Anda di halaman 1dari 4

Apa Itu Bahagia?

Manusia, lepas dari karsa bebas yang mungkin justru akan mendistorsi fitrah-keberadaannya, juga diciptakan sebagai susunan terbaik (ahsan taqwim) (QS. 95 : 4). Artinya, bukan saja ia mempunyai potensi dahsyat, sesungguhnya potensi itu dikaruniakan oleh Tuhan untuk melakukan kebaikan-kebaikan (hasanah, berasal dari kata yang sama dengan ahsan). Sebagai khalifah-Nya dia diharapkan untuk menjadi pembuat kebaikan (muhsin) dan perbaikan (mushlih, berasal dari akar kata yang sama dengan ish-lah, perbaikan) . Pada puncaknya, kebaikan dan kebahagiaan jugalah yang menjadi tujuan penciptaan oleh Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini antara lain tampak dalam berbagai ayat al-Quran yang menjadikan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di hari kemudian sebagai tujuan keberadaan (penciptaan) manusia : Barangsiapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman, kepada mereka kami akan memberikan kehidupan yang baik, dan Kami akan memberi mereka pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS. 16 : 97) Ibn Abbas, mufassir utama dari kalangan sahabat Nabi, mengartikan ungkapan kehidupan yang baik (hayah thayyibah) sebagai kebahagiaan (di dunia ini). Memang, jika mengikuti dan bukannya melanggar fitrahnya maka sesungguhnya manusia diciptakan untuk kebahagiaan : Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka setelah itu dia ilhamkan jalan keburukan (akhlak) dan ketaqwaannya. Pasti bahagia (aflaha) siapa yang memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa yang mengotorinya. (QS. 91 : 7 10) Di sisi lain, rasanya, tak ada satu pun makhluk manusia yang tidak sependapat bahwa tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah mencapai kebahagiaan (happiness, saadah). Meski kebahagiaan bisa difahami dalam berbagai bentuknya ada yang melihatnya sebagai bersifat psikologis, ada yang intelektual, dan ada yang spiritual semua sepakat pula pada sifatnya yang menjadikan manusia merasa bukan hanya bergairah, bersemangat, dan menikmati hidupnya, melainkan terutama menebarkan ketenteraman, kedamaian, kepenuhan makna, dan kepuasan yang tak menyisakan kekosongan. Tapi, apakah kebahagiaan itu? Sementara penderitaan (misery, syaqawah) sama dengan kegelisahan, kekacauan, kehampaan makna, dan kekurangan yang menganga, perlu segera kita timpali bahwa kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan (pleasure). Mungkin saja hidup seseorang dipenuhi kenikmatan tapi dia tak bahagia. Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau penderitaan. Karena, boleh jadi penderitaan datang silih berganti, tapi kesemuanya itu tak merusak keberadaan kebahagiaan. Inilah yang disebut sebagai underlying happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari) hidup kita. Perlu difahami juga, kebahagiaan tak sama dengan kenikmatan sesaat, tanpa jaminan bahwa kenikmatan itu tak akan segera berganti dengan perasaan hampa, tanpa kebebasan dari kegelisahan terhadap prospek kehampaan di masa setelah itu. Sedemikian, sehingga, kenikmatan itu tak pernah betul-betul tertanam di dasar hati kita, melambari segala pancaroba kejadian yang mungkin berlangsung di sekitar hidup kita, sehingga ia terasa sebagai sekadar sesuatu yang mengambang di kedangkalan permukaan hidup kita.

Demikian juga sebaliknya. Dilihat (dirasakan) melalui fondamen underlying happiness, apa saja yang terjadi di permukaan hidup kita akan masuk ke dalam hati kita sebagai sesuatu yang memberi makna positif kepada diri kita, menenteramkan, dan membahagiakan. Dapat saja saat ini kita sedang tertimpa kesulitan dan kesedihan, tapi keyakinan bahwa kehidupan kita bersifat baik, positif, dan menyejahterakan tak akan terganggu karenanya. Kebahagiaan memberikan bayangan kedamaian dan ketenteraman yang lebih lestari. Ini sebabnya, sebagian orang mengidentikkan kebahagiaan dengan kebaikan-kebaikan yang lestari (al-baqiyat al-shalihat) sebagimana difirmankan-Nya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tapi, kebaikan-kebaikan yang lestari adalah lebih besar ganjarannya di sisi Tuhanmu dan lebih layak dijadikan harapan. (QS. 18 : 46) Memang, betapa pun juga, kebahagiaan tidak bersifat fisikal, bahkan juga tidak psikologis jika psyche difahami secara dangkal sebagai kumpulan gejala yang semata-mata bersifat consciousserebral belaka. Kebahagiaan sepenuhnya bersifat spiritual meski tak mesti selalu sama dengan hal-hal yang bersifat keagamaan-formal yakni terkait dengan hati. Yakni, suatu daya dalam diri manusia yang bukan hanya lebih tinggi dari daya intelektual serebral, melainkan juga melampaui emosi dan perasaan yang, betapa pun terkait dengan hati, masih belum lagi mengatasi ketidakstabilannya; yang di dalamnya semua unsurnya belum lagi terkombinasi dalam jumlah dan ukuran yang seimbang, yang stabil. Memang emosi dan perasaan memiliki semua unsur untuk stabil dan mendatangkan kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan, tapi tak selalu kombinasinya terjadi dalam ukuran yang seimbang. Nah, terhadap emosi yang seimbang ini, tak ada satu pun kejadian di luar hati kita yang akan mampu mengusik keseimbangan yang sudah tercapai, kebahagiaan yang melambari. Tak ada suka cita yang terungkap di luar kendali sehingga dapat memukul-balik dan membuka kemungkinan bagi kesengsaraan setelahnya, tak pula ada kesedihan yang terlalu besar sehingga dapat mengoyak fondamen kebahagiaan kita. Tak ada kejadian apa pun dalam pancaroba kehidupan yang dapat memberikan pengaruh yang terlalu dalam sehingga mengusik kebahagiaan kita. Persis sebagaimana batu yang dilempar ke perairan dangkal akan menghasilkan riak yang besar, sementara jika benda yang sama dilempar ke laut dalam tak akan merusak ketenangan permukaannya.
Kebahagiaan memang bersifat intrinsik, ada di dalam hati kita, bukan ekstrinsik dan tergantung pada pancaroba kejadian dalam kehidupan sehari-hari kita di luarnya. Bagi yang telah meraih kebahagiaan yang melambari ini, apa pun bisa terjadi dalam kehidupan luaran kita, tapi rasa kebahagiaan akan tetap lestari. Bagi orang-orang yang memilikinya, kenikmatan dan kesulitan bersifat sepenuhnya relatif. Keduanya tak memiliki makna-independennya sendiri. Dan relatif terhadap underlying happiness ini, sesungguhnya tak ada kesulitan. Begitu tertempatkan di lambaran atau fondamen kebahagiaan ini, semuanya menjadi unsur yang membahagiakan. Kenikmatan dan kesedihan pun menjadi terbatas pada penampakan-luar atau kemasan. Pada hakikatnya dia selalu bermakna sebagai unsur kebahagiaan. Inilah, yang secara populer, membuat banyak orang menyatakan: pada puncaknya kebahagiaan (dan kesengsaraan) sesungguhnya produk persepsi. Apa saja, jika ia kita persepsikan secara positif, akan menyumbang kepada kebahagiaan kita, meskipun penampakan-luar atau kemasannya lebih menyerupai kesulitan. Sebaliknya, jika kita persepsikan secara negatif, apa saja akan melahirkan kesengsaraan, meski penampakan luar atau kemasannya indah. Bahkan, dapat kita katakan bahwa sesungguhnya kesedihan adalah sesuatu yang niscaya agar kita dapat mengidentifikasi dan merasakan kebahagiaan. Orang yang tak pernah merasakan kesedihan atau

kesusahan, akan kebal atau tidak sensitif terhadap kebahagiaan. Sekadar kesusahan justru dapat menjadi latar belakang yang di atasnya kita benar-benar dapat merasakan dan mengapresiasi kebahagiaan. Sayidina 'Ali kw. Pernah menyatakan : Seseorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan (sa'adah), sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan (syaqawah). Mungkin bukan tidak pada tempatnya kita jernihkan di sini bahwa, meski kata syaqawah sering dianggap sebagai lawan kata dari sa'adah dan kata-kata lain yang mengungkapkan kebahagiaan, ia tak pernah boleh diartikan sebagai memiliki kemungkinan keabadian sebagaimana sa'adah. Kasih-sayang Allah sedemikian tak terbatas sehingga menutup segala kemungkinan bagi syaqawah atau kesengsaraan yang abadi. Betapa pun, syaqawah selalu harus dilihat sebagai pendahulu bagi sa'adah. Dengan kata lain, sa'adah adalah prinsip kehidupan manusia, sedang syaqawah adalah pengecualian. Syaqawah diperlukan sekadar sebagai tolok ukur, yang melaluinya orang bisa mengidentifikasi dan mengapresiasi kebahagiaan. Paling banter, syaqawah juga hanya bisa dilihat sebagai sarana Allah mengajar dan memberi pelajaran kepada kita agar terdorong untuk menjadi lebih baik. Pada kenyataannya, bahkan neraka pun harus dilihat dengan cara demikian. Seperti dapat kita lihat dalam berbagai ayat al-Qur'an, selain melihat siksaan di neraka sebagai alat pendidikan untuk menyucikan jiwa manusia yang kotor, Allah selalu membuka kemungkinan bagi tidak abadinya siksaan di neraka. Ayat di bawah ini adalah salah satu contohnya : Maka, orang-orang yang sengsara (menyandang syaqawah) itu, mereka kekal di dalam neraka selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki ... (QS. 11 : 107) Kenyataannya, bukan saja langit dan bumi tidak abadi, bahkan - seperti, antara lain, dinyatakan oleh Ibn 'Arabi - kata ganti milik ha dalam ungkapan khalidina fi ha kembalinya kepada neraka, bukan kepada siksa. Menurut 'urafa' seperti ini, boleh jadi neraka akan abadi, tapi siksaannya tidak. Demikian pula halnya dengan syaqawah. Dalam ajaran Islam, memang manusia diciptakan dengan bakat dan tujuanakhir kebahagiaan, bukan kesengsaraan, sebagaimana mungkin diyakini oleh sebagian aliran psikologi modern seperti Freudianisme. Jika hendak disejajarkan, maka ajaran Islam lebih sejalan dengan Psikologi Positif (Positive Psychology), yang percaya bahwa manusia berbakat berbahagia, dan bahwa tugas psikologi hanyalah mencuatkan (meng-unleash) bakat berbahagia itu. Ajaran Islam bertumpu pada prinsip kasih-sayang Tuhan Sang Pencipta sedemikian, sehingga seperti Positive Psychology, menolak model-model psikologi bengkel seperti Freudianisme itu. Sampai di sini, menjadi gamblang, bahwa kebahagiaan terkait erat dengan kesiapan atau kesediaan sebutlah kemauanuntuk berbahagia. Untuk berbahagia, orang harus siap-sedia untuk berbahagia, mau bahagia. Harus memiliki sikap mental atau tepatnya, sikap hati untuk berbahagia. Dia harus mengembangkan persangkaan baik. Persangkaan baik kepada kehidupan, kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan. Bahwa sesungguhnya kehidupan ini dirancang oleh Penciptanya dalam bentuk kebaikan, yang lahir dari kecintaan-Nya kepada makhluk-Nya. Bahwa, jika dilihat dalam kaca-mata positif, dalam kesadaran akan keseluruhan (wholeness), sesungguhnya kehidupan tak memiliki sifat lain kecuali kebaikan. Bahwa (apa yang tampak sebagai) kesusahan sesungguhnya adalah kebaikan (juga), hanya dia tersamarkan. Kesusahan sesungguhnya tak lain dari kegagalan kita menembusi permukaan luar atau kemasan saja, ketakmampuan kita menangkap makna yang terdalam dari kejadian-kejadian. Ketakberhasilan kita meraih makna di balik fenomena. Bahwa sesungguhnya (apa yang tampak) sebagai kesulitan dan kesusahan itu pada hakikatnya hanyalah pembuka jalan bagi kebaikan yang lebih tinggi, pada kebahagiaan. Bahwa, kalau pun kita mentok di tengah jalan untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang kita inginkan, maka sesungguhnya ia adalah semacam pembelokan (detour) menuju jalan yang justru akan membawa kita kepada pencapaian kebikan yang lebih besar. Bahwa, sesungguhnya Tuhan telah menebarkan dalam kehidupan manusia di muka bumi, tak terbatas jalan menuju kebaikan dan kebahagiaannya Sesungguhnya, kemana pun kita mengarah dan menuju, di situ terhampar jalan menuju kebahagiaan kita. Sikap hati yang positifyang melihat hidup dengan persangkaan baik,yang percaya bahwa manusia diciptakan berbakat bahagiaitulah yang harus kita kembangkan, kita latih, agar menjadi habit kita dalam

menjalani kehidupan, dalam melihat atau mempersepsi apa saja yang terjadi dalam kehidupan kita. Ya, kebahagiaan memerlukan latihan. Bagaimana cara melatihnya? Pertama, kuatkan kesadaran dan pengetahuan bahwa hidup pada dasarnya adalah baik. Selalu lakukan refleksi atas kehidupan kita, dan kehidupan sesama kita. Sama sekali tak sulit melihat, dengan hati yang terbuka, bahwa sesungguhnya selalu saja ada hikmah atas apa saja yang terjadi dalam kehidupan kita. Dan sesungguhnya juga kehidupan semua manusia, kapan saja dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Bahwa, sesungguhnya keburukan hanyalah sekadar konsep. Sifatnya relatif. Jika kita melihatnya secara parsial, bukan dalam keseluruhan, maka suatu kejadian bisa tampak (terasa) sebagai keburukan. Tapi, jika kita tempatkan dalam suatu perspektif yang komprehensif (menyeluruh), maka sesungguhnya ia adalah suatu pendahulu (prekursor) bagi kebaikan yang lebih besar. Lihatlah pengalaman hidup kita dengan pikiran yang jernih, bacalah pengalaman hidup sesama kita, kapan saja dan di mana saja. Maka, mudah-mudahan kita tak akan gagal untuk memahami hakikatkebaikannya. Makin banyak kita meyakini hal ini, mudah-mudahan makin kuat-menancap kesadaran kita mengenai sifat-dasar kebaikan dalam kehidupan ciptaan Tuhan ini. Kedua, timbulkan kemauan. Sebetulnya ini bukan suatu hal yang sulit, jika kita sadari bahwa kebahagiaan kita dipertaruhkan di sini. Maka, cobalah untuk selalu melihat ke depan, melampaui kejadian-kejadian itu sendiri. Kemana kiranya ia membawa kita? Apa makna-positifnya? Kemudian timbulkan sikap mental (sikap hati) sabar dan syukur. Selalu menerima apa saja yang datang kepada kita dengan hati yang lapang. Bahwa segalanya datang dari Tuhan, dan bahwa Tuhan selalu menyimpan maksud baik dalam segala kebijaksanaannya. Hampir-hampir merupakan sisi lain dari koin yang sama, selalu kembangkan sifat-hati syukur berterima kasih atas apa saja yang datang kepada kita. Baik untuk kejadian-kejadian yang di permukaan tampak sebagai kesulitan wujudnya adalah kesabaran, dalam konteks keyakinan bahwa ia sesungguhnya adalah pendahulu bagi kebaikan yang lebih tinggi maupun atas kebaikan-kebaikan yang datang kepada kita, sehingga kita dapat bereaksi positif kepadanya, dan menjadikannya benar-benar sumber bagi sikap-sikap positif yang pada akhirnya benarbenar bisa mendatangkan kebahagiaan kepada kita. Ketiga, latihlah agar dalam diri kita terpateri kebiasaan (habit) kebahagiaan. Selalu upayakan kesadaran penuh dan kendali atas kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita. Setiap saat, selalu operasikan kesadaran kita atasnya. Jangan pernah kejadian-kejadian itu menguasai kita. Jangan biarkan kepanikan merampas kewarasan kita. Setiap saat terjadi suatu kejadian yang segera terasa tidak menyenangkan, coba cari maknanya, merogohlah lebih dalam ke lubuk hati kita untuk dapat menemukan makna positif darinya. Coba upayakan hikmahnya. Coba terawang ke arah mana yakni kepada kebaikan apa kejadian ini akan membawa kita. Lakukan berkali-kali, agar sikap seperti ini menjadi refleks kita dalam menanggapi kejadian apa saja yang menimpa kita. Jika sudah semua ini kita upayakan, kita bisa berharap bahwa kebahagiaan akan selalu bersama kita, tanpa kita harus mengejarnya. Kenyataannya, kebahagiaan memang selalu ada bersama kita, bersama kehidupan kita. Di mana saja, bersama apa saja, ada kebahagiaan. Kebahagiaan ada di hati kita. Hati kita memang diciptakan sebagai wadah kebaikan, wadah kebenaran, wadah keindahan. Yakni total jumlah yang melahirkan kebahagiaan. Justru, kebahagiaan akan mengelak jika kita kejar. Karena dia tempatnya bukan di luar. Yang tidak di luar tidak bisa dikejar. Yang di dalam hanya perlu kia sadari dan fahami. Kita hanya perlu mengucapkan selamat datang kepada kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai