28 Desember 2021
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang
Transformasi digital merupakan suatu keniscayaan. Di mana tidak ada sektor yang dapat menghindar dari terpaannya. Semua pihak mesti mempersiapkan diri
untuk menerima kebaikan sekaligus mengantisipasi keburukannya. Tanpa terkecuali dalam hal ini adalah sektor media. Bagi para pengelola media dimanapun,
semakin sulit menghindari integrasi ke dalan ekosistim distribusi konten, data periklanan yang dikendalikan platform digital global.
Persingungan jurnalisme dengan teknologi penunjang distribusi konten, penambangan data dan layanan periklanan yang dioperasikan platform digital sepertinya
hanya soal waktu dan itensitas.
Teknologi digital menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang menggiurkan untuk memproduksi konten, menciptakan interaksi di sekitar konten,
menjangkau khalayak secara lebih intens, serta untuk menjalankan mode prawira yang lebih menjamin presisi dan akurasi pesan. Dalam perkembangannya,
memang banyak pengelola media yang kecewa terhadap perilaku platform digital dan berfikir untuk meninggalkannya. Namun,sedikit yang benar-benar
meninggalkannya.
RINGKASAN EKSEKUTIF
Detil acara : Diskusi “Membangun Model Media Massa yang Berkelanjutan” Dewan Pers bersama Harian Jawa Post, Radio Suara Surabaya,
Harian Singgalang Padang dan Harian Analisa Medan. Bekerjasama dengan Yayasan Sosial Srikandi Internasional (YSSI).
Tempat : Webinar
Moderator:
Agus Sudibyo
Membahas tentang “lingkarang sistemik digitalisasi” diketahui bahwa saat ini jurnalisme atau media massa tidak berdiri sendiri, melainkan terindikasi dalam
lingkaran digitalisasi. Jurnalisme media massa tidak lepas dari fenomena digitalisasi, internet of things, fenomena cloud computing, social media, machine
learning, big data dan seterusnya.
Bagaimana nasib jurnalisme sekarang serta masa bagaimana pula nasibnya di masa depan tentu tidak terlepas dari lingkaran sistemik digitalisasi ini, baik dalam
pengertian positif maupun negatif. Bahkan bukan hanya jurnalisme, sebenarnya semua bidang dalam kehidupan saat ini akan diharuskan mempertimbangkan hal
yang sama.
Dalam konteks ini akan dibicarakan tentang perubahan peta industri media atau tentang disrupsi. Dari berbagai data menunjukkan bagaimana peralihan dalam
konteks belanja periklanan berubah begitu cepat dan massif. Bagaimana misalnya bahwa 54% belanja iklan global dunia itu hanya dikuasai oleh 2 pemain saja, di
antaranya Google.
Indonesia juga tidak lepas dari transisi yang begitu cepat. Dari data IDA (Indonesia Digital Association) dikatahui adanya problem di mana 75% dari periklanan
dikuasai Google dan Facebook, dan kira-kira semua media di Indonesia (tidak hanya media massa) diperkirakan hanya memperebutkan sekitar 30-25% dari area
periklanan yang masih tersedia. Itupun tidak sepenuhnya, sebab masih ada broker-broker penyedia teknologi dan para perusahaan perantara teknologi periklanan
yang juga terlibat, di mana jika ditelisik lebih jauh ternyata diketahui merupakan anak-anak perusahan global raksasa, semisal Google, Microsoft dan lain-lain.
Diskusi-diskusi yang sudah dilaksanakan sebelumnya menunjukkan 2 hal yang saling bertentangan tetapi harus dilakukan oleh para pelaku media di Indonesia.
Yang pertama adalah transformasi digital sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari, yang kedua adalah bahwa pada saat yang sama pelaku media juga harus
membangun kemandirian terhadap platform-plaform global.
INTISARI PEMBICARA
Pembicara 1:
Leak Kustiyo (Harian Jawa Post)
Saya memimpin media online (JawaPost.com) baru sekitar 2,5 tahun dan menempati posisi yang cukup baik, misalnya menurut Alexa berada di 9 besar
ranking media online dengan viewers terbanyak di Indonesia. Sementara Jawa Post (koran) tetap dalam maqomnya sebagai koran tradisional. Digitalisasi
dalam pengerjaan halaman misalnya, kalau dilakukan pasti akan semakin bagus dalam arti tercapainya tujuan akhir perusahaan, semakin efisien dan
sebagainya. Tetapi itu tidak saya lakukan, karena saya anggap yang sekarang juga sudah berjalan baik. Kami memilih untuk menerapkan padat karya, karena
artinya akan banyak lapangan kerja. Kalau saya membeli sistem digital untuk penataan halaman misalnya, itu memang sangat praktis. Tapi kita juga
dihadapkan dengan realitas-realitas sosial yang harus kita pertimbangkan.
Pembicara 2:
Guntur Adi Sukma (Harian Analisa Medan)
Sampai saat ini, berdasarkan perhitungan kami sendiri, Harian Analisa (cetak) masih menjadi tulang punggung bagi kelompok media grup Analisa (ada media
cetak, media online, juga radio). Di Sumatra Utara, Harian cetak masih menjadi market leader, meskipun diakui oplah menurun. Tapi itu pun masih harus
dikaji apakah penurunannya disebabkan karena digitalisasi atau semata-mata karena pandemi yang membuat banyak perusahaan maupun pemerintah
mengurangi belanja iklannya di media massa. Untuk media online, kami akui agak terlambat memulai, tapi memang pada kenyataannya juga di media online
masih sangat terbatas pemasang iklan yang melirik.
INTISARI PEMBICARA
Pembicara 3:
Eddy Prastyo (Radio Suara Surabaya)
Pandemi Covid-19 cukup berdampak pada kami, dimana ada masa banyak karyawan yang terkena dan harus isolasi cukup lama sehingga memukul kegiatan
produksi. Kemudian kami juga ada mengembangkan platform, yang akhirnya bisa berjalan dan menghasilkan, meskipun marjinnya sangat tipis sehingga
belum bisa dibilang menguntungkan. Hal-hal yang sempat memukul itu juga akhirnya memaksa kami berfikir lebih kreatif untuk menjaga semangat dan
kewarasan sehingga tetap bisa berkarya tumbuh. Untuk media online, kami sudah punya sejak 1998, berupa website yang difungsikan sebagai portal berita.
Pembicara 4:
Khairul Jasmi (Harian Singgalang Padang)
Pada tahun yang sudah berlalu dan tahun-tahun mendatang, banyak surat kabar sudah kehilangan rasa bahasanya. Sebuah media apapun bentuknya harus ada
ciri bahasanya. Rasa bahasa bisa ada kalau ada orang kuat di dalamnya. Untuk situasi hari ini ketika media cetak oplahnya turun dan media online banyak tapi
iklannya kurang, yang penting adalah jejaring. Jejaring itulah yang masih menghidupi media saya sampai saat ini. Dalam ilmu marketing ada istilah “laut
merah” dan “laut biru”. Harian Singgalang sekarang masuk “laut biru”, melakukan advertorial, yaitu iklan yang bercerita.
Ketika banyak orang bilang media cetak akan mati, saya tidak terpengaruh. Bentuk sebuah media boleh saja mati, tapi wartawan tetap akan hidup, tak
terpengaruh bentuk medianya. Tidak ada yang perlu dirisaukan selama bisa membina diri sendiri.
DAFTAR PEMBICARA
1 Pung Purwanto
19 Uzair Akademisi
20 Shendy YSSI
21 Erica YSSI
27 Asmono Wikan
28 Erwin Kustiman
29 Frans Surdiasis
34 Anas Syahirul
39 Ignatius Haryanto
40 Muslikhin
43 Eri Andi
49 Eduard Depari
Erwin Kustiman:
To Pak Leak Kustiya: secara eksplisit apa yang membuat koran Jawa Pos bisa tetap bertahan. Strategi bisnis seperti apa yang dilakukan Koran JP ketika iklan
-- sebagai sumber utama pendapatan-- kini hadir dominan di ranah medsos? Cukupkah sekadar idealisme pengelolanya?
Asmono Wikan:
Menegaskan saja mas Leak, apakah memang betul pendapatan di media cetak masih lebih baik dari versi online/digital di media bersangkutan? Hal lain, apa
masih relevan mengotak-kotakkan revenue ke dalam versi cetak dan online di era multiplatform saat ini?
Apa pandangan mas Leak tentang media sosial yang ditengarai mampu menjadi katalisator baru bagi revenue streaming perusahaan pers? Terima kasih.
Frans Surdiasis:
Kalau kita bicara soal transformasi digital dalam konteks lingkungan digital yang dihadapi media sebagaimana tadi diuraikan Bung Agus, di mana sebetulnya
posisi kita saat ini? Jika kita andaikan ada semacam roadmap dalam soal transformasi digital ini, kira-kira seperti apa arah besarnya?
Gaib @MNCTrijaya:
Media cetak adalah penjaga gawang jurnalisme berkualitas. Radio bek-nya. TV pemain tengah. Strikernya media online. Medsos ada di posisi mana? Ada di
semua posisi termasuk di tribun penonton dan halaman parkir stadion. Jadi gak karu-karuan, merusak skema permainan.
PERTANYAAN & PERNYATAAN CHAT MESSAGES
Siti Karlinah:
Saya pengajar mata kuliah komunikasi massa di fikom Unpad. setiap tahun saya memeroleh data bahwa 99% mahasiswa saya tidak mengakses media
konvensional (surat kabar, majalah cetak, radio, dan TV). Beberapa dari mereka membaca media online. Saya selalu memberi tugas yang membuat
mahasiswa untuk mengakses media konvensional, dan tentunya media online. Saya tekankan pada mahasiswa bahwa semua media memiliki kelebihan-
kelebihan sebagai bagian dari karakteristiknya, dan masing-masing media tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.
Erwin Kustiman:
Yang lebih rumit ada media menjadikan medsos sebagai acuan dengan berselimut jurnalistik. Cari adsense layaknya medos dengan "status" atau "seragam"
media massa mainstream/pers.
Anas Syahirul:
Transformasi digital dalam media akibat era disrupsi selalu dimaknai mengubah diri ke portal dan melakukan konvergensi dengan media social, tentu dengan
model tayangan/muatan mengamini gaya platform yang mau tidak mau seringkali mengurangi makna jurnalisme itu sendiri. Tak ayal mereka yang mengelola
cetak beramai-ramai pindah ke online karena biaya cetak jg mahal. Lantas apakah tidak ada pola atau bentu-bentuk lain dalam memaknai dampak digitalisasi
media/disrupsi ini.
Anas Syahirul:
Kemudian, tantangan kita para pengelola media sebenarnya adalah soal regenerasi pembaca. Nyaris anak sekarang tidak mengenal koran/majalah/tabloid dan
bentuk cetak lainnya. Bahkan portal berita pun juga banyak yang tidak dipahami anak-anak muda sekarang. Mereka adalah konsumen media-media social.
Anak-anak sekarang mencari informasi lewat platform media social, yang seringkali tidak utuh.
PERTANYAAN & PERNYATAAN CHAT MESSAGES
Anas Syahirul:
Ini tantangan kita terutama pengelola media untuk membuat program regenerasi pembaca secara terkonsep. Mohon tanggapan pentingnya regenerasi pembaca
ini, karena nyaris tak pernah terpikirkan. Mungkin masing-masing pengelola sudah punya program regenerasi pembaca ini, bisa didiskusikan disini.
Bagaimana peran pemerintah dalam hal ini.
Researchnetwork Indonesia:
Izin bertanya saya Musfialdy mau bertanya bagaimana media bertahan terhadap dampak atau disrupsi dari Covid 9 ini
PERTANYAAN & PERNYATAAN CHAT MESSAGES
Widjang Sasotyo:
Kanal digital Suara Surabaya justru membantu mengukur reach radio yg semula sulit untuk diukur dibandingkan media televisi dan cetak.
Gaib @MNCTrijaya: t
Terima kasih suhu Eddy atas pencerahannya. SS acuan radio se Indonesia... Mantap.
Ignatius Haryanto:
Terima kasih Mas Agus Sudibyo. Tapi saya hanya ingin mendengar saja dari forum terhormat ini. Salam.
Muslikhin:
Mau tanya, bagaimana dengan gaji para jurnalis yang menurt survei AJI masih di bawah standar?
Eri Andi:
Izin menyampaikan pendapat, atau harapan.
Berita adalah karya jurnalistik. Dipertanggungjawabkan di hadapan hokum dan public. Berita menjadi konten utama dalam sebuah media baik itu cetak,
televisi dan lainnya. Namun menjadi fenomena sekarang adalah, berita yang disajikan tersebut, kemudian ditransformasikan ke dalam media social. Justru
tidak hanya media yang bersangkutan. Tapi oleh pemilik individu media social misal instagram. Demi meraup nilai ekonomi di balik media social, pemilik
akun media social itu menyakjikan karya junalistik wartawan. Harus diakui, penyajian berita wartawan di media social menarik. Memanng Ini menjadi
tantangan abagaimana . Konten creator media harus ikut bisa bertarung di media social ini. Namun dewan pers dalm hal ini sebaiknya mengatur hal ini,
bagaiaman akun media social itu tidak seenaknya mengambil berita wartawan. Harus ada etika. Pengaturan ini bisa saja dengan mendesak pemilik platform
untuk mem banned atau take down akun yang menampilkan berita wartawan yang tidak menjalin kerjasama terlebih dahulu.
DOKUMENTASI FOTO
DOKUMENTASI FOTO