Anda di halaman 1dari 15

HASIL KAJIAN KONFLIK

KEPENTINGAN DPRD DKI


JAKARTA 2019 -2024
KONTEKS KONFLIK KEPENTINGAN DPRD DKI JAKARTA
 Konflik Kepentingan terjadi apabila dalam melakukan keputusan dilatar belakangi oleh. Pertama, adanya
kepentingan pribadi atau bisnis. Kedua, hubungan dengan kerabat dan keluarga. Ketiga, Hubungan dengan
wakil pihak yang terlibat. Keempat, hubungan dengan pihak yang berkerja dan mendapat gaji dari pihak yang
terlibat. Kelima, hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat, Dan
Keenam, hubungan dengan pihak – pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan ini masuk kedalam Pasal 43 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
 Untuk memahami bagaimana Konflik Kepentingan bekerja dalam aspek tata Kelola pemerintahan dapat dikenali
melalui 3 praktik yang Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, atas
dasar kepentingan pribadinya. Hal ini juga termaksud tindakan diskresi yang di ambil tanpa mempertimbangkan
norma hukum yang berlaku, sehingga dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Kedua, aspek relasi kekerabatan antara penyelenggara negara dengan pihak tertentu, yang akan mempengaruhi
keputusan-keputusan yang di ambil, relasi kerabat ini tidak hanya dalam hubungan sedarah, tetapi juga dalam
hal pertemanan dan sejenisnya. Ketiga, perlakuan khusus yang diberikan oleh penyelenggara negara kepada
pihak tertentu, sehingga menyebabkan perlakuan yang diskriminatif dalam menjalankan tugasnya, perlakuan
khusus ini biasanya cenderung menerobos seluruh prosedur yang telah di tetapkan.
 Pasal 202 ayat (3) dalam Peraturan DPRD DKI Jakarta No.1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Provinsi
DKI Jakarta menjelaskan tentang larangan Anggota DPRD melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
dilarang menerima gratifikasi.
TUJUAN KAJIAN

 Untuk mendeskripsikan kasus Konflik Kepentingan di DPRD DKI Jakarta


 Untuk menemukan potensi/kelemahan aturan terkait Konflik Kepentingan di
DPRD DKI Jakarta

METODE ANALISIS

 Metode pencarian data terbuka melalui pemantauan Laporan Harta


Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), wawancara, pencarian akta
perusahaan, sistem informasi , penelusuran perkara pengadilan, putusan
direktori mahkamah agung, dan pencarian tertutup dengan cara investigasi.
IDENTIFIKASI MASALAH
KASUS MOHAMAD SANUSI TENTANG PENGESAHAN RAPERDA RANCANGAN TATA RUANG
KAWASAN STRATEGIS PANTAI UTARA JAKARTA

 Aktor yang Terlibat


Mohammad Taufik Trinanda Prihantoro
Wakil Ketua DPRD DKI Provinsi Personal Assistant PT.
Jakarta merangkap Ketua Balegda
Agung Podomoro Land (Tbk)
Periode 2014 -2019

Mohamad Sanusi Ariesman Widjaja Richard Halim Kusuma


Angogota DPRD Provinsi DKI dan selaku Presiden Direktur PT. Agung
alias Yungyung
Anggota Badan Legislasi Daerah DPRD Podomoro Land dan Direktur Komisaris PT AGUNG SEDAYU GROUP
Provinsi DKI Jakarta Periode 2014 -2019 Utama PT MUARA WISESA SAMUDRA

Sunny Tanuwidjaja
Sugianto Kusuma
General Manager Rajawali
Corporation Pendiri Agung Sedayu Grup

Gerry Prastia
Tuty Kusumawati Catherine Lidya
Staff Pribadi Mohamaad
Sekertaris Daerah Provinsi Sekretaris Finance Director Sanusi
DKI Jakarta Agung Podomoro Goup (APG)
KRONOLOGIS
KRONOLOGIS
BENTUK KONFLIK KEPENTINGAN

Nomor : 66/PID.SUS/TPK/2016/PN.Jkt.Pst. Nomor 50/Pid.Sus/Tpk/2016/PN.Jkt.Ps hal 152-153


hal 567 -572.
 Bahwa MOHAMAD SANUSI kenal lama  Sdr Ariesman mengajak saya untuk touring
dengan ARIESMAN WIDJAJA yang menjabat kembali pada hari minggu, namun saya jawab
sebagai Presiden Direktur PT. Agung tidak bisa karena saya bisanya hanya hari sabtu
Podomoro Land dan Direktur Utama PT saja.
MUARA WISESA SAMUDRA sejak tahun  Kemudian Sdr.Ariesman Widjaja juga
2004 di Thamrin City. Pada saat itu
ARIESMAN WIDJAJA mewakili PT. AGUNG
PODOMORO sebagai Developer, sedangkan
1 menyampaikan akan memberikan kepada saya
Rp. 2.500.000.000,00 jika pasal tambahan
kontribusi dimasukan dalam pasal penjelasannya
MOHAMAD SANUSI mewakili PT. dengan mengunakan konversi. Karena pada
CITICON sebagai Kerjasama eksklusif tanggal 3 Maret 2016 ini Raperda RTRKSP
pemasaran di THAMRIN CITY.
Nomor : 66/PID.SUS/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
hal 569.
3 sudah selesai pembahasanya dan tinggal
finalisasi. Sdr Ariesman khawatir jika hanya
pergub saja tanpa penjelasan, nilai kontribusinya
Pertemuan MOHAMAD SANUSI dengan
ARIESMAN WIDJAJA di Café PAUL, sesudah
2 menggantung/ngambang sementara untuk
tambahan kontribusi sudah ada yang dibayarkan.
Saya pun juga menanyakan “Apakah Gubernur
gubernur menyampaikan usulan Raperda pada sudah OK atau belum ?’ dan dijawab seharusnya
tahun 2016, pembahasan dalam pertemuan itu tidak ada masalah.
pertama MOHAMAD SANUSI punya hobi yang
sama dengan ARIESMAN WIDJAJA, sama-
sama suka touring dan main jet ski, jadi yang
pasti ngomong tentang Raperda yang sedang
dibahas oleh DPRD.
BENTUK KONFLIK KEPENTINGAN
Nomor 50/Pid.Sus/Tpk/2016/PN.Jkt.Pst hal 126
Nomor 50/Pid.Sus/Tpk/2016/PN.Jkt.Pst hal 151- MOHAMAD SANUSI berfikiran bahwa untuk pembahasan Raperda
152 tersebut ada duitnya dan pimpinan dewan terutama Sdr. Edi Prasetio
ARIESMAN WIDJAJA menyatakan bahwa, “GUA (ketua dewan) tidak mampu memenuhi keinginan para anggota
BUANG DEH DUA PULUH LIMA LAGI, DIA utamanya terkait dengan “pembagian kue”. Karena hal tersebut sudah
MAU NGASI DUA PULUH LIMA LAGI, TAPI 3(tiga) kali rapat paripurna batal. Kemudian Sdr Aguan melalui Sdr.
KONTRIBUSI TAMBAHNYA DI
PENJELASANYA KITA MASUKIN DI 4 Pupung (staff dari PT. Agung Sedayu Group) agar MOHAMAD
SANUSI bisa mengkondisikan teman-teman DPRD yang tidak mau
hadir dalam rapat paripurna yang akhirnya gagal itu. Pada saat itu
PASALNYA ADA TULISAN DI ATUR DALAM
PERGUB, KONTRIBUSI TAMBAHAN memang ada permintaan dari Sdr.Pupung yang menelpon
Maksud dari percakapan melalui handphone kepada MOHAMAD SANUSI, bahwa pihak Sdr. Aguan menyiapkan “dana
KONVERSI DARI 5% ITU”. tambahan” dan “dana operasional” jika dibutuhkan untuk
MOHAMAD TAUFIK tersebut adalah dalam
pertemuan antara saya dengan Sdr. Aguan dan Sdr. 5 memuluskan rapat paripurna supaya korum.
Ariesman Widjaja tersebut di harco kantor Agung Nomor 50/Pid.Sus/Tpk/2016/PN.Jkt.Ps hal 196
Sedayu Group bahwa ada kekhawatiran dari pihak
Ada hubungan keluarga antara MOHAMAD TAUFIK,
Sdr Aguan tentang adanya tambahan kontribusi MOHAMAD SANUSI, dan GERRY PRASETIA
tersebut karena dala ijin prinsip ASG tidak tercantum
tambahan kontribusi, sedangkan untuk ijin prinsip
6 MOHAMAD NURHASANAH MOHAMAD
Agung Podomoro Land sudah tercantum tambahan TAUFIK (Alm) SANUSI
kontribusi. Dan tujuan MOHAMAD SANUSI
menyampaikan ke MOHAMAD TAUFIK karena ADIK KAKAK
MOHAMAD TAUFIK adalah Ketua Balegda dan
sering memimpin rapat pembahasan Balegda
ANAK KANDUNG
sehingga nantinya dapat membantu untuk
pembahasan tersebut. GERRY
PRASTIA
ANALISIS KASUS
 Ada penerimaan Gratifikasi yang di lakukan ARIEMAN WIDJAJA dan MOHAMAD SANUSI dalam tindak
pidana korupsi merupakan suap, gratifikasi seringkali dianggap sebagai ucapan terima kasih yang wajar,
meskipun sebetulnya pemberian itu timbul akibat posisi atau jabatan seseorang. Motivasi yang nyata
dari si pemberi tak tampak secara eksplisit, tetapi tersirat. Pemberi tentu ingin mendapatkan imbalan
budi baik dengan kelancaran urusan di masa depan.
 Meskipun terkesan sukarela, gratifikasi ini berbahaya, sebab budaya pemberian gratifikasi/suap akan
menimbulkan ekspetasi baik oleh penerima maupun pemberi. Misalnya, penerimaan terhadap suap dan
gratifikasi menimbulkan ekspetasi bahwa dalam setiap proyek yang dianggarkan, pemangku jabatan
layak menerima porsi imbal jasa atas tindakannya yang kooperatif. Padahal sejatinya menjadi kooperatif
sudah merupakan tugas. Jika pebisnis menagkap ekspetasi ini, kemungkinan rencana besaran nominal
gratifikasi akan dimasukan sebagai komponen biaya produk. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan
kerugian negara. Konflik kepentingan dan gratifikasi bisa ditolak jika seorang pegawai pemerintah atau
penyelenggara negara memiliki prinsip bahwa mereka harus memprioritaskan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh transparansi dan akuntabilitas untuk
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
KODE ETIK DPRD DKI JAKARTA NO 2 TAHUN 2020

No. Norma Peraturan di dalam peraturan DPRD No.2


tahun 2020 tentang Kode Etik DPRD DKI Jakarta
1 Ketentuan Umum (pasal 1)
10 Kewajiban Anggota DPRD (pasal 12)
2 Tujuan dan Azas Kode Etik (pasal 2 dan 3)
11 Larangan Bagi Anggota DPRD (pasal 13)
3 Ketentuan Dalam melaksakan sumpah/janji (pasal 4)
12 Hal-Hal yang Tidak Patut Dilakukan Oleh Anggota DPRD
4 Sikap dan Perilaku Anggota DPRD (pasal 5) (pasal 14)
5 Tata Kerja Anggota DPRD (pasal 6)
13 Sanksi dan Mekanisme Penjatuhan Sanksi (pasal 15,16,
6 Tata Hubungan Antar Penyelenggara Pemerintah Daerah dan 17)
(pasal 7)
14 Pembelaan (pasal 18)
7 Tata Hubungan Antar Anggota DPRD (pasal 8) 15 Rehabilitas (pasal 19)
8 Tata Hubungan Antara Anggota DPRD dan Pihak Lain 16 Ketentuan Perjalanan Dinas (pasal 20)
(pasal 9) 17 Pakaian Rapat (pasal 21 dan 22)
9 Penyampaian Pendapat, Tanggapan, Jawaban dan 18 Kerahasian (pasal 23)
Sanggahan (pasal 10 dan 11) 19 Perubahan Kode Etik (pasal 25)
STANDAR KODE ETIK ANGGOTA PARLEMEN
INTERNASIONAL
 Stephenhurst, Pellizo, Legislative ethics and code of conducts, Joint Paper; World Bank and
Singapore Management University (SMU), Paper Number 12-2004
 Gillman, Maskell, etc, Legislative ethics; A comparative analysis, National Democratic
Institute Governance Program, 1999.
 Handbook on Parliamentary Ethics and Conduct: A Guide for Parliamentarians, Organization
of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC).
 Professional and Ethical Standards for Parliamentarians, by the Office for Democratic
Institutions and Human Rights (ODIHR) of the Organization for Security and Cooperation in
Europe (OSCE).
 Common Ethical Principles for Member of Parliaments, OGP Legislative openness Working
Group, 2015 (benchmark). ○ Commonwealth Parliamentary Association (CPA)dan ○ the
AssembléeParlementairede la Francophonie (APF)
KETERBUKAAN DAN KONFLIK
KEPENTINGAN
Dalam peraturan DPRD DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kode Etik DPRD DKI Jakarta tidak ada
pengaturan tentang keterbukaan dan konflik kepentingan. Seharusnya terkait keterbukaan dapat diatur
mengikuti standar 2.4 yang berkaitan dengan keterbukaan kepada konstituen, media dan upaya
mendukung keterbukaan parlemen sebagai turunan dari prinsip 2,4 ini. Terkait konflik kepentingan
pengaturan yang ada sudah mewadahi terkait deklarasi konflik kepentingan akan tetapi tidak terlalu dalam
prinsip-prinsip avoiding conflict of interest (prinsip 3.2) dimana di dalam prinsip ini diatur tidak hanya
deklarasi terkait konflik antara jabatan sebagai anggota dan kepentingan pribadi anggota parlemen akan
tetapi lebih luas dengan pihak-pihak termasuk juru lobby dan donator kampanye jika dipandang hubungan
tersebut dapat menjerumuskan pada penggunaan pengaruh yang tidak patut. Di dalam aturan ini sudah
diatur terkait larangan penggunaan pengaruh untuk mendapatkan kemudahan dan keuntungan pribadi
juga telah mengatur larangan yang sama untuk mempengaruhi proses hukum.
ANALISIS ATURAN
 Pada UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 ayat (14) dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi No 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum
Penanganan Konflik Kepentingan, yang dimaknai sebagai “kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki
kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain dalam penggunaan Wewenang
sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan atau tindakan yang dibuat. Dan jika
kita lihat dari UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi kasus penyuapan yang di lakukan
oleh ARIESMAN WIDJAJA terhadap MOHAMAD SANUSI dalam peyusunan Raperda RTRKSP Jakarta
masuk ke dalam pasal 13 yang mengatur pemberian hadiah masuk dalam kategori suap, gratifikasi, atau
hanya ucapan terima kasih biasa. Tentu, tindakan suap menyebabkan pejabat bertindak bukan dari
kacamata negara, tetapi dari kacamata pribadi. Keputusan diambil bukan dari pilihan yang
menguntungkan masyarakat.
 Pasal 202 ayat (3) dalam Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD
DKI Jakarta menjelaskan Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta dilarang menerima gratifikasi
KESIMPULAN
 Penerimaan suap dan gratifikasi. Sebelum melakukan tindakan korupsi, pelaku akan merasionalalisasi
tindakannya terlebih dahulu. Secara manusiawi, rasionalisasi ini dapat menetralkan perasaan bersalah,
dan menurut (Dellaportas, 2013) terdapat 3 jenis rasionalisasi. Pertama adalah Denial Of Responsibility,
pelaku dapat mengelak bahwa korupsi merupakan satu-satunya pilihan yang tidak terhindarkan akibat
sistem yang salah dan sudah terlanjur berjalan. Kedua adalah Denial Of Injury, pelaku menetralisasi rasa
bersalahnya dengan berkeyakinan bahwa tidak ada potensi berbahaya yang ditimbulkan. Dan yang
Ketiga adalah Denial Of Victim, korban suap dan gratifikasi dasarnya samar, tidak dapat di identifikasi
secara langsung, serta tidak merugikan pihak yang dekat dengan pelaku. Sifat samar ini yang membuat
penerimanya tidak merasa bersalah dan merugikan pihak manapun. Tiga hal tersebut membantu pelaku
mengubah situasi abu-abu menjadi dapat diterima, Ketika sudah dianggap lazim, maka akan terbentuk
ekspektasi yang tersirat. Ekspetasi ini pun ditangkap oleh masyarakat, sehingga masyarakat pun
mengikutinya.
 Pada ujungnya, akan terjadi Social Shifting yang menjelaskan mengapa terjadi fenomena pergeseran
sosial, sehingga suap dan gratifikasi dapat dianggap lazim, dengan kerangkan budaya korupsi dalam teori
kejahatan. Pergeseran sosial menimbulkan kebiasaan yang keliru ini dapat mengarahkan individu untuk
secara rasional menerima suap. Kejadian ini pun sejalan dengan asumsi teori issue-contingent model
yang menyatakan kesepakatan sosial atas sebuah isu menentukan bagaimana isu tersebut dianggap etis
atau tidak etis. Saat suap dan gratifikasi menuai kesepakatan bahwa hal tersebut umum terjadi, maka
masyarakat akan menilai bahwa tindakan yang tidak etis tersebut menjadi etis.
MARI BERDISKUSI

Anda mungkin juga menyukai