Anda di halaman 1dari 4

Presiden Perempuan Hukumnya Haram ?

Oleh : M A K S U N *) Memasuki masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) dan kian dekatnya Pemilu Presiden Presiden 5 Juli mendatang, ada satu hal yang cukup menarik dicermati demi kecerdasan bangsa dan pendidikan politik rakyat yang sehat, yakni kecenderungan munculnya politisasi agama untuk mendukung pasangan capres-cawapres tertentu di satu sisi, dan mendiskreditkan pasangan lainnya. Contoh aktual dari politisasi agama itu adalah, apa yang fatwakan oleh kiai khas NU dari Langitan, KH. Abdullah Faqih, dan sejumlah kiai di Jawa Timur, yang mengharamkan Presiden Perempuan (Suara Karya, 4/6/04). Berbagai pihak menengarai, bahwa fatwa ini sangat tendensius dan bias jender. Artinya, diduga kuat fatwa itu merupakan fatwa pesanan dan sarat muatan politis, agar pada pilpres nanti warga NU tidak memilih satusatunya capres perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri. Pertanyaannya, benarkah Presiden Perempuan hukumnya haram ? Tulisan ini akan membahasnya secara inklusif dan argumentatif. Islam dan Perempuan Dalam kamus perempuan Islam, sejatinya kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama, yang membedakan hanyalah segi ketakwaannya. Namun diakui atau tidak, mayoritas umat Islam memiliki cara pandang dan sikap negatif, yakni perempuan harus di belakang laki-laki (konco wingking). Pemahaman tersebut ternyata berakar dari teologi penciptaan, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Ini jelas tidak relevan dengan ayat 1 surat al-Nisa, yang menurut penafsiran Yusuf Ali, diyakini bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari spesies yang sama. Artinya, Islam tidak menomorduakan perempuan. Memang laki-laki dibebani tanggung jawab nafkah, sedangkan perempuan tidak. Tetapi itu justru menunjukkan kearifan Tuhan. Kesalahan teologis di atas ternyata mempengaruhi budaya masyarakat, yang menurut Baswardono, mengakibatkan profesi yang dihargai masyarakat harus diberikan kepada laki-laki, dan yang kurang diminati laki-laki barulah disisihkan untuk perempuan. Stereotipe yang memagari profesi perempuan seperti itu masih banyak terjadi di negara maju, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. Ini jelas memperihatinkan. Sebab,

*)

Penulis adalah Dosen Fikih Politik Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
1

jika dikaitkan dengan teologi Islam, jelas tidak sesuai, karena Islam menghargai hasil kerja perempuan. Islam mendorong perempuan untuk bekerja dan berprofesi mulia. Dalam bidang pendidikan, misalnya, Islam tidak membeda-bedakan. Kewajiban mencari ilmu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bahkan, perempuan yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai ibu, secara langsung dia membimbing, mendidik serta mewariskan berbagai kemampunnya. Secara luas bisa diartikan sebagai pemegang peranan penting dalam pendidikan moral masyarakat. Apa jadinya bila perempuan-perempuan itu tidak berpendidikan ? Apalagi, dalam banyak hal, pendidikan pertama memberikan arti yang besar pada seluruh kehidupan sang anak di kemudian hari. Juga dalam masalah sosial yang menuntut keterlibatan semua pihak, sudah sangat beragam, mulai dari masalah kesehatan, lingkungan, nasib anak terlantar, orang jompo dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan spesifikasi yang dimiliki, perempuan sangat cocok terjun langsung mengentaskan mereka dari penderitaan. Peran inilah yang dulu pernah dimainkan oleh istri Nabi SAW, Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaith pada perang Uhud. Di bidang ekonomi, Islam mengakui perolehan yang dicapai oleh perempuan. Pada masa Nabi SAW, para perempuan biasa menggeluti bidang bisnis, pertanian, menenun, memintal, dan sebagainya. Siti Khadijah, istri pertama Nabi SAW, dikenal sebagai saudagar yang cukup sukses. Jika sekarang perempuan memasuki bursa kerja yang beraneka ragam, itu bisa dimengerti dan dimaklumi. Perempuan memang perlu melatih diri untuk bekerja. Sebab, siapa tahu suatu saat tanggung jawab nafkah keluarga terpaksa pindah di pundak perempuan. Yang perlu diperhatikan, jika suatu bentuk pekerjaan melanggar norma agama atau bertentangan dengan kodratnya, semestinya disingkiri, betapa pun mereka membutuhkan penghasilan. Sebab, masih banyak lapangan pekerjaan yang mulia dan manusiawi yang bisa dilakukan. Presiden Perempuan Haram? Sekarang, bagaimana dengan peran politik perempuan ? Inilah yang hingga kini menjadi polemik berkepanjangan di kalangan ulama, bahkan di kalangan para politisi Muslim, terutama menyangkut legalitas perempuan untuk menjadi presiden (kepala negara). Dalam perspektif fikih, ada dua pandangan yang berbeda : ada yang melarang dan ada juga yang membolehkan. Bagi mereka yang tidak memperbolehkan kepemimpinan perempuan, termasuk yang mengharamkan presiden perempuan, dasar yang digunakan
2

adalah teks Alquran QS.4:24 yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan, bahwa kepemimpinan rumah tangga berada di pundak laki-laki. Logikanya, menjadi pemimpin rumah tangga saja tidak boleh apalagi memimpin bangsa dan menjadi presiden. Argumentasi ini kemudian dimentahkan oleh mereka yang membolehkan perempuan menjadi presiden. Menurutnya, QS.4:24 itu diturunkan dalam konteks kepemimpinan rumah tangga dan tidak mencakup masalah kepemimpinan negara, sehingga jabatan kepala negara itu bukan hanya otoritas laki-laki. Di samping itu, mereka yang mengharamkan presiden perempuan biasanya juga berdalih bahwa dalam sejarah perpolitikan Nabi SAW dan para sahabat, tak ada satu pun perempuan yang diangkat menjadi hakim dan gubernur, apalagi presiden atau kepala negara. Anggapan yang demikian, kemudian dikuatkan dengan hadis yang artinya : Tidak akan berjaya sebuah bangsa yang menjadikan perempuan sebagai pemimpinnya. Jawaban dari argumentasi ini adalah, bahwa absennya perempuan dari arena politik kala itu terpulang pada kondisi sosio-kultur dan eksistensi perempuan yang sangat terpuruk, sehingga tidak memungkinkan untuk memikul tanggung jawab tersebut. Dalam konteks ini, menarik dicermati apa yang dikemukakan oleh Muhammad alGhazali. Ia mengatakan, tampaknya ada kekeliruan pemahaman pada sementara ulama menyangkut hadis yang terkesan misoginis itu. Menurut al-Ghazali, hadis itu sangat kontekstual, karena menunjuk pada bangsa Persia kala itu yang dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak capable. Hadis itu, demikian lanjut al-Ghazali, tidak dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mengharuskan jabatan kepala negara itu hanya milik laki-laki, karena hal ini akan kontradiktif dengan Alquran surat al-Naml yang memuji kebijakan dan kearifan serta kesuksesan pemimpin Kerajaan Saba, yakni Ratu Balqis yang notabene perempuan. Senada dengan al-Ghazali, Ibn Taimiyah pemikir politik Islam abad pertengahan mengatakan : Allah dapat saja mem-back up dan memberikan kemenangan kepada sebuah negara kafir yang memerintah dengan adil atas suatu negara Islam yang dipenuhi dengan kezaliman. Dari dua pemikiran di atas dapat dipahami, sebenarnya Islam lebih memperhatikan prinsip yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, ketimbang label Islam yang disandang tanpa mengindahkan prinsip keadilan. Karena itu, hemat penulis, faktor penentu bagi posisi kepala Negara (presiden) bukanlah jender (kelamin : laki-laki dan perempuan), melainkan integrity, capability, acceptability, morality, credibility, dan support mass (dukungan publik).
3

Dengan demikian, ketika kondisi sosial-politik telah berubah dan memungkinkan tampilnya seorang perempuan yang benar-benar capable dan acceptable untuk menduduki posisi politik strategis seperti kepala negara (presiden), maka hukum Islam yang membolehkan kepemimpinan perempuan itu bisa diaplikasikan. Akhirnya, pro-kontra seputar presiden perempuan, tampaknya akan terus bergulir. Yang pasti, isu kepemimpinan perempuan dalam Islam ternyata tidak semata-mata berhubungan dengan persoalan dogmatik, melainkan lebih berkaitan dengan persoalan politik Islam yang menggunakan isu itu untuk kepentingan pragmatis dan politik sesaat. Dengan kata lain, persoalan pro-kontra, dukung-mendukung, dan tolak-menolak atas legalitas presiden perempuan akan terus berlangsung tergantung pada kepentingan politik yang sedang dimainkannya. Inilah yang, tampaknya, tengah dimainkan oleh para kiai sepuh NU itu menjelang digelarnya Pemilu 5 Juli mendatang . Wallahu Alam. *** Alamat : Fakultas Syariah IAIN Walisongo Jl. Raya Boja KM. 02 Telp/Fax. (024) 7601291 Ngaliyan., Semarang HP: 08164257968 Rekening BPD Jateng Capem IAIN Walisongo Nomor : 113.3056.01490.1

Anda mungkin juga menyukai