Anda di halaman 1dari 11

MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRASI SPIRITUAL : PRASYARAT MEMBANGUN KEHIDUPAN POLITIK YANG PROFETIS DAN CIVILIZED

Oleh : Maksun Pendahuluan Tidak bisa dipungkiri, bahwa carut-marutnya politik kontemporer saat ini merupakan potret kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sedang diuji integritasnya. Ujian itu mencakup aspek penataan komunikasi politik antara rakyat dengan negara (elit kekuasaan), distribusi dan pemanfaatan sumber daya ekonominya yang kurang terbuka, sehingga mengundang bad prejudice, kecemburuan, emosionalitas massa, dan sikap main hakim sendiri (eigenrichting). Demikian juga, mengenai belum mengentalnya persaudaraan universal antara umat beragama (ukhuwah diniyah) dengan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan nasional (ukhuwah wathaniyah). Di samping itu, penyelenggaraan managemen hukum (proses peradilan), politik, dan ekonomi yang amat dekaden terhadap kredibilitas massa dan citra penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Praktek menguatnya ketidakadilan hukum, kekerasan politik, kesenjangan ekonomi, dan masih terpasungnya cita-cita fitri keadilan sosial, misalnya, dinilai banyak pengamat sebagai akar problema yang membingkai komplikasi penyakitpenyakit sosial (social decease) yang mempopulasi purifikasi peradaban bangsa ini. Mencermati prolog di atas, untuk mengangkat kembali kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara dari krisis multidimensi menuju golden era-nya, maka salah satu prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh seluruh komponen bangsa ini adalah, adanya keberanian meninggalkan paradigma lama yaitu status quo (Orde Baru) menuju paradigma baru yaitu civil society (masyarakat madani). Keberanian untuk mereformasi dan meninggalkan status quo yang sarat dengan sekat-sekat eksklusif, diskriminatif, ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum,

politik, dan ideologi. Untuk kemudian membangun terbentuknya civil society (masyarakat madani), yang dipenuhi dengan hubungan emosionalitas dan kharismatik antara rakyat dengan penguasa, serta hubungan yang harmonis dan inklusif antara sesama warga di tengah pluralisme sosial dan keagamaan di Indonesia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana cara membangun masyarakat madani (civil society) yang ideal itu ? Model demokrasi apa yang bisa dijadikan standar reference bagi terciptanya konstruksi masyarakat madani di negeri ini ? Tulisan ini bermaksud membahasnya dari sisi wacana politik Islam, dengan berkiblat pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ketika membangun Negara Madinah, sehingga negara tersebut dipuja dan dijadikan representasi negara modern. Negara Madinah dan Piagam Madinah Robert N Bellah, sosiolog agamawan, dalam Beyond Belief (1976), berujar : "Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah Nabi sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat ini belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi". Madinah sendiri, secara ilmu kebahasaan, mengandung arti peradaban. Sebab dalam bahasa, peradaban dinyatakan dalam kata madaniyah atau tamaddun, selain dalam kata hadlarah. Dalam konteks ini, masyarakat peradaban atau masyarakat madani (civil society), meminjam terminologi Prof. Dr. Nurcholis Madjid (selanjutnya disebut Cak Nun), berarti masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Penggantian nama Yastrib menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad (ketika hijrah) pada hakikatnya merupakan sebuah pernyataan sikap, niat atau proklamasi bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab.

Secara konkrit, beliau telah meletakkan fondasi dan konstruksi masyarakat madani dengan menggariskan etika dan tanggung jawab bersama dalam dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Piagam ini, yang oleh kalangan sejarawan modern dikenal sebagai manifesto politik Nabi, memuat tentang wawasan kebebasan, kebangsaan, tanggung jawab warga dalam pembelaan negara dari ancaman musuh, dan penguatan serta pemberdayaan komitmen sosial, politik, dan hukum. Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, sejarah telah mencatat keberhasilan Nabi dalam membangun civil society yang bernuansakan keadilan, inklusivisme, dan demokratisasi. Kondisi pluralisme keberagamaan tidak menjadi penghalang bagi terbentuknya hubungan kemasyarakatan dan kenegaraan yang harmonis dan populis. Umat non-Muslim pun, misalnya, tetap terjaga hak-haknya tanpa mendapat gangguan dari umat Islam. Mengapa Nabi Muhammad mampu membangun Madinah menjadi sebuah negara yang tenteram, damai, tata tentrem kerta raharja, padahal tanpa dilengkapi sarana eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagaimana trend negara modern ? Apa prinsip Nabi dalam merealisasikan masyarakat madani (civil society) ? Setidaknya, ada dua prinsip yang dipegangi Nabi ketika membangun Negara Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Pertama, prinsip kesederajatan (al-musawah-equality) dan keadilan (al-adalah-justice). Kedua, prinsip inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini kemudian dimodifikasi oleh kelompok Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah) menjadi i'tidal (konsisten), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan tawasuth (moderat), yang kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional mazhab Sunni dalam menjalin hubungan sosial -kemasyarakatan. Prinsip Kesederajatan dan Keadilan Prinsip kesederajatan dan keadilan ini mencakup semua aspek, baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dalam aspek politik, Nabi mengakomodasikan seluruh kepentingan. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku, etnis, atau agama. Meskipun suku Quraish berpredikat
3

the best dan Islam sebagai agama dominan, tetapi mereka tidak dianakemaskan. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi. Sementara egaliterianisme. dalam Yakni, aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ekonomi kepada ajaran seluruh pemerataan saham-saham

masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS.17:26 dan QS.59:7). Nabi sangat menentang paham kapitalisme, di mana modal atau kapital hanya dikuasai oleh suatu kelompok tertentu yang secara ekonomi telah mapan. Misi egaliterianisme ini sangat tipikal dalam ajaran Islam. Sebab, misi utama yang diemban oleh Nabi bukanlah misi teologis, dalam artian untuk membabat habis orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam. Melainkan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis. Dari sini, kemudian Mansour Fakih mensinyalir, bahwa perlawanan yang dilakukan kafir Quraish bukanlah perlawanan agama (teologi), melainkan lebih ditekankan pada aspek ekonomi, karena prinsip egaliterianisme Islam berseberangan dengan konsep kapitalisme Makkah. Di samping faktor politik dan ekonomi, hal sangat mendasar yang ditegakkan Nabi adalah konsistensi legal (hukum). Sebagai sejarawan ulung, Nabi memahami bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Karena itulah Nabi tidak pernah membedakan "orang atas, "orang bawah", atau keluarganya sendiri. Dalam sebuah Hadis, beliau pernah menegaskan bahwa kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah, karena jika "orang atas" (al-sharif) melakukan kejahatan dibiarkan, namun jika "orang bawah" (al-dha'if) pasti dihukum. Karena itu, Nabi juga menegaskan seandainya Fatimah pun, putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan maka beliau akan menghukumnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari Hadis di atas dapat dipahami, bahwa stabilitas suatu bangsa dan negara terbangun dengan konsistensi hukum. Masyarakat berperadaban (civil society) tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil dan egaliter. Nabi sebagai manifestasi pemerintah sadar betul akan posisinya sebagai cerminan masyarakat (uswatun hasanah).

Ketertiban sosial selamanya tidak akan terwujud sepanjang negara atau pemerintah tidak konsisten dengan ketentuan hukum yang berlaku. Plato pernah berkata, bahwa ketertiban sosial berawal dari ketertiban negara. Maka salah satu misi Islam adalah mewujudkan suatu tatanan sosial politik yang adil, egaliter, bersih, dan berwibawa. Membangun suatu masyarakat tak berkelas (a classless society). Membangun suatu masyarakat tak berkelas artinya, struktur yang tidak membedakan antara orang elite dan orang miskin, antara kepala negara dan ketua RT. Nabi pernah bersabda : "Tidak ada kelebihan antara orang Arab dengan bukan Arab ('Ajam), selain dengan takwa". Prinsip Inklusivisme Selanjutnya, prinsip yang dipegangi Nabi dalam membangun Negara Madinah adalah inklusivisme. Menurut Cak Nur (1996), inklusivisme (keterbukaan) adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS.7:172 dan QS.30:30), sebelum terbukti sebaliknya. Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif ini, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karenanya, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mendengar, kesediaan untuk mendengar sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Inklusivisme adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Inilah yang dipraktekkan Nabi dalam menegakkan Negara Madinah (negara peradaban). Tidak jarang beliau mendengar dan menerima kritik dari para sahabat, terlebih sahabat Umar bin Khaththab yang terkenal sebagai kritikus ulung. Sahabat Umar tidak dianggap sebagai rival, makar, anti kemapanan (contra establishment), apalagi ekstrem kanan oleh Nabi, meskipun berbagai kritikan tajam menerpa beliau.
5

Wacana Keindonesiaan Pasca-Orba : Sebuah Refleksi Fakta sejarah menunjukkan, betapa banyak peradaban besar yang tumbang akibat runtuhnya moral (degradasi moral). Bangsa Indonesia, dengan Orde Reformasi-nya, kini sedang membangun sejarahnya sendiri, membangun peradaban baru demi masa depan. Karenanya, agar tidak bernasib seperti bangsabangsa masa lalu atau bernasib amburadul dan bobrok seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maka prinsip iman menjadi penting adanya. Dalam agama, iman menjadi basis untuk menumbuhkan kesadaran moral. Keyakinan kepada Tuhan yang transenden, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, mendorong keinsafan batin dalam diri manusia. Iman kepada Tuhan menciptakan kedamaian dan ketenteraman jiwa. Dengan cara itu, manusia menjadi lebih manusiawi, lebih halus kepekaan moralnya untuk kemudian mampu menumbuhkan kesadaran sosial. Nabi Muhammad SAW yang secara gemilang berhasil membangun masyarakat peradaban (civil society) sehingga dikagumi di Timur dan Barat, pada hakikatnya karena dilakukan dengan semangat sosial yang tinggi yang terpancar dari iman yang kuat dan kukuh. Prinsip equal and justice serta inklusivisme yang merupakan basis tegaknya peradaban, mustahil dijalankan beliau tanpa landasan Ilahiah yang kuat. Bercermin dari sejarah Nabi Muhammad ketika membangun Negara Madinah dengan Piagam Madinah sebagai landasan konstitusinya, maka untuk menciptakan kawasan Indonesia yang sejuk, damai, anggun, dan berwibawa, mutlak harus menempatkan moralitas di atas segala-galanya. Nabi yang tidak dilengkapi dengan DPR saja mampu membangun peradaban di Madinah, mengapa kita tidak ? Padahal, bangsa Indonesia dilengkapi dengan sarana legislatif dan struktur pemerintahan yang mengakar ke bawah. Persoalannya tidak lain, karena krisis moral-spiritual, krisis iman-krisis akidah. Bagaimanapun, orang yang moralnya kukuh, imannya kuat, akidahnya mapan, pantang berbuat destruktif. Hal ini karena merasa selalu dikoordinir oleh Tuhan yang Maha Mengetahui (omnipresent). Korupsi, kolusi, nepotisme, buruk sangka (bad

prejudice-su'udhan), tirani dan sebagainya yang merebak dan melanda Tanah Air ini, disebabkan karena tiadanya iman yang mapan. Allah SWT. berfirman : "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ..." (QS.7:96). Secara universal, ayat ini mengandung makna bahwa tegaknya sebuah peradaban karena landasan transendennya kuat. Dan sebaliknya, hancurnya sebuah peradaban karena masyarakatnya dilanda krisis moral-spiritual, krisis iman. Oleh karena itu, dengan terbentuknya pemerintahan baru yang legitimite di bawah kendali duet millenium Presiden KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, seiring dengan gaung reformasi total, kita jadikan sebagai momentum untuk melakukan perenungan-perenungan atas perilaku kita selama ini, sudah agamis atau belum. Kita jadikan era reformasi ini sebagai "renaisance etika profetik" menuju Indonesia Baru yang lebih sejuk, anggun, demokratis, damai, dan berwibawa. Tugas kita selanjutnya adalah, bagaimana membumikan (down to earth) masyarakat madani yang demokratis profetis itu ke dalam tataran yang lebih riil dan empiris, tidak ngawang-ngawang dan bukan basa-basi politik saja (lip service). Cak Nur pernah mengatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk ikut ambil peran dalam usaha bersama bangsa mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani (civil society) di negeri kita. Sebab, terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, dan profetis. Tentu saja, terkonstruksinya civil society itu, akan sangat ditentukan oleh komitmen kolektif umat. Masyarakat madani diharapkan terbentuk, manakala semua komponen bangsa ini mau dan mampu menunjukkan mobilitas tingginya dalam meretas sekat-sekat dan bisul-bisul Orde Baru (status quo) yang menghalangi laju gerakan reformasi. Sebab, ketika mereka yang diharapkan mampu menciptakan iklim pencerahan, ternyata kehilangan gairah dan spirit penyebaran kebenaran dan keadilan, maka sulit diharapkan masyarakat dan peradaban kita akan mencapai

golden era-nya. Inilah yang diperingatkan Allah dalam platform-Nya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa), kecuali kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri (QS.13:11). Demokrasi Spiritual : Sebuah Tawaran Siapapun setuju, jika dikatakan bahwa proses Pemilu multipartai dan SU-MPR 1999 yang menghasilkan duet kepemimpinan Gus Dur dan Megawati periode 1999 2004, berlangsung relatif tertib dan demokratis. Inilah barangkali prestasi awal demokrasi kita yang memperoleh legitimasi internasional. Bukan karena ingin dipuji dunia internasional, tetapi memang faktanya, sertifikasi internasional jelas diperlukan untuk membantu kita keluar dari lilitan multidimensi krisis. Konsekuensi logisnya, para elite politik dan masyarakat kita harus selalu siap berperilaku secara demokratis, sehingga bangunan kultur politik yang demokratis dan sangat kita idam-idamkan itu semakin kokoh berdiri di negeri kita tercinta ini. Dan keinginan setiap anak bangsa ini untuk membangun masyarakat madani di bumi Indonesia, paling tidak, secara evolutif akan terwujud. Tapi kenyataannya, setelah roda pemerintahan Orde Reformasi berjalan sekitar setahun, tampaknya, perilaku elite politik, birokrat, dan bahkan sampai di tingkat grass root menunjukkan tanda-tanda yang kian jauh dari idealisme kita menuju masyarakat madani yang demokratis dan profetis. Persoalan yang kemudian menggelitik untuk dicari jawabannya adalah, secara epistemologis, model demokrasi apa dan bagaimana yang hendak kita bangun hingga masyarakat madani dapat tumbuh subur di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini ? Apakah demokrasi Barat yang kering dari nilai-nilai spiritual ? Bukankah bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang religius ? Lalu, solusi alternatifnya apa ? Inilah persoalan berikutnya yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Paling tidak, hingga saat ini, kita harap maklum, betapa segala sesuatu yang berbau kebarat-baratan masih berstatus makruh (lebih baik ditinggalkan) di benak masyarakat kita. Sebagai contoh, misalnya, betapa bangsa kita yang hampir seratus persen beragama formal (mayoritas Muslim), masih bersikap apriori, apologi, dan

traumatik terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Hal ini wajar dan rasional, dan patut untuk dimaklumi. Sikap di atas, bukannya tanpa alasan. Karena memang, dalam proses perjalanan panjang kaum intelektual Muslim, demokrasi Barat juga tak lepas dari kritikan. Muhammad Iqbal, seorang intelektual Muslim berkebangsaan India, misalnya, yang konon dikenal sebagai pemikir handal kelas dunia, termasuk orang yang amat tajam dalam mengkritik demokrasi Barat. Sistem ini, kata Iqbal, dipakai sebagai senjata bagi imperialisme dan kapitalisme Eropa. Kezaliman dibingkai di balik jargon demokrasi. Sebagaimana yang direkam oleh Riffat Hassan dalam The Development of (Iqbals) Political Philosophy, Iqbal yang dikenal luas sebagai penyair Muslim terkemuka melancarkan kritik tajamnya terhadap demokrasi Barat. Kata Iqbal, Demokrasi di Barat adalah organ kuno yang mendendangkan lagu imperialisme. Menanggapi pikiran Iqbal yang liberal ini, Riffat Hassan mengatakan, Sistem ini dianggap sebagai ratu kebebasan. Padahal, prakteknya adalah setan otokrasi yang dibungkus dalam pakaian tipuan. Sepintas, Iqbal terkesan apriori terhadap sistem demokrasi ala Barat. Namun, menyimak secara serius alur pikirannya, maka bisa kita temukan jawaban aslinya : betapa Iqbal merindukan sebuah sistem demokrasi. Bahkan, Islam as a moral and political ideal, begitulah visi politik Iqbal yang melihat sistem demokrasi sebagai sistem terpenting dalam bingkai Islam, dan dipandang sebagai cita-cita politik (Islam). Persoalannya kemudian adalah, demokrasi model apa yang dicita-citakan oleh Iqbal ? Yang pasti, demokrasi yang menjadi obsesi politik Iqbal bukanlah demokrasi Barat yang sejak awal ia kritik habis-habisan. Tapi, demokrasi spiritual, tulis Iqbal dalam karya magnum opus-nya, The Reconstructions of Religious Thought in Islam. Sayang seribu sayang, sebelum mewujudkan obsesinya, Iqbal keburu dipanggil menghadap Tuhan (1938). Sehingga, ia tak sempat menerjemahkan visi segarnya, bukan saja secara epistemologis, tetapi juga ekspresi praktis terhadap aktualisasi demokrasi spiritual itu sendiri. Inilah tugas suci kita untuk

menginterpretasikan wacana demokrasi spiritual yang sudah sekian lama dipikirkan Iqbal. Dalam salah satu alinea karyanya (The Reconstruction), Iqbal meninggalkan pesan pentingnya : Let the Muslim of today appreciate his position, reconstruct of social life in the light of ultimite principles, and envolve ... that spiritual democracy which is the ultimite aim of Islam. Dari petikan di atas dapat dipahami, bahwa secara definitif-terminologis, demokrasi spiritual merupakan wacana dan praktik demokrasi yang berpijak dan dijiwai oleh nilai-nilai spiritual keagamaan. Pada tingkat wacana, tema-tema besar demokrasi seperti keadilan, persamaan, kesejahteraan, hukum, hak-hak politik, dan seterusnya, diarahkan paralel dan memperoleh penjelasan secara teoritik dari Kitab Suci. Dalam perspektif Islam, misalnya, menegakkan keadilan merupakan perintah suci Tuhan (QS.26:152, 27:48, 2:11,193). Keadilan punya sumber dan pembenarannya dari Tuhan, demikian papar Erwin IJ. Rosenthal dalam Political Through in Medievel Islam. Keadilan hanya sekadar perumpamaan bahwa tematema besar demokrasi -- seperti juga persamaan, kesejahteraan, dan seterusnya -memiliki pijakan teroritis dari Alquran dan Sunnah Nabi SAW. Sedangkan pada tingkat praksis, aktualisasi demokrasi spiritual harus senantiasa berpijak dan berangkat dari kematangan kesadaran keberagamaan. Takwa, misalnya, merupakan kunci dasar terpenting dalam Islam. Tapi, bagaimana mengaktualisasikan nilai takwa seorang Muslim dalam perilaku politiknya ? Inilah proyek demokrasi spiritual. Maka, takwa dalam konteks aktivisme politik Muslim tampaknya lebih kontekstual ditafsirkan sebagai - meminjam terminologi Muhammad Asad dalam tafsirnya, The Massage of the Quran - God consciousness. Yakni, kesadaran ketuhanan yang dalam bahasa Arab sinonim dengan kesadaran rabbaniyah atau ribbiyah. Maksudnya, segala sikap dan perilaku politik umat harus disadari sepenuh hati berada dalam bingkai kesadaran ketuhanan, di mana Tuhan senantiasa memonitor segala gerak-gerik politik kita, di mana pun, kapan pun, dan dalam posisi

10

yang bagaimanapun. Sebab, pada dasarnya Tuhan itu Maha Hadir (Omnipresent) dalam keseharian aktivitas (politik) kita. Oleh karena itu, dalam konteks aktualisasi demokrasi spiritual, umat (Islam) tentu dituntut untuk menyerahkan diri secara total di bawah cahaya kesadaran ketuhanan itu. Hal ini sebagaimana terrefleksikan dalam platform-Nya : Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Tuhan (QS.2:115). Karena, dari kacamata teologi Islam, Tuhan itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa terhadap apa pun yang kamu kerjakan (QS.57:4). Demikianlah, sekilas wacana teoritis dan praksis demokrasi spiritual, yang menurut hemat penulis, bisa dijadikan sebagai sebuah langkah awal untuk membangun masyarakat madani yang demokratis dan profetis di negeri tercinta ini. Sebab, secara teoritis maupun praksis, di tengah tawaran demokrasi ala Barat yang sekuler, tampaknya, demokrasi spiritual ini lebih cocok dan seirama dengan corak keberagamaan umat Islam khususnya dan umat beragama lain pada umumnya dalam konteks Indonesia. Maka, era reformasi sekarang ini merupakan momentum yang amat pas bagi masyarakat Indonesia yang multietnis, multiagama, dan multibudaya, untuk hidup dalam orde demokrasi spiritual menuju terciptanya kehidupan politik yang profetis dan civilized. Demikianlah, Wailallahi Turjaul Umur.

11

Anda mungkin juga menyukai