Anda di halaman 1dari 45

10th Grade

PENGGUNAAN DAN PENGENDALIAN


OBAT DI RUMAH SAKIT
HG-5 | MANFAR-A
ANGGOTA KELOMPOK
1. Dannisya Alzura (1906404543)
2. Darisa Naurahhanan (1906347792)
3. Dilfa Safnia Putri (1906405104)
4. Hanifa Azzahra (1906404676)
5. Nur Alina Rahmadiani (1906287944)
6. Selinka Eptakyrietis H (1906287995)
01PENGGUNAAN OBAT
RASIONAL DAN TIDAK
RASIONAL
Dilfa Safnia Putri (1906405104)
DEFINISI DAN KRITERIA PENGGUNAAN OBAT
RASIONAL
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat yang sesuai kebutuhannya untuk
periode waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat (CONRAD & WHO, 1985). Dalam
Kemenkes (2011), penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Tepat diagnosis: Pemilihan obat akan sesuai dengan indikasi penyakit jika mengacu pada diagnosis tersebut.
2. Tepat indikasi penyakit: Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik, seperti antibiotik yang hanya boleh
diberikan untuk pasien dengan gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat pemilihan obat: Obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit yang diderita.
4. Tepat dosis: Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya pada obat dengan jendela terapi yang sempit akan
sangat beresiko timbulnya efek samping.
5. Tepat cara pemberian: Sebagai contoh, obat antasida yang perlu dikunyah sebelum ditelan, serta antibiotik yang
tidak boleh dicampur dengan susu karena akan sulit diabsorpsi.
6. Tepat interval waktu pemberian: Pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), maka
semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
7. Tepat lama pemberian: Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing., seperti pada
penyakit tuberkulosis dan kusta memerlukan waktu paling singkat adalah 6 bulan

Kemenkes, R. I. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
DEFINISI DAN KRITERIA PENGGUNAAN OBAT
RASIONAL
8. Waspada terhadap efek samping
9. Tepat penilaian kondisi pasien
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan
harga yang terjangkau: Memberikan obat-obatan dalam daftar obat esensial yang sebelumnya telah
dipertimbangkan efektivitas, keamanan, dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
11. Tepat informasi: Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang
keberhasilan terapi. Sebagai contoh, peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan, meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau
hilang sama sekali.
12. Tepat tindak lanjut (follow-up): Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.
13. Tepat penyerahan obat (dispensing): Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar
pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.

Kemenkes, R. I. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
DEFINISI OBAT TIDAK RASIONAL
Dalam Kemenkes (2011), penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh
pasien lebih besar dibanding manfaatnya, misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman atau dapat pula berupa biaya
yang tidak terjangkau. Ciri-ciri penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut.

CIRI-CIRI PENGGUNAAN OBAT TIDAK


RASIONAL
1. Peresepan berlebih (overprescribing), yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
penyakit yang diderita.
2. Peresepan kurang (underprescribing), yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik
dalam hal dosis, jumlah, maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang
diderita juga termasuk dalam kategori ini.
3. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit
yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui
dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
4. Peresepan salah (incorrect prescribing), mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi
yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping yang
lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya.

Kemenkes, R. I. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
DAMPAK PENGGUNAAN OBAT
TIDAK RASIONAL DAN
PENANGANANNYA
Hanifa Azzahra (1906404676)
02
Dampak penggunaan obat tidak rasional

1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan → Peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas penyakit
2. Dampak pada biaya pengobatan → Pemborosan dan membebani pasien
3. Dampak terjadinya efek samping obat → Meningkatkan risiko efek samping dan ROTD
lain
4. Dampak pada mutu ketersediaan obat → Obat mungkin tidak tersedia saat benar-benar
dibutuhkan
5. Dampak psikososial

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Penanganan

1. Upaya pendidikan (selama masa kuliah, setelah praktek keprofesian)


2. Upaya manajerial
a. Pengendalian kecukupan obat (sistem tiap penggunaan dan permintaan obat → LPLPO)
b. Perbaikan sistem suplai (konsep obat esensial nasional)
c. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat
d. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi di RS
e. Informasi harga
f. Pengaturan pembiayaan
3. Intervensi regulasi
a. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
b. Formularium Obat
c. Upaya Informasi (bagi provider dan pasien/masyarakat)

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
03
INVENTORY CONTROL
Nur Alina Rahmadiani (1906287944)
INVENTORY CONTROL
● Persediaan (inventory) merupakan total stok obat yang disimpan untuk melindungi dari ketidakpastian,
memungkinkan pembelian dalam jumlah besar, dan meminimalkan waktu tunggu
● Inventory management merupakan kegiatan memesan, menerima, menyimpan, mengeluarkan, dan menyusun ulang
daftar stok yang terbatas.
● Tujuan inventory control: menyediakan stok obat yang cukup dengan biaya serendah mungkin secara efektif dengan
cara memperkecil total investasi pada persediaan dan menjual berbagai produk untuk memenuhi permintaan
konsumen.
Inventory Control Ideal
Obat dikeluarkan karena ada permintaan tanpa adanya
kehabisan stok sehingga persediaan tetap berada di atas
safety stock dan tidak melebihi persediaan maksimum

Keterangan: Qo: jumlah yang dipesan; SS: safety stock;


working stock: stok yang digunakan untuk memenuhi
permintaan diantara pengiriman (½ Qo); SS+Qo: tingkat
stok maksimum; I: average inventory (SS+½ Qo)

Ali, A. Inventory Management in Pharmacy Practice: A Review of Literature. Archives of Pharmacy Practice. 2011, 2(4), 151-156.
Clark, M. and Barraclough, A., 2010. Managing Medicines and Health Products.Meford, MA: Management Science for Health.
INVENTORY CONTROL
STOK OPTIMUM =
working stock + stok pada waktu
kekosongan obat + stok pada lead time +
safety stock
Hal yang harus diperhatikan:
● Safety stock → banyak stok yang akan disimpan
sebagai cadangan untuk mencegah kehabisan stok.
● Reorder frequency → periode waktu diantara setiap
pemesanan untuk suatu produk
○ Periodic review model
○ Perpetual review model
● Reorder quantity → jumlah produk yang ditentukan
ketika pemesanan ditempatkan.

Ali, A. Inventory Management in Pharmacy Practice: A Review of Literature. Archives of Pharmacy Practice. 2011, 2(4), 151-156.
Clark, M. and Barraclough, A., 2010. Managing Medicines and Health Products.Meford, MA: Management Science for Health.
INVENTORY CONTROL
Periodic Review Model Perpetual Review Model:

⤷ Pemesanan hanya dapat dilakukan pada interval ⤷ Pemesanan obat dilakukan kapan saja atau
waktu tertentu dan produk dipesan pada tiap setiap kali persediaan berada di bawah level
interval. minimum.
Dibagi menjadi dua, yaitu: ⤷ Keuntungan: merespon cepat perubahan
1. Annual purchasing konsumsi dan persediaan dapat ditinjau terus-
↳ pengadaan tiap satu tahun sekali untuk menerus
semua produk dan jumlah pesanan ⤷ Kekurangan: jika tidak dapat mempertahankan
dihitung dalam skala besar persediaan terkini dan akurat menyebabkan
2. Schedule purchasing terjadinya kekurangan persediaan.
↳ dilakukan penentuan interval waktu
pemesanan yang terjadwal, seperti
mingguan, bulanan, triwulanan, dua
tahunan.
Ali, A. Inventory Management in Pharmacy Practice: A Review of Literature. Archives of Pharmacy Practice. 2011, 2(4), 151-156.
Clark, M. and Barraclough, A., 2010. Managing Medicines and Health Products.Meford, MA: Management Science for Health.
04
PENGENDALIAN OBAT
Dannisya Alzura - 1906404543
Definisi

Pengendalian obat merupakan kegiatan untuk memastikan


penggunaan obat sesuai dengan formularium, sesuai dengan diagnosis
dan terapi dan memastikan persediaan efektif dan efisien serta tidak
terjadi kelebihan, kekurangan atau kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
Tujuanpengendalian
Tujuan Pengendalian Persediaan
persediaan Obatuntuk menjamin terdapatnya
obat adalah
persediaan
sesuai kebutuhan.
1. Memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen dengan cepat sehingga
dapat
memuaskan konsumen.
2. Menjaga keberlangsungan produksi dan menjaga perusahaan agar tidak
mengalami
kehabisan persediaan yang mengakibatkan terhentinya proses produksi.
3. Mempertahankan dan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.
4. Menjaga pembelian kecil-kecilan dapat dihindari dikarenakan dapat
mengakibatkan
ongkos menjadi besar
Strategi Pengendalian Persediaan Obat
1) Provide
Rumah sakit mempunyai kapasitas yang memenuhi permintaan terutama
ketika
permintaan tertinggi dan kapasitas berlebih dianggap lebih baik dibanding
kehilangan kesempatan melayani pasien.

2) Match
Kecenderungan melakukan antisipasi pola permintaan sehingga rumah sakit
mengubah kapasitas sesuai yang dibutuhkan.
PENGENDALIAN
KETERSEDIAAN DAN
PENGGUNAAN
Darisa Naurahhanan (1906347792)
05
PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT
Pengendalian persediaan dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya
sasaran yang diinginkan sesuai dengan analisa kebutuhan dan perencanaan yang telah ditetapkan
sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan stok obat di rumah sakit (Kemenkes,
2019).
Persediaan obat dalam jumlah berlebih dapat mengakibatkan adanya peningkatan biaya
penyimpanan, biaya beban bunga pinjaman, risiko kerusakan pada penyimpanan, serta risiko
kerugian akibat obat kadaluarsa.

Persediaan obat yang tidak mencukupi dapat mengakibatkan terhambatnya pelayanan kefarmasian
sehingga kesempatan penjualan hilang serta terjadinya ketidakpuasan pada pelanggan diakibatkan
tidak segera mendapatkan obat yang dibutuhkan.

Pengendalian persediaan obat terdiri dari :


● Pengendalian ketersediaan
● Pengendalian penggunaan
● Penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, dan kedaluwarsa.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.
PENGENDALIAN KETERSEDIAAN

Langkah yang dapat dilakukan oleh penanggung jawab IFRS dalam melakukan pengendalian
untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau kekosongan obat diantaranya:

1. Melakukan substitusi obat dengan obat lain yang memiliki zat aktif yang sama
2. Melakukan substitusi obat dalam satu kelas terapi dengan persetujuan dokter penanggung
jawab pasien
3. Membeli obat dari Apotek yang mempunyai perjanjian kerjasama
4. Apabila obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak tercantum dalam
Formularium Nasional dan harganya tidak terdapat dalam e-katalog obat, maka dapat
digunakan obat lain berdasarkan persetujuan ketua Komite Farmasi dan Terapi/KFT dengan
persetujuan komite medik atau kepala/direktur rumah sakit yang biayanya sudah termasuk
dalam tarif INA-CBGs.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.
PENGENDALIAN PENGGUNAAN
1. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu (stok kerja).
2. Menentukan :
a. Stok optimum → stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar tidak mengalami
kekurangan/ kekosongan. Keterangan:
Cara menghitung stok optimum : SO = Stok Optimum
SK = Stok Kerja (stok pada periode berjalan)
SWK = Stok Waktu Kosong (jumlah yang dibutuhkan pada waktu
SO = SK +SWK + SWT + Buffer Stockkekosongan obat)
SWT = Stok Waktu Tunggu (jumlah yang dibutuhkan pada waktu
tunggu (lead time)
Buffer Stock = Stok pengaman

b. Stok pengaman adalah jumlah stok yang disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu
hal yang tidak terduga, misalnya karena keterlambatan pengiriman.
c. Waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang diperlukan dari mulai pemesanan sampai
obat diterima.
d. Waktu kekosongan obat

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.
PENGENDALIAN PENGGUNAAN

3. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor keluar dan masuknya
(mutasi) obat di IFRS. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk digital atau manual.
Pencatatan dalam bentuk manual biasa menggunakan kartu stok.

Fungsi kartu stok obat:


a. Mencatat jumlah penerimaan dan pengeluaran obat termasuk kondisi fisik, nomor batch
dan tanggal kadaluarsa obat.
b. Satu kartu stok hanya digunakan untuk mencatat mutasi satu jenis obat dari satu sumber
anggaran.
c. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan dan rencana kebutuhan obat
periode berikutnya.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.
06
PENANGANAN KETIKA
TERJADI KEHILANGAN OBAT
You can enter a subtitle here if you need it
PENANGANAN KETIKA TERJADI KEHILANGAN
OBAT
Pada FASILITAS DISTRIBUSI BERDASAR KONTRAK disebutkan persyaratan kontrak harus mencakup, antara lain:
a) Penanganan kehilangan/ kerusakan produk obat selama pengiriman dan dalam kondisi tidak terduga (force major)
b) Kewajiban penerima kontrak untuk mengembalikan obat dan/ atau bahan obat kepada pemberi kontrak jika terjadi kerusakan
selama pengiriman dengan menyertakan berita acara kerusakan.
c) Kehilangan selama pengiriman oleh penerima kontrak, penerima kontrak wajib melaporkan kepada pihak kepolisian dan
pemberi kontrak.
d) Pemberi kontrak berhak melakukan audit terhadap penerima kontrak setiap saat.

Setiap kehilangan narkotika, psikotropika atau prekursor farmasi selama pengiriman wajib dicatat dalam bentuk berita acara
dan dilaporkan segera kepada penanggung jawab fasilitas distribusi. Selanjutnya hal tersebut segera dilaporkan kepada Badan
POM RI dengan tembusan Balai Besar / Balai POM setempat dilengkapi dengan Berita Acara kehilangan narkotika, psikotropika
dan/ atau prekursor farmasi, hasil investigasi internal yang dilakukan fasilitas distribusi, dan bukti lapor kepolisian.
● Setiap kehilangan Bahan Obat/Obat-Obat Tertentu selama penyimpanan harus dilaporkan ke Badan POM.
● Setiap kehilangan Obat-Obat Tertentu selama pengiriman wajib dilaporkan oleh penerima kontrak ke pihak kepolisian dan
pemberi kontrak, untuk selanjutnya pemberi kontrak melaporkan ke Badan POM.
● Setiap kehilangan Obat-Obat Tertentu selama pengiriman oleh Industri Farmasi wajib dilaporkan ke Kepolisian. Selanjutnya
Industri Farmasi wajib melaporkan kehilangan tersebut ke Badan POM disertai laporan kehilangan dari Kepolisian dan
laporan hasil investigasi.

BPOM RI. (2019). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Buku 2. Jakarta: BPOM RI | Badan POM RI. (2013). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik: Jilid I. Badan POM RI
PENANGANAN KETIKA TERJADI KEHILANGAN
OBAT
Laporan kehilangan wajib disampaikan setiap kali kejadian kepada Kepala Badan c.q.
Direktur Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor dengan
tembusan Kepala Balai Besar/Balai POM setempat paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah terjadinya kehilangan sedangkan laporan hasil investigasi paling lambat 1 (satu)
bulan sejak kejadian.

BPOM RI. (2019). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Buku 2. Jakarta: BPOM RI | Badan POM RI. (2013). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik: Jilid I. Badan POM RI
07KERUSAKAN OBAT YANG
DITARIK PEMERINTAH DAN
KADALUARSA
You can enter a subtitle here if you need it
KERUSAKAN OBAT YANG DITARIK PEMERINTAH DAN
KADALUARSA
PRINSIP
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti
sesuai dengan prosedur tertulis.

Pelaksanaan Penarikan Kembali


a) Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah diketahui ada produk yang cacat mutu atau
diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan;
b) Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan
dengan penarikan kembali dengan segera. Penarikan kembali hendaklah menjangkau sampai tingkat konsumen;
c) Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi, hendaklah menjamin bahwa embargo dan penarikan
kembali dilaksanakan secara cepat, efektif dan tuntas; dan
d) Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah dibuat untuk memungkinkan embargo dan
penarikan kembali dapat dilakukan dengan cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi.

Catatan distribusi hendaklah tersedia untuk digunakan oleh personil (- personil) yang bertanggung jawab terhadap penarikan
kembali. Catatan distribusi hendaklah berisi informasi yang lengkap mengenai distributor dan pelanggan yang dipasok secara
langsung (dengan alamat, nomor telepon, dan/atau nomor fax pada saat jam kerja dan di luar jam kerja, nomor bets dan
jumlah yang dikirim), termasuk distributor di luar negeri untuk produk yang diekspor dan sampel medis.

BPOM RI. (2019). PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 14 TAHUN 2019 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN OBAT YANG TIDAK
MEMENUHI STANDAR DAN/ATAU PERSYARATAN KEAMANAN, KHASIAT, MUTU, DAN LABEL. BPOM RI
KERUSAKAN OBAT YANG DITARIK PEMERINTAH DAN
KADALUARSA

Prosedur untuk menarik kembali obat investigasi dan dokumentasinya (misal: untuk
penarikan produk cacat, kembalian setelah uji klinis selesai, kembalian produk
kadaluarsa) hendaklah disetujui oleh sponsor, bekerja sama dengan pihak pabrik atau
importir jika berbeda. Peneliti dan pemantau hendaklah memahami kewajiban mereka
sesuai yang tercantum dalam prosedur penarikan kembali.

Sponsor hendaklah memastikan bahwa pemasok pembanding atau produk lain yang
digunakan dalam uji klinis memiliki sistem untuk mengomunikasikan kepada sponsor
untuk menarik kembali produk yang dipasok.

BPOM RI. (2019). PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 14 TAHUN 2019 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN OBAT YANG TIDAK
MEMENUHI STANDAR DAN/ATAU PERSYARATAN KEAMANAN, KHASIAT, MUTU, DAN LABEL. BPOM RI
KASUS 1
Identifikasi Masalah
Pengelolaan logistik di fasilitas kesehatan memiliki peranan yang besar dalam keseluruhan rangkaian
operasional. Berbagai survei menunjukkan bahwa 30%–50% dari anggaran rumah sakit berhubungan
dengan materials, consumables, equipment dan outsourcing(Kafetzidakis dan Mihiotis,2012).
Sistem pelayanan kesehatan menjadi sektor industri yang terakhir menerapkan pengendalian
persediaan dan biaya.(Simchi-Levietal,2003).

Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan habis pakai adalah untuk :
1. Penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit
2. Penggunaan obat yang rasional, sesuai dengan diagnosis dan terapi.
3. Memastikan bahwa ketersediaan sesuai dengan kebutuhan dalam pelayanan
Metode

Penelitian dilakukan di Unit Farmasi Farmasi RS Meilia pada bulan Mei 2015. Penelitian
ini adalah merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, yang melakukan analisis terhadap
pengendalian persediaan obat, khususnya kelompok antibiotik di RS Meilia. Metode analisis
persediaan yang digunakan adalah metode analisis ABC indeks kritis, yang selanjutnya
dikembangkan dengan penghitungan Economic Order Quatity (EOQ) dan Reorder Point
(ROP).
Populasi penelitian ini adalah obat kelompok antibiotik yang digunakan di RS Meilia pada
periode Januari– Desember 2014 yaitu sejumlah 165 item obat antibiotik. Sampel penelitian
ini adalah antibiotik kelompok A dengan analisis ABC indeks kritis.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan Pembahasan

● Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok A analisis ABC indeks kritis mempunyai nilai
investasi mencapai Rp 2.114.748.870,- atau 39.91% dari total nilai investasi obat antibiotik.
● RS memprioritaskan investasi pada kelompok A yang berarti rumah sakit menaruh investasi sebesar
39.91% dari keseluruhan rencana anggaran persediaan obat.
● Sisa anggaran dapat dialokasikan pada pengeluaran operasional lainnya. Keuntungan yang diperoleh
dari penjualan obat antibiotik kelompok A dapat digunakan pada pengadaan obat antibiotik kelompok
B dan C.
● Dengan demikian rumah sakit dapat mengambil manfaat dari analisis ABC indeks kritis tidak hanya
dalam pengendaliaan persediaan, namun juga dalam pengaturankeuanganrumahsakit.
KASUS 2
IDENTIFIKASI MASALAH
Pengelolaan obat yang efisien merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan
manajemen secara keseluruhan, serta bertujuan untuk terjaminnya ketersediaan obat yang bermutu
baik, secara tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu serta digunakan secara rasional sehingga dana yang
tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan
masyarakat yang berobat ke unit pelayanan kesehatan.

Saat ini, semua rumah sakit mempertahankan metode pengendalian persediaan mereka sendiri, tetapi
mereka masih mengalami masalah dalam mencapai manajemen persediaan yang efektif. Untuk
mencapai efisiensi, suplai obat perlu dikelola dalam semua aspek untuk mengatasi kelebihan stok,
kadaluwarsa, rantai pasokan dan lain-lain.

Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, nilai persediaan di gudang farmasi adalah Rp5.009.221.204 .
Berdasarkan data ini, penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh metode Minimum-
Maximum Stock Level (MMSL) pada efisiensi dan efektifitas persediaan obat di Instalasi
Farmasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Minimum Maximum Stock Level (MMSL)

Safety stock (SS) = LT x CA


Smin (Stok minimal) = (LT x CA) + SS = 2 SS
Smak ( Stok maksimal) = Smin + (PP x CA)

Keterangan:
LT = Lead Time = waktu tunggu pesanan
CA = Consumption Average = rata-rata penggunaan per
hari
PP = Procurement Period (periode pengadaan).
HASIL & KESIMPULAN

Hasil penerapan metode minimum maximum stock level memberikan dampak positif pada efisiensi
persediaan obat yaitu adanya penurunan nilai persediaan dan nilai ITOR (Inventory Turn Over Ratio) sesuai
dengan yang diharapkan, serta penerapan metode minimum-maximum stock level berpengaruh pada
efektifitas persediaan obat yaitu adanya penurunan angka kejadian stockout sehingga hasil ini sangat
berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas investasi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta
KASUS 3
Octavia, D. R., Susanti, I., & Mahaputra Kusuma Negara, S. B. (2020). Peningkatan Pengetahuan Masyarakat
Tentang Penggunaan Dan Pengelolaan Obat Yang Rasional Melalui Penyuluhan Dagusibu. GEMASSIKA :
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 23. https://doi.org/10.30787/gemassika.v4i1.401
IDENTIFIKASI MASALAH

Hasil penelitian di Kota Penyabungan mengungkapkan bahwa penggunaan obat untuk swamedikasi 59,4% rasional
dan 40,6% tidak rasional.

Pada kenyataannya, pengobatan sendiri bisa menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) karena
terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
mayoritas tingkat pengetahuan pasien terhadap penggunaan obat untuk swamedikasi tergolong sedang. Penggunaan
obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%

Dari survey awal yang telah dilakukan, tim pengabdian kepada masyarakat mengidentifikasi bahwa masalah yang
dihadapi oleh masyarakat desa Madulegi Kecamatan Sukodadi Lamongan adalah rendahnya pengetahuan tentang
penggunaan obat yang rasional, masyarakat kurang memahami obat apa saja yang boleh dibeli tanpa resep dan
harus memakai resep dokter selain itu, masyarakat juga kurang memahami pengelolaan obat di rumah seperti cara
menyimpan obat dengan benar dan membuang obat yang telah rusak atau kadaluarsa.

Octavia, D. R., Susanti, I., & Mahaputra Kusuma Negara, S. B. (2020). Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penggunaan Dan Pengelolaan Obat Yang Rasional Melalui Penyuluhan
Dagusibu. GEMASSIKA : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 23. https://doi.org/10.30787/gemassika.v4i1.401
PEMBAHASAN
Masyarakat terutama kader PKK di desa Madulegi lebih dari 20
dari 36 orang atau 55% mendapatkan obat dari apotek. Hal ini
berarti menggambarkan tingginya perilaku swamedikasi dalam
masyarakat dalam mengatasi keluhan kesehatan yang
dirasakannya.

Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan open ended


question. Alasan pemilihan pertanyaan terbuka ini adalah agar
mempermudah tim pengabdian untuk mengeksplorasi
permasalahan yang dialami oleh peserta pengabdian kepada
masyarakat ini. Dengan membuat pertanyaan tipe open ended
question diharapkan dapat menggali semua pendapat, keinginan
dan pengetahuan dari responden atau peserta pengabdian
masyarakat ini.

Dengan membuat pertanyaan tipe open ended question diharapkan


dapat menggali semua pendapat, keinginan dan pengetahuan dari
responden atau peserta pengabdian masyarakat ini. Walaupun
pertanyaan yang digunakan dalam questioner ini merupakan
pertanyaan terbuka, namun disediakan pilihan jawaban untuk
mempermudah masyarakat dalam menjawab pertanyaan.
Octavia, D. R., Susanti, I., & Mahaputra Kusuma Negara, S. B. (2020). Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penggunaan Dan Pengelolaan Obat Yang Rasional Melalui Penyuluhan
Dagusibu. GEMASSIKA : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 23. https://doi.org/10.30787/gemassika.v4i1.401
PEMBAHASAN
Kegiatan ini merupakan upaya profesi Apoteker dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan mencerdaskan
masyarakat dalam berperilaku sehat, khususnya terkait dengan obat. Masyarakat dalam upaya pemeliharaan
kesehatannya seringkali melakukan swamedikasi, yaitu mengatasi keluhan penyakit yang dideritanya dengan
membeli obat-obatan atas inisiatif sendiri tanpa berkonsultasi kepada dokter atau tenaga kesehatan terlebih dahulu.

Setelah dianalisis didapatkan informasi bahwa wanita lebih sering melakukan swamedikasi daripada laki-laki,
dimana obat yang paling banyak digunakan adalah golongan analgesik. Dalam penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa penggunaan obat-obatan tanpa resep harus memperhatikan kemungkinan resiko yang terjadi. Hal ini selaras
dengan tujuan kegiatan pengabdian ini yaitu mengedukasi pasien dalam pengelolaan obat yang tepat dan
penggunaan obat yang rasional.

Dari hasil diskusi yang telah dilakukan didapatkan informasi bahwa hampir semua peserta (85%) menyimpan obat-
obatan di rumah sebagai persediaan dalam upaya melakukan swamedikasi ketika dirinya atau anggota keluarganya
mengalami gangguan kesehatan. Upaya swamedikasi dilakukan oleh masyarakat sebelum memeriksakan keluhan
kesehatannya kepada tenaga kesehatan karena dinilai lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Hal serupa juga dengan
73,8% masyarakat menyimpan obat di rumah sebagai persediaan untuk menangani keluhan kesehatan mereka, dan
sebesar 35,5% memakai sisa obat anggota keluarga lain yang memiliki keluhan yang sama.
Octavia, D. R., Susanti, I., & Mahaputra Kusuma Negara, S. B. (2020). Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penggunaan Dan Pengelolaan Obat Yang Rasional Melalui Penyuluhan
Dagusibu. GEMASSIKA : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 23. https://doi.org/10.30787/gemassika.v4i1.401
TERIMAKASI
H

Anda mungkin juga menyukai