Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

Kelompok gangguan psikotik menempati angka 1% dari populasi penduduk di Indonesia dan di dunia, bahkan untuk beberapa provinsi di Indonesia data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan angka yang jauh lebih besar. (Badan Litbangkes Depkes RI, 2008) Di Jakarta misalnya untuk populasi penduduk usia >15 tahun, 2,03% diantaranya menunjukkan gejala positif untuk gangguan psikotik. Dari sekelompok gangguan tersebut, gangguan skizofrenia merupakan kelompok gangguan terbanyak yang ditemukan di masyarakat. Deteksi dini dan penegakkan diagnosis skizofrenia terutama dengan gejala positif sebenarnya mudah untuk dilakukan. Namun sayang cakupan kasus masih rendah belum mencapai 30% dari total kasus yang seharusnya ada. Kasus yang ditemukan pun bila ditinjau dari kualitas manajemennya sangat bervariasi dan belum tentu benarbenar menjawab kebutuhan orang dengan skizofrenia. Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama semakin berat terutama bila tidak mendapatkan manajemen yang tidak adekuat. Dengan kata lain, gangguan skizofrenia jelas mengakibatkan disabilitas yang sering ireversibel dan menimbulkan beban yang berat baik bagi individu tersebut maupun keluarganya. Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat membawa dampak positif bagi perkembangan strategi terapi yang ada dengan dimungkinkannya pilihan yang semakin bervariasi dan semakin baik dari waktu ke waktu. Pilihan ini tentunya harus diupayakan untuk semakin rasional dengan tetap menempatkan kepentingan pasien di posisi yang utama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi Gangguan skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi, dan kemiskinan psikomotor. 1. Emil Kraepelin Emil Kraepelin (1856-1926) melatinkan istilah Morel menjadi demensia prekoks (dementia precox), suatu istilah yang menekankan suatu proses proses kognitif yang jelas (demensia) dan onset yang awal (prekoks). Kraepelin lebih lanjut membedakan pasien demensia prekoks dengan pasien yang diklasifikasikannya sebagai pasien manik-depresif atau paranoia. Pasien dengan demensia prekoks ditandai dengan mengalami perjalanan penyakit jangka panjang yang memburuk dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham. Pasien dengan psikosis manikdepresif dibedakan dari pasien dengan demensia prekoks dengan adanya episode penyakit yang jelas yang dipisahkan oleh periode fungsi normal. Pasien dengan paranoia mempunyai waham persekutorik (persecutory delusion) yang persisten sebagai gejala utamanya tetapi tidak mempunyai perjalanan demensia prekoks yang memburuk atau gejala psikosis manikdepresif yang intermiten. 2. Eugen Bleuler Eugen Bleuler (1857-1939) mengajukan istilah skizofrenia dan istilah tersebut menggantikan demensia prekoks di dalam literature. Bleurer berpendapat bahwa istilah untuk menandakan adanya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien yang terkena. Tetapi, istilah tersebut keliru dimengerti secara luas, khususnya oleh masyarakat awam, yaitu menandakan kepribadian yang terbelah (split personality). Kepribadian terbelah (sekarang dinamakan gangguan identitas disosiatif) adalah suatu gangguan yang sangat berbeda dengan

yang dikategorikan dalam DSM-IV dengan gangguan disosiatif lainnya. Perbedaan utama yang ditarik Bleuler antara konsepnya tentang skizofrenia dan konsep Kraepelin tentang demensia prekoks adalah perjalanan yang memburuk tidak diperlukan dalam konsep skizofrenia, seperti pada demensia prekoks. Untuk lebih menjelaskan teori tentang perpecahan mental internal pada pasien skizofrenia, Bleuler menggambarkan gejala fundamental (primer) spesifik pada skizofrenia dalam empat A. Empat A dari Bleuler terdiri dari asosiasi, afek, autism, dan ambivalensi. Bleuler juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi dan waham. 3. Teori lain Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Gabriel Langfeldt, dan Kurt Sneichder juga memberikan sumbangan besar dalam memahami banyak segi skizofrenia. Meyer, pendiri psikobiologi, percaya bahwa skizofrenia dan gangguan mental lainnya adalah reaksi terhadap berbagai stress kehidupan, yang dinamakannya suatu sindrom reaksi skizofrenik. Sullivan, pendiri psikoanalitis interpersonal, menekankan isolasi social sebagai penyebab dan gejala skizofrenia. Langfeldt membagi pasien dengan gejala psikotik berat menjadi dua kelompok, mereka yang dengan skizofrenia sesungguhnya dan mereka dengan psikosis skizofreniform. Langfeldt menekankan kepentingan depersonalisasi, autism, penumpulan emosi, suatu onset yang perlahanlahan, dan perasaan derealisasi dalam penjelasannya tentang skizofrenia sesungguhnya (true schizophrenia). Kurt Sneichder menggambarkan gejala sejumlah gejala urutan pertama yang dianggapnya tidak spesifik untuk skizofrenia tetapi mempunyai nilai pragmatic dalam membuat diagnosis. Menurut Sneichder skizofrenia dapat didiagnosis semata-mata atas dasar gejala urutan kedua dan gambaran klinis yang tipikal lainnya.

B. Etiologi 1. Faktor Biologis a. Genetik Penelitian awal tentang genetika pada skizofrenia dilakukan pada tahun 1930-an, dimana ditemukan bahwa kemungkinan seseorang menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan juga berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan. Table 1. Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik Populasi Populasi umum Bukan saudara kembar pasien skizofrenik Anak dengan satu orang tua skizofrenik Kembar dizigotik pasien skizofrenik Anak dari kedua orang tua skizofrenik Kembar monozigotik pasien skizofrenik Prevalensi (%) 1,0 8,0 12,0 12,0 40,0 47,0

b. Biokimia Rumusan yang paling sederhana untuk skizofrenia adalah hipotesa dopamine yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. c. Anatomi d. Perkembangan saraf e. Elektrofisologi Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia menyatakan bahwa sebagian besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan kepekaan terhadap prosedur aktivasi,

penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya f. Neuroimunologi g. Komplikasi kelahiran h. Malnutrisi

i. Infeksi

2. Faktor Psikososial
Diagnosis Skizofrenia Kriterian Diagnosis PPDGJ III Status Klinis Risiko keberbahayaan terhadap diri atau orang lain Akses terhadap kemungkinan bunuh diri atau pembunuhan adanya halusinasi yang sifatnya menyuruh Gangguan jiwa lainnya

Gangguan Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya

Komorbiditas dengan Gangguan Medik Saat ini dan Riwayat Penyakit Dahulu Kondisi, tatalaksana, dan medikasi fungsi jantung Konsultasi dengan dokter, jika dibutuhkan Riwayat Psikiatrik Sebelumnya Episode terakhir Keberbahayaan terhadap diri atau orang lain Respons tatalaksana sebelumnya Riwayat penyalahgunaan zat psikoaktif Riwayat Psikososial Riwayat Keluarga

Anda mungkin juga menyukai