Anda di halaman 1dari 10

EKONOMI ISALAM DAN GLOBALISASI

OLEH : Ali Murtadho, M.Ag.

A.

Pendahuluan Tantangan Global ummat Islam tidaklah terbatas pada nasib

ummat Islam semata, namun pada seluruh kemanusiaan. Hal ini karena selain Islam tidak ada ideologi yang memiliki missi rahmat ke seluruh alam, yang tak cuma berorientasi manfaat untuk bangsa tertentu, apalagi elit tertentu. Karena itu strategi yang harus ditempuh ummat Islam harus pula strategi global yang berdasarkan syara. Pada tataran praktis, strategi itu baru dapat diimplementasikan secara sempurna oleh suatu negara global, yang dalam konsep syara dan dibuktikan oleh realita empiris sebagai negara Khilafah. Islam adalah lawan abadi dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim). Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi. Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh (QS 8:60), baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.

B.

Globalisasi Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan

lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat mereka sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat pun akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah. Namun kebobrokan ini telah dibungkus dengan amat rapi, dengan nama globalisasi. Globalisasi diakselerasi dengan kemajuan yang luar biasa dalam teknologi telekomunikasi dan informatika. Via teknologi ini gaya hidup Barat telah dijadikan gaya hidup dunia yang diharapkan mengerut menjadi Global Village, dengan budaya monokultur dari Barat. Gaya hidup Coca Cola, Mc Donald hingga Schmackdown diekspor ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, menggeser baik brand industri maupun kearifan lokal. Para kapitalis Barat melobby para politisi di negeri-negeri berkembang yang memiliki sumber daya alam besar, baik muslim maupun bukan, agar mereka merubah politiknya ekonominya agar makin effisien dengan adanya pasar global, dan untuk itu harus ramah terhadap Barat. Para pelobby ini adalah professional berpenghasilan sangat tinggi yang menipu negara-negara di seluruh dunia triliunan dollar. Mereka menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID dan organisasi bantuan luar negeri lainnya menjadi dana korporasi-korporasi raksasa dan pendapatan beberapa keluarga kaya yang mengendalikan sumbersumber daya alam planet bumi ini. Sarana mereka meliputi laporan keuangan yang menyesatkan, pemilihan yang curang, penyuapan, pemerasan, seks dan pembunuhan. Mereka memainkan permainan yang sama tuanya dengan kekuasaan, sebuah permainan yang telah menentukan dimensi yang baru dan mengerikan selama era globalisasi

3 (Perkins, 2004). Atas nama pasar bebas (WTO, AFTA, APEC), negeri-negeri ini telah membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk dengan menjual asset-asset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang, maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional. Di Indonesia, orang bangga ketika menggandeng PAM Jaya dengan Lyonase dari Perancis dan Thames dari Inggris, seakan dengan itu perusahaan layanan publik menjadi go internasional. Yang kemudian terjadi hanyalah bahwa para pelanggan harus membayar lebih mahal dan hampir tidak ada perluasan cakupan layanan. Hal yang sejenis terjadi dengan penjualan baik BUMN (misalnya Indosat ke Temasek Singapura, Bandara Sukarno Hatta ke Schipol Belanda) maupun swasta nasional (misalnya Aqua ke Danone, Sampurna ke Phillip Morris dan sebagainya). Sementara itu investasi baru terutama yang terkait dengan sumberdaya alam, energi dan infrastruktur, hampir semuanya selalu diberikan ke asing. Bagaimana dengan sumur minyak di Cepu yang diberikan ke ExxonMobile, atau lapangan gas di Natuna. Semua ini mengikuti praktik tak adil dan ekploitatif yang sudah terjadi puluhan tahun dengan Freeport atau Newmont. Di Freeport, konsentrat emas langsung dikapalkan ke Amerika, tanpa ada satupun petugas beacukai di adalah pembayar pajak terbesar. Sekitar Rp. 6 pelabuhannya. Triliun yang Pemerintah sudah puas dengan kenyataan bahwa PT Freeport Indonesia dibayarkannya setiap tahun ke pundi-pundi pemerintah. Namun berapa sebenarnya yang mereka keruk dari Indonesia tidak ada yang tahu. Di sisi lain, deregulasi yang diharapkan membuka peluang pekerja dan pengusaha Indonesia untuk terjun ke pasar global tidak seindah yang diharapkan. Mereka tidak sadar, bahwa ketika mereka ingin memasukkan produk ke pasar global, mereka dihadang oleh berbagai restriksi baru, seperti soal standarisasi (ISO 9000, ISO 14000 dan lain-lainnya), sertifikasi, eco-compliance (ramah lingkungan) maupun bersih dari keterlibatan pada terrorisme. Kalau saja dalam rantai produksi itu ada pegawai yang diidentifikasi terlibat organisasi yang diduga bagian dari jaringan terorisme, maka produk tersebut tidak boleh diterima. Anehnya,

4 negara-negara muslim menerima saja aturan-aturan yang aneh ini. Mereka takut dengan ancaman yang dikumandangkan AS, Either you are with us, or you are with terrorist. Sepertinya tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam. Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam. Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para nabi. Untuk itu mereka menempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakahharakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia atau Ambon. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Penguasa manapun yang sulit diajak kerjasama akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya. Di sisi lain, kekuatan uang dioptimalkan terus untuk membiayai penyesatan penguasa opini atau via media, mengorbitkan intelektual tokoh masyarakat agar lunak pendukung mereka, mereka, membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby terhadap membayar demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka - sadar atau tidak, dan bila perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya sadar atau tidak bahwa mereka dimanfaatkan.

C.

Strategi

Dunia sebenarnya menanti suatu solusi alternatif bagi permasalahan postmodern yang dihadapinya. Kemajuan yang dialami oleh bangsabangsa Barat memang di satu sisi memperbaiki kondisi fisis dan keunggulan kompetitif bangsa-bangsa itu di kancah dunia. Namun manusia-manusia di sana justru menghadapi problema yang semakin sulit diatasi, yang dikenal dengan future schock (Toffler, 1970, Abdul Hadi, 2003). Kondisi ini bukanlah tanpa sebab, melainkan akibat dari suatu sistem-error yang built-in dalam paham sekulerisme. Sekulerisme mengajarkan bahwa manusia mutlak berhak membuat segala sistem aturan yang diperlukan di kehidupan ini. Namun pengetahuan, pengalaman, dan nalar manusia yang terbatas membuat sistem tersebut dipenuhi kontradiksi. Dampak kontradiksi itu bisa langsung kelihatan, walaupun mungkin tidak pada tempat dan saat di mana sistem itu diterapkan, namun di tempat lain, atau di masa mendatang. Dunia telah melihat bagaimana distribusi pemanfaatan sumber alam dunia ini telah begitu pincang sehingga sangat mengancam ekosistem di masa datang (Atlas der Weltverwicklungen 1994). Bahkan superpower seperti AS pun diramalkan dalam beberapa tahun mendatang akan bangkrut dimakan oleh error dalam sistem ekonominya (Figgie, 1992). Figgie yang merupakan penasehat ekonomi presiden Bill Clinton sangat khawatir, bahwa defisit ekonomi yang berkepanjangan di Amerika sejak perang Vietnam, ditambah dengan bunga berbunga dari defisit itu, lambat laun akan membuat asset-asset industri di Amerika makin dikuasai oleh asing via pasar modal dan akhirnya mata uang Dollar akan semakin lemah, sehingga suatu ketika akan timbul hyperinflasi yang akan membunuh sektor finansial Amerika. Namun pengganti Clinton yaitu Bush Jr. rupanya pandai mengalihkan perhatian pada krisis ekonomi itu dengan perang melawan terorisme. Dengan perang ini diharapkan ada dorongan ekonomi baru, terutama di sektor industri militer, energi, dan infrastruktur. Dan pabrik-pabrik senjata mereka jadi kebanjiran order

6 tatkala seluruh dunia ketakutan dengan isu terorisme. Sumber-sumber energi di Iraq jadi lebih terbuka untuk perusahaan AS. Dan perusahaanperusahaan konstruksi AS meraih kontrak-kontrak raksasa untuk rekonstruksi infrastruktur Iraq. Namun kegagalan mereka di Iraq justru menjebloskan Amerika ke jurang defisit yang tak pernah terjadi sebelumnya. Saat ini, defisit kumulatif APBN AS mencapai 8000 triliun Dollar. Pakar-pakar Barat sendiri mulai khawatir atas globalisasi yang disebutnya Turbo-Kapitalisme yang akan menggilas siapa saja, terutama negara berkembang yang tidak memiliki siapapun dari negara maju yang dengan ikhlas berbagi dengan mereka atau memperjuangkan nasib mereka (Nuscheler, 1987), bahkan kemudian menghancurkan demokrasi itu sendiri (Martin & Schumann, 1996). Ini semua seharusnya menggugah kaum muslimin untuk menyodorkan Islam sebagai alternatif bagi dunia, bahkan solusi satusatunya yang sahih berdasarkan aqidah dan ideologi yang paling rasional dan sesuai dengan fitrah insani. Kehancuran Islam adalah kehancuran dunia, dan kebangkitan Islam juga peluang dunia, dan juga berarti terbuktinya sekali lagi Islam menjadi rahmatan lil alamien. Oleh karena itu sudah saatnya bahwa kaum muslimin makin merapikan barisan dan bergabung dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk menegakkan Islam dengan membangkitkan kaum muslimin. Dan gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang makin banyak bermunculan di abad 20 ini harus sudah mulai saling belajar untuk mengevaluasi apa yang menyebabkan mereka hingga kini belum berhasil, atau bahkan bisa jadi justru semakin menjauhkan kaum muslimin dari kebangkitan itu sendiri. Dengan itu mereka akan bisa saling melengkapi dan saling membantu dalam kebaikan dan taqwa. D. Untuk Upaya Rekonstruksi Negara Global setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya. Dengan

mempelajari sebab-sebab kemunduran ummat dapat dilihat bahwa tak ada cara lain mengantisipasi skenario penghancuran Islam dan kaum

7 muslimin ini selain dengan memperkuat ketahanan tubuh kaum

muslimin, mengembalikan fikrah atau konsep-konsep Islam yang jernih pada mereka, juga mengembalikan semua alat-alat yang diperlukan sebagai metode implementasi Islam atas mereka, yakni Daulah Khilafah yang mempersatukan potensi seluruh bumi Islam dan kaum muslimin. Sesuai dengan sirah dan sunnah Rasulullah, upaya rekonstruksi ini berarti sangat mirip dengan upaya konstruksinya yang pertama, yaitu dimulai dengan dakwah, baik berupa pembentukan pribadi-pribadi yang kelak juga akan berkembang menjadi pengemban tugas dakwah, maupun perang pemikiran untuk mengubah opini umum menjadi opini yang Islami. Akhirnya Islam akan bisa kembali diimplementasi bila opini yang berkembang di dalam ummat ini tinggal didominasi oleh opini Islam, dan terdapat kekuatan politik riel yang siap melindungi implementasi sistem Islam pada masyarakat, baik terhadap gangguan dari dalam maupun dari luar. Dengan melihat konstelasi dunia saat ini, sangat sulit dibayangkan bahwa kaum muslimin bisa keluar dari lumpur kenistaan ini, apalagi kemudian bisa mengungguli kaum kafirin, namun di sejarah dunia hal itu sering terjadi (Kennedy, 1987). Dan Allah berfirman: Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (Qs. 3:140) Untuk memahami lebih mudah bagaimana konstruksi atau rekonstruksi suatu negara berjalan sesuai Sunnatullah, maka kita bisa mempelajari sejarah bangsa-bangsa, seperti bagaimana revolusi di Perancis, Rusia, Cina, Iran hingga negara-negara di blok timur di akhir tahun 1980-an dan juga di Afrika Selatan. Kita juga bisa belajar dari bagaimana proses kemerdekaan RI dan pembentukannya menjadi negara kesatuan berwilayah yang besar. Khilafah yang ingin direkonstruksi mestinya adalah negara dengan sistem seperti di masa Rasulullah atau Khulafaur Rasyidin, walaupun

8 dengan teknologi dan sistem administrasi ala abad-21. Negara ini bukanlah negara theokrasi, bukan pula negara bangsa, mazhab atau jamaah (sekte) tertentu, bahkan tak cuma untuk kaum muslimin saja. Dia juga bukan negara para malaikat yang tidak pernah berdosa, tapi adalah negara manusia yang bisa saja berdosa dan menghadapi masalah sebagai ujian dari Rabb-nya, namun masalah-masalah itu akan teratasi dengan pedoman yang benar, yaitu Islam. Khilafah semacam itu tentu harus dipersiapkan dengan matang. Tentu harus cukup orang yang siap membelanya begitu ia diserukan dan menghadapi ancaman dari musuh-musuhnya, sebagaimana Rasul diancam dengan perang Badar, Uhud, Ahzab dsb. Begitu negara khilafah diserukan oleh para pemegang kekuatan yang setuju dengan ide ini, maka mulailah suatu era baru di wilayah yang dikuasainya. Seluruh aturan akan diganti dengan aturan Islam, terutama aturan-aturan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, peradilan, pertahanan dan hubungan luar negeri. Seluruh perjanjian dengan negara lain akan ditinjau ulang untuk dilihat kesesuaiannya dengan hukum syara. Rakyat yang telah teropini dengan Islam akan bersemangat mendukungnya baik dengan hartanya maupun jiwanya. Kaum muslimin yang berada di negara maju dan juga telah menerima ide khilafah akan berdatangan dan menyumbangkan keahlian yang mereka amalkan selama ini di negara maju. Kaum aghniya tidak akan ragu-ragu berkorban untuk negara, karena pada saat itu aktivitas ini bernilai spiritual. Maka jadilah negara ini negara yang kuat, sekalipun masih muda. Negara ini akan memulai eksistensinya dari suatu wilayah merdeka, yang kemudian mengajak negeri-negeri muslim lainnya untuk bergabung, sebagaimana RI dulu mengajak propinsi-propinsi ex Hindia Belanda ke dalam Republik, atau Eropa membentuk Uni Eropa. Ketika negeri-negeri itu menyaksikan praktek terbaik dari Daulah Khilafah, mereka akan mempertimbangkan untuk bergabung, sebagaimana negeri-negeri di Eropa saat ini memutuskan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Maka negara khilafah bukanlah utopia. Rasul meramalkan bahwa Konstantinopel dan Roma akan dibuka oleh kaum muslimin, dan sebaik-

9 baik pasukan adalah mereka yang memasuki kota itu, dan sebaik-baik panglima adalah pemimpin pasukan itu. Kaum muslimin tidak pernah sedikitpun meragukan nubuwat nabi ini, mereka berjuang agar kemulian jatuh pada mereka, sekalipun sejarah akhirnya membuktikan bahwa Konstantinopel baru futuh tahun 1453. E. Referensi:

Abdul Hadi WM (2003): Krisis Manusia Modern, Tinjauan Falsafah Terhadap Scientisme dan Relativisme Kultural. Orasi Ilmiah, Lustrum-I Universitas Paramadina, 1 Maret 2003. AnNabhani, Taqiyyudin: Mafahim Hizbut Tahrir. Atlas der Weltverwicklungen, Dritte Welt Haus Bielefeld, 1994. 206 pp. Figgie, H. E., Swanson, G. J.(1992): Bankruptcy 1995. The Coming Collapse of America and How to Stop it. Little, Brown & Co. Boston. 268 pp. Hampden-Turner, C., Trompenaars, A. (1993): The Seven Cultures of Capitalism. Doubleday, New York. 405 pp. Heine, S. (Ed.)(1995): Islam zwischen Selbstbild und Klischee. Verlag Islamische Bibl. Koln. 311 pp. Kennedy, Paul (1987): The Rise and Falls of the Great Powers. Random House, New York. 976. Martin, H-P., Schumann, H. (1996): Die Globalisierungsfalle, Der Angriff auf Demokratie und Wohlstand. Rowohlt Hamburg. 352 pp. Nuscheler, F. (1987): Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Verlag Neue Gesselschaft. Bonn. 359 pp. Ostrovsky, V. (1990): By Way of Deception. Stoddart Publ. Co. Ltd. Toronto. 440 pp. Perkins, J (2004): Confessions of Economic Hit Man. Berret-Koehler Publisher, Inc. San Fransisco, CA, USA. Sadat, J. (1987): A Woman of Egypt. Simon & Schuster, Inc. 427 pp. Toffler, A. (1970): Future Shock. 435 pp. Zallum, Abdul Qadim (2001): Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Al-Izzah, 2001.

10

Anda mungkin juga menyukai