Anda di halaman 1dari 9

DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course)

Pendahuluan
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit turunan. Barulah Leannec (1819) yang pertama-tama menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan Koch (1882) dapat mengidentifikasikan kuman penyebabnya. Penyakit ini dinamakan tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle. Hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru (1,2). Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995 menunjukan angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan (2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan kematian mencapai 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penduduk baru dengan BTA positif. Kriteria yang menyatakan bahwa di suatu negara tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah bila hanya terdapat satu kasus BTA (+) per satu juta penduduk. Sampai hari ini belum ada satu negarapun di dunia yang telah memenuhi kriteria tersebut, artinya belum ada satu negarapun yang bebas tuberkulosis. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis telah menurun, tetapi belakangan ini naik lagi sehingga tuberkulosis disebut sebagai salah satu reemerging diseases. Untuk Indonesia tuberkulosis bukanlah reemerging diseases, penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara kita, dan bukan tidak mungkin meningkat (2,3). Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan Indonesia adalah penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di dunia sesudah Cina dan India (2,3). Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei Departemen Kesehatan tergolong empat besar (1). Menurut prediksi WHO pada saat sekarang ini Indonesia menduduki peringkat pertama, sehingga WHO telah menyarankan untuk diterapkannya program DOTS di negara kita. WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis adalah menerapkan strategi DOTS, yang telah teruji ampuh di berbagai negara. Karena itu, pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang amat penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik(3).

Definisi
Apa itu DOTS? Kalau kita tulis dalam huruf kecil, dots, dan kemudian kita balik 180 derajat membacanya, akan terbaca sebagai stop. Memang demikianlah maksudnya s top tuberkulosis. DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek, yang kalau kita jabarkan pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk direct attention dalam usaha menemukan penderita dengan kata lain mendeteksi kasus dengan pemeriksaan

mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di observed dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan penderita harus di depan seorang pengawas. Selain itu tentunya penderita harus menerima treatment yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian, setiap penderita harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan short course standard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (3).

Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah menjamin kesembuhan bagi penderita, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (4,5).

Strategi DOTS
DOTS mengandung lima komponen, yaitu: 1. Komitmen pemerintah untuk mendukung pengawasan tuberkulosis. 2. Penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopik sputum, utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke pasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. 3. Cara pengobatan standard selama 6 8 bulan untuk semua kasus dengan pemeriksaan sputum positif, dengan pengawasan pengobatan secara langsung, untuk sekurangkurangnya dua bulan pertama. 4. Penyediaan semua obat anti tuberkulosis secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu. 5. Pencatatan dan pelaporan yang baik sehingga memungkinkan penilaian terhadap hasil pengobatan untuk tiap pasien dan penilaian terhadap program pelaksanaan pengawasan tuberkulosis secara keseluruhan (3,4,6).

Komitmen Politik Pemerintah


Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas penting/utama dalam program kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam program/sistem kesehatan umum yang ada. Begitu dasar-dasar ini telah diletakan maka diperlukan dukungan pendanaan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat (3,4,6).

Penemuan Kasus dan Diagnosa


Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi baik untuk mendeteksi dari

mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan pengobatannya (7). Secara umum pemeriksaan mikroskop merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat (3).

Pengawasan Pengobatan Standard


Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standard (3). Dalam aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 8 bulan dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh pasien tuberkulosis. Pengawasan pengobatan secara langsung adalah penting setidaknya selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis (6).

Penyediaan obat
Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat stok masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain (3).

Pencatatan dan Pelaporan


Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan (6). Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pemgobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (3).

Di luar lima komponen penting ini, tentu juga ada beberapa kegiatan lain yang penting, seperti pelatihan, supervisi, jaringan laboratorium, proses jaga mutu (quality control), dll (3). DOTS, Sebelum Pengobatan Pertama Dimulai Seperti kita ketahui pengobatan tuberkulosa memakan waktu 6 bulan. Setelah memakan obat selama 2 atau 3 bulan, tidak jarang keluhan pasien telah menghilang, ia merasakan dirinya telah sehat dan meghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai (3). Siapa yang harus melihat pasien menelan obatnya ? Tentunya harus ditunjuk seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), yaitu bila :

Penderita dirawat jalan

Pengawasan dilakukan: 1. 2. 3. 4.

Langsung di depan dokter Petugas kesehatan Pemuka masyarakat atau orang yang disegani Suami/istri/keluarga/orang serumah Penderita dirawat

Jika dirawat di RS, yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS. Sebagai perawatan pengobatan lanjutan, lihat cara berobat jalan diatas. Ketentuan diatas pun harus disesuaikan dengan sumber daya manusia, dana serta lingkungan geografis masyarakatnya. Sebelum pelaksanaan DOTS dimulai harus dilakukan langkah sebagai berikut. Penderita diberitahukan tentang cara pengobatan serta menetapkan terlebih dahulu seorang PMO. Kemudian PMO itu harus dihadirkan di poliklinik/tempat pelayanan kesehatan untuk diberi pelatihan mengenai DOTS. Syarat dan tugas menjadi PMO adalah:

Seorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun pederita. Bersedia dengan sukarela membantu penderit tuberkulosis sampai sembuh selama 6 bulan. Bersedia dilatih. Mau merujuk kalau ada gejala efek samping obat. Bersedia antar jemput OAT sekeli seminggu atau dua kali seminggu jika penderita tidak bisa datang ke RS. Bersedia antar jemput pemeriksaan ulang sputum bulan ke-2, 5 dan 6 pengobatan. Mengawasi penderit tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobataan. Memberi dorongan kepada penderita agar mau minum obat secara teratur.

Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga penderita tuberkulosis yang mempunyai gajala-gejala tersangka tuberkulosis untuk segara memeriksakan diri ke pusat kesehatan (4,5).

DOTS di Beberapa Negara yang Telah Menerapkannya Pada tahun 1992 1993 Global Tuberculosis Program (GTB) WHO menetapkan tuberkulosis sebagai global emergency, kemudian GTB mulai memperkenalkan strategi yang dipakai Dr. Karel Styblo dari InternationalUnion Against Tuberculosis & Lung Diseases (IUATLD) dalam suatu paket manajemen dan teknik yang kemudian dikenal dengan nama DOTS. Dibuat pula berbagai perangkat manajemen yang diperlukan, seperti buku pedoman teknik, bahan pelatihan dan modul-modul untuk memesyarakatkan dan mengimplementasikan DOTS. Dan GTB WHO juga memberikan bantuan teknik pada lebih dari 60 negara di tahun 1990 dan menjadi 102 negara ditahun 1997. Persentase pasien tuberkulosis yang tercakup dalam DOTS juga meningkat yang mana kurang dari 1% di tahun 1990 menjadi 16 % ditahun 1997 (4). Di Nepal, sebuah kerajaan di Himalaya, DOTS diperkenalkan tahun 1996 dengan bantuan JICA Project yang pada saat itu dipimpin oleh Dr. Katsurani Osuga, seorang kebangsaan Jepang. Setelah berjalan 3 tahun 8 bulan, mencapai angka kesembuhan rata-rata 85%. Kesulitan yang dialami oleh Dr Otsuga adalah bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang cukup bagi penduduk yang tinggal di wilayah pegunungan dan perbukitan dimana fasilitas kesehatan terdekat berkilo-kilo meter jauhnya. Namun dengan bantuan sukarelawan yang berasal dari masyarakat, sebagai pengawas pengobatan DOTS akhirnya pada bulan Juli 2000, penduduk yang tercakup oleh DOTS mejadi 70% di Nepal (7). Di Philipina, menurut laporan Dr Maxxilanda Z. Paulin yang menjabat sebagai Direktur Regional I di Mindanao yang membawahi 2 Rumah Sakit Paru dan 6 pusat laboratorium yang menerapkan DOTS telah mencapai 85% rata-rata penyembuan pada tahun 2000. Untuk mengefektifkan penerapan DOTS, beliau membentuk 4 tim monitor, yaitu (8): 1. Tim montior fungsi

Kunjungan dilakukan tiap minggu pada fase intensif bulan pertama dan dua kali pada bulan kedua. Memonitor pasien akan efek samping obat. Mengunjung sukarelawan untuk memonitor masalah yang dihadapi. Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya. Memberikan penyuluhan tuberkulosis.

1. Memberikan pelatihan pekerja tuberkulosis. 2. Membentuk komite diagnostik tuberkulosis untuk membantu petugas kesehatan propinsi. 3. Mewawancarai pasien dan dokter. Di Rusia program DOTS tidak begitu dapat diterima, karena negara tersebut telah mempunyai sistem pemberantasan tuberkulosis tersendiri yang ditemukan oleh Prof. Alexander Rabhun, seorang ilmuwan, guru besar, dan kepala Departemen Penanggulangan TB di Rusia, yang menerapkan:

Setiap pasien dengan tuberkulosis aktif harus dirawat di RS dalam wakktu 6-8 bulan. Diterapi dengan obat-obat yang telah ada . Dilakukan pengawasan menelan (termasuk injeksi streptomisin) yang dilakukan oleh perawat. Memasukkan seluruh catatan pengobatan pasien ke dalam rekam medik.

Selain itu departemennya melakukan pelatihan-pelatihan tuberkulosis bagi dokter-dokter di seluruh penjuru negeri dan mewajibkan bagi selurruh fakultas kedokteran untuk memasukkan materi kuliah tenteng tuberkulosis sebanyak 85 95 jam tatap muka dan 10 20 jam di laboratorium. Sistem tersebut sebenarnya tidak berbeda dengan DOTS yang direkomendasikan WHO. Yang menjadi pertentangan sebagai mana yang dikutip dari makalah Tuberkulosis di Rusia oleh M.I Peleman adalah:

Bagaimanapun, mustahil bagi Rusia untuk menerima secara keseluruhan cara pengobatan rawat inap menjadi rawat jalan bagi seluruh pasien. Para ahli barat kelihatannya tidak menyadari bahwa pasien-pasien dalam kondisi eksaserbasi tidak cocok untuk dirawat di rumah termasuk penderita tuberkulosis kronik dan atau resisten obat. Bagian lain yang menimbulkan kekurang setujuan adalah dalam hal cara mendiagnosa tuberkulosis dengan pemeriksaan laboratorium. Rusia menganggap foto toraks lebih sensitif dibanding pemeriksaan sputum (8).

Pada bulan Mei 2000 di RIT dilakukan pertemuan yang diikuti oleh Korea, Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura, Macau, Malaisya dan Brunai dengan tamu dari WHO dan IUATLD untuk membicarakan analisa dan strategi dari pengurangan insiden tuberkulosis di tahuntahun belakangan ini dan mendiskusikan penerapan DOTS dan pembangunan sistem informasi tuberkulosis di Asia seperti yang ada di Eropa (10). Bagaimana dengan Indonesia?. Di Indonesia DOTS belum dilaksanakan secara menyeluruh. Berdasar hasil pengalaman penanganan tuberkulosis dengan strategi DOTS yang dilakukan oleh dr. Sri Ani pada Puskesmas Sibela Kotamadya Surakarta sejak bulan Januari 2000 didapatkan angka konversi 100% dan drop out 0% (4). DOTS Plus DOTS Plus merupakan sistem strategi penanggulangan tuberculosis yang resisten terhadap berbagai macam obat/MDR (Multi Drug Resistant). Mengapa tuberkulosis yang sebelumnya dapat diobati menjadi tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan? Resistensi terhadap pengobatan muncul sebagai akibat penggunaan antibiotika yang tidak tepat, termasuk di dalamnya pengaturan pemberian obat yang kurang baik oleh petugas kesehatan dan lemahnya sistem kontrol terhadap penderita. Di daerah yang memiliki resistensi yang minimal atau tidak ada resistensi, DOTS memiliki tingkat keberhasilan penyembuhan lebih dari 95%; merupakan tingkat keberhasilan yang cukup mengagumkan dalam mengurangi permasalahan tuberkulosis disamping mencegah resistensi tuberkulosis terhadap pengobatan (11).

Menurut data yang dikumpulkan WHO dari 28 negara menunjukan angka MDR di berbagai negara tersebut berkisar 0 22,1% dengan median 2,2%. Di Indonesia sendiri, pada beberapa kota berdasarkan data PDPI tahun 1998 berkisar 0 8% untuk tuberkulosis primer dan 42% untuk tuberkulosis sekunder (3). Adanya resistensi ini dapat membuat hasil pengobatan DOTS tidak berhasil maksimal. Karena itu ada ide untuk melaksanakan apa yang kemudian dikenal dengan DOTS Plus. Pada tahun 1998, WHO dan beberapa organisasi lain di seluruh dunia meluncurkan DOTS Plus, suatu strategi yang terus dikembangkan dan diuji dalam menangani MDR-TB. Pada strategi DOTS Plus upaya pengobatan untuk menyembuhkan tuberkulosis dengan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB) adalah dengan menggunakan anti tuberkulosis second-line (11). Namun beberapa pakar di beberapa negara berpendapat bahwa DOTS Plus masih perlu ditelaah terlebih dulu, baik dari sudut epidemiologi maupun segi ekonomis. Dari sudut epidemiologis perlu dipertimbangkan angka keberhasilan yang dicapai regimen pengobatan jangka pendek terhadap mereka yang sensitif dan mereka yang resisten terhadap OAT. Sebab berdasarkan laporan dari beberapa negara dengan menggunakan pengobatan jangka pendek saja angka keberhasilan pengobatan terhadap mereka yang sensitif tidaklah terlalu berbeda dengan mereka yang resisten terhadap satu OAT. Dari sudut ekonomis, mereka masih mempersoalkan tentang diperlukannya pemeriksaan resistensi pada semua penderita tuberkulosis untuk mengetahui ada tidaknya resisten ganda/MDR bila DOTS Plus ini akan diberlakukan. Untuk ini tentu diperlukan managemen yang cukup rumit dan juga biaya yang tinggi untuk pelaksanaannya (3). Kesimpulan

Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) merupakan pengawasan langsung pengobatan jangka pendek dan merupakan strategi yang direkomendasikan WHO dalam mendeteksi dan menyembuhkan tuberkulosis.
DOTS mengkombinasikan lima unsur, yaitu: komitmen politik pemerintah, pelayanan mikroskopik, penyediaan obat, sistem monitoring, dan pengawasan langsung pada pengobatan. Kelima unsur tersebut saling mendukung guna mencapai keberhasilan penanganan tuberkulosis dengan strategi DOTS. Yang perlu diperhatikan sebelum melaksanakan kelima strategi DOTS pada pengobatan seorang penderita tuberkulosis adalah memberikan pemahaman terhadap penderita tentang penyakitnya dan kemudian menetapkan seorang pengawas menelan obatnya. Pengawasan menelan obat apabila penderita dirawat jalan dapat dilakukan oleh: dokter, petugas kesehatan, pemuka masyarakat atau orang yang disegani, suami/istri/keluarga/orang serumah. Apabila penderita dirawat di RS, yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS. Dengan diberlakukannya DOTS angka kesembuhan penderita tuberkulosis dapat mencapai 95%. Ini terbukti pada negara-negara yang telah menerapkan strategi DOTS tersebut.

DOTS dapat menyembuhkan tuberkulosis dengan cepat dan tidak terlalu tinggi biayanya, serta dapat mencegah infeksi baru dan perkembangan resistensi ganda/MDR-TB. Bagi tuberkulosis dengan resistensi ganda dapat diberlakukan strategi DOTS Plus, namun strategi ini masih perlu ditelaah mengingat perbedaan angka sukses penerapan DOTS terhadap penderita tuberkulosis sensitif dengan penderita tuberkulosis resisten terhadap salah satu obat tidaklah terlalu jauh berbeda. Dari segi ekonomis, diperlukan dana yang lebih besar mengingat untuk mengetahui ada tidaknya resistensi ganda/MDR diperlukan pemeriksaan resistensi pada pemua penderita tuberkulosis bila sekiranya DOTS Plus ini akan diberlakukan. Saran Berdasar jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan arinya penanggulangannya tidak begitu berhasil, lalu dikaitkan dengan adanya strategi DOTS sebagai penanggulangan tuberkulosis yang direkomendasikan WHO yang telah terbukti ampuh setelah diterapkan di beberapa negara, maka kami menyarankan guna kegerhasilan penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut: Untuk menanggulangi tuberkulosis sekiranya pemerintah harus memberikan perhatian khusus, mengingat Indonesia pada tahun 1980 menduduki peringkat keempat dan 1999 menduduki peringkat ketiga terbesar dunia dalam penyumbang kasus tuberkulosis dan diprediksi sekarang ini menduduki peringkat pertama. Pemerintah agar segera mempertimbangkan diterapkannya strategi DOTS secara menyeluruh di wilayah Indonesia dalam penanggulangan tuberkulosis, sebab menurut data dari WHO keberhasilannya dapat mencapai 95%. Reformasi sektor kesehatan harus memperkuat program penanggulangan tuberkulosis, dan bukan malah memperlemahnya. Pelatihan di bidang kesehatan khususnya dalam penanggulangan tuberkulosis perlu ditingkatkan, demikian juga peningkatan motivasi kerjanya dengan memberikan kompensasi yang lebih baik. Para dokter perlu mendukung implementasi DOTS dan menjadi pendukung dari program penanggulangan tuberkulosis di daerahnya masing-masing. Edukasi kepada masyarakat terhadap tuberkulsis perlu ditingkatkan. Ini bisa dilakukan melalui media masa dan penjelasan dokter pada saat penderita berobat. Perlu ditambahnya materi tuberkulosis dan penanggulangannya kepada para mahasiswa kedokteran seperti halnya dilakukan di Rusia. Daftar Pustaka 1. Bahar A. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1990; 715. 2. Suradi. Diagnosis dan pengobatan TB paru. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta. 2001. 3. Aditama TY. DOTS & DOTS Plus. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta. 2001.

4. Ami Sari. Pengalaman pelaksanaan DOTS di puskesmas. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta. 2001. 5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman penatalaksanaan TB paru. 1998. 6. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.htm. 7. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.tb. Otsuga Katsunori. JICA Project. 8. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.tb. Paulin MZ. Report from Piliphina. 9. www.who.int/gtb/policyrd/rusia. Perelman MI. Tuberculosis in Rusia. 10. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.htm. Mori T. The meaning of a sin of ommission in TB control today. 11. www.who.int/gtb/policyrd/DOTSplus.htm.

Anda mungkin juga menyukai