang pecah tetap
terbuka, dan tekanan vena negatif dapat menarik gumpalan lemak bebas ke dalam sirkulasi.
◦ Dalam kasus artroplasti dan selama instrumentasi intramedullary, tekanan intramedullary meningkat
memaksa lemak masuk ke dalam vena. Begitu lemak memasuki sirkulasi, lemak dapat menjadi emboli
mekanis dan terjadi iskemi fokal.
2. Teori Biokimia/Biochemical Injury (Lehman and Moore, 1927)
◦ Setelah terjadi trauma lemak dimobilisasi dari tempat penyimpanannya dan diembolisasi ke dalam
jaringanmemicu terjadinya respon inflamasi.
◦ Lemak sumsum tulang yang diembolisasi ke paru-parupelepasan lokal lipase memecah lemak
menjadi free fatty acid dan gliserol.
◦ Free fatty acid bersifat toxic terhadap sel endoteledema vasogenik dan perdarahan.
◦ Pelepasan sitokin proinflamasi (IL-1 & IL-2) gangguan pernapasan akut respiratory sindrom
(ARDS).
◦ Selain itu terjadi peningkatan CRP lipid dalam darah menggumpal menjadi molekul yang lebih
besarmenghalangi pembuluh darah
◦ Lemak sumsum tulang bersifat protrombotik. Dalam sirkulasi, lemak tersebut dengan cepat
tertutupi trombosit dan fibrinmemicu kaskade koagulasitrombositopenia bahkan DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation).
◦ Pada kenyataannya, gejala klinis
FES kemungkinan merupakan
kombinasi dari obstruksi vaskular
mekanis dan respon inflamasi
tubuh terhadap trauma dan
embolisasi lemak.
GEJALA KLINIS
Trias FES
1. Respiratoy Distress
◦ Gejala pulmonal biasanya merupakan gejala yang pertama kali muncul (24-72 jam pasca trauma).
◦ Embolus yang besar dapat menyebabkan kolaps kardiopulmoner mendadak; tetapi lebih sering,
FES memiliki onset yang berbahaya dengan dispnea, takipnea, dan hipoksemia.
◦ 50% pasien FES mengalami gagal napas yang memerlukan ventilasi mekanis.
2. Gejala Neurologis
◦ Biasanya muncul setelah respiratory distress.
◦ Muncul pada 80% pasien FES.
◦ Kebingungan dan agitasi yang mirip dengan delirium, dan dapat berkembang menjadi defisit
fokal, seperti hemiplegia dan afasia, serta kejang dan koma.
3. Petechial Rash
◦ Terjadi pada 20-50% pasien FES.
◦ Distribusi khas: kepala, leher, dada, aksila, subkonjungtiva, dan mukosa mulut.
◦ Ptekie mirip pada kasus sepsis dan DIC.
Khas ruam pada FES:
terjadi di anterior tubuh, tidak pernah dilaporkan di bagian punggung. Secara teoritis, pola
ruam ini terjadi karena pada pasien terlentang, tetesan lemak (yang mengapung seperti
minyak di atas air) menumpuk di lengkung aorta dan kemudian didistribusikan melalui
pembuluh karotis dan subklavia.
◦ Tanda dan gejala lain yang sering dilaporkan:
- Takikardia
- Hipotensi
- Right heart strain
- Demam
- Retinopati
- Renal changes
- Koagulopati

◦ Angka kematian secara keseluruhan adalah 5-20%, biasanya karena gagal napas
atau gagal jantung kanan.
KRITERIA
DIAGNOSIS
◦ Kriteria Gurd:
◦ 1 mayor dan 4 minor
◦ Kriteria Schonfeld:
◦ Skor ≥5
◦ Kriteria Lindeque:
◦ Berfokus pada gejala repiratorik
◦ Adanya salah satu kriteria
mengindikasikan adanya FES.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

◦ Darah Lengkap:
◦ Anemia
◦ Trombositopenia
◦ ↑ sitokin pro inflamasi: 12 jam pasca trauma, IL-6 ↑ secara signifikan.
◦ ↑ serum lipase  Hipokalsemia dan ↓albumin (albumin binding to FFA).
◦ Adanya fat globules pada darah dan urin (tidak spesifik FES).
◦ Imaging:
◦ Foto Thorax: bilateral diffuse Foto Thorax:
or patchy ill-defined opacities; bilateral diffuse
patchy infiltrates
tetapi gambaran tersebut juga
tampak pada ARDS, edema
pulmonal, aspirasi, atau infeksi.

◦ CT Scan (lebih spesifik):


patchy ground glass opacities
dan konsolidasi dengan
Potongan axial CT-scan
penebalan interlobular yang dada menunjukkan
disebut pola “crazy paving”. penebalan septal
interlobular pada
bilateral paru bagian
anterior, disebut sebagai
“crazy paving” pattern.
◦ Imaging:
◦ MRI (paling spesifik): “starfield
pattern” dengan lesi multiple, small,
nonconfluent, hyperintense.
◦ Pada lesi ini diffusion-weighted
imaging akan berwarna opaque, lusen
susceptibility-weighted sequences

- MRI otak dari lesi ini konsisten


muncul secara anatomis dan
berkorelasi dengan temuan otopsi.
Lesi terjadi di periventrikular,
subkortikal, dan deep white matter.
- Temuan ini berbeda dengan cedera
aksonal difus, yang memiliki
penampilan serupa tetapi dengan multiple small nonconfluent lesions in the periventricuar and
lesi di gray-white matter junction. subcortical white matter that are
(A) bright on T2 sequences
(B) dark on susceptibility-weighted sequences
TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN
◦ Utamanya terapi suportif:
1. Menjaga ventilasi dan oksigenasi,
2. Stabilisasi hemodinamik,
3. Resusitasi dengan cairan dan produk darah.
◦ Awal 1950an: penelitian penggunaan heparin, glukosa hipertonik, peningkatan cairan asupan,
aspirin, dan kortikosteroidsemua tanpa manfaat konklusif.
◦ Studi baru-baru ini: menghambat Angiotensin II yang merupakan sitokin proinflamasi dan
profibrotik yang dimungkinkan berkontribusi pada patogenesis FES. Lemak yang timbul pada
paru-paru difagosistosis oleh makrofag dan memicu Renin-angiotensinpeningkatan Angiotensin
I dan II.
◦ Profilaksis kortikosteroid menurunkan risiko terjadinya FES sebanyak 78%.
Karena kurangnya bukti, serta insiden yang rendah dari FES dan potensi risiko dari pengobatan
kortikosteroid, profilaksis rutin menggunakan kortikosteroid tidak dianjurkan.
APLIKASI PADA TRAUMA

◦ TIMING TO SURGERY : early total care


◦ Ketika fracture yang dilakukan early surgical fixation ↑, jumlah kasus FES ↓.
◦ FES terjadi 22% pada kelompok nonsurgical, sedangkan pada kelompok yang
dilakukan early surgical fixation 4.5% mengalami FES.
◦ Penelitian membagi 2 kelompok, yaitu kelompok yang dioperasi sebelum 24 jam dan
setelah 48 jam. Pada kasus fraktur femur maupun multiple injury, komplikasi pulmonal
lebh banyak terjadi pada pasien yang terlambat dioperasi
◦ Damage control yang selanjutnya diikuti dengan terapi definitive dapat meningkatkan
survival chance pasien.
APLIKASI PADA TRAUMA
◦ METODE FIKSASI
◦ Nailing vs Plating
Terapi definitive fraktur corpus femur adalah reamed intramedullary nail ↑ canal pressures dan
menstimulasi reaksi inflamasi secara teoritis ↑risiko terjadinya FES dibandingkan metode fikasi yang
lain.
◦ Akan Tetapi, secara klinis metode nailing ataupun plating tidak memiliki perbedaan signifikan terhadap
komplikasi pulmonal maupun kematian.
risiko metode nailing=risiko metode plating)
◦ Intramedullary Nail vs External Fixation
Pasien multiple injury borderline stable yang dioperasi dengan metode intramedullary nail
memiliki riko acute lung injury 6x > daripada eksternal fikasi, tetapi tidak berbeda signfikan terhadap
risko ARDS maupun mortality.
◦ Reamed Nails vs Unreamed Nails
Reamed nailsunion rates >>(terutama pada fraktur distal), tetapi potensi ↑ komplikasi pulmonal
pada reamed nailing belum diketahui.
APLIKASI PADA TRAUMA
◦ MENURUNKAN EMBOLIC LOAD: TRAUMA
◦ Beberapa strategi untuk mengurangi embolic load melibatkan perubahan teknik reaming intramedullary.
◦ Reamer irrigator aspirator (RIA) diajukan sebagai pilihan untuk menurunkan embolic load.
◦ Embolic load carotid menggunakan RIA diketahui lebih rendah dibadingkan dengan menggunakan
unreamed maupun reamed standard. Tapi penelitian tersebut belum dilakukan secara klinis.
◦ Tingkat protein heat shock (brain stress) dan hypoxia-inducible factor (iskemik) lebih rendah pada RIA dan
unreamed daripada reamed standard.
◦ FRAKTUR FEMUR BILATERAL
◦ Injury yang jarang terjadi.
◦ Dibandingkan Fraktur Femur Unilateral, Fraktur Femur Bilateral yang ditangani dengan intramedullary
nails  insiden FES >7.5% , injury severity scores >>, membutuhkan resusitasi, dan tingkat ARDS>>.
◦ Mortalitas mencapai 5-6% 5 (6x> daripada isolated femoral shaft fractures).
APLIKASI PADA ARTHROPLASTI
◦ Prosedur arthroplasty juga menyebabkan tekanan intramedullary, terutama dengan penyemenan menyebabkan
embolisasi lemak ke dalam sirkulasi.
◦ Evaluasi peran embolisasi sumsum tulang pada DVT postoperasidibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang
menggunakan teknik sementasi standard dan sementasi dengan intramedullary bone vacum.
◦ Kelompok sementasi standard: significantly more severe dan prolonged embolic events.
◦ Kelompok standard 18% pasien mengalami DVT
◦ Kelompok bone vacuum 3% pasien mengalami DVT.
◦ Penggunaan intramedullary bone vacuum selama prosedur sementasi menjukkan penurunan embolisasi isi sumsum
tulang.
◦ Pada total knee arthroplasty penambahan tindakan irigasi dan suction untuk menghilangkan isi medulla sebelum reaming
dapat mengurangi embolisasi lemak.
◦ Arthroplasti secara konvensional yang menggunakan instrumentasi intramedullary meningkatkan tekanan
intramedula timbulnya emboli.
◦ Computer-assisted surgery  menurunkan embolic load karena menggunakan panduan secara extra medullary.
TERIMA KASIH.

Anda mungkin juga menyukai