Anda di halaman 1dari 28

HIV AIDS

I. PENDAHULUAN AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).1 Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit bakteri, jamur, parasit dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan limfoma primer di otak.1 AIDS menarik perhatian komunitas kesehatan pertama kali pada tahun 1981 setelah terjadi, kasus-kasus pneumonia (Pneumocystis carinii) dan sarkoma kaposi pada laki-laki muda homoseks di California. Bukti epidemiologik mengisyaratkan bahwa terdapat keterlibatan suatu agen infeksiosa, dan pada tahun 1983 virus imunodefisiensi manusia tipe 1 (HIV-1) diidentifikasi sebagai penyebab penyakit. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemi di seluruh dunia.2

II. INSIDEN Sampai Juli 1993 telah dilaporkan sekitar 718.819 kasus AIDS dari 182 negara di dunia ke Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sedangkan WHO memperkirakan sekitar 2,5 juta kasus AIDS dan 14 juta HIV positif dengan perincian: Amerika utara 1 juta; Amerika latin 1,5 juta; Eropa Barat 0,5 juta; Eropa Timur dan Asia Tengah 50.000; Afrika Utara dan Timur Tengah 75.000; Afrika Sub Sahara 8 juta; Asia Timur dan Pasifik 25.000; Asia Selatan dan Tenggara 1,5 juta; dan

Australia 25.000. Diperkirakan pada tahun 2000 akan terdapat 40 juta HIV positif di seluruh dunia, termasuk 10 juta wanita dan anak-anak.1 Di Indonesia kasus AIDS pertama kali ditemukan pada tanggal 5 April 1987 di Bali pada seorang wisatawan Belanda. Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Depkes RI, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS (+) per Januari 2000 adalah 1080 kasus terdiri dari 794 kasus (+) dan 286 kasus AIDS.1 III. EPIDEMIOLOGI Perkiraan prevalensi HIV di kalangan dewasa muda (15-49) dapat dipandang sebagai epidemi beberapa subtipe yang terpisah; faktor utama dalam penyebaran ini transmisi seksual dan penularan dari ibu ke anak pada saat kelahiran dan melalui ASI. Meskipun baru-baru ini, peningkatan pemakaian pengobatan anti-retroviral dan perawatan di berbagai wilayah dunia, pandemi HIV-AIDS diklaim sebesar 2.100.000 pada tahun 2007 yang diperkirakan ada sebesar 330.000 anak-anak di bawah 15 tahun. Secara global, sebanyak 33.200.000 orang diperkirakan hidup dengan HIV di tahun 2007, termasuk 2.500.000 anak-anak dan mencapai 2,5 juta orang bagi yang baru terinfeksi pada 2007, didalamnya termasuk 420.000 anak-anak. Sub-Sahara Afrika menjadi daerah teratas yang terkena dampak terburuk. Tidak seperti daerah lain, kebanyakan orang yang hidup dengan HIV di sub-Sahara Afrika pada tahun 2007% (61) adalah perempuan. Prevalensi orang dewasa pada tahun 2007 diperkirakan adalah 5,0% dan HIV-AIDS terus menjadi penyebab kematian terbesar. Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua terkena dampak. Pada tahun 2007 daerah ini diperkirakan terdapat sebanyak 18% dari semua orang yang hidup dengan HIV-AIDS, dan diperkirakan ada 300.000 kematian akibat HIV-AIDS. Harapan hidup telah turun secara dramatis di negara-negara yang terkena dampak terburuk, misalnya, pada tahun 2006 diperkirakan bahwa hal itu turun 65-35 tahun di Botswana..3

IV. ETIOLOGI Luc Montagnier dkk tahun 1983 telah menemukan LAV (Lymphadenopathy Assosiated Virus) dari seorang dengan pembengkakan kelenjar limfe (PGL). Pada tahun 1984 sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic virus tipe 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika oleh Robert Gallo dkk. Kemudian ternyata bahwa kedua virus tersebut sama, dan oleh Committee Taxonomy International pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (human Deficiency Virus). Sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtype yaitu HIV 1 dan HIV 2.4 HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 initinya mirip, tetapi selubung luarnya sangat berbeda.4 HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah RNA virus mejadi DNA, inti HIV merupakan protein yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung glikoprotein terdiri dari selubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada stuktur genetik virus HIV adalah gen untuk kode inti p24, dang en yang mengkode polymerase RTase. Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu strain virus dengan lainnya. Bahkan pada seseorang pengidap HIV selubung luar ini dapat berbeda-beda.4 V. PATOFISIOLOGI Patofisiologi HIV-AIDS adalah kompleks. HIV diyakini memicu HIV-AIDS oleh depleting CD4 + limfosit T helper yang melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik. Llimfosit T sangat penting untuk respon

imun dan tanpa mereka, tubuh tidak dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker.3 Selama fase akut, HIV-induced sel pecah dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik untuk penipisan sel T CD4 +. Apoptosis (Suatu bentuk kematian sel di mana urutan peristiwa mengarah ke eliminasi sel-sel tanpa melepaskan zat berbahaya ke daerah sekitarnya) juga bisa menjadi faktor penyebab.5 Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan menyeluruh ditambah dengan hilangnya secara bertahap kemampuan sistem imunitas tubuh untuk menghasilkan sel-sel T baru muncul sehingga menyebabkan penurunan lamban dalam nomor sel T CD4 +.3 Meskipun karakteristik gejala dari defisiensi imun HIV-AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar sel T CD4 + hilang yang terjadi selama minggu pertama infeksi, terutama di mukosa usus, yang mana tempat mayoritas muara limfosit ditemukan dalam tubuh. Respon imun yang kuat akhirnya mengendalikan infeksi dan memulai tahap laten. Namun, sel T CD4 + di jaringan mukosa tetap habis selama infeksi, walaupun tetap cukup untuk awalnya dalam melawan infeksi yang mengancam jiwa.3 Pembunuhan secara langsung sel T CD 4+ oleh HIV saja, tidak dapat dinilai untuk pengataman deplesi sel-sel karena hanya 0,01-0,10% dari sel CD4 di dalam darah yang terinfeksi. Penyebab utama hilangnya sel T CD4 + timbul dari meningkatnya kerentanan mereka untuk apoptosis ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Dengan kata lain, mereka bunuh diri. Meskipun sel T yang baru terus diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus ini perlahan hancur oleh infeksi langsung dari thymocytes dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal sel CD4 yang diperlukan untuk mempertahankan respon yang memadai kekebalan, hilang, sehingga menyebabkan HIV-AIDS.3

VI. PENULARAN Terdapat 3 cara penularan HIV: a. Penularan Seksual Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.5 Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.5 Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antar orang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus

kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.5 b. Kontaminasi Patogen Melalui Darah Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.5

Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".5 c. Penularan Masa Perinatal Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.5 VII. DIAGNOSIS 1. Gejala Klinis Diagnosis HIV AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis HIV AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurangkurangnya didapatkan 2 gejala minor dan satu gejala mayor.12 a. Gejala Mayor12 Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis Ensefalopati HIV
7

b. Gejala Minor12 Batuk menetap lebih dari 1 bulan Dermatitis generalisata Herpes zoster multisegmental berulang Kandidiasis orofaringeal Herpes simpleks kronis progresif Limfadenopati Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis oleh virus sitomegalo

2. Pemeriksaan Laboratorium Sangat disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa Reaktif seanyak 2 kali. Bila hasilnya posotif, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Immunofluoresensi Western Blot untuk memastikan adanya HIV di dalam tubuh. Screening terutama dilakukan pada orang yang berperilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti pasangan seks, pecandu narkoba suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas karena infeksi HIV, menderita penyakit yang memerlukan transfuse darah terus-menerus seperi hemophilia dan sering berhubungan dengan cairan tubuh manusia.5 3. Gambaran Radiologi Berikut ini adalah beberapa gambaran radiologi keadaan yang berhubungan dengan HIV : Infeksi serebral 1) Toxoplasmosis
Plain radiograf memainkan peran terbatas dalam diagnosis toksoplasmosis. Kekecualian adalah toksoplasmosis bawaan, di mana kalsifikasi dalam tengkorak kadang-kadang dapat digambarkan. Pada pasien dengan AIDS, keterlibatan paru kadang-kadang dapat ditampilkan sebagai paru-paru 8

infiltrasi yang berhubungan dengan hilus / limfadenopati mediastinum. CT scan otak dapat menunjukkan tunggal (30%) atau beberapa lesi nodular. Oleh CT scan menunjukkan lesi cavitating berdinding tipis dengan berbentuk cincin. Edema bersubstansi putih sekitarnya juga sering tampak.

Toksoplasmosis memiliki kecenderungan untuk melibatkan ganglia basal. Kira-kira 75% dari nodul berada di ganglia basal. Selain itu, lesi dapat terjadi di dalam batang otak, otak kecil, dan sumsum tulang belakang.

Perdarahan dan kalsifikasi dapat terjadi setelah perawatan medis, meskipun kalsifikasi cincin telah dijelaskan pada CT scan pada saat diagnosis pertama. Namun, kalsifikasi cincin adalah penyakit langka yang diperoleh dibandingkan dengan penyakit bawaan.6

(Gambar 4 : dikutip dari kepustakaan 7)

(A) CT Scan dengan kontras. Tampak lesi berupa cincin pada ganglia basal kanan dan tampak massa pada lobus frontal kiri dan edema perifer.7

(B) CT Scan dengan kontras. Sebuah lesi berupa cincin yang sangat besar dengan massa yang besar pada region parieto-occipitalis disertai edema perifer.7

(Gambar : 5 dikutip dari kepustakaan 7)


Pemeriksaan dengan MRI. Pada T1 tampak lesi nodul jelas terlihat di sebelah kiri frontal corticomedullar junction. Terdapat pembesaran ventrikel.7

2) Ensefalitis (HIV ensefalopati) Suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan progresif lambat kontrol motorik halus, kefasihan verbal dan memori jangka pendek diikuti setelah beberapa bulan dengan kerusakan parah dan demensia subkortikal dengan keadaan vegetatif sebagai tahap akhir . Sindrom ini (ADC - kompleks demensia AIDS) mempengaruhi 33-67% dari pasien AIDS dan merupakan manifestasi neurologis yang paling sering dari infeksi HIV Gejala neuroradiologi meliputi atrofi otak muda,h digambarkan oleh CT dan MRI. Karakteristik perubahan parenkim sering terlewat oleh CT scan juga hadir. Pada MRI mereka muncul sebagai hyperintensity, sinyal halus nonfocal pada gambar T2 melibatkan l semiovale periventricular bilateral dan substansia alba. Distribusi dan adanya lesi tersebut tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis dan

10

tingkat tertentu, keterlibatan parenkim dapat terlihat pada pasien tanpa gejala. Namun keterlibatan luas substansia alba lebih mungkin, serta peningkatan Kontras biasanya tidak ada.8

(Gambar 6 : dikutip dari kepustakaan 7)


CT Scan. Tampak hipodens difus yang simetris dan bilateral pada periventricular (white matter) tanpa adanya massa.7

(Gambar 9: dikutip dari kepustakaan 9)


Pada Pemeriksaan MRI pada potongan axial T2, tampak pembesaran ventrikel dan sulcus yang prominen. Terdapat multiple lesi (white matter). HIV

11

ensefalitis dapat menunjukkan pembesaran ventrikel dan sulcus yang prominen dengan atau tanpa lesi.9

3) Sitomegalovirus (penyakit CMV), infeksi umum yang mempengaruhi janin, terlihat pada sekitar 1% dari semua kelahiran. Dari jumlah tersebut sekitar 10% memiliki gejala, manifestasi paling umum berupa

hepatosplenomegali dan petechiae. 55% dari janin yang terkena gejala sisa neurologis berat termasuk kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, gangguan pendengaran, choreoretinitis dan gangguan kejang. infeksi janin dapat disebabkan infeksi ulang primer ibu, infeksi atau reaktivasi infeksi laten. Manifestasi pencitraan tergantung pada usia kehamilan pada saat infeksi. Jika infeksi terjadi pada paruh pertama dari trimester kedua mungkin ada lissencephali, kalsifikasi

periventricular, mielinasi yang tertunda, dilatasi ventrikel dan hipoplasia cerebellar 10

(Gambar 8 : dikutip dari kepustakaan11)


Para pemeriksaa MRI pada T1 menunjukkan sebuah focus yang jelas pada sentral vitreus kiri yang disebabkan oleh perdarahan. Terdapat tanda-tanda inflamasi pada traktus uveal.11

Infeksi pulmonal 1) Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)

12

PCP merupakan penyebab utama penyakit paru difus pada pasien AIDS atau mereka yang dalam keadaan imunosupresi. Didapatkan perubahan perihilar difus akan berlanjut menjadi konsolidasi alveolus. Pneumocystis carinii telah diganti nama menjadi Pneumocystis jiroveci, tapi PCP masih digunakan untuk menunjukkan pneumonia yang disebabkan oleh organisme. Awal sejarah penularan AIDS, PCP bukan penyebab utama dari penyakit infiltrat paru difus. Biasanya penyakit ini tidak terjadi sampai jumlah CD4 sangat rendah, kurang dari 200/mm3. Keadaan imunokopromais dapat dihindari jika HAART (highly active antiretroviral therapy) tersedia. Sebagai tambahan, terapi profilaksis untuk PCP sekarang diberikan untuk pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200/mm3.13

(Gambar 9 : dikutip dari kepustakaan 14)


Pada foto thorax PA tampak bercak-bercak retikuler sebagai akibat pneumonia Pneumocystis carinii14

2) TB Paru Gejala dan tanda TB pada pasien terinfeksi HIV sangat signifikan dengan keadaan imunodefisiensi. Gejala yang dimaksud seperti batuk, demam, penurunan berat badan, dan keringat malam. Penyakit ekstrapulmonal lebih sering terjadi pada pasien terinfeksi HIV

13

daripada non-infeksi, dengan gejala-gejala yang muncul berikutnya berasal dari hati, sistem saraf pusat, atau melibatkan sistem limfatik. Radiografi paru kurang sering menunjukkan lesi lobus atas yang tipikal, dan hal ini normal pada hampir 10% penderita. Pada keadaan imunodefisiensi berat, infiltrat milier dan mediastinum atau adenopati hilus dapat terjadi.15 Ketika TB tervisualisasi pada radiografi paru, rangkaian kejadian biasanya mengikuti. TB primer terlihat sebagai konsolidasi fokal tengah atau lobus bawah dengan limfadenopati dan kadang-kadang terdapat efusi pleura. Kavitas jarang didapatkan. Adenopati hilus muncul pada 95% kasus dan lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa. Efusi pleura didapatkan pada 10% kasus. Reaktivasi fokus primer menyebabkan infiltrasi pada segmen posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah.15

(Gambar 11 : dikutip dari kepustakaan 16)


Foto toraks PA tampak limfadenopati, perselubungan kavitas pada lobus kanan atas, dan konsolidasi fokus di bagian medial paru-paru kanan16

3) Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi merupakan salah satu komplikasi AIDS, biasanya menunjukkan lesi kulit dan mukosa oral dengan melibatkan sistem limfatik dan traktus gastrointestinal. Hal ini terjadi pada 30% kasus

14

paru, 10% menggambarkan komplikasi pulmonal dari paru. Manifestasi tipikal Sarkoma Kaposi adalah demam dan penurunan berat badan. Mengi, nyeri dada dan sputum berdarah bisa didapatkan. Stridor diduga akibat adanya stenosis trakea. Temuan radiologi berupa infiltrasi interstisial atau alveolus bilateral.17

(Gambar 12 : dikutip dari kepustakaan 18)


Foto thorax PA menunjukkan adanya penebalan peribronkial, nodul, dan garisgaris fibrosis pada pasien AIDS dengan sarkoma Kaposi18

VII. KOMPLIKASI a. Penyakit Saluran Pernapasan5 Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negaranegara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negaranegara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada

15

orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner. b. Penyakit Saluran Pencernaan5 Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
16

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,

mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV. c. Penyakit Syaraf dan Jiwa5 Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga
17

mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis. Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India. d. Kanker dan Tumor Ganas5 Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
18

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempattempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

19

e. Infeksi oportunistik lainnya5 Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.

VIII. PENGOBATAN Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.5 Terapi antivirus Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi
20

yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.5 Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu

21

psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.5 Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.5 Penanganan eksperimental dan saran Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.5 Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkahlangkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis,

22

demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.5 Pengobatan alternatif Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.5 Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.5 Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.5

23

IX. PROGNOSIS
Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk virus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah seignifikan mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi secara signifikan infeksi baru pada populasi lainnya.19 Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup, dan banyak orang yang mengidap HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat. Harapan hidup normal akan semakin meningkat jika mereka mengikuti pengobatan secara disiplin.19 Obat-obatan membantu pemulihan sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi dan mencegah kanker terjadi. Nantinya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi. Obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan AIDS tidak menghilangkan infeksi. Hal ini penting diingat bagi pengidap HIV bahwa dia masih menularkan virus HIV bahkan setelah menerima pengobatan yang efektif.19

IX. PENUTUP Telah dibahas berbagai aspek imunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV mempunyai target utama sel limfosit CD4 yang berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi imunitas selular terganggu. Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (sitotoksik T Limfosit atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk nonspesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus oleh antibodi melalui

24

mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.11 Di samping itu penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 ini mengakibatkan terganggunya dan homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam sistem imun humoral, yaitu sel limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Terganggunya fungsi limfosit B karena diregulasi oleh sel limfosit CD4 akan menimbulkan respon imun humoral yang tidak relevan dan terbentuknya hipergammaglobulinemia.11 Dapat dirangkumkan, defisiensi imun akibat HIV dapat mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, timbulnya reaksi autoimun, mudah terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan tumor ganas sekunder, seperti Limfoma Non Hodgkin, Sarkoma Kaposi dan karsinoma serviks.11 Pemberian obat antiretroviral dapat meningkatkan CD4 sehingga risiko infeksi oportunistik menurun. Namun pemulihan sistem imun juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi imun. Sedangkan pada disfungsi imun, perbaikan klinik tidak disertai dengan peningkatan CD4 secara nyata.11

25

DAFTAR PUSTAKA 1) Mansjoer, Arif M. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In : Triyanti Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI ; 2000. Hal. 162-3. 2) Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In : Hartanto H, editor. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC ; 2006. Hal. 224. 3) Kennedy, Ron. HIV AIDS. [online]. 2010. [cited 2008 Oct 24]. Available from: http://www.medical-library.net/hiv_aids.html accessed on 2010 Aug 20

4) Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W., editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006. Hal . 545-6.

5) anonymous. AIDS. [online]. 2010. [cited 2010 sep 18]. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/hiv accessed on 2010 Aug 20 6) Nawaz, Ali. Imaging in CNS Toxoplasmosis: Imaging. [online]. 2010. [cited 2010 jan 24]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/344706imaging accessed on 2010 Aug 20 7) Bellin, Marie F. Nervous System Manifestasions. [online]. 2010. [cited 2009 Dec 29]. Available from : http://www.medcyclopaedia.com/library/radiology/chapter28/28_2.aspx accessed on 2010 Aug 20 8) Bellin, Marie F. Available from: Hiv encephalitis. [online]. 2010. [cited 2010 jan 24].

26

http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vi_1/h/hiv_encephaliti s.aspx accessed on 2010 Aug 20 9) Lieberman Gillian. Liebermans Classics Collections. [online]. 2010. [cited 2009 Dec 29]. Available from : http://eradiology.bidmc.harvard.edu/Classics/item.aspx?section=Neuroimagi ng&labelpk=84a3cf36-44c2-4370-9522-50369eb830e3&pk=20292dc7-e6d64936-a7c9-01542056c9a2 accessed on 2010 Aug 20 10) Bellin, Marie F. Cytomegalovirus disease. [online]. 2009. [cited 2009 Dec 29]. Available from : http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/c/cytomegalovirus _disease.aspx accessed on 2010 Aug 20 11) Lieberman Gillian. Liebermans Classics Collections. [online]. 2009. [cited 2009 Dec 29]. Available from : http://eradiology.bidmc.harvard.edu/Classics/item.aspx?section=Neuroimagi ng&labelpk=84a3cf36-44c2-4370-9522-50369eb830e3&pk=5909cc17-0edd4c2a-924f-c95608e45887 accessed on 2010 Aug 20 12) Nasronuddin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, Dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. Hal. 27. 13) Bellin, Marie F. Pneumocystis carinii pneumonia . [online]. 2010. [cited 2010 july 14]. Available from: http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_v_1/p/pneumocystis_c arinii_pneumonia.aspx accessed on 2010 Aug 20 14) Nawaz, Ali Pneumocystis Carinii Pneumonia Imaging. [online]. 2010. [cited 2010 jan 16]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/359972overview accessed on 2010 Aug 20 15) Bellin, Marie F. Tuberclosis. [online]. 2010. [cited 2010 jan 24]. Available from:

27

http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_v_1/t/tuberculosis.asp x?tt_topic={1D3246DB-FAEE-4089-84969AC80C7DD8B5}&tt_item={F6046FA7-E87A-4B31-85FC-E09CC979336B} accessed on 2010 Aug 20 16) Catanzo, Tara, Primary Lung Tuberculosis Imaging: Imaging [online]. 2010. [cited 2010 Aug 28]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/358610-imaging accessed on 2010 Aug 20 17) Bellin, Marie F. Kaposis Sarcoma. [online]. 2010. [cited 2010 Feb 13]. Available from:

http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_v_1/k/kaposis_sarcom a.aspx?p=1 accessed on 2010 Aug 20 18) Nawaz, Ali. Thoracic Kaposi Sarcoma Imaging: Imaging. [online]. 2010. [cited 2008 May 30]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/356704-imaging accessed on 2010 Aug 20 19) Conrad, Melissa. HIV/AIDS. [online]. 2010. [cited 2010 July 14]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/hivaids/page11_em.htm#Authors%20and%2 0Editors accessed on 2010 Aug 20

28

Anda mungkin juga menyukai