Anda di halaman 1dari 12

KONSTIPASI (Riska Arula) I. PENDAHULUAN Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius.

Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi oleh karena rasa nyeri yang dirasakan, nyeri perut rekuren kronis, sampai keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.1 Konstipasi ini terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi. Manifestasi klinis yang tampak dapat bersifat minimal, seringkali bersifat sementara tetapi dapat berulang. Keadaan ini dapat terjadi pada segala usia, dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat menetap sampai dewasa.2 Konstipasi harus dianggap sebagai suatu gejala bukan diagnosis, oleh karena keadaan ini mungkin merupakan manifestasi dari berbagai kelainan atau sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan. Pada anak-anak, konstipasi yang tidak teratasi dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak diinginkan seperti enkopresis, enuresis, sakit perut berulang, dan prolaps rektum.2 II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI Konstipasi pada anak merupakan masalah di seluruh dunia dengan prevalensi bervariasi dari 0,7% sampai 29,6%. Konstipasi terdiagnosis pada 3% anak pra sekolah dan 1%-2% pada anak sekolah yang berobat pada dokter anak. Keluhan yang berhubungan dengan defekasi ditemukan pada 25% anak yang berobat jalan pada dokter gastoenterologi anak. Diperkirakan prevalensi konstipasi pada populasi anak secara umum bervariasi antara 0,3%-8%. Pada anak, konstipasi fungsional merupakan tipe yang paling banyak ditemui, kira-kira 90%-97% dari seluruh kasus konstipasi.1,3

III.

DEFINISI Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada

umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi feses yang keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Beberapa penulis menggunakan batasan sederhana: defekasi kurang dari 3 kali seminggu. Yang lain lebih menekankan pada kesulitan pengeluaran feses tanpa memperhitungkan frekuensi.3 North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau kesulitan dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup membuat pasien menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi ini: a) kelambatan artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu, b) kesulitan dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa bab setiap hari tetapi jika disertai kesulitan dalam pengeluaran feses disebabkan karena konsistensinya (berak keras dan besar), itu disebut konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak defekasi dua atau tiga hari sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada kesulitan dalam bab, ini tidak disebut konstipasi.1 Kriteria ROMA II membedakan definisi konstipasi fungsional kronik pada dewasa, anak dan bayi. Anak dikatakan mengalami konstipasi kronik fungsional bila tidak ada bukti kelainan anatomi, endokrin, atau metabolik dan terdapat gejala berikut selama minimal 2 minggu, yaitu pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terdapat frekuensi defekasi kurang 3x seminggu atau bila terdapat nyeri saat defekasi dan retensi feses walaupun frekuensi defekasi 3 kali seminggu atau lebih. Pada anak berusia > 4 tahun. 1 Konstipasi ditegakkan bila terdapat minimal 2 kriteria berikut:1 a) frekuensi defekasi 2 kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian laksatif; b) terdapat 2 kali atau lebih episode solling/enkopresis setiap minggunya; c) terdapat periode pengeluaran feses dalam jumlah besar 7 30 hari; d) teraba massa abdominal atau massa rektal pada pemeriksaan fisik.

Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak4


2

Umur 0 3 bulan ASI

Nilai Rata-rata defekasi per minggu 5 40

Nilai Rata-rata defekasi per hari 2,9

Formula 5 28 2,0 6 12 bulan 5 28 1,8 1 3 tahun 4 21 1,4 > 3 tahun 3 14 1,0 Table 1. Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak. (dikutip dari kepustakaan 4) IV. ETIOLOGI Pada sebagian besar anak, penyebab konstipasi adalah fungsional, karenanya tidak terdapat bukti obyektif untuk terjadinya suatu keadaaan patologis. Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan oleh kelainan fungsional dan hanya 5% disebabkan oleh kelainan organik. Di antara penyebab organik, penyakit Hirschprung adalah penyebab tersering dan paling penting. Walaupun demikian, pada neonatus penyebab organik lebih sering daripada penyebab fungsional. Bila terjadi konstipasi pada neonatus harus dipikirkan penyebab organik terlebih dahulu seperti penyakit Hirschprung hipothyroidism.1 Konstipasi fungsional sebagian besar berkaitan dengan rasa nyeri saat defekasi yang mengakibatkan penahanan feses secara sadar oleh seorang anak dengan harapan defekasi yang tidak menyenangkan dapat dihindari. Berbagai kejadian dapat menyebabkan rasa nyeri saat defekasi seperti toilet training terlalu dini, perubahan makanan, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan (dehidrasi), asupan susu yang berlebihan (susu mengandung rendah serat dan tinggi kalsium), intoleransi terhadap susu sapi dapat bermanifestasi konstipasi (8%), sebagian besar IgE-mediated dengan karakteristik utamanya infiltrasi eosinofil, kejadian yang menyebabkan stres, menderita penyakit yang lama, tidak tersedianya toilet, atau penundaan defekasi karena anak tersebut terlalu sibuk. Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan pemanjangan stasis feses dalam kolon, dengan reabsorpsi cairan, dan peningkatan ukuran dan konsistensi feses.1 Penyebab Konstipasi pada Anak1
3

Kausa Idiopatik atau fungsional Lesi sekunder pada anal Neurologikal Endokrine / metabolic Obat-obatan

95% Fisura Anal, lokasi anus yang terletak anterior, stenosis anal Lesi spinal cord, cerebral penyakit Hirschsprung Hypothyroidism, asidosis, palsy, diabetes

insipidus, hyperkalsemia Anti konvulsi, antipsikotik, codein

mengandung anti diare, antasid Tabel 2. Penyebab Konstipasi pada Anak. (dikutip dari kepustakaan 1) V. PATOFISIOLOGI Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi terganggu. Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun suatu obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik, radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.5 Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian menjadi relaksasi dan faeses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter interna tidak cukup kuat, maka sfingter anal eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan. Otot puborektal akan membantu sfingter anal eksterna sehingga keinginan defekasi juga menghilang.5 Pada konstipasi, faeses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas peristaltik yang mendorong faeses keluar sehingga menyebabkan retensi faeses yang semakin banyak. Peningkatan volume faeses pada rektum menyebabkan

kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi faeses makin mudah terjadi.5 Patofisiologi Defekasi1
REKTU M SARAF INTRINSIK RELAKSASI SFINGTER INTERNA kuat RELAKSASI SFINGTER EXTERNA DEFEK ASI lema h KONSTRIKSI SFINGTER EXTERNA KONSTRIKSI ANUS

Isi usus

REFLEKS DEFEKASI HILANG

LAMA Otot puborektal

Gambar 1. Patofisiologi Defekasi (dikutip dari kepustakaan 1) VI. GEJALA DAN TANDA KLINIS Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal proses, yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat tinja yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. Kecepirit (soiling) di antara tinja yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang

(seperti berdansa) merupakan manuver menahan tinja dan kadangkala perilaku tersebut menyerupai kejang.1 Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih, seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada anak dengan konstipasi kronis. Jika feses lama berada di rektum, lebih banyak bakteria yang berkolonisasi di perineum sehingga akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Penelitian menemukan bahwa dengan mengobati konstipasi akan menurunkan risiko rekurensi dari infeksi saluran kemih.1 Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada konstipasi. Pemeriksaan fisik yang penting yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 3. 1 Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Hirschsprung Disease1 Gejala Mekonium terlambat Onset Failure to thrive Fecal incontinence Riwayat adanya fissura Distensi abdomen Enterocolitis Colok dubur Konstipasi fungsional Jarang Setelah 2 tahun Jarang Sering Sering Jarang Tidak Terdapat feses Hirschsprung Disease Sering Saat lahir Sering Hampir tidak pernah Jarang Sering Bisa terjadi Kosong Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut Gagal tumbuh Jarang Sering Tabel 3. Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Hirschsprung Disease (dikutip dari kepustakaan 1) VII. DIAGNOSIS

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini. 1 Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1 4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.1 Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah konstipasi fungsional, fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme infantil. Salah satu penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak cairan melalui saluran nafas dan demam.1 Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.1 Pemeriksaan Penunjang1 Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik.

1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. 2. Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 3. Pemeriksaan darah terutama pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH dilakukan untuk memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah disertai kadar TSH yang meningkat maka diagnosis bisa ditegakkan untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya.8 4. Pemeriksaan radiologis berupa pemeriksaan osifikasi tulang ( bone age). Biasanya pada hipotiroidisme ada ketidak sesuaian antara bone age dan chronological age7 VIII. DIAGNOSIS BANDING Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding konstipasi berupa malposisi anus, penyakit Hirschsprung, serta hipotiroidsme yang ternyata paling sering memberikan gejala utama konstipasi retentif yang menahun. VIII. 1. Malposisi Anus Malposisi anus kongenital yang berat biasanya telah tampak sejak lahir, sedangkan bentuk malposisi yang lebih ringan seringkali tidak tampak. Pada pemeriksaan perineum tampak index anogenital lebih besar dari 0,34 pada wanita dan lebih besar dari 0,45 pada pria. Anogenital index adalah perbandingan antara jarak dari permukaan posterior vagina atau skrotum ke anus, dibagi jarak seluruhnya ke ujung coccygeus.2 Pada anus ektopik anterior, kanalis analis yang dikelilingi oleh sfingter ani internus berada di bagian anterior daerah perineal, sedangkan sfingter ani eksternus tetap terpisah pada lokasinya yang biasa di posterior. Anus dan sfingter terletak lebih anterior dari anus yang normal, keduanya terletak di bagian anterior perineum. Dalam keadaan seperti ini wanita akan menunjukkan gejala lebih sering dan konstipasi sering sudah mulai tampak sejak dini pada masa neonatus, dan
8

pada anak yang lebih besar, rasa tidak nyaman merupakan gejala-gejala yang paling sering dikeluhkan.2 VIII.2. Penyakit Hirschsprung Penyakit Hirschsprung (megakolon konginetal) disebabkan oleh karena tidak adanya pleksus otonomik Meisner dan Auerbach di dalam dinding usus, yang biasanya terbatas di daerah kolon. Peristaltik atau abnormalitas pada segmen kolon yang terlibat mengakibatkan spasme otot polos yang berkesinambungan dan obstruksi parsial atau komplit dengan penimbunan isi usus dan dilatasi bagian usus yang lebih proksimal yang mempunyai inervasi yang normal.2 Walaupun insidensnya sangat jarang yaitu 1:5000, penyakit ini masih merupakan salah satu masalah bedah yang paling penting oleh karena paling sering menimbulkan gejala konstipasi pada anak. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal.2 Pada penderita dengan aganglionik totalis, gambaran klinis tampak segera setelah lahir. Kegagalan mengeluarkan mekonium dan jarangnya defekasi yang berkepanjangan akan mengakibatkan gejala obstruksi yang jelas dengan gejala muntah dengan warna kehijauan dan distensi abdomen yang jelas. Dalam mengevaluasi penderita dengan konstipasi dan enkopresis janganlah lupa untuk memikirkan adanya penyakit Hirschsprung dari konstipasi retentif yang kronik.2 VIII.3. Hipotiroidisme Hipotiroidisme kongenital dipakai kalau kelainan kelenjar tiroidea sudah ada pada waktu lahir atau sebelumnya. Kalau kelainan tersebut sudah ada pada anak yang sebelumnya normal, maka lebih baik dipakai istilah hipotiroidisme juvenilis atau didapat.7 Angka kejadian diberbagai Negara bervariasi dengan kisaran antara 1 per 3000 4000 kelahiran hidup. Sebagian besar penelitian memperlihatkan perbandingan angka kejadian laki-laki dengan perempuan adalah 1 : 2. Hipotiroid congenital merupakan penyebab retardasi mental yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.8

Pada bayi baru lahir biasanya gejala belum terlihat jelas. Setelah beberapa minggu gejala akan terlihat lebih menonjol. Ikterus fisiologis biasanya lebih lama, kurang mau minum, sering tersedak, pergerakan bayi pasif, lidah yang besar dan sering menderita kesukaran bernapas7, konstipasi, suara menangis serak, pucat, biasanya bayi lahir matur atau lebih bulan, dan terdapat riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat antitiroid yang sedang diminum, dan terapi sinar8 IX. PENATALAKSANAAN6 Edukasi orang tua. Edukasi pada orang tua ini dapat diberikan mengenai pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang dapat diberikan. Evakuasi atau pembersihan skibala. Adalah awal yang sangat penting untuk dilakukan sebelum memulai terapi rumatan. Skibala dapat dikeluarkan dengan obat per oral atau per rectal. Pemberian obat secara oral merupakan pengobatan yang tidak invasive namun memerlukan ketaatan dalam meminum obat. Sebaliknya pemakaian obat melalui rectal memberikan efek yang cepat namun memberikan efek psikologis yang kurang baik pada anak dan dapat menimbulkan trauma pada anus. Obat per oral yang biasa dipakai adalah mineral oil, larutan polietilen glikol, laktulosa, sorbitol. Mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis 1530ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol diberikan 20ml/kg/jam (maksimum 1000ml/jam) diberikan melalui NGT selama 4 jam perhari. Evakuasi tinja dengan obat per rectum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg BB 1-2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (6001000ml). Pada bayi digunakan enema gliserin 2-5ml. Evakuasi tinja dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna. Terapi rumatan untuk mencegah kekambuhan , yang meliputi : 1. Intervensi diet, anak dianjurkan banyak minum,serta mengkonsumsi karbohidrat dan serat.
10

Tata laksana meliputi :

2. Modifikasi prilaku dan toilet training. Segera setelah makan anak dianjurkan untuk buang air besar, beri waktu sekitar 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. 3. Pemberian laksatif seperti laktulosa, sorbitol dan paraffin liquid. Apabila Bedah Diperlukan pada kasus Hirschsprung, striktura ani dan adanya kelainan organik. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan subspesialis lainnya, dll) Bila terjadi konstipasi kronik lebih dari 3 bulan, rujuk ke konsultan gastrohepatologi. X. PROGNOSIS Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya. Anak dengan inkontinensia feses yang volunter tanpa disertai adanya mega rektum dan impaksi (kemacetan) sangat resisten terhadap pengobatan. Anak dengan keadaan seperti ini seringkali disertai gangguan tingkah laku yang berat, dan memerlukan evaluasi dan pengobatan psikiatri. Selain itu, angka keberhasilan tindakan pembedahan kolon pada penderita konstipasi yang intraktabel sangat tergantung pada ketepatan diagnosis praoperasi. terjadi konstipasi kronik, rujuk ke dokter subspesialis gastrohepatologi anak.

DAFTAR PUSTAKA 1. Damayanti, Wahyu. Konstipasi pada Anak. Kumpulan Naskah Lengkap PIT IV IKA Medan 2010. USU Press. Medan: 2010. 2. Suraatmaja, Sudaryat, Prof.,dr.,Sp.A(K). Konstipasi. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. CV Sagung Seto. Jakarta: 2005

11

3. Bakri, Achirul. Konstipasi Fungsional. Kongres Nasional III Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI) Penanganan Optimal Masalah Saluran Cerna dan Hati Pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Surabaya : 2007. 4. Wendy S. Biggs, M.D., William H. Dery, M.D. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children, Michigan State University College of Human Medicine, East Lansing, Michigan [online]. 2006 Feb 1;73(3):469-477 [cited 2011 April 30]. Available from: http://www.aafp.org/afp/2006/0201/p469.html 5. Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo. Konstipasi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya [online]. 2006 [cited 2011 April 30]. Available from: http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110cmis232.htm 6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I 2004. Badan Penerbit IDAI. 2005. 7. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu Kesehatan Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 2007.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi Pedoman Pelayanan Medis

Jilid 1.Badan Penerbit IDAI.2010

12

Anda mungkin juga menyukai