Anda di halaman 1dari 29

I.

Latar Belakang Masalah

Keberadaan partai politik tidak terlepas dari kehidupan politik sebuah negara. Partai politik pertama kali lahir dinegara-negara Eropa Barat. Lahirnya partai politik muncul bersamaan dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik sebuah negara. Dan selanjutnya partai politik berkembang sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Partai politik dianggap sebagai manifestasi dari sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Partai politik juga merupakan satu ciri dari negara yang dianggap menganut paham demokrasi. Dimana kebebasan berserikat dan hak berpolitik bagi setiap warna negaranya dijunjung tinggi. Partai politik sendiri didefinisikan sebagai sekelompok warga atau individu yang berkumpul kemudian membentuk sebuah organisasi yang memiliki tujuan, cita-cita serta nilai dan orientasi yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh atau merebut kekuasaan politik dengan cara yang konstitusional.1 Pada permulaan perkembangannya di negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Selanjutnya muncul pula kegiatan kelompok politik diluar parlemen. Di negara-negara jajahan bangsa Barat, partai politik sering didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial. Dan setelah kemerdekaan dicapai oleh negara jajahan serta meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah kuat kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai. Di Indonesia sendiri, perkembangan partai politik telah muncul sejak awal masa penjajahan. Pengaruh yang dibawa oleh negara jajahan serta kondisi masa kolonialisme itu sendiri yang akhirnya membentuk kesadaran segelintir warga kala itu untuk berhimpun menggalang kekuatan demi membela negara Indonesia. Diawali dengan lahirnya organisasi yang bersifat sosial-edukasi seperti Budi Utomo, organisasi bersifat keagamaan seperti Muhammadiyah, serta organisasi yang secara jelas menganut azas politik atau agama seperti Sarikat Islam dan partai Katolik, dan organisasi berasas politik namun sekuler seperti PNI dan PKI. Organisasi-organisasi inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya partai-partai politik di Indonesia.
1

Miriam Budiarjo. Partai-partai Politik dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, Cetakan ke-30), h. 160-161

II. Tinjauan Pustaka

Untuk membahas mengenai partai politik, penulis menggunakan beberapa referensi. Pertama menggunakan buku karangan Toto Pribadi yang berjudul Sistem Politik Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan bahwa partai politik dibentuk dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan2. Partai politik dalam pemilu merupakan media sirkulasi atau pergantian elit politik secara damai dan berkala. Selanjutnya Toto Pribadi mengutip buku karangan Maurice Duverger yang berjudul Political Parties yang membagi kepartaian menjadi dua struktur, struktur langsung dan tidak langsung. Buku Kedua adalah buku karangan Mirian Budiardjo yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik. Dalam bukunya dijelaskan secara terperinci tentang definisi partai politik, tujuan serta fungsi partai politik, klasifikasi serta sejarah singkat lahirnya partai politik di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Kronik Revolusi Indonesia menjelaskan secara terperinci tentang keadaan politik dan partai politik masa setelah kemerdekaan tahn 1946.3 Referensi selanjutnya yang digunakan penulis adalah buku karangan Prof.DR.Budi Winarno, MA yang berjudul Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Seperti yang lazim dalam setiap buku sistem politik, buku ini mengulas tentang bagaimana sistem perpolitikan di Indonesia khususnya era Reformasi. Budi Winarno juga menggambarkan terperinci tentang partai politik dan perkembangannya pada zaman reformasi.4

III. Pembahasan A. Definisi Partai Politik Berikut ini adalah definisi partai politik menurut beberapa ahli:

Toto Pribadi. Partai Politk, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekan dalam Sistem Politik Indonesi dalam Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, 2006), h. 4.3
3

Pramoedya Ananta Toer, dkk. Kronik Revolusi Indonesia II (1946) (Jakarta: Kepustakaan Popoler Gramedia, 1999), h. 662
4

Budi Winarno. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. (Yogyakarta: MedPress, 2007), h. 97-102

Menurut Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan penguasaan ini memberikan pemanfaatan yang bersifat idiil dan materil. R.H. Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Sigmund Neumann, partai politik adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.5

B. Fungsi Partai Politik Sebagai sebuah organisasi partai politik memiliki beberapa fungsi, antara lain a) Partai sebagai sarana komunikasi politik yaitu sebagai penyalur aneka pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat dapat diminimalisir. b) Partai sebagai sarana sosialisasi politik artinya partai politik berfungsi sebagai sarana bagi seseorang untuk memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, dan proses sosialisasi biasanya berjalan secara berangsur-angsur dari mulai kanakkanak hingga dewasa. Dalam sosialisasi ini juga dimaksudkan untuk menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma dari generasi ke generasi berikutnya. Terkait dengan perolehan dukungan untuk mendapatkan
5

Sigmund Neumann. Modern Political Parties dalam Comparative Politics: A Reader, edited oleh Harry Eckstein dan David E. Apter (London: The Free Press of Glencoe, 1963), h.352

kekuasaan, partai politik berfungsi sebagai pencipta image khususnya image baik tentang memperjuangkan kepentingan rakyat c) Partai sebagai sarana recruitment politik yaitu partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment) d) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik dalam kehidupan bermasyarakat konflik merupakan hal wajar yang berpeluang besar untuk terjadi, oleh karena itu partai politik sebenarnya berfungsi untuk memcegah dan mengatasi jika konflik di masyarakat terjadi, seperti sebagai penengah atau mediator dalam konflik tersebut.

C. Sistem atau Klasifikasi Partai Politik Partai politik dapat digolongkan berdasarkan berbagai hal. Seperti dari segi keanggotaannya. Partai politik debedakan menjadi partai massa dan partai kader. Partai massa adalah partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sedangkan partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya.6 Sedangkan jika berdasar sistem partai politik terbagi menjadi: 1) Sistem partai-tunggal (one-party system) Istilah ini merujuk pada sistem dalam sebuah negara dimana hanya ada datu partai dalam sebuah negara. Contoh negara yang menganut sistem ini antara lain negara-negara di Afrika seperti Ghana pada masa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading. 2) Sistem dwi-partai (two-party system)

Miriam Budiarjo. Partai-partai Politik dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, Cetakan ke-30), h. 166

Sistem ini diartikan sebagai adanya dua atau beberapa partai dalam politik sebuah negara namun hanya 2 partai yang memiliki peran paling dominan. Pemilihan wakil dalam sistem ini menggunakan sistem single-member constituency (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. 3) Sistem multi-partai (multi-party system) Sistem multi-partai ini adalah sistem yang saat ini dianut oleh cukup banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam sistem ini warga diberi hak sebebas-bebasnya membentuk partai politik dengan berbagai latar belakang mulai dari ras, suku, budaya, agama dan sebagainya.

D. Perkembangan Partai Politik di Indonesia 1. Masa Orde Lama (1945-1965) Partai politik di Indonesia lahir pada masa kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional dalam struktur majemuk masyarakat Indonesia, dimana masyarakat Indonesia yang terdiri dari beberapa elemen pada masa itu hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik dan tidak adanya kehendak bersama (common will). Pada tahun 1908 berdirilah organisasi pergerakan nasional yang dikenal sebagai Boedi Oetomo, yang menjadi titik awal pergerakan organisasi lain. Selanjutnya, pada 1912 berdirilah Partai Politik Indische Partij, Sarekat Dagang Islam (Solo), Muhammadiyah (Yogyakarta), Boemi Poetra (Magelang), lalu ISDV (Indische Sosial Democratishe Vereninging, Mei 1914), Indische Katholike Partij (Novermber 1918), PKI (Mei 1920), PNI (Juli 1924), Partai Indonesia (April 1931), Partai Rakyat Indonesia (September 1930), Parindra (Januari 1931), dan Gerindo (Mei 1937).7 Pada masa penjajahan Jepang gerakan partai politik dilarang, hanya partai Masyumi yang diberi kebebasan untuk beredar di masyarakat. Pasca Proklamasi Kemerdekaan,
7

Pramoedya Ananta Toer, dkk. Kronik Revolusi Indonesia II (1946) (Jakarta: Kepustakaan Popoler Gramedia, 1999),h.662-664

munculah banyak partai di Indonesia, dimana sistem kepartaian kembali ke pola multipartai.

Pemilu 1955 Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu, 2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar diantaranya adalah: PNI (22,3 %), Masyumi (20,9%), Nahdlatul Ulama (18,4%), dan PKI (15,4%).
6

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso).

Partai Nasional Indonesia (PNI) PNI atau Partai Nasional Indonesia, didirikan 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. PNI sempat dibubarkan karena dianggap membahayakan pada masa Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja. Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam penjara Sukamiskin, Bandung. Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai gugatannya . Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931. Moh. Hatta yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru, dan Ir. Soekarno bergabung dengan Partindo. Pada tahun 1933 Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942, dan pada tahun 1934 Moh. Hatta dan
7

Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942. Pada akhirnya, PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945 dengan kepentingan di bidang politik. Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Masyumi pada masa pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada 1947. Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi mengalami pasang surut secara politis, dan sempat merenggang pada saat Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960 .

Nahdlatul Ulama (NU)8 Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar .

Dikutip dari website http://www.nu.or.id/ diakses pada 4 April 2011.

NU pertama kali terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

PKI (Partai Komunis Indonesia) Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante. Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihanpemilihan di kota-kota. Pada September 1957, Masyumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang .
9

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional. Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Dekrit Presiden 5 juli 1959 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam
10

kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang [parlemen]; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekret tersebut antara lain:

1. Pembubaran Konstituante, 2. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, 3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

2. Masa Orde Baru (1965-1998)

Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk : * Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. *Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. * Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. * Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Latar belakang lahirnya Orde Baru :9 1. 2. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.

Http://www.IndonesiaOrba.com diaksess tanggal 03032011

11

3.

Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.

4.

Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.

5.

Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa Front Pancasila yang selanjutnya lebih dikenal dengan Angkatan 66 untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.

6.

Kesatuan Aksi Front Pancasila pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutanTRITURA(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi : Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya Pembersihan Kabinet Dwikora Penurunan Harga-harga barang.

7.

Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

8.

Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).

9.

Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.

Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :

12

* Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan. * Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. * Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. * Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto. * Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno . * 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru. * Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
II.

Kehidupan Politik Masa Orde Baru 1. Pelaksanaan Orde Baru : Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan. Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk

menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak diperhatikan/diabaikan.
13

Namun pada pelaksanaan nya Politik Orde Baru dijalankan tidak lebih baik bahkan di masa ini telihat sekali arogansi pemerintah terhadap Partai politik maupun proses politik lainnya. Indonesia di bawah pemerintah Orde Baru memiliki ciri-ciri menonjol sbb: (1) Pemerintah sebagai pelaku tunggal perubahan social, (2) Pemerintah menggunakan pendekatan rest and orde dalam menyelesaikan masalah social politik. (3) Rakyat dilarang bermain politik langsung mengendalikan jalannnya pemerintahan, yang berfikir politik hanyalah elite mereka di parlemen untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan. III. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik (4), Rakyat diarahkan untuk meningkatkan perekonomian yang praktis dan pragmatis

Kekuatan politik Orde Baru diharapkan tidak lagi berorientasi pada Ideologi, tetapi pada program. Dan menurut pemerintah Orde Baru ketidak stabilan politik yang terjadi sebelumnya disebabkan kesalahan sistem kepartaian. Diketahui juga partai politik saat itu sangatlah banyak, sehingga banyaknya partai politik menimbulkan banyak ideologi dan sekaligus kegiatan partai politik sulit terkontrol dan akahirnya timbul gerakan-gerakan yang membahayakan bangsa dan Negara. Hal ini menjadi alasan utama Orde Baru mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan fusi partai-partai politik, sehingga mulai pemilu tahun 1977 partai politik hanya ada tiga, yaitu Golkar, PDI dan PPP. dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu : * Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam) * Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis). * Golongan Karya (Golkar) Orde Baru melakukan kebijakan fusi parpol karena kondisi pemerintahan saat itu tidak stabil, dan ketidak stabilan tersebut disebabkan kesalahan sistem kepartaian.
14

Dan diketehui tujuan fusi tersebut untuk kepentingan umum / demi kemaslahatan yaitu berupa kestabilan politik dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
IV.

Pemilihan Umum10 Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai

peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya .Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. 1) Pemilu 1971 * Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal. * * Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD. anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat. * Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun). 2) Pemilu 1977 Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI. 3) Pemilu 1982 Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di
10

http:// www.pemiluindonesia.com diakses tanggal 03032011 15

Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi. 4) Pemilu 1987 Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah: PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang. Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam. 5) Pemilu 1992 Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi. 6) Pemilu 1997 Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya: Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi. PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri. Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
16

Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-Undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan. V. Peran Ganda ABRI

Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
3. Masa Reformasi (1998- sekarang)

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung
17

sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah

mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Hasil Pemilu 1999 Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan
18

pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Nomor Nama Partai 1. Partai Keadilan 2. PNU 3. PBI 4. PDI 5. Masyumi 6. PNI Supeni 7. Krisna 8. Partai KAMI 9. PKD 10. PAY 11. Partai MKGR 12. PIB 13. Partai SUNI 14. PNBI 15. PUDI
19
11

16. PBN 17. PKM 18. PND 19. PADI 20. PRD 21. PPI 22. PID 23. Murba 24. SPSI 25. PUMI 26 PSP 27. PARI 11

dikutip dari website www.kpu.go.id diakses pada 1 April 2011

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN
20

meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Tahun 1998, setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto, maka pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia. Tidak hanya lima atau 10 partai saja, tetapi karena aspirasi rakyat yang beragam dan ideology yang berbeda maka sejak tahun 2004 peserta pemilu bak jamur di musim hujan, alias munculnya tak terbendung. Inilah gambaran euphoria demokrasi Indonesia yang dulu sangat dikekang, lalu tiba-tiba dilepaskan begitu saja, mengakibatkan pluralitas partai yang luar biasa macamnya. Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi. Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan partai politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat. Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional.
21

Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.12 Partai Politik ( SBY ) Partai-partai politik Indonesia pada era pemerintahan SBY-JK gagal menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan di tingkat pemerintahan. Menurut Kuskridho Ambardi partai-partai politik malah membentuk kartel yang menghalangi munculnya oposisi. Tanpa kehadiran oposisi di parlemen, tidak ada pertanggungjawaban horizontal antara parlemen dan pemerintah.13 Kartelisasi partai politik dapat dilihat dalamkomposisi kabinet SBY-JK tahun 2004. Setelah perombakan kabinet yang kedua, ada 8 partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah dari berbagai macam ideologi. Ini tercermin dari komposisi kabinet Pemerintahan SBY-JK. Partai-partai peserta pemilu 2004 secara kolektif mengabaikan perbedaan ideologis, mengaburkan oposisi dan membuat hasil pemilu tak lagi menjadi faktor penentu koalisi. Puncaknya, mereka bertindak seragam sebagai satu kelompok tunggal demi kepentingan bersama. Ini memelihara sistem kepartaian yang terkartelisasi. Semua indikator kartelisasi tersbut tercermin pada pilpres 2004 ketika berbagai koalisi berbasis ideology muncul, mencair dan kemudian berubah menjadi koalisi kemenangan-minimal. Koalisi jenis ini kemudian berpadu dalam pembentukan kabinet dimana semua partai kecuali PDIP dan PDS bergabung dalam kabinet. Akhirnya, semua partai di DPR merekayasa satu mekanisme untuk mendistribusikan keuntungan politik dalam bentuk pembagian posisi ketua komisi.

12

Dikutip dari http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/03/19/nrs,2004031901,id.html diakses pada 3 April 2011

13

Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel, Jakarta, Gramedia, 2009, hal. 6

22

Kesepakatan yang dicapai di antara partai-partai di DPR itu jelas-jelas mengingkari gagasan tentang sistem kepartaian yang kompetitif.14 Sitem Kepartaian Semangat untuk membangun sistem multi partai yang bermartabat di mulai sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Sebelum pemerintahan Orde Baru sebenarnya Negara kita telah menganut sistem multi partai. Dimulai tahun 1945 sampai tahun 1971. Namun sistem multi partai hilang akibat kebijakan fusi partai yang dibuat Rezim Soeharto. Sejak reformasi tahun 1999 dukungan terhadap keberadaan sistem multi partai datang dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak partai yang bemunculan menumbuhkan harapan dan kecemasan. Sebagian masyarakat menyambut gembira dengan penuh antusias dan dengan cepat menjadikan kemunculan partai-partai politik baru sebagai sarana untuk menyalurkan kembali naluri politik yang selama ini dikekang oleh rezim Soeharto. Namun ada juga masyarakt yang resah dengan banyaknya partai baru yang muncul pada saat itu yang mencapai ratusan partai politik akhirnya bukan memperlancar arus reformasi, tetapi sebaliknya mengganggu proses reformasi.15 Untuk konteks pemilihan umum 2004 partai politik peserta pemilu adalah sebanyak 24 partai. Melihat jumlah partai sebanyak itu kita menganut sistem multi partai yang ekstrim. Dalam sistem ini sangat sulit mendapatkan suara mayoritas pemenang pemilu dan hal itu memang betul dan terjadi di pemilu Indonesia tahun 2004 yang lalu. Presiden dan Partai Politik ( SBY JK ) Pola relasi kekuasaan presiden dan partai politik pada era pemerintahan SBY-JK yang memiliki kekuatan signifikan di DPR sangat dipengaruhi sejauh mana intervensi partai politik terhadap Presiden Yudhoyono dan sebaliknya sejauh mana presiden mengakomodasi kepentingan partai politik dalam komposisi dan proses penyususnan kabinet.

14

ibid 249

15

Bambang Cipto. Partai, Kekuasaan dan Militersisme. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal. 2

23

Dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sangat jelas ada kompromi politik antara SBY dan partai politik pendukung pemerintah. SBY-JK mengakomodasi kepentingan partai tersebut dengan menempatkan kader-kader partai tersebut di kabinetnya. Kompromi politik dalam penyusunan dan perombakan kabinet selama pemerintahan SBY-JK selalu disertai maneuver dan intervensi partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah. Intervensi partai politik terhadap presiden terlihat bila Presiden Yudhoyono berencana mencopot seorang menteri dari partai politik. Partai politik tersebut mengancam akan mencabut dukungannya kepada pemerintah. Model lain, apabila ada menteri tidak loyal kepada partainya, partai itu mendesak presiden agar menteri tersebut dicopot dari kabinet. Jika tidak diganti, partai tersebut mengancam menarik dukungannya kepada presiden. Pemerintah - DPR Presiden-DPR Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merupakan hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pemerintahan tersebut merupakan pemerintahan pertama di Indonesia hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat. Sebagai bukti bahwa karakteristik presidensialisme pada pemerintahan SBY-JK telah terpenuhi dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Pada pemerintahan sebelumnya pemilihan presiden dilakukan oleh parlemen. Pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6A : (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Implikasi dari pemilihan presiden secara langsung adalah hubungan presiden dan parlemen hanya sebatas pengawasan dan keseimbangan. Presiden dan parlemen sebagai lembaga mandiri menjalankan kekuasaan masing-masing. Antara kedua lembaga tersebut tidak dapat saling membubarkan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7C menyebutkan presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan UUD 1945 ini untuk menguatkan sistem presidensialisme dan menjaga keberlangsungan pemerintahan selama masa jabatannya. Tidak seperti sistem parlementer keberlangsungan pemerintahan sangat rawan sekali akibat dari kepentingan-kepentingan partai politik di parlemen. Namun dalam prakteknya
24

pemerintahan SBY-JK selalu di bawah ancaman pemakzulan oleh DPR dalam mekanisme check and balances. Pemerintahan SBY-JK sering sekali mendapat tekanan dari DPR dalam pemerintah melaksanakan kebijakannya. Akan tetapi ini semua tidak terlepas dari kompleksnya kepentingan yang terangkum dalam lembaga DPR. Mungkin ini akibat dari kita menganut sistem banyak partai. Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, relasi kedua lembaga tersebut semakin mandiri dan setara. Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang tidak lagi mendominasi kekuasaan sebagiamana terjadi sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen. Presiden hanya sebatas melaksanakan undang-undang dan sedikit terlibat dalam pembahasan undang-undang dan parlemen melaksankan kekuasaan membuat undang-undang dan menjalankan fungsi kontrol bagi pemerintah terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Namun dalam pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial dalam pemerintahan SBY-JK terlihat sekali bahwa DPR sangat dominan. Kabinet SBY jilid II Kepentingan partai politik masih sangat kental dalam pemerintahan SBY-Boediono kali ini. Kabinet jilid II ini bak sarang parpol dan SBY sibuk mementingkan legitimasi kekuasaannya dengan menyerap aspirasi partai-partai politik bukan aspirasi rakyat. Beberapa kalangan menyebutkan terdapat pelanggaran kode etik system presidensial, karena tidak ada korelasi antara koalisi yang dibangun antar partai dalam konteks penyusuan cabinet. Kabinet yang dinamai Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 ini dipilih langsung oleh SBY dengan memperhatikan kepentingan partai-partai pendukungnya. Total ada 34 menteri departemen dan non departemen yang mengisi pos-pos yang kurang lebih sama dengan cabinet sebelumnya. Lebih detail lagi kabinet ini mempunyai komposisi 19 menteri [plus satu professional non kader atas rekomendasi parpol] atas rekomendasi parpol dan sisanya dari kalangan professional. Pembentukan sekretariat gabungan (Setgab) tak pelak adalah politik kartel jilid baru. Pada awal pembentukan kabinet Indonesia bersatu Jilid II, sebagian besar parpol membentuk aliansi besar untuk mendukung kepemimpinan politik SBY. Pembentukan aliansi besar ini dituangkan dalam komitmen bersama yang bernama pakta integritas. Pakta integritas antar parpol adalah deklarasi politik kartel dari partai-partai politik. Setelah menang pilpres 2009, SBY dalam berbagai forum kerapkali mewacanakan
25

pentingnya kerjasama politik dan menghentikan kompetisi. Kompetisi politik sudah berakhir di pilpres dan kerjasama politik dimulai dalam pemerintahan, begitulah alam pikiran SBY. SBY ingin jalannya pemerintahan untuk lima tahun ke depan tak diganggu oleh pertarungan atau kompetisi politik. Koalisi pilpres 2009 tak cukup memuaskan keinginan SBY untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik. SBY bergeming menghadapi ancaman sejumlah mitra koalisi pilpres yang tak menghendaki perluasan koalisi. Ia terus mengintensifkan pendekatan terhadap Aburizal Bakrie dari Partai Golkar dan Taufik Kiemas dari PDIP. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR tak bisa dipungkiri adalah hasil dari lobi politik untuk merangkul PDIP. Demikian juga dengan kemenangan Aburizal Bakrie yang terang-terangan ingin bergabung ke koalisi pemerintah mengalahkan Surya Paloh yang ingin berada di luar kabinet, semakin memuluskan langkah SBY untuk membentuk koalisi besar, baik di eksekutif maupun legislatif. PDIP memang menolak tawaran SBY, tetapi dengan bergabungnya Partai Golkar, koalisi besar di eksekutif dan legislatif tetap terwujud. SBY ingin para anggota koalisi membuat komitmen politik semua anggota koalisi untuk mendukung jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Anggota koalisi menandatangani suatu perjanjian politik yang tertuang dalam pakta integritas. Pakta integritas, selain merupakan deklarasi dari ikrar anggota koalisi untuk mendukung pemerintah SBY, juga merupakan deklarasi politik kartel di Indonesia. Koalisi besar pemerintah nyaris tak menyisakan kompetitor politik. Hanya PDIP yang kekuatan politik signifikan, sedangkan dua partai lainnya, Gerindra dan Hanura, adalah partai kecil dalam peta politik nasional. Banyak pihak khawatir tak ada kontrol terhadap kekuasaan. Namun demikian, politik kartel ternyata tak berjalan mulus. Sejumlah parpol yang berada dalam koalisi menyerang kebijakan pemerintah dalam kasus bail out bank Century. Partai Golkar dan PKS adalah dua partai kartel yang paling keras menyerang pemerintah khususnya Sri Mulyani. Pukulan bertubi-tubi dari luar dan dalam politik kartel akhirnya menyebabkan SBY mengorbankan Sri Mulyani demi kestabilan pemerintahan dan demi keberlanjutan politik kartel. Belum lagi akhir-

26

akhir ini partyai koalisi sendiri ( PKS dan Gollkar ) sangat berlawanan dengan partai Demokrat dalam hal hak angket mafia pajak. Sebenarnya SBY bisa memilih untuk menindak anggota koalisi yang menyerang kebijakan pemerintah. Sejumlah petinggi partai Demokrat dan mitra koalisi di luar partai Golkar dan PKS telah meminta SBY untuk bersikap tegas kalau perlu mengeluarkan partai Golkar dan PKS dari koalisi. Alih-alih mengindahkan permintaan mereka, SBY tunduk pada manuver partai Golkar yang ingin membubarkan koalisi awal dan membentuk Setgab. Setgab adalah muara dari upaya SBY dan Partai Golkar menata ulang politik kartel di eksekutif dan legislatif. Pertemuan arus inilah yang telah meredam gelombang politik bail out bank Century. Manuver politik kartel terus dilakukan. Wacana dana aspirasi, dana desa, dana aspirasi rumah terus digulirkan di legislatif. Namun demikian, manuver politik kartel tak jua berjalan mulus. Dana aspirasi turut memperuncing perbedaan di antara para pelaku politik kartel. Sebenarnya politik kartel baik itu pakta integritas atau setgab, telah membuat SBY terperangkap dalam labirin ketidakmenentuan jalannya pemerintahan. Keinginannya untuk merangkul banyak pihak, keinginannya untuk memuaskan banyak pihak, malah berbalik membelenggunya. Dalam pembentukan kabinet, SBY banyak memberi konsesi politik kepada mitranya. Malah akhir-akhir ini kesemua itu membuat bergulingnya isu reshuffle cabinet yang membuat pemerintahan seakan-akan sibuk mengurusi kepentingan partai-partai politik ketimbang rakyat Indonesia. Selama SBY masih berhasrat mengumpulkan seluruh kekuatan politik di tangannya, politik kartel akan tetap bertahan. Selama itu pula kita akan terus menonton pertunjukan drama tentang kerakusan para pelaku politik kartel di pemerintahan SBY-Boediono ini. Dengan demikian kekuasaan Presiden Yudhoyono tersandera oleh kepentingan pragmatis partai politik yang ingin mendapatkan jatah kekuasaan. Dan hal ini tidak dapat diabaikan oleh presiden karena hal itu menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan yang menganut paham multi partai

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi


27

Bahwasanya partai politik merupakan bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. tanpa melalui partai politik maka seseorang tidak akan mendapatkan kekuasaan di dalam sebuah negara. Dan partai politik itu juga sebagai penonggak jalannya demokrasi di Indonesia. Selain bertujuan politis pada kekuasaan, partai politik lebih jauh menenkankan sebagai katalisator dan pengontrol jalannya kebijakan pemerintahan dalam sebuah negara. Partai politik sebagai media komunikasi antara pemerintah kepada rakyat maupun dari rakyat kepada pemerintah sehingga dengan adanya partai politik jalannya sistem politik indonesia bisa berjalan dengan sangat baik. Dan bukan hanya itu sajadalam sistem politik sebuah negara dalam hal ini Indonesia keberadaan infrastuktur politik seperti partai politik,kelompok penekan dan kelompok kepentingan membuat keseimbangan dan stabilitas sistem politk di indonesia

28

DAFTAR PUSTAKA Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Pribadi, Toto. 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka Toer, Pramoedya Ananta. 1999. Kronik Revolusi Indonesia II (1946). Jakarta: Kepustakaan Popoler Gramedia Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: MedPress Eckstein, Harry dan Apter, David E. 1963. Comparative Politics: A Reader. London: The Free Press of Glencoe Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: Gramedia. Cipto, Bambang. 2000. Partai, Kekuasaan dan Militersisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar website http://www.nu.or.id/ diakses pada 4 April 2011. http://www.IndonesiaOrba.com diaksess tanggal 03032011 http:// www.pemiluindonesia.com diakses tanggal 03032011 www.kpu.go.id diakses pada 1 April 2011 http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/03/19/nrs,20040319-01,id.html diakses pada 3 April 2011

29

Anda mungkin juga menyukai