Anda di halaman 1dari 4

Potret Ulama dalam Bingkai Politik

Oleh : M A K S U N *)

Berbicara tentang ulama dalam pentas dan locus politik nasional, tanpa menyinggung Majlis Ulama Indonesia (MUI) tampaknya akan terasa hambar. Apalagi, Sabtu, 26 Juli besok, MUI akan memasuki usia yang ke-28, sebuah usia yang tak muda lagi untuk ukuran sebuah organisasi sosial-keagamaan. Bila ditilik secara historis, proses berdirinya MUI sendiri mencerminkan indikasi kuat dari begitu terintegrasinya MUI dengan negara atau pemerintah. Tangan-tangan negara begitu hegemonik dan kukuh tertancap di dalamnya. Hal yang semacam ini tidak selamanya jelek, karena memang dimaksudkan untuk sesuatu hal yang baik, yakni terjembataninya hubungan antara ulama-umara (pemerintah). Tidak adanya lembaga yang melakukan fungsi inilah yang, barangkali mendorong pemerintah dan mungkin juga sebagian masyarakat, ketika itu untuk melahirkan MUI. Yang cukup substansial dan menarik untuk dicermati sebenarnya adalah, meskipun lahir dari situasi seperti itu, bagaimana seharusnya MUI menempatkan posisinya dalam proses-proses kenegaraan dan keulamaan yang sedang dan akan berlangsung. Dalam konteks ini, maka figur menjadi sesuatu yang sangat penting. Ketika MUI dipegang oleh Buya Hamka, misalnya, secara fungsional lembaga ini bisa bersikap independen, meskipun pada masa-masa itu secara struktural atau institusional MUI tetap bergantung pada negara. Buya Hamka, orang pertama yang menjabat sebagai Ketua MUI, dapat menjalankan fungsi MUI secara lebih independen. Fatwa-fatwa MUI, soal perayaan Natal bersama, misalnya, begitu menggigit karena berbeda dengan yang diharapkan pemerintah. Bukan hanya itu, secara fisik pun Buya Hamka lebih memilih MUI untuk berkantor di kompleks Masjid Agung Al-Azhar sebuah tempat yang dinilai lebih netral dari intervensi negara. Meskipun demikian, realitas menunjukkan bahwa mempertahankan independensi di tengah kukuhnya kekuasaan negara bukanlah sesuatu yang mudah. Dan ketika panggangan kue bika demikian Buya Hamka sering menamsilkan MUI itu terlalu panas kepanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat), situasi untuk
*)

Penulis adalah Ketua Jurusan Politik-Pidana Islam Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

mengembangkan kemandirian fungsi MUI menjadi sulit. Buya pun akhirnya terpaksa mundur. Sejak saat itu, independensi MUI menjadi hal yang kian sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana yang dapat dilihat, begitu hegemoniknya negara, sehingga ketergantungan MUI terhadap negara menjadi terinstitusionalisasi. Dalam perjalanannya, fatwa-fatwa MUI pun sering dianggap condong kepada kepentingan pemerintah. Fatwa tentang SDSB, budi daya kodok, capres wanita, dan sebagainya, dianggap tidak mencerminkan kemandirian MUI. Anggapan ini kian kukuh di mata publik ketika MUI juga berkantor di Masjid Istiqlal, yang pengelolaannya di bawah pemerintah. Dan, ketika sekarang kita telah masuk dalam orbit era reformasi, kemandirian MUI juga masih sering dipertanyakan. Dengan kata lain, peran MUI yang selama Orde Baru dinilai oleh banyak kalangan tidak lebih dari sekadar tukang pos atau terompet bagi penguasa, di era reformasi sekalipun masih nampak. Ini bisa dilihat pada sikap MUI yang sangat mencolok ketika merespon masalah keagamaan yang berbau politis, seperti fatwa MUI menjelang Pemilu 1999 lalu, yang mewajibkan umat Islam untuk memilih parpol yang mayoritas calegnya beragama Islam. Maka, di usianya yang ke-28 ini, MUI sebagai institusi independen untuk mengartikulasikan kepentingan umat (Islam), hendaknya lebih menjaga independensinya untuk tidak melakukan intervensi dalam aktivitas politik dan tidak mempolitisir agama untuk tujuan-tujuan politis. Sebab, eksistensi MUI bukanlah lembaga bagian dari kekuasaan, sehingga MUI sangat tidak layak masuk dalam gelanggang politik, apalagi untuk kepentingan politik praktis kekuasaan atau kelompok tertentu. Kasus SiMangkok Merah (Ajinomoto) di era pemerintahan Gus Dur, di mana MUI berani berbeda pendapat dengan pemerintah, bisa dijadikan awal yang baik bagi MUI untuk terus menjaga independensinya dan tidak terjerumus pada hal-hal yang berbau politis. Ulama dan Politik Uraian di atas sesungguhnya menggambarkan betapa relasi ulama dan politik di Indonesia dalam rentang waktu tiga dasawarsa terakhir ini mengalami pasang surut atau fluktuasi. Persoalannya adalah, apakah keterlibatan ulama secara lebih intens dalam dunia politik (praktis) telah mencerabut ulama dari fungsinya semula sebagai cultural

broker ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kiranya perlu ditelisik dulu apa rasion detre persentuhan ulama dengan politik, khususnya dalam wacana politik Indonesia. Pertama, Islam seperti dikatakan Vera Michels Dean bukan saja diartikan sebagai gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, melainkan juga dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup, dan penafsiran sejarah. Dengan demikian, hubungan Islam dan politik bukan saja bersifat organis atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural diikat oleh sistem religius Islam yang formal. Keterkaitan Islam dengan politik ini disebut bagian dari pesona Islam sebagai agama yang syamil, kamil dan mutakamil, sehingga keterlibatan ulama dalam politik paling tidak dalam bentuk yang paling pasif seperti imbauan-imbauan moral bernada politis sulit dihindarkan. Kedua, adanya reposisi peran ulama akibat tuntutan spesialisasi dan diferensiasi dalam masyarakat, hanyalah beroperasi pada wilayah horizontal. Dilihat secara vertikal, peran ulama bukannya menyempit, tapi malah melebar. Banyak ulama yang meningkat kedudukan dan status sosialnya dari pemimpin di tingkat lokal menjadi pemimpin yang berskala nasional bebarengan dengan adanya pengembangan kinerja dan sosok birokrasi agama melalui Departemen Agama, termasuk institusi-institusi di bawahnya seperti IAIN dan lain-lain. Dalam kondisi demikian, tak jarang mereka mendapat akses dan keuntungan lebih besar baik secara politis maupun ekonomis (Burhanuddin, 2000). Fenomena mutakhir berupa menjamurnya partai-partai Islam, disebabkan terbukanya era reformasi yang meniscayakan liberalisasi dan relaksasi politik, juga membuka saluran perasaan-perasaan yang tersumbat (pent-up feeling) dari kalangan Islam. Banyak ulama yang terjun dalam dunia politik praktis, baik aktif dalam struktur kepengurusan partai atau hanya menjadi pendukung di balik layar. Kegairahan berpolitik (sebagian) ulama atau kyai saat ini menandai kegerahan dan kejengkelan mereka yang disumbat aspirasinya dan dilarang ke luar dari kandangnya pada masa Orde Baru. Memang dalam kadar tertentu, ada nuansa repetitif antara situasi sekarang dan masa demokrasi liberal dulu. Meskipun demikian, muncul kekhawatiran yang saya kira cukup beralasan bahwa aktivitas politik ulama tersebut telah melangkah terlalu jauh. Sebab, dalam banyak kasus, ulama banyak dimanfaatkan penguasa untuk mem-back up program dan kebijakan penguasa maupun sebagai pengumpul pundi-pundi suara dalam pemilu, sehingga peran politik ulama lebih tampak sebagai partner pasif, kurang mengambil

inisiatif. Seharusnya ulama mampu berperan sebagai counterpart bagi penguasa, atau paling tidak sebagai partner aktif. Ulama, baik yang berada di bawah payung MUI ataupun ormas keagamaan lainnya, saya kira sah-sah saja bermitra dan mengampanyekan kebijakan pemerintah, sepanjang dilakukan dalam kerangka amar makruf nahi mungkar dan demi kemaslahatan publik (common goods). Namun demikian, ketika menjalin kemitraan dengan penguasa dan bersentuhan dengan kekuasaan, hendaknya ulama mampu menjaga ortopraksi (kesalehan) dan asketismenya, sekaligus mengembangkan self-censorship yang kuat dalam dirinya. Akhirnya, hubungan ulama dan politik selamanya tidak akan mengundang masalah, sepenjang para ulama tetap konsisten dan memiliki komitmen yang tinggi untuk menyuarakan kritik sebagai realisasi dari amar makruf nahi mungkar (sosialisasi dan internalisasi kebenaran dan pencegaran kemungkaran). Ulama jelas akan menanggung dosa yang berlipat ganda jika dia diam seribu bahasa membiarkan kemungkaran merajalela. Apalagi, jika malah memberi legitimasi terhadap praktekpraktek amoral melalui kekuatan fatwanya. Semoga pada Pemilu 2004 mendatang para ulama atau kyai tidak tergelincir dalam kubangan setan yang bernama kekuasaan. Demikianlah, Wallahu Yalamu Ma Tashnaun. ***

Anda mungkin juga menyukai