Anda di halaman 1dari 4

Sistim Ujian di Indonesia: Termometer Rusak Heru Widiatmo (Peneliti di American College Testing, USA) December 7, 2009 Setiap

tahun kebijakan pemerintah mengenai ujian nasional (UN) selalu menjadi berita kontroversial. Terakhir, UN kembali menjadi berita hangat setelah Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah tentang kebijakan ini. Sayang yang diperdebatkan hanya UN, padahal Ujian Masuk Perguruan Tinggi atau UMPT (termasuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN) juga masuk dalam kategori high-stake test (tes nasional penentu kelulusan) dan juga bermasalah, boleh jadi masalahnya lebih serius. Siswa bayar mahal untuk ikut UMPT, tapi mereka tidak memperoleh informasi berapa nilainya. Tindakan penyelenggara ujian ini melanggar aturan dari Joint Committee on Testing Practices (2001), dimana diatur kewajibkan penyelenggara ujian untuk mengumumkan nilai peserta ujiannya. Ketidakpahaman bagaimana high-stake tests di Indonesia dibuat dan dilaksanakan sesuai aturannya, tidak lepas dari peran penanggungjawabnya yaitu Badan Standarisasi Penilain Pendidikan (BSNP) untuk UN dan PT untuk UMPT (Forum Rektor PTN untuk SNMPTN). Institusi-institusi ini didirikan tidak untuk mengelola ujian dan bukan pula ahlinya, sehingga kemungkinan mereka kurang paham apa, kenapa, dan bagaimana ujian (tes) itu. Mereka kira membuat ujian bisa dikerjakan oleh semua orang, tidak ada ilmunya, dan tidak perlu sekolah sampai S3 atau menjadi profesor di bidang ini. Persoalan di Indonesia Prosedur membuat tes sebagai measurement tool yang mengukur kompetensi siswa, lebih-kurang sama dengan prosedur membuat alat ukur yang kita kenal; seperti termometer untuk suhu. Bedanya, termometer mengukur sesuatu yang dapat dilihat atau setidak-tidaknya dapat dirasakan. Sedangkan apa yang disebut kompetensi adalah benda

abstrak, tidak dapat diraba atau dirasa, apalagi dilihat bentuk fisiknya. Karena abstrak, orang bisa salah mendeskripsikannya. Di Indonesia, pembuat ujian umumnya mengartikan kompetensi ini sebagia materi pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan metode menghafal, trik-trik tertentu (jalan pintas), drilling, bimbingan belajar, dan tryout. Indikasi dari arti kompetensi ini tersirat pada isi, pola, dan kualitas penyajian soal-soal ujian kita, dari mulai classroom tests sampai UN dan UMPT Akibat dari ujian menggunakan soal-soal seperti ini menyuburkan lembaga bimbingan belajar (baca bimbingan tes) dan merusak metode pembelajaran. Akibat lebih lanjut, ujian hanya menghasilkan generasi bangsa dengan kompetensi yang dangkal. Generasi yang pandai menghafal dan pintar menggunakan jalan pintas untuk menduduki jabatan maupun mendapatkan kekayaan, padahal yang diharapkan dari ujian tingkat nasional Indonesia adalah menghasilkan generasi yang dapat berfikir logis, bernalar, kreatif dan inovatif. Bercermin Pada Negara Lain Sebaliknya, di Amerika Serikat (AS) pembuat ujian dibekali dengan ilmu testing. Mereka mengartikan kompetensi siswa sebagai pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh siswa untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam menghadapi kehidupannya. Alat ukur yang diperlukan tentu tes yang dapat menilai pencapaian kemampuan dimaksud. Sehingga soal-soal tes mereka dikemas dalam narasi permasalahan sehari-hari dan/atau tulisan-tulisan ilmiah yang mengacu pada materi dasar pembelajaran sekolah, dan menuntut kemampuan siswa untuk menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, dan menyelesaikan suatu masalah. Siswa tidak diuji untuk hafal rumus/definisi dan mengerjakan komputasi rumit, karena materi hafalan (rumus) ada di buku tes dan kalkulator boleh digunakan. Dengan disain tes seperti ini, siswa yang tidak mampu ikut bimbingan belajar tidak dirugikan, mengingat kompetensi ini tidak dapat

dipelajari dengan cara instan tapi melalui pembelajaran yang mengembangkan daya nalar siswa. Sebagai akibat, bimbingan belajar tidak banyak diminati di AS. Memang membuat tes seperti ini sukar, komplek dan tidak semua bisa. BSNP dan PT terbukti kurang mampu. Keahlian, pengetahuan, penelitian dan profesionalisme menjadi syarat mutlak. Diperlukan lembaga khusus yang bisa menggabungkan rangkaian keahlian dan pengalaman dari guru yang mengetahui pembelajaran di sekolah, penulis handal, dan ahli penilaian pendidikan yang paham ilmu testing. Lembaga Testing Profesional Karena itu, sistim ujian di negara-negara lain yang tingkat ekonomi dan mutu pendidikannya lebih baik dari kita diurus oleh para ahlinya sehingga tidak salah arah. Terlepas dari apakah mereka menerapkan UN atau tidak yang pasti mereka memiliki lembaga testing profesional yang memberdayakan para ahlinya untuk melakukan penelitian, mendisain, menerapkan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi negaranya. Sebagai contoh, tengok tetangga sebelah, Singapura dan Malaysia yang menerapkan UN masing-masing memiliki Singapore Examination and Assessment Board dan Lembaga Peperiksaan Malaysia. Atau, di AS yang tidak mengenal UN, UMPT-nya diurus oleh American College Testing yang merupakan sebuah lembaga testing kaliber dunia di bidang pendidikan. Sedangkan di Indonesia, sistim ujian masih dikelola amatiran yang seharusnya sudah ditinggalkan puluhan tahun lalu. Sebab itu, UN dan UMPT kita ibarat termometer yang tidak dapat membedakan antara suhu tubuh orang yang sedang demam tinggi dengan yang sehat. Alih-alih mengukur tingkat kompetensi siswa, ujian kita ternyata mengukur tingkat ekonomi orangtua siswa.Siapa salah? Tentu pembuat termometer, bukan termometernya apalagi orang yang sakit.

Tidak ada jalan lain, Depdiknas perlu segera mendirikan lembaga testing profesional untuk membuat sistim ujian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral, agar ujian tingkat nasional tidak menjadi bahan perdebatan setiap tahun yang menghabiskan waktu dan energi kita. Kecuali, jika pengambil kebijakan di Depdiknas memang sengaja menutup mata dan telinga untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, maka sistim ujian yang kurang berkualitas (termometer rusak) seperti sekarang berjalan sudah cukup bagus. HERU WIDIATMO, Ph.D. Measurement Research Dept. Education Division ACT, Inc. 500 ACT Drive PO Box 168 Iowa City, Iowa 52243-0168, USA Phone: (319) 337-1704 Fax: (319) 337-2248 E-mail: heru.widiatmo@act.org

Anda mungkin juga menyukai