Anda di halaman 1dari 3

Islam, Pilpres, dan Model Suksesi

Oleh : M A K S U N *)

Menarik untuk dicermati kata-kata Imam al-Ghazali dalam karya magnum opusnya, Ihya Ulumuddin : La nidzama li al-din illa bi nidzami al-dunya (tidak ada keteraturan agama kecuali diatur dengan peraturan dunia). Artinya, dalam rangka amar maruf nahi munkar, maka wajib hukumnya bagi umat Islam mengangkat seorang pemimpin (presiden atau sebutan lainnya). Hukum wajib ini didasarkan atas dalil-dalil naqli (Alquran-Alsunnah), logika-rasional, dan fakta sejarah. Sebagaimana telah menjadi common sense, bahwa ajaran Islam merupakan sistem ajaran yang utuh (kaffah), meliputi segala aspek kehidupan. Alquran, misalnya, menyebutkan : masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (QS.2:208), berdoa agar memperoleh hasanah dunia dan hasanah akhirat (QS.2:201), semua aktifitas hidup untuk ibadah (QS.6:162), manusia sebagai penguasa di bumi (QS.6:165), dan sebagainya. Hal senada juga disebutkan dalam Alsunnah, misalnya Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (raja/presiden) apa-apa yang tidak bisa dicegah dengan Alquran. Sabdanya yang lain : Sesungguhnya agama ini tidak akan tertolong kecuali oleh orang yang menolong dari segala aspeknya. Sahabat Umar RA juga pernah berkata : Islam tidak akan tegak kecuali dengan membentuk jamaah (negara/lembaga). Dari cuplikan dalil-dalil naqli di atas dapat dipahami, bahwa urusan politik sejatinya merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Dengan kata lain, politik merupakan sub-sistem dari Islam. Inilah teori yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), seperti al-Ghazali, al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Rasdyid Ridla, Jamaluddin al- Afghani, Hasan al-Banna, al-Maududi, dan lainnya. Memang ada pemikiran yang menyatakan bahwa antara Islam dan politik adalah dua hal yang terpisah. Teori yang cenderung sekularistik ini dikemukakan oleh beberapa pemikir seperti, Mustafa Kamal At Taturk dan Thoha Husen. Tetapi teori sekuler ini ditentang oleh mayoritas umat Islam. Secara historis, pandangan bahwa politik adalah bagian dari Islam ini telah dipraktekkan oleh Nabi SAW sendiri ketika membangun Negara Madinah dengan Konstitusi Madinah-nya yang sangat terkenal itu. Ketika itu, Nabi adalah pimpinan
*)

Penulis adalah Dosen Fikih Politik Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

politik dan agama sekaligus. Tetapi politik ini harus diletakkan sebagai sarana untuk kepentingan dakwah Islam, bukan tujuan. Dan ternyata, berdakwah melalui saluran politik lebih efektif. Ini terbukti, bahwa dakwah Nabi SAW di Madinah melalui kekuasaan politik, meskipun hanya dalam waktu yang singkat, lebih berhasil ketimbang di Makkah. Di samping itu, dalam catatan sejarah hampir semua nabi juga seorang politikus (raja). Dalam kontek sekarang ini, idealnya calon presiden adalah seorang agamawan sekaligus negarawan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dan Khulafa alRasyidin, di mana Nabi adalah pemimpin agama dan sekaligus kepala negara. Atau setidak-tidaknya, presiden adalah seorang yang mempunyai komitmen keislaman yang kuat dan atau moralitas yang tinggi. Hemat saya, ini harus menjadi catatan penting bagi umat Islam untuk menjatuhkan pilihannya pada pilpres 5 Juli nanti. Model Suksesi Lalu, bagaimana model suksesi dalam teori politik Islam ? Dalam sejarah politik Islam memang tidak dikenal model suksesi kepemimpinan yang baku. Nabi sendiri tidak meninggalkan taushiyah politik tentang siapa yang akan menggantikan beliau dan mekanismenya. Alquran juga tidak memberikan petunjuk secara eksplisit tentang bentuk negara Islam dan gambaran model suksesinya. Meskipun demikian, paling tidak ada empat model suksesi yang pernah terjadi pasca-Nabi yang telah dipraktekkan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Pertama, Abu Bakar al-Shiddiq (khalifah pertama sepeninggal Nabi) diangkat melalui pemilihan langsung dan mendapatkan dukungan mayoritas publik kala itu. Keberhasilan Abu Bakar ini tidak terlepas dari kampanye politik yang dilakukan Umar ibn Khattab. Dalam sebuah kampanyenya, politikus ulung ini pernah berkata :Rasulullah telah merestui Abu Bakar untuk kepentingan agama kita (Nabi pernah mengutusnya menjadi imam shalat ketika Nabi sedang sakit). Adakah kita tidak merelakan dia untuk kepentingan dunia kita?.Atas pertimbangan inilah akhirnya para sahabat Anshar yang kala itu sangat ambisius mengganti posisi Nabi dapat menerima, yang kemudian diamini oleh kekuatan-kekuatan politik lain di luar Anshar. Kedua, Umar ibn Khaththab diangkat menjadi khalifah kedua melalui taushiyah politik Abu Bakar. Ketika Abu Bakar sakit dan di ambang kematian, ia telah menunjuk Umar sebagai penggantinya. Penunjukan tersebut tentu telah dipertimbangkan masakmasak dan didahului dengan musyawarah (lobi politik) dengan para sahabat senior.
2

Ketiga, Usman ibn Affan diangkat menjadi khalifah ketiga melalui pemilihan langsung dalam sidang tim formatur yang dibentuk oleh Umar sebelum beliau wafat. Tim inilah yang kemudian diberi wewenang untuk menentukan pengganti Umar. Tim formatur ini awalnya beranggotakan enam orang sahabat senior, namun kemudian ditambah Abdullah bin Umar sehingga berjumlah tujuh orang (ganjil). Ini untuk menghindari dead-lock jika dilakukan voting, meskipun pada akhirnya Usman terpilih dengan suara bulat. Keempat, Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah keempat oleh para demonstran dan pendukung fanatiknya yang menuntut agar pembunuh Usman segera diadili. Banyak sahabat senior yang tidak turut membaiat dan sebagian yang lain tidak mengakuinya, sehingga kekhalifahan Ali kurang legitimited. Implikasi politiknya, banyak kekuatan oposisi yang lahir, dan hampir sepanjang pemerintahan khalifah keempat ini tidak stabil. Dan pasaca-Ali, suksesi kepemimpinan berjalan secara turun temurun dalam negara kerajaan. Ini disebabkan oleh menguatnya kembali pemerintahan suku, seperti Bani Umaiyah, Bani Abbas, Bani Fatimiyyah dan lain-lain, di samping merebaknya politik aliran, seperti Syiah, Sunni, Mutazilah dan semacamnya. Dari paparan historis di atas bisa dibaca, bahwa Islam tidak mengintrodusir bentuk negara yang baku, harus monarki atau rebuplik. Demikian juga dalam hal model suksesi, apakah pemilihan langsung, wasiat politik, atau tim formatur. Tampaknya, hal ini memang disengaja dan diskenariokan oleh Allah Sang Pembuat Hukum agar ajaran Islam tetap compatible dan relevan sepanjang zaman. Ini dimaksudkan pula agar umat manusia dapat memilih dengan akalnya, model mana yang dirasa paling cocok untuk suatu waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, negara Islam boleh berbentuk kerajaan, republik atau bentuk yang lain, karena yang terpenting bukan bentuk formalitasnya, tetapi adanya jaminan bahwa ajaran Islam dapat tegak di dalamnya. Yang pasti, bahwa pemilihan presiden secara langsung sudah pernah terjadi dalam sejarah politik Islam, yakni terpilihnya Presiden Abu Bakar al-Shiddiq yang kala itu mendapat dukungan mayoritas dari publik. Tentu kita berharap, Pemilu Presiden 5 Juli nanti mampu menghasilkan sosok presiden seperti Abu Bakar, yang memiliki integritas moral yang tinggi, sekaligus bersedia mengorbankan apa pun demi kemaslahatan dan kemajuan umat, bangsa dan negara. Bukan presiden yang korup, otoriter dan secara tidak tahu malu mengorbankan umat, bangsa dan negara untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya. Semoga ! ***

Anda mungkin juga menyukai