Anda di halaman 1dari 140

Naskah Buku:

Berbahagialah!
(Pesan Al-Qur‟an Menggapai Kebahagiaan Hakiki)

 Pesan Al-Qur‟an untuk Menggapai Kebahagiaan

1. Meniti Jalan Takwa (Q.S. 2 : 189)


 Teguh Menjalankan Syariat, Sabar Menjauhi Maksiat
 Menembus Batas Ruang dan Waktu
 Prestasi Puncak Seorang Hamba
2. Sabar (Q.S. 3 : 200)
 Pengendalian Diri
 Tidak ada yang Instan, Semua Butuh Proses
 Tidak Sekedar Menerima Keadaan
 Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan
3. Syukur (Q.S. Ibrahim: 7)
 Tak Ada yang Sia-sia
 Lihat ke Dalam Bukan ke Luar
 Kelebihan dan Kekurangan adalah Sunnatullah
 Nikmati Setiap Momen dalam Hidup Kita!
4. Silaturahim (Q.S. 49: 13)
 Persaudaraan Universal
 Menebar Kasih Sayang di Bumi, Menuai Rahmat dari Langit
 Melapangkan Rizki, Memperpanjang Umur
 Ciri Seorang Mukmin Sejati
5. Cari Wasilah untuk Mendekat Kepada-Nya (Q.S. 5 : 35)
 Apa itu wasilah?
 Macam-macam Wasilah
 Berwasilah dengan Amal Shalih
 Kita Jauh Allah Jauh, Kita Dekat Allah Lebih Dekat
6. Jauhi Lingkaran Setan (Q.S. 5: 90)
 Tipu Daya Setan
 Sematkan Iman di Lubuk Hati Paling Dalam
 Bentengi Diri dengan Dzikrullah
7. Jangan Terjebak Keburukan yang Melenakan (Q.S. 5 : 100)
 Hati-Hati! Jalan Menuju Neraka Penuh dengan Kesenangan
(Syahwat)
 Sabar! Jalan Menuju Surga Memang Penuh dengan Sesuatu
yang Tidak Menyenangkan
8. Terpesona Anugerah Allah(Q.S. 7 : 69 )
 Kenanglah Anugerah Allah agar Kita Berbahagia!
 Rahmat-Nya Meluluhkan Murka-Nya
9. Perbanyak Mengingat Allah (Dzikir) (Q.S. 8 : 45)
 Dirikanlah Shalat untuk Mengingat-Ku!
 Meraih Ketenangan Batin dengan Dzikir
10. Jauhi Prasangka (Q.S. 49: 12)
 Selalu Berprasangka Baik
 Rencana Allah Pasti yang Terbaik
11. Mencintai Diri, Mencintai Sesama, Mencintai Allah (Q.S. 66: 6)
 Mencintai Diri, Bukan Egois
 Mencintai Sesama karena Allah
 Mencintai Allah, Puncak segala Cinta
12. Berbagi Kebahagiaan (Q.S. 93: 11)
 Syukur Tidak Sekedar Ucapan tanpa Tindakan Nyata
 Menjadi Kran Rizki bagi Orang Lain
 Nikmat Semakin Melimpah dengan Berbagi
13. Memaafkan, Sikap Mulia Seorang Mukmin (Q.S. 7: 199)
 Padamkan Bara Api dalam Diri
 Kucurkan Kesejukan Setiap Saat
14 . Berserah Diri Hanya kepada Allah (Q.S. 3: 159)
 Kita Semua Milik-Nya
 Kembali ke Haribaan-Nya dengan Khusnul Khotimah
Pesan Al-Qur’an untuk Menggapai Kebahagiaan

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak ingin hidup
bahagia. Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan dalam
hidupnya, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak. Malangnya, tidak
semua orang menempuh jalan yang benar untuk mencapai kebahagiaan.
Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan dapat dicapai
dengan kelimpahan materi. Maka, ia pun segera menyusun langkah
untuk menempuh jalan yang menurutnya dapat mengantarkan kepada
kebahagiaan. Bekerja keras siang dan malam, memeras keringat,
banting tulang, bahkan ibarat kata pepatah, kaki buat kepala, kepala
buat kaki, tak kenal waktu, terus-menerus berusaha mengumpulkan
pundi-pundi kekayaan, menumpuk materi, terkadang tanpa peduli halal-
haram, demi memenuhi obsesinya untuk dapat hidup bahagia.
Adapula orang yang mengandaikan bahwa kebahagiaan bisa
didapat dengan popularitas. Maka, ia pun segera menempuh berbagai
cara untuk mendapatakan popularitas, dengan harapan setelah
popularitas diraih, ia akan dengan mudah memperoleh kebahagian hidup.
Pun ada orang yang mengira kebahagiaan dapat terwujud jika ia
dapat menempati suatu posisi atau kedudukan tertentu. Tak ayal, dia
pun berjuang mati-matian untuk dapat menduduki suatu posisi atau
jabatan tertentu, dengan asumsi bahwa setelah impiannya untuk duduk
di „kursi‟ yang diidam-idamkannya selama ini terwujud, kebahagiaan
yang diharapkannya akan tercapai.
Namun, apakah setelah mereka mendapatkan materi yang
berlimpah, fasilitas hidup yang serba lengkap, popularitas, serta mampu
menduduki posisi strategis, atau dengan kata lain mereka mendapatkan
apa saja yang diinginkannya dengan modal materi, popularitas, serta
posisi yang dimilikinya, secara otomatis mereka merasakan kebahagiaan?
Jawabannya adalah: Belum tentu.
Ya, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka akan selalu
mengharapkan lebih dari apa yang diinginkannya. Keberlimpahan materi,
ketenaran atau popularitas, serta posisi strategis yang sudah ada
digenggamannya tidak otomatis menjadi jaminan bahwa mereka pasti
merasakan kebahagiaan atas apa yang telah diperolehnya.
Kondisi demikian kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Betapa banyak orang yang secara materi tidak kekurangan, bahkan
berlebih, tetapi mereka justru merasakan kegamangan hidup. Fisik
mereka sehat, tetapi jiwa mereka kosong dan rapuh. Tidak jarang juga
popularitas alih-alih membawa kebahagiaan bagi seseorang, tetapi justru
menjadi bumerang bagi orang tersebut. Popularitas mengantarkan
mereka pada kekecewaan. Beberapa kasus yang menimpa para public
figur, khususnya kalangan selebritis serta orang-orang top dunia bisa
menjadi pelajaran. Banyak di antara mereka yang mengakhiri hidupnya
dengan cara-cara tragis, justru di saat mereka tengah berada di puncak
popularitas.
Demikian halnya dengan kedudukan serta jabatan yang dimiliki
seseorang. Seringkali jabatan serta posisi seseorang justru membawanya
pada kehidupan yang mengenaskan. Hal ini begitu jelas terlihat pada
kondisi para pejabat di negeri ini. Dengan kewenangan yang dimiliknya,
mereka cenderung tergoda untuk melakukan hal-hal yang melanggar
aturan-aturan hukum dan agama. Korupsi, misalnya. Berapa banyak
pejabat di negeri ini yang akhirnya mendekam di balik jeruji besi karena
ulahnya menyelewengkan kewenangan yang dimilikinya.
Dari beberapa kenyataan di atas, jelaslah bahwa kelimpahan
materi, popularitas, serta kedudukan dan jabatan yang dimiliki seseorang
tidak menjadi jaminan kebahagiaan bagi orang tersebut. Mereka justru
terus diliputi kecemasan. Mereka seolah tidak tahu arah dan tujuan hidup
mereka sesungguhnya.
Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-
manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan
hidup ini.
Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi
ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai
“manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna
(the meaningless life).
Fenomena semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert
Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai „one
dimension man‟, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia
masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo
needs).
Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan
guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan
ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman
spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari
esok yang lebih cerah.
Husain Mazhahiri dalam bukunya berjudul „Awamil as-Saytharah „ala
al-Gharaiz fi Hayat al-Insan menjelaskan bahwa secara fitrah, manusia
terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah pendapat Marcuse
tentang „manusia satu dimensi‟.
Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang terdapat
dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam
dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani,
hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti
(kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa
komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang,
seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi
ini disebut juga sebagai dimensi hayawani. Lantas, bagaimanakah
memadukan kedua dimensi ini sehingga dapat berjalan secara serasi dan
harmonis, yang pada gilirannya mengantarkan seseorang pada
pencapaian kebahagiaan, tidak hanya bersifat duniawi (sementara) tetapi
juga bersifat ukhrawi (hakiki, abadi, kekal)?
Al-Qur‟an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam
pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi
hayawani. Al-Quran memandu kita untuk dapat meraih kebahagiaan
hakiki (dunia-akhirat).
Dalam sejumlah ayat, Al-Qur‟an memberikan tuntunan tentang cara
menggapai kebahagiaan. Bahkan, kalau dikaji lebih jauh, tujuan akhir
dari setiap perintah Allah Swt. adalah supaya kalian berbahagia
(la‟allakum tuflihūna).
Dalam Al-Qur‟an, kalimat la‟allakum tuflihūna yang berarti „supaya
kalian berbahagia‟ disebut sebanyak 11 kali, yaitu pada: Q.S. Al-
Baqarah: 189, Q.S. Ali „Imran: 130, 200, Q.S. Al-Maidah: 35, 90, 100,
Q.S. Al-A‟raf: 69, Q.S. Al-Anfal: 45, Q.S. Al-Hajj: 77, Q.S. An-Nur: 31,
dan Q.S. Al-Jumu‟ah: 10.
Dari penelusuran tentang ayat-ayat tersebut dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa semua perintah Allah dimaksudkan agar kita hidup
bahagia.
Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru
melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan
diri dengan beribadah kepada-Nya, yang akan mengantar mereka pada
kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Mereka justru dipengaruhi dan dikuasai
oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam
kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas
mengecam para „budak nafsu‟, yaitu mereka yang menuhankan hawa
nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang
menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah
dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang
ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)
Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian
besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang
mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur‟an jauh-jauh
hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah
sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah
Saw juga menegaskan, “Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”
Al-Qur‟an menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah
persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan
akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup
bahagia di dalamnya.
Dalam buku ini, penulis akan menguraikan lebih lanjut mengenai
pesan Al-Qur‟an melalui ayat-ayatnya tentang cara menggapai
kebahagiaan hakiki.
Meniti Jalan Takwa

‫… واتقىا هللا لعلّكم تفلحىن‬


…Dan bertakwalah kepada Allah agar kalian berbahagia
(Q.S. Al-Baqarah: 189)

Takwa, secara bahasa biasa diartikan dengan al-wiqayah (menjaga),


al-shiyanah (memelihara) dan al-hadzru (hati-hati). Adapun secara
istilah, takwa biasa dimaknai dengan kepatuhan menjalankan segala
perintah dan seruan Allah, serta kesabaran dan ketabahan dalam
menghindari dan menjauhi segala larangan-Nya.
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab ditanya oleh
seseorang tentang makna takwa. Umar balik bertanya, “apakah kamu
pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri?”. “Ya, pernah”, jawab
si penanya. “Lalu, apa yang kamu lakukan?”, tanya Umar. “Tentu, saya
akan melewatinya dengan penuh hati-hati”, jawab si penanya. “Itulah
takwa”, tegas Umar.
Dialog antara umar dengan seseorang yang diungkap oleh Al-
Syaukani dalam kitab Fathul Qadir di atas menggambarkan betapa terjal
dan berlikunya jalan takwa. Jalan penuh hambatan dan rintangan, yang
tidak semua orang mau dan bersedia melaluinya. Hanya manusia-
manusia pilihan sajalah yang tetap teguh dan sabar melewati jalan
takwa. Mereka inilah orang-orang yang tahu betul tujuan hidup yang
sesungguhnya. Karena hanya dengan melalui jalan takwalah, orang akan
mendapat keselamatan dan kebahagiaan hakiki.
Takwa, menurut pendapat mayoritas ulama, merupakan perpaduan
antara keyakinan (akidah), ritual (ibadah), dan moral (akhlak). Takwa
merupakan sinergi ketiga faktor tersebut dalam pribadi seseorang. Ketika
salah satu faktor hilang dari diri seseorang, maka hilang pula nilai takwa
dalam dirinya.
Al-Quran mengungkapkan beberapa ciri orang yang bertakwa.
Antara lain disebutkan dalam beberapa ayat di bawah ini :

 Q.S. Al-Baqarah: 2-5 :


“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung.”

Ayat ini menyebut beberapa ciri orang bertakwa, yaitu: 1. Iman


kepada yang gaib; 2. Mendirikan shalat; 3. Menafkahkan sebagian rizki;
4. Iman kepada Al-Qur‟an dan kitab sebelum Al-Qur‟an (Zabur, Taurat
dan Injil); 5. Yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

 Q.S. Ali „Imran: 133-135 :


““Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa. “(yaitu) Orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan”. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.”
Ciri-ciri orang yang bertakwa menurut keterangan ayat di atas
adalah: 1. Orang yang selalu bersedekah baik dalam kondisi lapang
ataupun sempit; 2. Mampu menahan amarah; 3. Selalu membuka pintu
maaf bagi orang lain; 4. Apabila berbuat dosa segera mengingat Allah
dan memohon ampun kepada-Nya; 5. Tidak meneruskan perbuatan
dosanya.

 Q.S. Al-Anbiya: 48-49 :


“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa dan Harun,
Furqan (Kitab Taurat) dan penerangan serta pelajaran bagi orang-
orang yang bertakwa. (yaitu) Orang-orang yang takut (azab)
Tuhannya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa
takut akan (tibanya) hari Kiamat.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa di antara ciri orang yang


bertakwa dalah: 1. Takut (azab) Allah, meski merika tidak melihat Allah;
2. Takut akan datangnya hari Kiamat.
Ayat-ayat di atas menunjukkan karakter khas orang-orang yang
bertakwa (muttaqin). Dari beberapa keterangan ayat di atas, setidaknya
ada dua hal mendasar yang bisa dijadikan parameter ketakwaan
seseorang, yaitu: Pertama, hubungan vertikal (hablun minallah), yaitu
interaksi seseorang dengan Allah melalui ibadah ritual; Kedua, hubungan
horisontal (hablun minannas), yaitu interaksi sosial seseorang dengan
orang lain melalui kehidupan bermasyarakat.
Hubungan vertikal (hablun minallah) ditunjukkan dengan adanya
perintah untuk mendirikan shalat, bersegera untuk memohon ampun
(taubat) atas segala dosa, takut akan azab Allah, beriman kepada yang
gaib, serta yakin akan adanya akhirat.
Seseorang yang mematuhi semua perintah Allah tersebut,
melaksanakannya dengan sepenuh hati, tulus dan ikhlas, maka dia
memiliki salah satu karakter dari seorang muttaqin, yakni yang berkaitan
dengan hablun minallah.
Adapun karakter berikutnya dari seorang muttaqin adalah
terjalinnya hubungan yang harmonis dengan sesama manusia (hablun
minannas). Hal ini ditunjukkan oleh Al-Qur‟an dengan menyebut perintah
untuk berbagi dengan sesama, baik dalam kondisi lapang (diberi
kelimpahan rizki) ataupun sempit (dihimpit persoalan ekonomi), mampu
meredam amarah, selalu membuka pintu maaf bagi orang lain, serta
berbuat baik terhadap sesama.
Apabila kedua karakter tersebut, yakni hablun minallah dan hablun
minannas dapat berjalan dengan baik dalam diri seseorang, maka dia
layak disebut sebagai seorang yang bertakwa.

Teguh Menjalankan Syariat, Sabar Menjauhi Maksiat


Dalam pengertiannya yang umum, takwa meniscayakan dua hal
pokok, yaitu: Pertama, melaksanakan perintah Allah. Kedua, menjauhi
larangan-Nya.
Lebih lanjut, takwa dapat dimaknai dengan sikap konsisten, teguh
dalam menjalankan syariat, serta tabah dan sabar dalam menghindari
serta menjauhi maksiat kepada Allah.
Pribadi seorang muttaqin akan selalu setia melebur hati dan
jasadnya ke dalam lautan takwa yang luasnya tak bertepi. Dia akan
selalu mengisi setiap desah nafasnya dengan sentuhan-sentuhan takwa.
Sebab, dia yakin betul ( haqqul yaqin ) bahwa hanya dengan takwa inilah
dia akan memperoleh kebahagiaan hakiki di akherat yang abadi nanti
serta kebahagiaan hidup di dunia fana ini.
Takwa yang menghunjam di dalam hati sanubari seseorang, akan
menjadikannya teguh dalam menjalankan segala perintah Allah. Betapa
pun berat dan sulitnya perintah tersebut. Dia akan memperhatikan betul
seruan-Nya. Dia yakin, bahwa dalam setiap perintah yang Allah serukan
pasti ada kebaikan serta hikmah agung yang tersimpan di dalamnya.
Tidak ada sedikit pun keraguan di dalam hatinya untuk menjalankan
perintah Allah. Di saat orang lain enggan melaksanakan perintah-Nya, dia
justru bersemangat menjalankannya. Di saat yang lain bermalas-malasan
memenuhi seruan-Nya, dia justru sangat rajin untuk menyambut
panggilan-Nya. Singkatnya, orang yang bertakwa selalu bergairah dalam
menjalankan syariat Allah.
Selain teguh pendirian serta setia menajalankan perintah Allah,
orang yang bertakwa juga tabah dan sabar menjauhi segala larangan-
Nya. Dia sangat hati-hati ketika melangkahkan kaki menapaki kehidupan
ini. Pertanyaan yang selalu bergelayut dalam dirinya setiap kali
melakukan suatu aktivitas adalah, apakah Allah ridla atau tidak dengan
apa yang dilakukannya? Apakah bertentangan dengan ajaran Allah dan
Rasul-Nya ataukah tidak? Dia akan memperhatikan betul masalah halal,
haram, mubah, makruh, atau syubhat.
Orang yang bertakwa akan menjaga dirinya sekuat tenaga agar
tidak sampai terjerumus ke lembah dosa. Dia akan membentengi dirinya
untuk tidak terjerembab ke dalam kubangan lumpur maksiat kepada
Allah. Dia akan berusaha semaksimal mungkin agar jangan sampai aliran
darah dalam tubuhnya dinodai oleh hal-hal yang diharamkan Allah. Dia
akan menjaga makanan dan minumannya dari barang haram. Dia juga
akan sangat berhati-hati dalam mencari rizki, sehingga harta yang
dimilikinya tidak tercampuri oleh sesuatu yang diharamkan Allah. Dia
ikhlas dan sabar berpenghasilan sedikit asal diperoleh dengan cara yang
halal, daripada berkelimpahan harta tetapi didapat dengan cara haram.
Baginya, keberkahan hidup dengan memegang teguh ajaran Allah jauh
lebih mulia, daripada hidup berlimpah materi tetapi jauh dari Allah.
Intinya, karakter seorang yang bertakwa (muttaqin) adalah setia
menjalankan syariat, betapa pun berat dan sulitnya pelaksanaan syariat
itu, serta sabar dan tabah menjauhi maksiat atau segala yang dilarang
Allah.
***
Kisah berikut akan menunjukkan kepada kita betapa menjaga sikap
takwa itu tidak mudah. Tetapi, balasan takwa sungguh luar biasa. Tidak
hanya di akhirat kelak, bahkan ketika di dunia pun Allah akan
menunjukkan kuasa-Nya, memberi tempat yang mulia bagi hamba-
hamba-Nya yang bertakwa.
Adalah Tsabit bin Ibrahim, seorang lelaki sholih yang begitu gigih
menjaga sikap takwa dalam dirinya. Suatu ketika, ia berjalan di Kota
Kufah. Di tengah perjalanan yang terik, tiba-tiba ia melihat sebiji buah
apel terjatuh dari pohon tepat di luar pagar kebun buah-buahan yang
tengah dilewatinya. Melihat buah apel yang ranum di tengah panas yang
menyengat, ditambah lagi rasa lapar dan dahaga, maka muncul
keinginan dalam dirinya untuk memakan buah apel tersebut. Tanpa pikir
panjang ia pun memungut buah apel tersebut dan memakannya. Baru
setengah buah apel itu dimakan, ia segera tersadar bahwa buah itu
bukan miliknya, dan ia belum mendapat ijin dari pemiliknya.
Menyadari kesalahannya tersebut, ia pun segera masuk ke dalam
kebun untuk menemui sang pemilik kebun. Di dalam kebun ia bertemu
seorang laki-laki. Ia lalu berkata, “Maaf Tuan, saya sudah memakan
setengah buah apel ini yang saya temukan di luar pagar kebun. Saya
mohon Tuan berkenan untuk menghalalkannya untuk saya”. “Maaf, saya
bukan pemilik kebun ini. Saya hanyalah penjaga kebun. Pemilik kebun ini
tinggal jauh dari sini,” jawab tukang kebun tadi. Tsabit pun bertanya lagi,
“Lalu di mana rumah pemilik kebun ini, saya harus menemuinya karena
telah memakan buah apel yang tidak halal bagi saya, karena tanpa
ijinnya.” Rasulullah Saw pernah mengingatkan: “Barangsiapa yang
tubuhnya tumbuh dari barang yang haram, maka ia lebih layak menjadi
umpan api neraka”.
“Perjalanan dari tempat ini ke rumah pemilik kebun memakan waktu
sehari semalam,” tegas si penjaga kebun. “Baiklah kalau begitu. Saya
tetap akan menemuinya,” ungkap Tsabit.
Setibanya di rumah sang pemilik kebun, Tsabit mengucapkan salam
dan memperkenalkan diri, “Perkenalkan Tuan, saya Tsabit bin Ibrahim.
Tujuan saya ke sini untuk meminta tuan menghalalkan buah apel yang
sudah saya makan separuh ini, yang saya temukan di luar pagar kebun
buah Tuan”.
Sang pemilik kebun menatap erat wajah Tsabit, kemudian berkata,
“Saya tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit
merasa cemas dengan jawaban sang pemilik kebun, karena ia khawatir
tidak dapat memenuhi permintaannya. Ia pun segera bertanya, “Apa
syaratnya Tuan?” “Kau harus menikahi putriku!” jawab sang pemilik
kebun. Tsabit pun tercengang dengan jawaban sang pemilik kebun.
Belum sempat Tsabit bertanya lebih lanjut, pemilik kebun melanjutkan
ucapannya, “Sebelum engkau menikahinya, maka perlu diketahui bahwa
putriku itu mempunyai beberapa kekurangan. Dia itu seorang yang buta,
bisu dan tuli. Lebih dari itu, dia juga seorang yang lumpuh.”
Tsabit bin Ibrahim benar-benar shock mendapati keterangan sang
pemilik kebun. Dalam batinnya ia bergumam, apakah perempuan seperti
itu layak dijadikan sebagai istri, hanya gara-gara separuh buah apel yang
tidak dihalalkan baginya?
Tetapi, ketakwaannya kepada Allah mampu menepis segala
keraguan dalam dirinya. Ia dengan manta menjawab, “Baik, saya siap
menikahi putri anda demi mengharap ridla Allah.”
Akhirnya, pernikahan itu pun dilangsungkan. Setelah acara usai.
Tsabit dipersilakan memasuki kamar pengantin untuk menemui istrinya.
Meski Tsabit tahu bahwa istrinya tuli dan bisu, ia tetap mengucapkan
salam sebelum masuk kamar. Ia berpendapat bahwa meski istrinya tuli
dan bisu, tetapi bukankah malaikat yang berada di dalam rumah tidak
tuli dan bisu. Dia pun mengucapkan, “Assalamu‟alaikum.” Tidak
disangka, dari dalam kamar istrinya menjawab salamnya,
“Wa‟alaikumussalam.” Ketika Tsabit hendak masuk ke dalam kamar,
istrinya mengulurkan tangan dan menyambutnya dengan hangat. Tsabit
pun terkejut menyaksikan kenyataan ini. “Bukankah kata ayahnya ia itu
tuli, bisu, buta dan lumpuh? Kenpa dia bisa menjawab salam dengan
baik, dan juga bisa mengulurkan tangan menyambut kedatangannya
dengan ramah?” gumamnya dalam hati.
Setelah duduk di dekat istrinya, Tsabit pun bertanya, “Mengapa
ayahmu mengatakan bahwa kamu itu buta, tuli, bisu dan lumpuh?”
“Ayahku benar. Ia mengatakan bahwa aku buta, karena selama ini aku
tidak pernah melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Aku juga bisu,
karena aku tidak pernah mengucapkan kata-kata yang tidak diridlai
Allah. Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku
pun tuli, karena aku tidak pernah mendengar sesuatu yang dilarang
Allah, dan aku juga lumpuh, karena aku tidak pernah melangkahkan
kakiku menuju tempat-tempat yang dimurkai Allah,” jawab perempuan
yang kini telah sah menjadi istrinya tersebut.
Tsabit bin Ibrahim begitu bahagia mendengar penuturan istrinya. Ia
telah mendapat pendamping hidup seorang perempuan sholihah yang
selalu menjaga diri dan kehormatannya.
Kehidupan rumah tangga Tsabit dan istrinya yang cantik dan
sholihah itu penuh kebahagiaan dan keberkahan. Dari pernikahan
tersebut, mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya mampu
menerangi dan mencerahkan umat manusia hingga saat ini. Dialah Imam
Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit. Salah seorang imam madzhab yang
kedalaman serta keluasan ilmunya mampu menebarkan hikmah ke
seluruh penjuru dunia.

Menembus Batas Ruang dan Waktu


Suatu ketika Rasulullah Saw. pernah berpesan, “Bertakwalah kamu
di mana pun kamu berada, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan
perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia
dengan dengan budi pekerti (akhlak) yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis di atas menegaskan bahwa perintah takwa berlaku secara
umum, tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Takwa tidak
dikhususkan pada waktu-waktu tertentu. Pun, takwa juga tidak
dianjurkan hanya pada tempat-tempat tertentu. Dengan kalimat „di mana
pun kamu berada‟, artinya dalam kondisi apa pun, di tempat mana pun,
takwa harus selalu menyertai kita.
Sebuah ironi yang sering tampak dalam kehidupan kita adalah,
orang-orang, atau bahkan mungkin diri kita sendiri kelihatan begitu saleh
ketika berada di masjid, musholla, majelis taklim, serta tempat-tempat
ibadah dan majelis ilmu lainnya. Mereka atau kita tampak khusyuk
menjalankan ibadah, serius mendengarkan ceramah, bahkan sering
mengajukan pertanyaan seputar masalah keagamaan kepada para kyai
dan ustadz. Seolah-olah mereka atau kita adalah para hamba Allah yang
betul-betul tekun dan taat menjalankan ajaran agama.
Kenyataan tersebut seringkali berbanding terbalik 1800 ketika
berada di luar masjid, musholla, majelis taklim atau tempat ibadah dan
majelis ilmu lainnya. Perhatikan sikap dan perilaku mereka, perhatikan
pula sikap dan perilaku kita sendiri ketika berada di kantor, di tempat
kerja, di pasar, di rumah, di jalan. Apakah kita selalu menyertakan takwa
dalam diri kita ketika berada di tempat-tempat tersebut? Ketika di
kantor, misalnya, apakah kita akan tetap memelihara kejujuran, ketika
diberi amanat memegang uang kas kantor dalam jumlah yang sangat
besar, sementara kondisi ekonomi keluarga kita sedang karut marut?
Sebagai pedagang, misalnya, apakah kita akan tetap berlaku jujur
kepada para pembeli dengan tidak mengurangi timbangan atau takaran,
ata berbohong, untuk mendapatkan keuntungan?
Sebagai penegak hukum, misalnya, apakah kita akan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih dekat kepada nilai
ketakwaan, ataukah kita akan buang nilai-nilai keadilan ke dalam tong
sampah, karena diiming-imingi sejumlah uang yang sangat besar?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali kepada diri
kita masing-masing.
Kenyataan yang sering kita jumpai adalah bahwa kesalehan ritual
yang tampak ketika seseorang berada di tempat-tempat ibadah,
seringkali hilang begitu saja segera setelah dia meninggalkan tempat-
tempat tersebut.
Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak
para pejabat, yang kelihatan rajin menjalankan perintah agama; shalat,
puasa, zakat, bahkan haji berkali-kali, tetapi korupsi tetap dijalankan.
Para pedagang, demi mengeruk keuntungan berlipat, tidak jarang
berbuat curang kepada para pembeli, yaitu dengan mengurangi
timbangan atau takaran, menipu pembeli, bahkan mengatakan sumpah
palsu atas nama Allah.
Pertanyaannya, di manakah mereka meletakkan ketakwaan
mereka? Tidakkah mereka ingat ancaman Allah dalam salah satu firman-
Nya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan
berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap
apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. Yasin: 65)
Tidakkah mereka perhatikan larangan Allah, “Wahai orang –orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar)…” (Q.S. An-Nisa: 28)
Apakah mereka tidak takut dengan ancaman Allah, “Celakalah bagi
orang-orang yang curang.” (Q.S. Al-Muthaffifin: 1)
Tampaknya, banyak di antara kita yang tidak menyertakan sikap
takwa ketika berada di luar tempat-tempat ibadah. Banyak di antara kita
yang menanggalkan dan meninggalkan sikap takwa dengan
meletakkannya di masjid, musholla, atau majelis taklim. Seringkali takwa
tidak pernah diikutkan ketika kita berada di tempat kerja, di kantor, di
pasar, di jalan, bahkan di rumah.
Padahal, jelas seperti disebutkan dalam hadis di atas, bahwa sikap
takwa harus selalu menyertai kita di mana pun kita berada.
Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab berjalan
sendirian menyusuri padang rumput. Dari kejauhan terlihat sekawanan
kambing dengan seorang penggembala di dekatnya. Umar menghampiri
penggembala tersebut dengan tujuan ingin menguji seberapa besar
keimanan sang penggembala itu.
Beberapa saat kemudian, terjadilah dialog antara Umar dengan
sang penggembala. “Wahai anak muda, bolehkah saya membeli seekor
kambing yang sedang kau gembalakan ini?” tanya Umar.
“Maaf Tuan, kambing-kambing ini milik majikan saya. Silakan
Tuan bertemu langsung dengan majikan saya jika ingin membeli kambing
tersebut. Saya siap mengantar Tuan menemui majikan saya”, jawab si
penggembala.
“Oh, tidak usah, saya ingin beli sekarang. Jumlah kambingya kan
cukup banyak. Bagaimana kalau saya beli satu sekor, terus uangnya buat
kamu. Bilang saja sama majikan kamu kalau ada srigala yang memangsa
seekor kambing miliknya. Lagian, majikan kamu kan tidak tahu”, bujuk
Umar.
“Maaf Tuan, memang majikan saya tidak tahu, tapi di mana
Allah? Apakah Dia tidak melihatnya. Saya takut berbuat dosa. Karena
Allah Maha Melihat.” Jawab si penggembala dengan tegas.
Umar pun takjub dengan tingkat ketakwaan si penggembala
tersebut.
Kisah ketakwaan si penggembala ini selayaknya menyadarkan
kita. Tidak jarang kita merasa sudah hebat dalam beribadah. Rajin
berjamaah di masjid, tidak pernah lepas menjalankan puasa sunnah,
sering bersedekah, selalu bangun di tengah malam untuk qiyamul lail,
predikat haji pun sudah di sandang. Tetapi ketika menjalani rutinitas
duniawi, kita sering lupa dengan larangan Allah. Kejahatan publik seperti
korupsi, memakan hak orang lain, bertindak sewenang-wenang,
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan,
seringkali menjadi hal yang biasa dan wajar-wajar saja.
Kita yang mungkin saat ini punya status sosial yang tinggi di
tengah masyarakat, memiliki kekayaan yang lebih dari yang lain,
pendidikan yang cukup baik, serta berasal dari keluarga baik-baik,
seharusnya malu dengan ketakwaan yang ditunjukkan oleh si
penggembala tadi. Dia begitu teguh menjaga iman dan takwanya kepada
Allah Swt. Dia selalu merasa diawasi oleh Allah. Dia tidak silau dengan
iming-iming materi yang ditawarkan kepadanya. Dia jaga betul amanat
yang diembankan kepadanya. Sikap iman dan takwanya mampu
menghancurkan nafsu duniawi yang hadir di hadapannya.
Inilah sikap takwa yang sesungguhnya… Takwa dalam segala
kondisi, takwa yang mampu menembus batas ruang dan waktu.

Prestasi Puncak Seorang Hamba


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Melalui ayat ini, Allah Swt. menegaskan bahwa kemuliaan seseorang


di hadapan Allah bukan ditentukan oleh nasab atau jalur keturunan,
kekayaan, kedudukan atau status sosial, pangkat, serta jabatan yang
disandang oleh seseorang, melainkan ditentukan oleh kadar ketakwaan
yang dimilikinya.
Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya mengingatkan,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu dan hartamu, akan tetapi
melihat hati dan perbuatanmu”. (HR. Ath-Thabrani)
Al-Qurthubi, ketika menjelaskan hadis tersebut dalam tafsirnya,
mengatakan bahwa kita tidak boleh menghukumi atau menilai seseorang
dari tampilan luarnya. Karena itu hanyalah yang tampak di permukaan
saja. Sedangkan hakekat seseorang adalah apa yang tertanam dalam
batinnya. Bisa jadi, orang yang kelihatannya baik secara lahiriah, tetapi
justru memiliki sifat-sifat buruk atau niat jahat dalam hatinya. Pun
sebaliknya, seseorang yang tampak buruk tampilan luarnya, bisa jadi
sangat baik hatinya, serta mulia akhlaknya.
Penampilan luar memang seringkali menipu kita. Kita mudah saja
yakin dan percaya kepada seseorang yang berpenampilan parlente,
ucapannya meyakinkan, pakaiannya serba bermerek. Padahal belum
tentu dia punya maksud baik. Sementara tidak jarang kita mengacuhkan
dan menganggap remeh orang yang berpenampilan sederhana bahkan
terkesan asal-asalan, padahal bisa jadi dia memang orang baik yang
betul-betul tulus serta berbudi pekerti luhur.
Hadis di atas bisa menjadi acuan bagi kita agar tidak mudah menilai
seesorang hanya karena penampilan luarnya saja. Dalam hadis tersebut
ditegaskan bahwa Allah tidak menilai seseorang dari rupa atau fisik serta
hartanya, tetapi oleh menilai seseorang dari hati dan amal (perbuatan)
nya. Allah Mahamengetahui, baik yang terlihat jelas ataupun yang
tersembunyi, yang terang ataupun yang samar, yang lahir ataupun yang
batin. Allah menilai seseorang karena nilai ketakwaan yang dimilikinya.
Takwa merupakan simpul dari puncak kesadaran seorang hamba di
hadapan Allah Swt. Kesadaran itu selalu memerhatikan dan
memperhitungkan pengawasan Tuhan Yang Mahahadir (Mahadekat)
berkenaan dengan tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Karena
kesadaran itu melalui kebersihan hatinya yang laksana sinar terang
disebabkan ketakwaannya, seseorang memperoleh bimbingan Ilahi ke
arah jalan yang diridhai Allah dalam menempuh hidup ini.
Takwa adalah tingkatan tertinggi, prestasi puncak seorang hamba di
hadapan Allah Swt.
Sabar

‫يبايّهب الّرين امنىا اصبسوا وصببسوا وزابطىا واتّقىاهللا لعلّكم تفلحىن‬


Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan saling menyabarkan,
perkuat persatuanmu dan bertakwalah kepada Allah
agar kalian berbahagia.
(Q.S. Ali Imran: 200)

Ada sebuah ungkapan bijak yang cukup populer di kalangan


santri. Ungkapan tersebut meskipun sangat singkat, tetapi mengandung
makna yang sangat dalam. “Man shabara dhafira”, demikian bunyi
kalimat bijak tersebut. “Barangsiapa bersabar akan beruntung”, begitu
kira-kira arti harfiyahnya.
Sebuah ungkapan singkat namun sarat makna jika kita
renungkan. Ya, sabar adalah salah satu syarat bagi seseorang untuk
mencapai keberuntungan dan kebahagiaan. Seseorang yang ingin
mencapai keberhasilan, menggapai kebahagiaan, maka harus menghiasi
dirinya dengan sikap sabar.
Sabar adalah sifat para nabi dan rasul. Sabar adalah sifat orang-
orang mulia nan agung. Sabar adalah sifat seorang muslim dan mukmin
sejati. “Sabar adalah separuh keimanan”, demikian Nabi Saw
menyebutkan dalam salah satu sabdanya.
Sabar, sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, tetapi begitu
sulit untuk dikerjakan. Hanya orang-orang pilihan, yaitu mereka yang
memahami nilai mulia, serta hasil istimewa dari sikap sabar inilah yang
mampu melakukannya.
Faktor usia, pengalaman, tingkat pendidikan, bahkan pemahaman
keagamaan tidak menjadi jaminan bagi seseorang untuk bisa
mempraktikkan sikap sabar ini dengan sempurna. Dibutuhkan energi
ekstra bagi seseorang untuk bisa bersikap sabar. Kedewasaan berpikir
dan bertindak dalam menyikapi masalah adalah syarat utama seseorang
untuk bisa bersabar.
Pengendalian Diri
Sabar menurut bahasa adalah menahan atau mengendalikan (diri).
Adapun secara syar‟i, maknanya adalah menahan diri dalam tiga
kondisi: Pertama, taat kepada Allah Swt. Kedua, menahan diri dari
perkara-perkara yang haram. Ketiga, menahan diri terhadap takdir Allah
Swt yang menyakitkan.
Berikut penulis uraikan ketiga kondisi kesabaran tersebut secara
singkat. (Bahasan lebih lengkap tentang tema sabar ini sudah penulis
uraikan dalam satu bab khusus di buku penulis berjudul “Agar Allah
Selalu Menolongmu! Sehingga Kesedihan Segera Berlalu, Sehingga
Kesulitan Tak Lagi Menghantuimu”).
Pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah Swt. Dalam sejumlah
ayat ditegaskan perintah untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Perintah
mengerjakan shalat, menjalankan puasa, membayar zakat, serta
menunaikan ibadah haji, merupakan beberapa perintah untuk taat
kepada Allah. Masih banyak lagi ayat-ayat yang memerintahkan beragam
amaliyah (ibadah) serta sikap yang harus dijalankan seorang muslim dan
mukmin dalam menjalani hidup ini.
Semua bentuk ibadah yang disebut di atas, yang akan menunjukkan
tingkat ketaatan seseorang sangat membutuhkan kesabaran. Shalat,
misalnya. Untuk dapat menjalankan ibadah yang satu ini, ada beberapa
hal yang harus dipenuhi. Diantaranya, seseorang harus dalam kondisi
suci, baik dari hadas kecil maupun besar. Dan untuk bisa suci, seseorang
harus berwudlu atau mandi besar (wajib) dahulu. Ini syarat pra
pelaksanaan. Pada saat pelaksanaan ibadah shalat, tentu ada aturan
main atau kaifiyyat (tata cara) shalat yang sesuai dengan tuntunan
rasulullah saw. Kita tidak bisa sembarangan melaksanakan shalat tanpa
ilmu tentang shalat yang memadai. Begitu pula halnya pada saat selesai
shalat, ada amalan-amalan sunnah yang diajarkan rasulullah. Kesemua
rangkaian ibadah shalat tersebut tentu menuntut kesabaran.
Ya, kesabaran menyediakan waktu untuk melaksanakan shalat,
padahal mungkin seseorang tengah dikejar-kejar waktu untuk suatu
urusan tertentu. Kesabaran melalui tahap demi tahap rangkaian shalat,
baik sebelum, pada saat pelaksanaan dan sesudah shalat. Dan yang
terpenting kesabaran dalam menerjemahkan alias mempraktikkan
aktivitas shalat dalam kehidupan sehari-hari.
Ibadah lainnya yang menuntut kesabaran tingkat tinggi adalah
puasa. Ya, puasa adalah ibadah fardlu yang sarat dengan nilai-nilai
kesabaran. Betapa tidak. Sejak terbit fajar hingga terbenam matahari,
kita tidak diperkenankan makan, minum, berhubungan suami istri dan
segala yang membatalkan puasa.
Tidak jarang, di saat pelaksanaan ibadah puasa, kondisi cuaca
begitu terik menyengat, sementara aktivitas tetap harus berjalan. Di
sinilah kesabaran dalam ketaatan benar-benar diuji. Pengendalian diri
adalah kata kuncinya.
Demikian juga halnya dengan ibadah lainnya, yaitu zakat dan haji.
Keduanya membutuhkan kesabaran. Kesabaran untuk memberikan
sebagian rizki yang telah kita dapat atas karunia Allah kepada sesama
yang membutuhkan, serta kesabaran untuk mengeluarkan dana dalam
jumlah besar untuk menunaikan ibadah haji, disamping kesabaran atas
kelelahan fisik yang luar biasa dalam pelaksanaan ibadah haji di tanah
suci.
Inilah kondisi sabar yang pertama, yakni sabar dalam ketaatan atas
perintah Allah Swt.
Kedua, sabar menahan diri dari perkara-perkara yang haram.
Kemahamurahan Allah ditunjukkan dalam rangkaian ayat-ayat suci al-
Qur‟an. Allah sedikit sekali menyebut ayat-ayat yang berisi larangan
dalam al-Qur‟an. Lebih banyak ayat yang berisi tentang kebolehan
ketimbang larangan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya lebih
banyak hal yang dapat mengantar seseorang kepada kebahagiaan,
daripada yang menjerumuskan seseorang kepada jurang kesengsaraan.
Ironisnya, justru perkara-perkara yang dilarang oleh Allahlah yang
lebih banyak dilakukan manusia. Hal ini disebabkan karena manusia
seringkali tidak mampu mengendalikan diri dari godaan iblis. Padahal,
jelas-jelas iblis sudah berikrar dihadapan Allah untuk menjerumuskan
manusia dan menyeretnya ke dalam neraka.
(Iblis) menjawab : “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti
aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian
pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan
dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur.” (Q.S. Al-A‟raf: 16-17)
Uraian ayat tersebut menegaskan bahwa iblis sudah berjanji di
hadapan Allah untuk selalu menjerumuskan manusia ke dalam jurang
kesengsaraan (neraka).
Iblis, dengan beragam cara akan menggoda manusia. Dia akan
menjadikan indah semua hal yang dilarang Allah. Dia akan menghiasi
perbuatan haram menjadi kesenangan dan kenikmatan yang menipu. Di
sisi lain, dia akan menghembuskan bisikan-bisikan keraguan ke dalam
hati manusia, ketika mereka hendak menjalankan perintah Allah atau
melakukan kebaikan. Di sinilah tingkat ketakwaan seseorang diuji.
Apakah mereka akan bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang
dilarang dan diharamkan Allah, ataukah justru mereka akan lupa diri dan
tidak mampu mengendalikan diri mereka sehingga jatuh dalam
kesesatan? Di sinilah, sekali lagi kesabaran seseorang diuji. Inilah tingkat
kesabaran kedua, yaitu sabar menahan diri dari hal-hal yang haram.
Ketiga, sabar menahan diri dari takdir Allah yang menyakitkan.
Salah satu cara Allah untuk mengetahui tingkat keimanan seseorang
adalah dengan mengujinya melalui beragam bentuk ujian dan cobaan.
Hal ini menjadi sebuah konsekuensi atas ikrar kita yang menyatakan diri
sebagai seorang mukmin.
Dalam Q.S. Al-Ankabut ayat 2 Allah Swt menegaskan, “Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan,
“Kami telah beriman”, sementara mereka tidak diuji lagi?”
Dalam ayat lain disebutkan, “Dan sungguh akan Kami beri ujian
kepadamu, dengan suatu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang
yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
berkata: „Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‟uun‟ (Sesungguhnya kami ini
milik Allah, dan kepada-Nyalah kami kembali)”. (Q.S. Al-Baqarah: 155)
Ujian yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah cara
Allah untuk melihat siapa diantara hamba-hamba-Nya yang tetap teguh,
sabar dan ikhlas penuh keimanan dan ketakwaan dalam menghadapi
segala cobaan yang datang kepadanya, serta siapa yang tidak sabar dan
mudah putus asa ketika ditimpa berbagai ujian dan cobaan dari-Nya.

Tidak ada yang Instan, Semua Butuh Proses


Salah satu sifat buruk manusia adalah tergesa-gesa, berharap
segala keinginannya terwujud seketika. Hal ini seperti ditegaskan dalam
Q.S. Al-Isra‟ : 11, “Dan manusia mendo‟a untuk kejahatan sebagaimana
ia mendo‟a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. ”
(QS. al-Isra‟: 11)
Ayat di atas menegaskan bahwa pada dasarnya manusia itu
memiliki sifat tergesa-gesa. Dia selalu ingin segala yang dicita-citakannya
segera terwujud. Ketika berdoa memohon suatu kebaikan atau
kesenangan, dia berharap permohonannya langsung dikabulkan oleh
Allah saat itu juga. Pun, ketika tengah ditimpa kemalangan, kekecewan,
dan rasa putus asa, dia memohon agar keburukan menimpa dirinya, dia
berharap agar Allah segera memperkenankan permintaannya.
Rasulullah Saw. pernah mengingatkan dalam salah satu sabdanya,
"Akan diterima permohonan kalian selama kalian tidak bertindak tergesa-
gesa dengan mengatakan: Aku telah berdo'a kepada Tuhanku namun Dia
tidak memperkenankan do'a permohonanku". (HR. Muslim)
Sikap tergesa-gesa, pada hakekatnya adalah wujud rasa tidak sabar
menjalani proses. Padahal, di dunia ini tidak ada yang instan, semua
butuh proses. Bahkan, Allah Swt yang mahakuasa atas segala sesuatu
pun ketika menciptakan kita, manusia, serta alam seisinya butuh proses.
Ada tahapan yang harus dilalui melalui rentang waktu tertentu.
Apakah Allah tidak mampu menciptakan segala sesuatu langsung
jadi tanpa melalui proses? Sangat mampu. Tetapi, Allah ingin
mengajarkan kepada manusia tentang pentingnya proses. Ya, proses
adalah suatu tahapan demi tahapan dalam kehidupan, yang akan
mengantarkan seseorang pada tujuan yang hendak dicapainya.
Proses juga akan menguji kita seberapa besar energi kesabaran
yang kita miliki. Proses akan melatih kedewasaan kita dalam berpikir dan
bertindak. Proses, jika dijalani dengan baik penuh kesabaran, dihayati
tahap demi tahapnya, akan menghasilkan suatu kenikmatan yang luar
biasa. Meskipun hasil akhir seringkali tidak sesuai dengan yang
diharapkan, tetapi proses yang sudah dilalui dengan baik pada
hakekatnya adalah sebuah prestasi yang luar biasa.
Yakinlah, segala sesuatu yang kita dapatkan melalui proses yang
panjang nan melelahkan, disertai berbagai ujian dan cobaan, akan terasa
jauh lebih nikmat daripada sesuatu itu kita dapatkan dengan instan, tiba-
tiba, apalagi secara cuma-cuma. Ada kepuasan batin yang tidak dapat
kita lukiskan dengan kata-kata, ketika kita mencapai sesuatu yang kita
inginkan melaui proses panjang penuh kesabaran.
Suatu ketika seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah
dasar melihat sebuah kejadian yang menarik perhatiannya, yaitu seekor
kepompong yang tengah bermetamorfosis untuk menjadi kupu-kupu. Si
anak yang masih polos tadi mengamati penuh perhatian gerak-gerik
kepompong yang masih terus berusaha untuk keluar dari tempurungnya.
Setelah cukup lama dia perhatikan dan belum ada tanda-tanda
kepompong tadi untuk segera keluar dari tempurungnya kemudian
menjadi kupu-kupu, si anak bermaksud membantunya untuk bisa segera
keluar dari tempurungnya dan kemudian menjadi kupu-kupu. Maka, si
anak itu pun akhirnya menarik secara paksa kepompong tadi sampai
akhirnya dia keluar dari tempurungnya. Dia berharap seterah kepompong
berubah menjadi kupu-kupu akan bisa segera terbang.
Tetapi kenyataan yang terjadi, setelah berhari-hari kepompong itu
keluar dari tempurungnya dan menjadi seekor kupu-kupu, dia sama
sekali tidak bisa terbang. Si anak penuh bergumam penuh keheranan,
“kenapa yah, kepompong ini yang sudah keluar dari tempurungya dan
kemudian menjadi kupu-kupu tidak bisa terbang?”
Peristiwa ini menunjukkan kepada kita, bahwa si anak tadi tidak
sabar menjalani proses. Dia ingin segera melihat sesuatu yang dia
inginkan secara instan, saat itu juga. Padahal belum saatnya kepompong
tadi menjelma menjadi kupu-kupu. Sehingga ketika dipaksakan, hasilnya
pun tidak maksimal sebagaimana mestinya.
Kita bisa mengambil sebuah pelajaran dari peristiwa tersebut,
bahwa segala sesuatu harus melalui proses alamiah sebagaimana
mestinya. Ketika sudah tiba saatnya, maka sesuatu itu akan terasa indah
dan menyenangkan. Sekali lagi, tidak ada yang instan, semua
Untuk bisa menikmati sesuatu yang kita inginkan dengan sepenuh
hati, dibutuhkan kesabaran dalam menjalani proses. Sekali lagi, tidak
ada yang instan, semua butuh proses.

Tidak Sekedar Menerima Keadaan

Sabar sering disalahpahami menjadi sikap menerima keadaan tanpa


ada usaha untuk menjadi lebih baik. Sabar sering diidentikkan dengan
pasrah, yaitu sebuah kondisi ketidakberdayaan menghadapi suatu
keadaan, dengan tidak melakukan apa-apa. Sabar sering dimaknai
sebagai sikap berdiam diri, berpangku tangan dan menyerahkan
segalanya kepada Tuhan. Jika demikian pemahaman tentang makna
sabar, maka bagi saya itu adalah sesuatu yang berbahaya!
Betapa tidak, sabar dimaknai sebagai sikap menerima keadaan,
dengan tidak melakukan apa pun alias berpangku tangan. Bagi saya, ini
adalah suatu pemahaman yang menyesatkan. Bagaimana mungkin akan
terjadi perubahan tanpa ada usaha atau tindakan nyata.
Padahal, kesabaran adalah sesuatu yang pasti akan mendatangkan
perubahan. Yakinlah, bagi orang yang sabar, perubahan hanyalah
persoalan waktu.
Pemahaman lain tentang sabar juga tidak kalah menyesatkan.
Sabar sering diartikan sebagai sikap pasrah. Padahal, sabar sama sekali
berbeda dengan pasrah. Jika kita sudah melakukan suatu ikhtiar untuk
mencapai sesuatu yang kita inginkan kemudian tidak berhasil, atau lebih
tepatnya belum berhasil, tidak bisa menjadi sebuah alasan bagi kita
untuk bersikap pasrah. Karena dalam kondisi seperti ini, sikap pasrah
belum saatnya. Sikap pasrah baru dapat kita lakukan setelah usaha
maksimal dengan segenap kemampuan terbaik yang kita miliki untuk
mencapai sesuatu yang kita inginkan sudah kita lakukan.
Jika ikhtiar sudah kita sempurnakan, maka hasil akhir kita serahkan
kepada Yang Maha Memutuskan, yaitu Allah Swt. Apa pun hasil dari
usaha kita, yakinlah itu adalah yang terbaik bagi kita. Inilah sabar yang
sesungguhnya. Sabar tidak terganggu dengan hasil akhir. Karena pada
hakekatnya, kita sudah berusaha maksimal.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt memerintahkan kepada kita
untuk berusaha dan bekerja, karena Allah dan Rasul-Nya akan melihat
usaha dan kerja kita, “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah
akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui
yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.”” (Q.S. At-Taubah: 105)
Begitu tegas dan jelas Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk
bekerja atau berusaha dengan kemampuan terbaik yang kita miliki.
Karena Allah dan Rasl-Nya, juga orang-orang mukmin akan melihat kerja
dan usaha kita.
Ayat ini menjadi dasar bahwa tidak ada ruang bagi kita untuk
berpangku tangan, berdiam diri tidak melakukan tindakan apa-apa.
Sabar adalah sebah sikap aktif bukan pasif. Sabar menuntut kita untuk
memaksimalkan seluruh potensi yang kita miliki demi mewujudkan cita-
cita yang kita inginkan. Sabar tidak sekedar menerima keadaan.

Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan


Sabar adalah kunci kesuksesan
Sabar adalah kunci kebahagiaan
Sabar adalah kunci segala-galanya

Tidak ada kenikmatan yang dirasakan seorang hamba melebihi


nikmatnya kebersamaan Sang Maha Segala-galanya, yakni Allah Swt.
bersamanya.
Ya, ketika Allah berkenan menyertai kita di mana pun dan kapan
pun kita berada, dalam artian bahwa Allah ridla dengan setiap langkah
kita dalam menjalani hidup ini, maka kita tidak akan pernah merasa
khawatir dan sedih meski berbagai ujian dan cobaan datang silih berganti
menerpa kehidupan kita. Sebaliknya, kita justru akan merasa tenang dan
damai menjalani hidup ini.
Adapun kemalangan yang tak terperikan adalah ketika Allah enggan
bersama kita, tidak ridla dengan setiap gerak dan langkah kita dalam
menjalani hidup ini. Dia tidak berkenan menyertai kita karena kita yang
telah menjaga jarak dengan-Nya. Kita kerjakan apa yang dilarang-Nya,
sementara kita jauhi apa yang diperintahkan-Nya. Kita menjauh dari-
Nya, maka Dia pun menjauh dari kita.
Nah, salah satu cara paling efektif agar setiap langkah kita selalu
disertai dan diridlai oleh Allah Swt adalah dengan bersabar. Ya, sabar
adalah cara agar Allah berkenan menyertai perjalanan hidup kita.
Memang, hakekatnya Allah selalu hadir dalam kehidupan kita, kapan pun
dan di mana pun kita berada, tidak ada ruang sedikit pun yang terlepas
dari kebersamaan dan pengawasan Allah.
Kebersamaan yang saya maksud di sini adalah keridloan Allah untuk
selalu mengulurkan pertolongan-Nya, di saat kita tengah ditimpa
kesulitan dan persoalan hidup. Hanya dengan sikap sabar kita mampu
mengundang Allah untuk selalu hadir memberikan pertolongan kepada
kita. Ini sesuai dengan janji Allah, “…Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar”. (Q.S. 2: 153)
Janji Allah itu pasti! Karena Dia tidak akan pernah mengingkari
janji-Nya. Dia berjanji akan bersama hamba-hamba-Nya, dengan satu
syarat: sabar.
Jika kita yakin bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, maka
pertanyaan selanjutnya adalah ditujukan kepada diri kita masing-masing,
maukah kita memenuhi syarat-Nya, yaitu bersikap sabar?
Jawaban kita atas pertanyaan tersebut akan menentukan arah hidup
kita selanjutnya. Apakah kita akan selalu disertai Allah dalam setiap
langkah hidup kita, ataukah justru sebaliknya, kita akan dijauhi Allah
dalam menjalani hari-hari kita? Semua tergantung jawaban yang kita
pilih.
Pada hakekatnya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang
menginginkan kegagalan dan penderitaan dalam hidupnya. Setiap orang
mendamba kesuksesan dan kebahagiaan, baik di dunia ini lebih-lebih di
akhirat kelak.
Ironisnya, tidak semua orang yang berharap kesuksesan dan
kebahagiaan hidup ini menempuh jalan yang benar untuk mencapainya.
Banyak di antara mereka justru menempuh jalan-jalan yang alih-alih
mendekatkan kepada impiannya untuk meraih kesuksesan dan
kebahagiaan, tetapi justru menjauhkannya dari kesuksesan dan
kebahagiaan hidup.
Adapun jalan yang sering mereka tempuh adalah jalan pintas atau
jalur alternatif yang jauh dari nilai-nilai agama; yaitu meminta
pertolongan kepada selain Allah, menghalalkan segala cara dalam
berbisnis, misalnya, merampas hak orang lain, dan berbagai cara lainnya
yang menurut mereka bisa mengantarkan mereka pada kesuksesan dan
kebahagiaan.
Kalaulah mereka mendapat apa yang mereka inginkan berupa
kelimpahan materi, popularitas, serta status sosial yang tinggi di tengah-
tengah masyarakat, yakinlah bahwa mereka tidak akan pernah bahagia
apalagi berkah.
Limpahan materi, popularitas, serta status sosial yang tinggi, yang
diperoleh dengan cara-cara yang melanggar aturan Allah hanyalah akan
membawa seseorang pada kesengsaraan dan penderitaan. Karena
keberkahan hidup tidak akan pernah menghampiri orang-orang yang
tidak mengindahkan apalagi melanggar aturan Allah.
Sejatinya, kalau kita mau berpikir jernih, untuk meraih kesuksesan
dan kebahagiaan, Allah hanya menyaratkan kita untuk sabar. Bagi orang
yang sabar, kesuksesan hanyalah masalah waktu.
Jika Allah sudah benar-benar selalu menyertai kita, dan dengan
keridloan-Nya berkenan mengulurkan pertolongan-Nya kepada kita,
kapan pun dan di mana pun kita berada, setiap saat setiap waktu, maka
kesuksesan dan kebahagiaan akan dengan mudah dapat kita raih.
Syukur

ّ ‫لئن شكستم ألشيدنّكم ولئن كفستم‬


‫إن عرابي لشديد‬
"Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7)

Salah satu cara paling efektif untuk bisa menikmati dan merasakan
kebahagiaan dalam hidup ini adalah dengan bersyukur. Ya, bersyukur
adalah kunci kebahagiaan.
Seseorang yang selalu mensyukuri nikmat, sekecil apa pun nikmat
yang ia dapatkan, akan mudah merasakan kebahagiaan. Sebaliknya,
seseorang yang tidak pandai bersyukur, atau dengan kata lain kufur
nikmat, mengingkari nikmat Allah, sebesar apa pun nikmat yang ia
dapatkan, tidak akan dapat merasakan kebahagiaan. Dia akan terus
merasa kurang, meski beragam nikmat datang bertubi-tubi kepadanya.
Alih-alih mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai wujud rasa syukurnya,
dia justru terus menerus mengeluh dan menggerutu. Tidak tampak
sedikit pun perasaan bahagia dalam dirinya.
Padahal, Allah Swt jelas-jelas menegaskan dalam salah satu firman-
Nya, sebagaimana saya kutip di awal tulisan ini, bahwa siapa saja yang
bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sedangkan siapa saja yang tidak
pandai bersyukur akan mendapat siksa atau adzab dari-Nya.
Orang yang tidak pandai bersyukur ketika diberi nikmat yang
sedikit, maka ketika dia diberi nikmat yang banyak akan bersikap
sombong. Dan sikap sombong ini menjadi awal kehancuran seseorang.
Wujud rasa syukur paling sederhana adalah dengan mengucapkan
“Alhamdulillah”, segala puji bagi Allah. Kemudian rasa syukur ini dapat
kita kembangkan dengan berbagi kebahagiaan terhadap sesama.
Misalnya, kita baru saja mendapat karunia berupa keuntungan yang
cukup besar dalam bisnis kita. Maka, cara bersyukurnya, selain
mengucap “Alhamdulillah” juga kita iringi dengan berbagi kebahagiaan
dengan orang lain. Caranya, kita berikan sedekah kepada orang-orang
yang membutuhkan, seperti fakir, miskin, anak yatim dan yang lainnya.
Kita juga bisa memberikan sumbangan kepada pembangunan masjid,
panti asuhan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Inilah wujud rasa
syukur yang sesungguhnya.
Dalam kitab Mukasyafat al-Qulub, Imam Al-Ghazali menjelaskan
bahwa syukur itu mencakup tiga hal: Pertama, meyakini bahwa nikmat
itu berasal dari Allah; kedua, mengucapkan kalimat syukur
“Alhamdulillah” dengan lisan; dan ketiga, menggunakan nikmat Allah itu
di jalan yang diridlai-Nya.
Secara pribadi, rasa syukur juga bisa kita tunjukkan dengan
meningkatkan kinerja kita. Kita terus mengembangkan usaha kita
dengan tetap bersandar kepada nilai-nilai ajaran agama. Harapan kita,
Allah terus menambah nikmat kita, sehingga kita bisa berbuat baik lebih
banyak kepada sesama.
Rasa syukur harus terus kita pupuk. Karena sesungguhnya setiap
hari kita selalu dilimpahi nikmat oleh Allah Swt. Sejak kita bangun tidur
hingga kita tidur kembali, curahan nikmat Allah tak pernah berhenti.
Bukankah udara yang kita hirup adalah sebuah nikmat yang luar
biasa. Bukankah aneka makanan dengan beragam bentuk dan rasa yang
kita makan, aneka jenis minuman yang kita minum adalah nikmat yang
sangat besar. Bukankah kaki yang kita gunakan untuk melangkah, mata
yang kita gunakan untuk melihat, teling untuk mendengar, mulut untuk
berbicara, kesemuanya adalah nikmat Allah yang tak terhingga nilainya?
Bayangkan jika seluruh panca indera kita tidak berfungsi dengan
baik, kita tentu akan merasakan sulit menjalani hidup ini. Inilah nikmat
yang seringkali kita lupakan.
Maka tepat sekali pertanyaan yang Allah ajukan kepada kita dalam
Q.S. Ar-Rahman: 13 dan beberapa ayat berikutnya: “Maka nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Dalam ayat lain ditegaskan, “Dan jika kamu hendak menghitung
nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim :
34)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan lima prinsip sikap syukur;
pertama, tunduk kepada Yang Memberi Nikmat; kedua, senantiasa cinta
kepada-Nya; ketiga, menyadari bahwa nikmat itu datang hanya dari
Allah; keempat, senantiasa memuji Allah atas anugerah-Nya; dan kelima,
hanya melakukan aktivitas yang diridhai Allah, dan tidak melakukan
maksiat.
Kelima prinsip dasar sikap syukur itu dapat diringkas menjadi tiga
bentuk syukur, yaitu:
 Syukur Qalbi, mengakui nikmat-nikmat Allah dan mencintai-Nya.
 Syukur Lisan, memuji Allah atas segala karunia-Nya
 Syukur Jawarih, menggunakan nikmat dalam rangka memperoleh
keridhaan-Nya.

Tak Ada yang Sia-sia


Segala sesuatu yang Allah ciptakan di alam semesta ini, baik berupa
makhluk hidup, benda mati, ruang, waktu ataupun keadaan, pasti
memiliki makna dan nilai. Tidak ada satu pun ciptaan Allah di jagat raya
ini yang tidak bermakna dan bernilai.
Allah Swt menegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal ; (Yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka tetap memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata), Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau ciptakan semua
ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungi kami dari azab neraka”. (Q.S Ali
Imran: 190-191)
Dengan menyadari bahwa tidak ada satu pun ciptaan serta
kehendak Allah yang sia-sia, akan menjadikan kita lebih bisa bersyukur
atas apa pun yang menimpa kita. Kita bisa dengan lapang dada
menerima apa pun kenyataan yang kita alami.
Memandang bahwa semua yang Allah tetapkan untuk setiap hamba-
Nya adalah yang terbaik, akan membawa kita pada sebuah kesadaran
universal bahwa Allah tidak pernah berbuat dzalim terhadap hamba-
hamba-Nya.
Hal ini ditegaskan dalam sejumlah ayat al-Quran, yaitu pada Q.S.
Fushshilat: 46 yang menyatakan, “Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan
berbuat zalim kepada hamba-Nya.” Dan juga pada Q.S. Qaf: 29 yang
menyebutkan, “Dan Aku sekali-kali tidak akan berbuat zalim kepada
manusia.“ (Q.s. Qaf: 29).
Dua ayat di atas menjadi dasar bahwa Allah tidak pernah berbuat
zalim pada hamba atau umat-Nya. Semua yang terjadi dan menimpa kita
memiliki makna dan nilai bagi kehidupan kita.
Mungkin kita sering merasa tidak senang dengan kondisi yang kita
alami. Mungkin juga kita sering merasa Allah tidak adil kepada kita. Kita
bahkan sering beranggapan bahwa Allah tidak sayang kepada kita, ketika
hal-hal buruk menimpa serta mengiringi hidup kita. Sulitnya kondisi
ekonomi, susahnya mencari jodoh, sakit yang tak kunjung sembuh,
keturunan yang tak jua hadir, serta berbagai kondisi tidak
menyenangkan lainnya seringkali menjadi alasan bagi kita untuk
mengeluh dan meratapi nasib.
Padahal, semua kondisi yang kita alami ini pasti mengandung
hikmah yang sangat berharga bagi kehidupan kita. Apa yang tidak kita
sukai, apa yang kita benci, boleh jadi justru merupakan hal yang baik
menurut Allah. Sebaliknya, segala yang kita senangi, semua yang kita
sukai boleh jadi merupakan hal yang tidak disenangi, atau bahkan
dibenci Allah.
Allah sudah mengingatkan tentang hal ini dalam firman-Nya, “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
Swt mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah: 216)
Lihat ke Dalam Bukan ke Luar
"…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan
mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Disadari atau tidak, manusia sering merasa iri melihat kehidupan
orang lain yang lebih baik darinya. Ketika melihat orang yang lebih kaya,
lebih pintar, lebih dihormati, lebih sukses darinya, tidak jarang muncul
keinginan dalam diri seseorang untuk bisa seperti mereka, atau bahkan
bisa melebihi mereka.
Sebetulnya, keinginan tersebut sangat wajar dan manusiawi. Karena
pada hakekatnya, setiap orang tentu mendamba kehidupan yang lebih
baik dari waktu ke waktu. Jika rasa iri tersebut dalam arti positif, yaitu
bertujuan memotivasi diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya,
dengan meningkatkan etos kerja, mengembangkan diri dengan bekal
pengetahuan dan keterampilan, maka hal itu sah-sah saja.
Persoalannya adalah, jika rasa iri itu dalam arti negatif, yaitu
memunculkan rasa tidak suka kepada mereka. Sehingga apa pun yang
berkaitan dengan mereka, berupa harta, ilmu, jabatan serta kehormatan
yang mereka miliki menjadi alasan seseorang untuk membenci mereka.
Lebih buruk lagi, karena rasa benci kepada mereka, maka dengan
berbagai cara seesorang berusaha untuk dapat menjatuhkan mereka.
Membuat usaha mereka bangkrut, misalnya, memfitnah mereka, atau
bahkan yang paling sadis membunuh mereka. Semua dilakukan karena
kebenciannya kepada mereka, yang nota bene, dalam pandangannya
lebih segala-galanya dari dirinya.
Inilah kondisi umum yang terjadi pada diri seseorang yang tidak
pandai bersyukur. Dia selalu melihat orang lain lebih baik serta lebih
sukses darinya. Dia selalu melihat rumput tetangga lebih hijau.
Padahal, kalau dia sadari, dalam dirinya sungguh banyak nikmat,
anugerah serta potensi yang Allah berikan dan harus disyukuri. Nikmat
hidup, nikmat sehat, nikmat kesempatan serta nikmat-nikmat lainnya
adalah anugerah serta modal luar biasa yang Allah berikan. Tinggal
bagaimana seseorang menggunakannya.
Dalam masyarakat Jawa ada istilah sawang-sinawang, yaitu
kecenderungan seseorang yang melihat kehidupan orang lain lebih baik,
lebih menyenangkan darinya. Padahal, belum tentu orang yang dia
anggap menyenangkan kehidupannya, dalam kenyataannya juga seperti
itu. Bisa jadi kehidupan orang yang memandang orang lain lebih baik,
jutru lebih baik dan lebih menyenangkan daripada kehidupan orang yang
dilihatnya. Begitulah kehidupan manusia. Selalu saja ada perasaan
kurang dalam dirinya.
Maka, untuk bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan ini, tidak
lain adalah dengan cara melihat ke dalam diri kita sendiri, bukan melihat
ke luar (baca: orang lain). Kita lihat apa yang kita miliki, bukan apa yang
kita inginkan. Bukan pula melihat apa yang orang lain miliki.
Lihat ke dalam, bukan ke luar. Lihat apa yang ada dalam diri kita.
Bukan apa yang ada di luar kita. Karena yang kita miliki adalah sebuah
anugerah yang luar biasa dari Allah Swt. Sementara yang di luar sana
belum tentu baik bagi kita.
Allah sangat tahu betul kapasitas serta kemampuan kita. Allah tidak
akan memberikan „sesuatu‟ kepada seseorang yang menurut padangan-
Nya, orang tersebut belum siap untuk mendapatkannya. „Sesuatu‟ itu
akan Allah berikan kepada orang yang tepat, di saat yang tepat dan
dengan cara yang tepat. Inilah konsep kelayakan menurut Allah. Jika
seseorang dianggap layak oleh Allah untuk mendapatkan „sesuatu‟, maka
Allah pun akan memberikan kepadanya. Tetapi jika orang tersebut tidak
atau belum layak untuk mendapatkannya, maka Allah pun tidak akan
memberikan kepadanya.
Dengan memahami konsep kelayakan ini, maka tidak akan ada
perasaan kecewa dalam diri kita, ketika apa yang kita harapkan belum
menjadi kenyataan.
Alih-alih mengeluh dan menyesali keadaan, karena keinginan
memiliki „sesuatu‟ di luar yang kita miliki belum terwujud, menikmati dan
memaksimalkan sesuatu yang kita miliki jauh lebih baik dan lebih
bermakna bagi kehidupan kita. Dengan cara ini, kita sudah menunjukkan
rasa syukur kita kepada Allah Swt. Maka, kita tinggal berharap, sesuai
janji Allah di atas, bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat-Nya, pasti
Allah akan menambah nikmat kepadanya.

Kelebihan dan Kekurangan adalah Sunnatullah


Tidak ada seorang pun yang dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi
sempurna 100%. Pasti dalam dirinya terdapat kekurangan atau
kelemahan. Setiap manusia yang lahir ke muka bumi selalu membawa
dua hal yang alih-alih dipertentangkan, tetapi justru saling melengkapi,
yakni kelebihan dan kekurangan.
Mengapa harus ada kelebihan dan kekurangan? Apa hikmah yang
terkandung di dalamnya?
Dalam tinjauan agama, sesuai dengan sunnatullah, Allah SWT selalu
menciptakan sesuatu berpasangan untuk saling melengkapi. Ada siang
ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada bumi ada langit, ada
kemarau ada hujan, ada kaya ada miskin, dan tentunya ada kelebihan
ada kekurangan.
Kalau kita telusuri teks-teks keagamaan, akan kita jumpai hikmah
diciptakannya manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya.
Anugerah berupa kelebihan yang Allah SWT berikan kepada setiap
manusia bertujuan agar mereka bersyukur. Ya. Syukur atas nikmat Allah,
salah satunya berupa kelebihan yang diberikan oleh-Nya, akan
menjadikan manusia tawadhu, rendah hati di hadapan-Nya. Kelebihan
bukan untuk disombongkan, atau menjadi sarana membanggakan diri
dan merasa di atas orang lain.
Adapun kekurangan yang diberikan Allah SWT kepada setiap
manusia adalah sarana agar mereka bersabar atas kehendak-Nya.
Kekurangan bukan untuk diratapi, kemudian menjadikan seseorang
rendah diri atau minder, tetapi justru untuk melatih seseorang untuk
memperbaiki diri. Seseorang yang menyadari kekurangannya, maka dia
akan berusaha sekuat tenaga untuk membenahinya, yaitu dengan cara
menggali potensi dirinya, serta memaksimalkan kelebihannya, sehingga
kekurangannya tertutupi.
Dengan demikian, syukur atas anugerah berupa kelebihan serta
sabar atas kekurangan yang dimiliki, akan menjadi sarana efektif bagi
seseorang untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya yang
sesungguhnya. Kelebihan dan kekurang adalah sunnatullah. Tidak ada
alasan bagi kita untuk menyombongkan diri karena kelebihan yang kita
miliki. Karena pada hakekatnya, semua itu milik Allah. Pun sebaliknya,
tidak ada dalih bagi kita untuk merasa rendah diri atau minder karena
kekurangan yang kita miliki. Karena tidaklah Allah menciptakan sesuatu
itu sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya.

Nikmati Setiap Momen dalam Hidup Kita!


Satu hal yang sering kita lupa untuk melakukannya adalah
menikmati setiap momen dalam hidup kita. Ya, karena alasan klise;
sibuk, tidak sempat, terburu-buru, ribet dan sederet alasan lainnya,
seringkali kita melewati momen-momen tersebut tanpa makna. Padahal,
jika kita mau sedikit bersabar untuk meluangkan waktu menikmati setiap
momen yang kita jalani, kita akan lebih bisa merasakan nikmatnya
karunia Allah. Dengan kata lain, kita akan lebih bisa bersyukur atas
segala nikmat dan karunia-Nya yang luar biasa. Pada gilirannya, ini akan
membuat kita bahagia.
Ketika kita makan misalnya, seringkali kita hanya sekedar
menyantap makanan tersebut sampai habis. Setelah rasa kenyang
memenuhi perut, kita pun menghentikan aktivitas makan kita. Begitu
juga halnya ketika kita minum. Kita hanya sekedar menghabiskan
segelas atau dua gelas air, misalnya, kemudian setelah rasa haus hilang
dari tenggorokan kita, kita pun menyudahi aktivitas minum tersebut.
Praktis, aktivitas makan dan minum yang kita lakukan hanya sebatas
rutinitas tanpa makna dan nilai.
Padahal jika aktivitas makan dan minum itu betul-betul kita nikmati,
maka akan terasa betapa besar karunia rizki yang Allah berikan kepada
kita. Ketika kita makan, cobalah kita nikmati dan rasakan proses
mengunyah, menghancurkan, melumat serta menelan makanan tersebut
perlahan-lahan. Cobalah pula kita syukuri bahwa kita masih diberi nikmat
sehat serta rizki oleh Allah sehingga dapat merasakan nikmatnya
menyantap makanan tersebut. Pun ketika kita minum, cobalah rasakan
dan nikmati betul setiap tetes air yang mengalir membasahi
kerongkongan kita. Cobalah kita sadari betapa kasih sayang Allah kepada
hamba-Nya sungguh luar biasa. Dia menyediakan air berlimpah untuk
memenuhi kebutuhan seluruh makhluk-Nya, termasuk kita.
Ketika kita bernapas, nikmatilah proses menghirup udara yang
kemudian masuk ke dalam paru-paru kita. Sadari pula bahwa Allah
menyediakan udara begitu melimpahnya dan diberikan kepada kita
secara cuma-cuma. Syukuri bahwa alat pernapasan kita masih
sempurna, sehingga tidak perlu bantuan tabung oksigen yang harus
dibeli dengan uang yang tidak sedikit.
Ketika kita berjalan, nikmati perjalanan kita. Syukuri kekuasaan
Allah yang telah menyeimbangkan kaki kita, sehingga kita dapat
melangkah dan berjalan dengan baik.
Bahkan, ketika kita bangun tidur, nikmati dan rasakan karunia Allah
berupa kesempatan yang masih diberikan kepada kita untuk tetap bisa
menghirup udara segar di pagi hari. Syukuri waktu yang masih diberikan
Allah kepada kita untuk tetap bisa menjalani serta melanjutkan aktivitas
kehidupan.
Dan masih banyak lagi momen-momen dalam kehidupan ini yang
harus kita nikmati dan rasakan dengan penuh penghayatan. Sehingga
kita akan senantias bersyukur atas karunia Allah yang tak terhingga
tersebut.
Yakinlah, bahwa setiap momen kehidupan yang kita alami, jalani
dan rasakan adalah momen penting yang memiliki nilai dan makna. Baik
atau pun buruk momen kehidupan yang kita lalui, di dalamnya tersimpan
pelajaran berharga bagi kehidupan kita selanjutnya. Hanya dengan cara
seperti ini, yaitu menikmati setiap momen dalam hidup kita, perasaan
bersyukur akan dapat kita wujudkan.
Silaturahim

ّ ‫يبأيهب النّبس إنّب خلقنبكم من ذكس وأنثى وجعلنبكم شعىبب وقببئل لتعبزفىا‬
‫إن أكسمكم‬
ّ ‫عند هللا أتقبكم‬
‫إن هللا عليم خبيس‬

“Wahai semua manusia, sesungguhya Kami telah menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah itu
Maha berilmu lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Salah satu ajaran penting dalam Islam yang mendapat perhatian


cukup besar dari Allah dan Rasul-Nya adalah silaturahim. Dalam konteks
Indonesia, biasanya kata „silaturahim‟ diucapkan dengan „silaturahmi‟.
Kedua-duanya bermakna menyambung ikatan persaudaraan. Tidak ada
perbedaan makna sama sekali dalam kedua istilah tersebut, dan tidak
perlu diperdebatkan.
Silaturahim secara bahasa berasal dari dua kata dalam bahasa Arab,
yaitu kata „shilatun‟, yang menurut Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya
Al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, berarti menyatunya beberapa hal,
sebagian dengan yang lain, dan kata „al-rahimu‟ , yang menurut Ibnu
Manzur dalam Kamus Lisan al-„Arab, berarti hubungan kekerabatan.
Dengan demikian, makna silaturahim adalah menyambung tali
persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab. Inilah
makna silaturahim secara istilah sesuai pengertian dari rangkaian
katanya.
Adapun makna silaturahim yang lebih luas adalah menghubungkan
ikatan persaudaraan baik dengan kerabat yang memiliki hubungan
nasab, atau pun dengan orang lain yang tidak ada hubungan nasab.
Menjalin relasi dengan teman sepergaulan, rekan kerja, atau pun orang
lain yang belum kita kenal sama sekali merupakan bentuk dari
silaturahim.
Dalam bahasa agama, ikatan persaudaraan ini disebut dengan
istilah „ukhuwah‟. Ada tiga model ukhuwah yang biasa diungkap oleh
para pemuka agama dalam berbagai kesempatan, yaitu: ukhuwah
Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah.
Ukhuwah Islamiyah adalah jalinan persaudaraan yang didasari oleh
kesamaan agama dan keyakinan, yaitu Islam. Ukhuwah Wathoniyah
adalah semangat persaudaraan yang didasari oleh nilai-nilai
nasionalisme. Dan Ukhuwah Basyariyah adalah ikatan persaudaraan yang
dilandasi oleh nilai-nilai kesetaraan kemanusiaan.
Ketiga bentuk ukhuwah ini harus tertanam kuat dalam hati sanubari
kita masing-masing. Sehingga kehidupan kita sebagai umat beragama,
sebagai bangsa dan sebagai manusia betul-betul menjadi sebuah
kekuatan karena adanya ikatan persaudaraan yang kokoh.

Persaudaraan Universal
Dalam keterangan ayat ke-13 dari surat Al-Hujurat yang penulis
kutip pada awal pembahasan di atas, disebutkan bahwa tujuan Allah Swt
menciptakan manusia dengan beragam perbedaan, dari mulai
perbedaaan jenis kelamin hingga perbedaan suku dan bangsa adalah
untuk „saling mengenal‟ (lita‟arafu). Ya, saling mengenal adalah kata
kuncinya.
Dalam sebuah ungkapan disebutkan, tak kenal maka tak sayang.
Makna dari ungkapan ini adalah ketika seseorang tidak mengenal orang
lain, maka tidak akan ada ikatan emosional antara dirinya dengan orang
tersebut. Boleh jadi yang akan muncul justru kecurigaan atau prasangka.
Adapun jika seseorang mengenal orang lain, maka minimal ada
semacam ikatan emosional antara dirinya dengan orang tersebut. Apalagi
jika dari perkenalan tersebut kemudian berlanjut menjadi sebuah
hubungan baik atau terjalin sebuah keakraban. Maka bisa dipastikan hal
ini akan menambah kuatnya jalinan ikatan emosional yang telah ada
sebelumnya. Begitu juga halnya ketika sebuah suku atau bangsa
menjalin persahabatan dengan suku atau bangsa lain. Dari sini akan
muncul perasaan masing-masing anggota suku atau bangsa tersebut
untuk saling menghargai dan menghormati suku atau bangsa lainnya.
Seperti yang dicontohkan dengan sangat indah oleh Kaum Anshar dan
Muhajirin.
Bermula dari saling kenal, kemudian terjalin sebuah ikatan
persaudaraan. Inilah yang dimaksud Al-Qur‟an dengan lita‟arafu. Konsep
persaudaraan menurut Al-Qur‟an bersifat universal. Tidak ada sekat yang
membatasi konsep persaudaraan ini. Perbedaan jenis kelamin, suku,
bangsa, agama dan letak geografis bukanlah sebuah alasan untuk
membatasi jalinan persaudaraan. Pada dasarnya, semua manusia dengan
perbedaan keturunan (nasab), jenis kelamin, bentuk, warna kulit, status
sosial, dan beragam perbedaan lainnya adalah setara di hadapan Allah.
Hanya tingkat ketakwaan yang membedakannya. Dan, tingkat ketakwaan
seseorang hanya Allah yang berhak menilainya.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu
Mulaikah berkenaan turunnya ayat ke-13 dari surat Al-Hujurat ini ialah
bahwa ketika fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka‟bah untuk adzan.
Beberapa orang berkata, “Apakah pantas budak hitam adzan di atas
Ka‟bah?”. Maka berkatalah yang lain, “Sekiranya Allah membenci orang
ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka datanglah malaikat Jibril
memberitahukan kepada Rasulullah Saw apa yang mereka ucapkan.
Kemudian turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri
karena kedudukan, pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa
kemuliaan seseorang di sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.
Dengan dasar argumen ini, maka tidak ada hak bagi seseorang
merasa lebih mulia dari orang lain karena faktor keturunan, kekayaan,
status sosial, atau bahkan karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Inilah prinsip dasar yang harus dijadikan acuan dalam konteks
persaudaraan universal.

Menebar Kasih Sayang di Bumi, Menuai Rahmat dari Langit


Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw pernah berpesan:
“Orang-orang penyayang akan diberi kasih sayang oleh dzat Yang Maha
Penyayang tabaraka wa ta‟ala. Sayangilah makhluk-makhluk Allah yang
ada di muka bumi, semoga makhluk-makhluk Allah yang ada di langit
akan menyayangimu)”. (HR. Ibnu „Uyainah).
Dalam kesempatan lain beliau juga menegaskan, “Dan Allah akan
selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu mau menolong
saudaranya.” (HR. Muslim)
Dua hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya menebar kasih
sayang kepada sesama makhluk Allah di muka bumi ini, terlebih lagi
terhadap sesama manusia. Allah akan selalu menebar kasih sayang serta
mengulurkan pertolongan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang menebar
kasih sayang dan mengulurkan pertolongannya kepada orang lain.
Marilah sejenak kita merenung, apakah selama ini kita sudah
termasuk hamba Allah yang senang berbagi kebahagiaan, menyemaikan
kasih sayang serta memberikan pertolongan terhadap orang lain yang
membutuhkan? Apakah kita termasuk orang yang begitu mudah
tersentuh dan iba melihat penderitaan orang lain, ataukah justru tidak
pernah peduli bahkan cuek terhadap kesusahan yang menimpa orang
lain?
Jawaban paling jujur atas pertanyaan di atas akan lahir jika kita
bertanya pada hati kecil kita masing-masing. Cobalah kita bertanya pada
hati kita. Istafti qalbak! Tanya hatimu! Demikian pinta Rasulullah Saw
ketika seseorang bertanya kepadanya tentang hakekat kebaikan dan
keburukan. Rasulullah menegaskan, “Kebaikan adalah sesuatu yang
membuat hati tenang dan jiwa tentram. Sedangkan keburukan adalah
sesuatu yang mengacaukan hati dan menyesakkan dada…”
Makna dari penjelasan Rasulullah ini adalah bahwa setiap kita
melakukan kebaikan, maka ada perasaan bahagia yang menentramkan
batin kita. Dan setiap kita melakukan kejahatan, maka ada perasaan
galau dan gundah yang menyelimuti hati dan menyesakkan dada.
Dengan demikian, maka menebar kasih sayang, memberikan
pertolongan, serta berbuat baik kepada orang lain akan membuat hidup
kita lebih nikmat dan bahagia. Sebaliknya, menebar kebencian, tidak
peduli dengan penderitaan orang lain, atau bahkan berbuat jahat
terhadap sesama manusia akan membuat hidup kita diliputi kegelisahan
dan penderitaan.
Kenikmatan dan kebahagiaan hidup ini akan kita rasakan apabila
kita mampu memberi manfaat kepada orang lain. Sekecil apa pun
manfaat yang kita berikan, akan sangat bernilai bagi orang lain.
Rasulullah Saw pernah menyatakan, “sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Dengan kebaikan yang kita tanam inilah kita akan dapat menikmati
dan merasakan kebahagiaan hidup ini.

Melapangkan Rizki, Memperpanjang Umur


“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi)
rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia
bersilaturahim.” (Muttafaqun „Alaih)
Setiap orang tentu ingin diberi kelapangan dan keberkahan rizki
serta diberi umur panjang yang bermanfaat. Karena dengan rizki
melimpah nan berkah serta umur panjang yang bermanfaat, maka
kebahagiaan hidup ada dalam genggaman. Belum lagi kelak di akhirat,
orang yang dikaruniai rizki melimpah dan dipergunakan untuk
kepentingan fi sabilillah, juga umur panjang yang diisi dengan amal
shalih, akan mendapat kebahagiaan abadi di sisi Allah Swt.
Rasulullah Saw telah menunjukkan cara yang paling tepat untuk
mendapatkan dua hal tersebut; rizki melimpah dan umur panjang, yakni
dengan bersilaturahim, menyambung ikatan persaudaraan.
Apa sebenarnya hikmah di balik aktivitas silaturahim, sehingga
disebut-sebut dapat melapangkan rizki dan memanjangkan umur?
Mari kita kaji lebih jauh manfaat silaturahim. Dikatakan dapat
melapangkan rizki, karena dengan silaturahim seseorang akan memiliki
relasi yang luas dalam pergaulan. Nilai positifnya, semakin banyak
kawan, semakin banyak relasi, maka semakin terbuka pula kesempatan
dan peluang untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal,
termasuk di dalamnya informasi tentang peluang dan kesempatan
mendapatkan rizki, baik berupa pekerjaan, jika seseorang tersebut belum
memiliki pekerjaan, atau pun kerjasama dalam suatu bisnis tertentu
misalnya, atau peluang-peluang lainnya yang dapat mendatangkan
keuntungan materi. Inilah manfaat silaturahim yang pertama,
melapangkan rizki.
Bandingkan dengan orang yang enggan bersilaturahim, menutup
diri dari pergaulan, dan tidak senang bersosialisasi dengan masyarakat.
Bisa dipastikan orang semacam ini ketika mendapat kesulitan hidup,
karena masalah ekonomi, misalnya, cenderung akan merasakan tekanan
batin yang lebih berat karena tidak ada tempat untuk sekedar „curhat‟
atau berbagi cerita dengan orang lain. Pintu rizkinya seolah-olah tertutup
rapat. Jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya pun seakan buntu.
Hikmah silaturahim yang kedua adalah memanjangkan umur.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita adalah: Bagaimana bisa?
Bukankah umur seseorang sudah ditentukan oleh Allah Swt? Bukankah
jika ajal sudah datang, tidak bisa ditunda atau diajukan?
Semua pernyataan di atas benar adanya. Umur dan ajal seseorang
memang sudah ditentukan oleh Allah. Tetapi Allah juga berhak untuk
mengubah ketentuan-Nya. Bukankah Allah memerintahkan hamba-Nya
untuk berikhtiar atau berusaha ketika dihadapkan pada suatu persoalan?
Bukankah Allah tidak akan mengubah kondisi seseorang atau suatu
masyarakat kalau orang atau masyarakat tersebut tidak mengubahnya
sendiri? Ini artinya, ada kewajiban bagi seorang hamba untuk mengubah
dirinya menjadi lebih baik.
Seseorang yang menderita sakit, misalnya, maka kewajiban yang
harus dilakukannya adalah berobat untuk menyembuhkan sakitnya. Ini
yang kemudian disebut ikhtiar. Kemungkinan sembuh lebih besar dengan
berobat daripada tidak berobat. Adapun persoalan sembuh atau tidak
setelah dia berobat itu menjadi hak mutlak Allah. Tugas manusia adalah
berusaha untuk memperbaiki kondisi dirinya.
Kaitannya dengan silaturahim yang mampu memanjangkan umur
seseorang, misalnya seseorang menderita sakit cukup parah dan harus
segera dibawa ke rumah sakit. Karena orang tersebut pandai bergaul dan
memiliki banyak sahabat serta relasi, maka kemungkinan untuk segera
mendapat pertolongan itu lebih besar ketimbang orang yang tidak suka
bergaul dan sedikit kawannya. Dengan demikian, maka kemungkinan
orang tersebut untuk lekas sembuh lebih besar, karena segera mendapat
penanganan medis. Artinya, umur orang tersebut pun kemungkinan lebih
panjang.
Bayangkan seandainya orang yang sakit parah tersebut tidak segera
mendapat pertolongan medis, karena ia tidak memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain. Bisa dipastikan penyakit yang dideritanya akan
semakin parah, dan mungkin akan mengantarnya menuju kematian.
Inilah hikmah silaturahim yang kedua, yakni memanjangkan umur.

Ciri Seorang Mukmin Sejati


Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; Dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati
tetangganya; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lain ditegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah dia bersilaturahim.” (HR. Bukhari)
Dua hadis di atas menggambarkan secara jelas karakter seorang
mukmin sejati. Sesungguhnya ukuran keimanan seseorang bisa dilihat
dari bagaimana sikap dan perilakunya terhadap orang lain. Tidak
dikatakan beriman, seseorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri
dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Dari keterangan dua hadis di atas dapat disimpulkan beberapa sikap
serta ciri seorang mukmin sejati:
Pertama, seorang mukmin sejati akan selalu mengucapkan kata-
kata yang baik, atau diam. Kata-kata yang baik itu adalah kata-kata
yang penuh dengan muatan nilai positif, dan ketika diucapkan membuat
orang yang mendengarkan merasa tenang dan damai. Ada kesejukan
dan keteduhan dari kata-kata tersebut. Kalimat-kalimat thayyibah seperti
mensucikan Allah (subhanallah), memuji Allah (alhamdulillah),
mengesakan Allah (la ilaha illallah), mengagungkan Allah (Allahu Akbar),
dan kalimat-kalimat thayyibah lainnya, mampu menghadirkan perasaan
tenang dalam batin yang mengucapkan dan yang mendengarnya.
Seorang mukmin sejati juga selalu bertutur dengan santun sehingga
tidak menyakiti perasaan orang lain. Dia selalu menjaga ucapannya.
Hanya hal-hal yang baik yang dikatakannya. Kalaupun dia tidak
mengatakan hal-hal yang baik dia akan diam.
Kedua, seorang mukmin sejati akan bersikap ramah dan
menghormati tetangganya. Ya, Rasulullah sangat menekankan
pentingnya hubungan baik dengan tetangga. Karena tetangga adalah
orang terdekat dengan kita. Tetangga adalah pengganti keberadaan
saudara-saudara kita yang mungkin tinggal jauh dari kita. Menghormati
tetangga adalah ciri keimanan seseorang. Begitu pentingya menghormati
tetangga, sampai-sampai Rasulullah pernah mengingatkan bahwa di
akhirat nanti ada orang yang tidak akan dilihat oleh Allah Swt, di
antaranya adalah tetangga yang jahat.
Ketiga, seorang mukmin sejati akan memuliakan setiap tamu yang
berkunjung ke rumahnya. Dia akan menerima kehadiran tamu dengan
tangan terbuka serta menjamunya dengan penuh penghormatan. Seperti
yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. kepada tamunya, sebagaimana
dikisahkan dalam Q.S. Adz-Dzariyat: 24-27: “Sudahkah sampai
kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (para Malaikat)
yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu
mengucapkan salam, Ibrahim menjawab: salamun, (kalian) adalah
orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam
menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi yang
gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata: Silahkan
kalian makan…"
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata: "Menjamu
dan memuliakan tamu adalah termasuk adab dalam Islam dan
merupakan akhlak para nabi dan orang-orang shalih."
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa memuliakan tamu
merupakan salah satu ciri kesempurnaan iman seseorang.
Kelima, seorang mukmin sejati selalu senang bersilaturahim, yaitu
menyambung ikatan persaudaraan.
Silaturahim adalah sebuah ibadah mulia yang diajarkan dan
dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sejumlah ayat dalam al-Qur‟an
menunjukkan pentingnya siaturahim. Dalam Q.S. Ar-Ra‟du: 21
disebutkan, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada
Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”.
Dalam ayat lain juga diungkapkan, “Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa‟: 1)
Seorang mukmin sejati akan mengindahkan aktivitas silaturahim
dalam kehidupan sehari-hari. Dia sadar betul bahwa dengan
bersilaturahim maka keberkahan hidup akan dia dapatkan. Silaturahim
adalah kunci pembuka rahmat, kebaikan dan kebahagiaan.
Seorang mukmin sejati akan senang menjaga ikatan persaudaraan,
menghimpun simpul-simpul ikatan kekeluargaan, kekerabatan serta
persaudaraan dan persahabatan yang mulai pudar, menjadikannya utuh
kembali. Dia senantiasa berharap dan menanti kemuliaan dari Allah.
Rasulullah Saw. pernah memberikan nasihat kepada para
sahabatnya, "Hendaklah kalian mengharapkan kemuliaan dari Allah".
Para sahabat pun bertanya, "Apakah yang dimaksud itu, ya Rasulullah?"
Beliau kemudian bersabda lagi, "Hendaklah kalian suka menghubungkan
tali silaturahim kepada orang yang telah memutuskannya, memberi
sesuatu (hadiah) kepada orang yang tidak pernah memberi sesuatu
kepada kalian, dan hendaklah kalian bersabar (jangan lekas marah)
kepada orang yang menganggap kalian bodoh" (HR. Hakim).
Cari Wasilah untuk Mendekat Kepada-Nya

“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah


dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.”
(Q.S. Al-Maidah : 35)

Kedekatan seorang hamba kepada Allah adalah kunci kebahagiaan


hakiki. Ya, kebahagiaan yang tidak hanya bersifat sementara di dunia
saja, tetapi juga bersifat kekal di akhirat kelak.
Seorang hamba yang dekat dengan Allah akan selalu merasakan
ketenangan batin dan ketentraman jiwa. Dia juga selalu merasa aman,
karena dia yakin Allah akan selalu menjaganya, kapan pun dan di mana
pun dia berada.
Bayangkan, Anda dekat dengan pimpinan di kantor tempat Anda
bekerja. Apa yang Anda rasakan? Tentu anda merasa senang atau
mungkin bangga. Anda pun merasa tenang, tidak khawatir akan masuk
daftar perampingan karyawan, misalnya. Anda akan merasa aman
dengan posisi yang tengah anda tempati. Bahkan, mungkin Anda
berharap untuk mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi. Kenapa?
Karena Anda merasa dekat dengan pimpinan Anda.
Bagaimana jika seorang hamba dekat dengan Tuhannya? Tentu, hal
ini melebihi hubungan kedekatan seorang karyawan dengan
pimpinannya. Karena seorang pimpinan hanyalah manusia biasa yang
punya kelemahan dan kekurangan. Sedangkan Allah adalah Dzat yang
tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Allah Maha segala-galanya.
Maka kedekatan seorang hamba kepada Allah tidak hanya melahirkan
kesenangan sesaat dan sementara, tetapi akan menghadirkan
kesenangan dan kebahagiaan hakiki nan abadi.
Dalam rangkaian ayat ke-35 dari surat al-Maidah di atas, Allah Swt
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah
dan mencari wasilah (perantara, jalan) untuk mendekatkan diri kepada-
Nya.
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa untuk mendekatkan diri
kepada Allah, kita disuruh mencari wasilah (perantara, jalan). Apa yang
dimaksud dengan wasilah pada ayat tersebut?

Apa itu wasilah?


Secara bahasa, wasilah berarti sesuatu yang mendekatkan dengan
yang lain. Adapun secara istilah (agama), wasilah adalah suatu jalan atau
cara yang harus ditempuh seorang hamba agar dapat mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah Swt.
Berkaitan dengan surat Al-Maidah ayat 35, menurut satu riwayat
dari Ibnu Abbas, arti wasilah di sana adalah hajat kepada-Nya. Jadi
maknanya adalah carilah hajat kepada Allah.
Al-Thabari dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa wasilah adalah
segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta‟ala, yaitu
berupa amal ketaatan yang disyariatkan.
Dalam Tafsir Al-Khazin disebutkan bahwa makna kalimat ibtaghu
ilaihi al-wasilata adalah: “Carilah (tuntutlah) “pendekatan” kepada-Nya,
dengan mematuhi dan mengamalkan sesuatu yang diridhoi-Nya.”
Wahbah Zuhaili dalam Kitabnya, Al-Tafsir al-Wajiz menyebutkan
bahwa makna ibtaghu ilaihi al-wasilata adalah: “Carilah jalan yang
dengannya mengantarkan kita pada ridla Allah Swt. Dan jalan itu adalah
amal shalih.”
Jika kita perhatikan dengan seksama beberapa pendapat para ahli
tafsir tersebut, maka maksud ayat 35 surat Al-Maidah itu adalah Allah
menyuruh kita mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada-
Nya, dengan menaati semua perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Macam-macam Wasilah
Dalam sejumlah keterangan disebutkan bahwa secara umum ada
dua macam wasilah: Pertama, wasilah yang disyariatkan (masyru‟). Dan
kedua, wasilah yang dilarang (mamnu‟)
Wasilah yang disyariatkan adalah setiap wasilah yang diperintahkan
Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga mampu mendorong kita
untuk melaksanakannya. Wasilah seperti ini adalah suatu pendekatan
kepada Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang
disukai dan diridhoi-Nya.
Wasilah yang disyariatkan itu terbagi menjadi tiga:
 Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan Dzat-Nya, Nama-nama-
Nya dan Sifat-sifat-Nya.
 Wasilah seorang mukmin kepada Allah, dengan amal shalihnya.
 Wasilah seorang mukmin kepada Allah dengan doa saudaranya yang
mukmin.
Adapun washilah yang dilarang adalah berwasilah kepada sesuatu
yang menurut keyakinannya, dapat memberikan manfaat dan mudharat
kepadanya. Wasilah seperti ini dapat menjerumuskan orang ke dalam
syirik, sebagaimana yang dilakukan orang di zaman jahiliah.
Orang-orang di zaman jahiliah meminta kepada patung-patung dan
berhala-berhala. Mereka yakin apa yang mereka sembah itu dapat
menolong, dapat memberikan manfaat dan mudharat. Berwasilah dengan
cara seperti itu jelas dilarang dan syirik.
Dalam sejumlah ayat Al-Qur‟an, Allah Swt mengingatkan perilaku
menyimpang tersebut. “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu
yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak
(pula) memberi manfaat, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah
pemberi syafaat kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu akan
memberitahu Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak
(pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang
mereka persekutukan (itu).” (Q.S. Yunus: 18 )
Dalam ayat lain juga ditegaskan, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-
lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”
(Q.S. Az-Zumar: 3)

Berwasilah dengan Amal Shalih


Dari Ibnu Umar r.a. Dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, "Ada
tiga orang melakukan perjalanan, tiba-tiba turun hujan. Lalu mereka
berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada
di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua.
Sebagian mereka berkata pada yang lain, "Ingatlah amal terbaik yang
pernah kamu lakukan". Kemudian mereka memohon kepada Allah dan
bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah
menghilangkan kesulitan mereka. Salah satu diantara mereka berkata,
"Ya Allah, sesungguhnya dulu aku mempunyai kedua orang tua yang
sudah lanjut usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih
kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu
memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum
orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar
dan mencari nafkah sehingga pulang larut malam dan aku mendapati
kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-
anakku menangis meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku
tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah
ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai
keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu
ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada
anak-anaku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang
baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah. "Maka batu yang menutupi
pintu gua itupun bergeser" . (HR. Al-Bukhari)
Keterangan hadis di atas menggambarkan bahwa ketiga orang
yang terjebak di dalam gua tersebut berdoa dengan wasilah amal shalih
yang mereka kerjakan.
Ini menunjukkan bahwa kita boleh berwasilah dengan amal
shalih. Kita memohon kepada Allah dengan jalan atau perantara amal
yang kita kerjakan.

Kita Jauh Allah Jauh, Kita Dekat Allah Lebih Dekat


Dalam Hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, ”Aku dalam sangkaan
hamba-Ku, dan Aku akan selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku.
Kemudian apabila ia ingat Aku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya
dalam diri-Ku, dan jika ia ingat kepada-Ku dalam satu kaum, maka Aku
akan mengingatnya dalam kaum yang lebih banyak dari pada kaum itu.
Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta.
Jika ia mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Dan
jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, aku akan datang
kepadanya dengan lari-lari kecil.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam Hadis Qudsi lainnya Rasulullah Saw bersabda, Allah Swt
berfirman, ”Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
suatu amal lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang
Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya,
menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, sebagai tangan yang ia
memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia
meminta kepada-Ku pasti Ku-beri dan jika ia minta perlindungan kepada-
Ku pasti Aku lindungi.” (Riwayat Bukhari)
Dua buah Hadis Qudsi di atas menjelaskan betapa dekatnya Allah
dengan hamba-Nya yang mau mendekat kepada-Nya. Bahkan kedekatan
Allah kepada hamba-Nya, lebih dekat dari kedekatan hamba-Nya
kepada-Nya.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt menegaskan, “Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (Q.S. Qaf: 16). Sungguh,
Allah begitu dekat dengan kita, Ia Maha dekat.
Ironisnya, kita sering menganggap bahwa Allah jauh dari kehidupan
kita. Kita sering mempertanyakan keberadaan-Nya, terutama ketika
beragam ujian dan cobaan datang menimpa kita.
Ketika tengah dirundung kemalangan, ditimpa musibah, didera
pelbagai persoalan hidup, seringkali kita menganggap Allah tidak sayang
kepada kita. Tidak jarang kita menganggap Allah begitu jauh dan tidak
memedulikan kita. Bahkan, sadar atau tidak kita sering mempertanyakan
keadilan Allah. Kita menganggap bahwa selama ini doa yang kita
panjatkan tidak pernah dikabulkan oleh-Nya. Kita merasa bahwa Allah
jauh dari kehidupan kita, sehingga tidak menghiraukan segala persoalan
yang tengah kita hadapi.
Anggapan ini tentu sama sekali tidak berdasar. Karena kalau kita
mau jujur pada diri sendiri, sesungguhnya bukan Allah yang menjauh
dari kita, tetapi kitalah yang menjauh dan menjaga jarak dengan-Nya.
Perilaku buruk serta perbuatan tidak terpuji yang kita lakukan
dalam kehidupan sehari-hari itulah yang menjauhkan kita dari Allah.
Semakin sering kita melakukan maksiat kepada-Nya, semakin jauh jarak
kita dengan Allah. Semakin kita bergelimang dosa, semakin tebaal
dinding pemisah antara kita dengan Allah.
Untuk dapat mendekat kepada-Nya, maka kita perlu membersihkan
kotoran-kotoran dalam diri kita. Kita hilangkan noda-noda dosa dalam
diri kita dengan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Hanya dengan
membersihkan jiwa kita dari dosa dan kembali kepada-Nya, kita dapat
dekat dengan-Nya.
Semakin sedikit kotoran berupa dosa dalam diri kita, semakin kita
dekat dengan-Nya. Jika kita sudah dekat dengan-Nya, maka Allah pun
akan lebih dekat dengan kita.
Jauhi Lingkaran Setan

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S. Al-Maidah: 90)

Dalam pembahasan sebelumnya, untuk mencapai keberuntungan


dan kebahagiaan kita diperintahkan untuk mencari wasilah (cara, jalan,
perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pada pembahasan kali ini, untuk menggapai kebahagiaan dan
keberuntungan kita diperintahkan untuk menjauhi hal-hal yang dapat
menjerumuskan kita pada kesengsaraan dan penderitaan.
Allah Swt. mengingatkan kepada orang-orang yang beriman untuk
menjauhi segala hal yang akan membawa mereka pada jurang
kesengsaraan. Secara tegas Allah menjelaskan bahwa khamr dan segala
yang memabukkan (dengan beragam bentuk dan jenisnya), judi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
perbuatan dosa dan merupakan perbuatan setan. Jika kita mampu
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut, maka bisa
dipastikan kita akan mendapat keberuntungan dan kebahagiaan.
Mari kita lihat bersama-sama beberapa hal yang disebutkan Allah
dalam ayat ke-90 dari surat Al-Maidah di atas, yang dianggap sebagai
perbuatan keji dan penghalang keberuntungan serta kebahagiaan.
Penulis menyebut perbuatan-perbuatan tersebut sebagai lingkaran setan.
Pertama, Allah mengharamkan kita mengonsumsi khamr (sejenis
minuman keras pada masa jahiliah) dan segala yang memabukkan
dengan beragam bentuk dan jenisnya.
Dalam salah satu sabdanya Rasulullah Saw pernah menegaskan,
“Semua yang memabukkan itu haram.” (H.R. Bukhari)
Minuman keras ialah minuman yang dapat menyebabkan
peminumnya mabuk dan dapat menghilangkan kesadarannya. Islam
benar benar mengharamkan dan Allah melaknat minuman keras baik
untuk dikonsumsi, dijual, dibuat, dan lainnya. Rasulullah Saw bersabda,
“Aku telah dikunjungi oleh malaikat Jibril dan ia mengatakan, „Hai
Muhammad, Allah telah melaknati khamar, yang membuat, yang
memeras, peminum, pembawa, penjual, pembeli, dan yang
menghidangkannya‟.” (HR. Ibnu Abbas)
Dalam sabdanya yang lain Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Khamr adalah kunci segala kejahatan
(keburukan)”. (H.R. Al-Hakim)
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa minuman
keras adalah haram untuk dikonsumsi.
Kedua, Allah Swt mengharamkan judi. Kita semua mafhum bahwa
judi adalah sebuah permainan untung-untungan dengan
mempertaruhkan harta ataupun apa saja yang dimiliki seseorang untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Judi dengan beragam bentuk dan cara permainannya selalu
menghadirkan harapan serta angan-angan (kosong) dan rasa penasaran.
Sehingga seseorang yang sudah masuk dan terlibat dalam permainan
judi akan terus dibuat penasaran, serta berusaha mendapatkan
keinginannya memperoleh keuntungan yang lebih besar. Tidak jarang
akal sehat orang tersebut „mati‟ dibutakan oleh angan-angan kosongnya.
Judi, seperti juga khamr (minuman keras) secara tegas diharamkan
Allah melalui firmannya dalam Q.S. Al-Maidah ayat 90, seperti penulis
kutip pada awal pembahasan ini.
Ketiga, Allah mengharamkan kita berkorban untuk berhala. Makna
dari larangan ini adalah bahwa kita diharamkan untuk melakukan
persembahan, lebih-lebih peribadatan kepada selain Allah. Persembahan
serta peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah adalah bentuk dari
pengingkaran bahwa hanya Allahlah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dan diibadahi. Perilaku seperti ini dalam bahasa agama disebut
dengan syirik, menyekutukan Allah. Ini sebuah dosa besar. Bahkan
dalam ayat lain disebutkan bahwa dosa syirik ini tidak akan diampuni
oleh Allah.
Keempat, Allah mengharamkan kita mengundi nasib dengan panah.
Mengundi nasib dengan anak panah yang dimaksud dalam ayat tersebut
bukan seperti undian yang kita kenal, melainkan mengundi pilihan hidup
dengan menggunakan anak panah.
Kalau kita cermati, redaksi ayat tersebut menggunakan kata azlam,
yang sering diartikan dengan mengundi nasib dengan anak panah. Jadi,
yang diundi itu adalah nasib, bukan menang atau kalah seperti halnya
berjudi.
Disebutkan bahwa pada masa jahiliyah, jika seseorang bingung
untuk mengambil keputusan atas pilihan-pilihan hidupnya, mereka bukan
melakukan shalat istikharah seperti diajarkan Rasulullah Saw, melainkan
mendatangi para dukun untuk minta nasehat. Kemudian dukun tersebut
akan melakukan pengundian dengan mengocok anak panah. Di tiap-tiap
ujung anak panah itu dituliskan : Kerjakan - Jangan Kerjakan - Ulangi
(kosong). Hasil dari undian dengan mengocok anak panah itulah yang
kemudian menjadi pilihan orang tersebut untuk menentukan
keputusannya. Nah, perbuatan seperti inilah yang dikatakan dengan
mengundi nasib dengan anak panah.
Keharaman dari aktivitas ini adalah kepercayaan seseorang pada
tahayul dengan meninggalkan pertimbangan akal sehat. Kepercayaan
kepada tahayul ini juga menunjukkan ketidakpercayaan serta
ketidakyakinannya akan kuasa Allah Swt. Inilah yang menjadi dasar
pengharamannya.

Tipu Daya Iblis


Kita semua mafhum bahwa Iblis diusir oleh Allah dari surga karena
enggan menaati perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Dalam Q.S. Al-
A‟raf ayat 13-17 dijelaskan bahwa karena kesombongannya, Iblis pun
diusir dari surga. Namun, sebelum keluar dari surga, Iblis meminta
kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya sampai hari kiamat. Allah
pun mengabulkan permintaannya. Iblis pun bersumpah di hadapan Allah
akan menyesatkan umat manusia dengan berbagai cara. Hal ini karena
dendam mereka kepada Adam a.s. dan keturunannya.
Selengkapnya rangkaian kisah tersebut seperti diungkapkan Al-
Quran dan Surat Al-A‟raf: 13-17 adalah sebagai berikut:
“Allah berfirman: “Maka turunlah kamu dari surga; karena kamu
tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah,
sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” Iblis menjawab:
“Berilah aku penangguhan waktu sampai waktu mereka dibangkitkan.”
Allah berfirman: “Benar, kamu termasuk yang diberi penangguhan.” Iblis
menjawab: “Karena Engkau telah menyesatkanku, pasti aku benar-benar
akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku
akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari
kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat).””
Mari kita simak kisah berikut yang menunjukkan betapa setan akan
melancarkan tipu dayanya dengan beragam cara.
Diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas r.a., syahdan, dahulu ada seorang
alim dan abid (ahli ibadah) bernama Barsisa. Syeikh Barsisa adalah orang
shalih yang tekun beribadah dan mempunyai ribuan murid. Dalam salah
satu riwayat disebutkan bahwa di antara murid-muridnya ada yang bisa
terbang, berjalan di atas air, dan beberapa kelebihan lainnya.
Suatu ketika, iblis berniat menyesatkannya dari jalan Allah. Iblis itu
mengatur strategi karena yang dihadapinya adalah seorang yang sangat
alim. Iblis menyamar menjadi seorang pemuda. Pemuda tersebut datang
ke perguruan Syeikh Barsisa dan memohon agar Syeikh mau
menerimanya menjadi murid. Syeikh Barsisa tidak serta merta
menerimanya. Dia berniat menguji pemuda tersebut. Dia katakan bahwa
mungkin dia tak dapat menerima pemuda tersebut.
Iblis memohon-mohon dengan sangat. Bahkan dia tahan bersimpuh
dan merundukkan kepala di depan rumah Syeikh Barsisa selama 3 hari 3
malam di tengah hujan. Syeikh Barsisa yang tersentuh akan ketabahan
pemuda tersebut akhirnya mengizinkan pemuda tersebut menjadi
muridnya.
Selama menjadi murid Syeikh Barsisa, pemuda tersebut sangat
penurut dan kuat melakukan ibadah. Dia kuat berpuasa terus menerus
dan tidak tidur pada malam hari. Syeikh Barsisa yang merasa “tersaingi”
bertanya pada murid tersebut apa resepnya hingga dia kuat ibadah.
Murid alias iblis tersebut menjawab, “Rahasianya adalah: Dulu aku
pernah berbuat dosa besar kepada ALLAH. Kemudian aku menyesal dan
bertaubat. Rasa penyesalan dan taubat itulah yang dapat mendorongku
beribadah sedemikian kuat. Jika engkau ingin beribadah seperti aku,
buatlah satu dosa dulu, kemudian bertaubatlah!” demikian Iblis
memerangkap Syeikh Barsisa.
Syeikh Barsisa yang merasa selama ini dia banyak beribadah dan
tak pernah berbuat dosa pun terbujuk. Dia bertanya, “Kira-kira dosa apa
yang aku buat? Aku tak mau dosa yang terlalu besar.” Iblis yang gembira
karena perangkapnya mengena berkata, “Engkau bunuh saja seseorang!”
Tapi Syeikh Barsisa menolaknya karena merasa dosa itu sangat besar.
Iblis menyarankan lagi, “Kalau begitu engkau berzina saja!” Sekali lagi
Syeikh Barsisa menolak. “Hmm…” kata Iblis, “kalau begitu yang agak
ringan saja, minum arak!” Syeikh Barsisa berpikir bahwa dosa tersebut
tak terlalu berat. Maka dia pun setuju.
Singkat kata, pergilah mereka ke sebuah rumah hiburan di pinggir
desa. Di sana Syeikh Barsisa minum sampai mabuk berat. Ketika dia
sudah sangat mabuk, iblis menyodorkan seorang wanita pelacur padanya
dan Syeikh Barsisa pun menzinainya. Setelah berzina Syeikh Barsisa
sadar dan ketakutan. Apalagi ketika wanita itu ribut meminta bayaran
darinya. Karena kebingungan dan malu, juga masih berada dalam
pengaruh minuman keras, Syeikh Barsisa membunuh wanita tersebut.
Orang-orang segera menangkap Syeikh Barsisa dan dia dibawa ke
pengadilan. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Sebelum
dihukum mati, dia diarak dulu keliling kota. Ketika diarak seluruh
penduduk mencemoohnya.
Dalam puncak penyiksaannya datanglah iblis dalam wujud yang
sebenarnya. Dia berkata, “Jika kau mau seluruh siksaan ini diakhiri,
sembahlah aku!” Syeikh Barsisa menolaknya. Iblis menunggu. Ketika
Syeikh Barsisa tampak sudah tak kuat lagi, iblis mendesaknya,
“Sembahlah aku, akan aku buat seluruh siksaan ini selesai dan kau cepat
menemui kematian. Kau cukup menundukkan kepalamu saja sebagai
tanda kau sujud kepadaku!” Syeikh Barsisa yang tak kuat menanggung
malu dan penderitaan pun menundukkan kepala. Tepat ketika itu ALLAH
mencabut nyawa Syeikh Barsisa dan dia pun meninggal dalam keadaan
kufur.
Kisah tersebut menunjukkan betapa Iblis akan melancarkan
beragam strateginya untuk menyesatkan manusia. Jangankan kepada
orang awam, kepada orang alim yang tekun ibadah pun Iblis berusaha
menyesatkannya dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Untuk itu, kita harus selalu waspada dan berhati-hati terhadap
bujuk rayu serta tipu daya Iblis yang begitu licik dan tak kenal putus asa.

Sematkan Iman di Lubuk Hati Paling Dalam


Setelah kita mengetahui betapa Iblis akan melancarkan tipu daya
dengan beragam cara dan dari berbagai arah untuk menyesatkan
manusia, maka kita harus melakukan langkah antisipatif agar tidak
terjebak bujuk rayu Iblis dan tidak terjerat tipu dayanya.
Langkah yang harus kita tempuh adalah menyematkan keimanan di
lubuk hati kita yang paling dalam. Ya, hanya iman yang mampu
membentengi seseorang dari tindak kejahatan dan kemaksiatan. Hanya
iman yang mampu menghalau segala bentuk tipu daya serta bujuk rayu
Iblis sang durjana.
Seseorang yang selalu menanamkan keimanan dalam hatinya, akan
bertindak dengan hati-hati, penuh pertimbangan dan perhitungan dalam
menjalani kerhidupan ini. Sebuah pertanyaan yang selalu menggelayut
dalam benaknya ketika hendak melakukan suatu perbuatan adalah,
apakah Allah ridla atau tidak dengan yang dikerjakannya? Apakah
perbuatan tersebut bernilai pahala, ataukah justru berakibat dosa?
Dia sadar betul bahwa seluruh aktivitasnya di dunia ini selalu
diawasi dan dicatat oleh Allah Swt.
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya pula.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7-8)
Orang yang menanamkan iman di dalam hatinya, yakin bahwa kelak
di depan pengadilan Allah dia tidak bisa memungkiri perbuatannya ketika
di dunia. Karena, Allah berjanji akan mengunci rapat mulutnya dan
menjadikan anggota tubuh lainnya untuk berbicara dan menjadi saksi
atas segala perbuatan yang pernah ia lakukan di dunia.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Yasin: 65: “Pada hari ini
Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami,
dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan.”
Keimanan yang terus menerus dijaga dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan akan membuahkan kesucian diri. Suci lahir dan batin. Dan
kondisi ini yang akan menjadi dinding tebal untuk menghalangi
masuknya godaan setan yang terkutuk.
“Beruntunglah orang-orang yang menyucikan dirinya dan merugilah
orang-orang yang mengotori dirinya.” Demikian diungkapkan dalam ayat
9-10 surat Asy-Syams.
Ketika diri kita suci lahir dan batin karena dihiasi iman, maka
keberuntungan dan kebahagiaan akan selalu menyertai kita. Allah
menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya, lahir dan batin.
Ketika Allah sudah menyukai hamba-Nya, maka apa pun keinginan
hamba-Nya tersebut akan dipenuhi. Doanya akan dikabulkan,
kesulitannya akan dihapuskan, dan cita-citanya akan diwujudkan. Betapa
bahagianya orang-orang yang dicintai Allah. Semoga kita termasuk di
dalamnya. Amiin.
Bentengi Diri dengan Dzikrullah
Setelah iman disematkan ke dalam lubuk hati yang paling dalam,
maka benteng lainnya yang tak kalah penting untuk menjaga diri dari
godaan setan adalah Dzikrullah, yaitu dzikir atau selalu mengingat Allah.
Dzikrullah merupakan aktifitas untuk selalu mengingat Allah dalam
segala kondisi, setiap saat setiap waktu, baik dilakukan secara lisan
dengan menyebut asma Allah, mengucapkan kalimat kalimat thayyibah,
maupun dengan cara bertafakkur, merenung, memikirkan semua ciptaan
Allah dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Orang yang senantiasa dzikrullah akan mendapatkan bimbingan
serta petunjuk Allah Swt. Dengan dzikrullah ia akan mendapatkan
ketenteraman hati dan ketenangan jiwa. Sehingga setiap langkahnya
selalu bernilai positif. Segala sikap dan perilakunya berbuah kebaikan.
Dia akan bersikap bijak dalam setiap situasi dan kondisi.
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. ar-Ra‟du:28).
Dengan membiasakan diri untuk selalu mengingat Allah, maka tidak
ada celah dan ruang bagi setan untuk menggodanya, karena Allah akan
menjadi teman bagi orang-orang yang selalu berzikir.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa suatu ketika Allah SWT
berfirman kepada nabi Musa as. “Hai Musa! Apakah tidak engkau ketahui
bahwa Aku adalah teman duduk bagi orang yang berdzikir kepada-Ku.
Dan (lebih dari itu) dimanapun hambaKu mencari Aku, maka pasti
menjumpai-Ku.” (HR. Ibnu Syahin dari Jabir as)
Bayangkan jika Allah selalu mendampingi kita, bisa dipastikan tidak
ada satu kekuatan pun yang mampu mengalahkan kita, tidak pula bujuk
rayu iblis atau tipu daya setan. Karena Allah akan menjadi penolong kita
untuk menghalau semua kekuatan itu.
Bayangkan jika Allah selalu ada di sisi kita, tak akan pernah ada
rasa takut dan cemas dalam menghadapi segala persoalan hidup. Tak
ada kekhawatiran dan kegelisahan ketika beragam ujian dan cobaan tak
henti-hentinya menimpa kita. Karena Allah Yang Maha Pemberi solusi
pasti akan menunjukkan jalan keluar terbaik kepada kita.
Bayangkan jika Allah selalu menyertai kita, tentu kita akan merasa
aman dan tenang karena Allah akan menjaga kita dari segala hal yang
akan membahayakan dan mencelakakan kita.
Bayangkan jika Allah selalu bersama kita, maka bisa dipastikan
segala kebaikan, keberuntungan dan kebahagiaan akan selalu hadir
menyertai hari-hari kita.
Semua itu dapat terjadi jika kita selalu istiqamah dalam menjaga
kebersamaan kita dengan Allah dengan jalan dzikrullah, yaitu berdzikir
kepada-Nya dengan lisan, pikiran dan hati kita. Dzikir yang konsisten,
tulus dan ikhlas dalam setiap kondisi, tidak dibatasi sekat ruang dan
waktu. Dzikir tiada henti, dzikir sepanjang masa.
Jangan Terjebak Keburukan yang Melenakan

Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun


banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada
Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
(Q.S. Al-Maidah: 100)

Sudah menjadi sunnatullah bahwa di dunia ini selalu ada dua hal
yang saling berlawanan satu sama lain. Ada senang ada susah, ada suka
ada duka, ada tangis ada tawa, ada benci ada cinta, ada positif ada
negatif, ada baik ada buruk.
Secara naluri, manusia akan tertarik kepada hal-hal yang
menyenangkan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih
memilih derita daripada bahagia, sedih daripada gembira, duka daripada
suka. Setiap orang akan memilih kesenangan, kegembiraan dan
kebahagiaan.
Persoalannya adalah, apakah yang menarik hati seseorang itu yang
pada gilirannya akan melahirkan kesenangan dan kegembiraan adalah
hal yang baik? Ataukah justru yang membuat seseorang tertarik itu
hakekatnya adalah sesuatu yang buruk?
Di titik inilah setan menjalankan perannya sebagai penggoda agar
manusia jatuh ke dalam jurang kesesatan dengan penuh lumur dosa. Ya,
setan sang durjana tidak pernah kehabisan strategi untuk menyeret
manusia mengikuti jejak langkahnya agar bisa bersama-sama kekal di
neraka kelak.
Dengan kelicikannya, setan akan mempengaruhi manusia untuk
menganggap hal-hal yang sesungguhnya buruk untuk dikerjakan dan
berdosa jika dilakukan, sebagai hal-hal yang baik dan wajar-wajar saja.
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama
dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? maka sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.” (Q.S. Fathir: 8)
Ayat tersebut menegaskan tentang kelihaian setan mengaburkan
pandangan manusia, menanamkan keraguan dalam hati mereka,
membuat mereka „buta‟ mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.
Setan dengan kekuatannya mampu meyakinkan manusia bahwa hal
buruk yang dilakukan mereka dianggap sebagai sesuatu yang baik.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan ini, orang-orang yang biasa
melakukan keburukan dan kejahatan tidak menganggap apa yang
dilakukannya adalah suatu dosa. Mereka menganggap kebiasaan buruk
yang dilakukannya adalah hal yang wajar dan lumrah. Tidak jarang
mereka menganggap baik yang dikerjakannya itu.
Para pedagang yang biasa berlaku curang, misalnya, mereka tidak
menganggap perbuatannya itu sesuatu yang buruk apalagi dosa. Dengan
dalih bahwa tanpa berbuat demikian mereka tidak akan mendapatkan
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka
mereka pun tetap melanggengkan praktek curangnya dalam berdagang.
Para pejabat yang biasa melakukan tindak kejahatan berupa korupsi
dan penyalahgunaan wewenang karena kekuasaan yang dimilikinya,
tetap merasa enjoy dengan perbuatan jahatnya tersebut.
Para penegak hukum yang harusnya menegakkan keadilan tanpa
pandang bulu dan pilih kasih, karena iming-iming materi yang
menggiurkan, mereka tak segan memutar balikkan fakta dan menafikan
nilai-nilai keadilan. Dan mereka tidak merasa bersalah dengan
tindakannya tersebut. Jangan-jangan mereka menganggap baik apa yang
mereka kerjakan itu.
Inilah tipu daya setan. Menjadikan pandangan manusia terbolak-
balik. Keburukan dianggap kebaikan, sedangkan kebaikan justru
dianggap keburukan.
Apabila kita ingin mendapat kebahagiaan dan keberuntungan yang
hakiki, maka kita harus hati-hati dan waspada, jangan sampai terjebak
keburukan yang melenakan.
Hati-Hati! Jalan Menuju Neraka Penuh dengan Kesenangan
(Syahwat)

“Neraka diliputi oleh berbagai macam syahwat dan surga diliputi


oleh berbagai macam perkara yang tidak disukai.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini merupakan peringatan bagi kita untuk selalu bersikap
waspada terhadap segala bentuk kesenangan yang hadir di hadapan kita.
Karena, bisa jadi kesenangan tersebut adalah jebakan setan yang pada
gilirannya akan menyeret kita ke dalam neraka.
“Wahai Tuhanku, karena engkau telah menetapkan aku sesat, maka
aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di
muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS Al
Hijr 39)
Sebaliknya, dalam hadis tersebut juga ditegaskan bahwa jalan
menuju surga diliputi hal-hal yang tidak menyenangkan dan cenderung
tidak kita sukai.
Saya akan mengurai dua kondisi berbeda ini melalui beberapa
contoh nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga, melalui uraian
tersebut diharapkan kita tidak terjebak kesenangan (syahwat) semu
yang bersifat relatif dan sementara. Dan juga tidak terburu-buru
menganggap buruk hal-hal yang tidak menyenangkan dan tidak kita
sukai.
Bahasan pertama, yaitu tentang jalan menuju neraka yang diliputi
syawat atau kesenangan akan menjadi uraian pokok pada sub bab ini.
Adapun bahasan kedua, tentang jalan menjuju surga yang diliputi oleh
hal-hal yang tidak disukai akan saya bahas pada sub bab berikutnya.
Mari kita cermati segala bentuk kesenangan yang ada dalam
kehidupan kita. Jangan sampai kesenangan tersebut justru akan
menjerumuskan kita kepada kesengsaraan berkepanjangan, yaitu
mengantarkan kita ke dalam neraka.
“Diri manusia dihiasi kecintaan kepada wanita, anak – anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang – binatang
ternak dan sawah ladang.”(QS Ali Imran 14)
Ayat di atas merupakan gambaran secara umum tentang hal-hal
menyenangkan yang meliputi kehidupan manusia. Kecintaan terhadap
wanita, anak-anak serta harta adalah jalan utama setan untuk
menggelincirkan manusia.
Di Indonesia ada istilah 3 ta yang bagi sebagian orang mungkin
menjadi ukuran kesuksesan. Tetapi, dalam pandangan penulis justru
menjadi akar masalah atau jalan setan untuk menjerumuskan manusia,
jika ia tidak mampu menjaganya dengan tuntunan agama. 3 ta yang
saya maksud adalah: harta, tahta, wanita.
Harta, tahta dan wanita adalah kesenangan duniawi yang sering
melenakan kita. Inilah pintu masuk setan untuk menyeret kita ke dalam
jurang neraka.
Dalam tradisi masyarakat Jawa ada bentuk kearifan lokal yang
tertuang dalam sebuah ungkapan, salah satunya adalah istilah Mo-Limo.
Mo-Limo adalah sebuah bentuk larangan atau pantangan yang harus
dihindari oleh setiap orang jika ingin hidup bahagia dan selamat dari
hukuman, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Mo-Limo ini
diterjemahkan sebagai 5 M, yaitu; maling (mencuri, merampok,
mengambil hak orang lain, termasuk juga korupsi), madat (nyabu), main
(berjudi), minum (mabuk-mabukan), dan madon (main perempuan).
Kelima aktivitas tersebut termasuk dalam perangkap setan yang
sering melenakan seseorang. Kesenangan semu yang didapat orang yang
melakukan lima aktivitas tersebut akan mengantarkannya pada
kesengsaraan berkepanjangan.
Orang yang menghalalkan segala cara demi menumpuk pundi-pundi
kekayaannya, yaitu dengan cara maling (mencuri, menipu, korupsi) akan
selalu diliputi rasa tidak tenang dalam menjalani hidupnya. Meski, secara
kasat mata orang lain melihatnya sebagai orang sukses dengan
kelimpahan harta yang dimilikinya, tetapi pada hakekatnya dalam diri
orang tersebut selalu dihantui rasa tidak tenang. Orang seperti ini tidak
mungkin dapat merasakan kebahagiaan hakiki. Batinnya justru akan
semakin tersiksa dan merana. Lebih-lebih, jika dia terus menerus
melakukan aktivitasnya tersebut. Dia akan semakin terjerumus ke dalam
lembah dosa.
Seseorang yang senang minum (mengonsumsi minuman keras atau
segala yang memabukkan) biasanya adalah orang frustrasi yang ingin
melepaskan diri dari segala keruwetan hidup yang dialaminya. Bahkan
bisa dikatakan, dia berusaha melarikan diri dari kenyataan. Dia berharap,
dengan meminum minuman yang memabukkan akan membuatnya
tenang dan rileks menghadapi masalah. Padahal, itu hanyalah sebuah
keinginan dan kesenangan semu. Karena mabuknya bersifat sementara.
Setelah dia tersadar, maka segala persoalan hidupnya akan kembali
hadir. Orang seperti ini juga tidak akan pernah mengecap kebahagiaan
yang sesungguhnnya. Justru dia akan semakin terseret ke dalam
kubangan dosa.
Demikian halnya seseorang yang senang main (berjudi). Alih-alih
kekayaan dan kelimpahan materi yang dia dapatkan, justru kehancuran
dan kemalangan yang dia peroleh. Bagaimana tidak, judi adalah sebuah
aktivitas (permainan) yang selalu melambungkan angan-angan (semu)
seseorang untuk memperoleh harta atau materi berlimpah tanpa kerja
keras. Ketika seseorang menang dalam berjudi, maka dia tidak akan
pernah puas atas apa yang diperolehnya. Dia akan terus berjudi untuk
mendapatkan yang lebih banyak. Pada akhirnya, bukan harta berlimpah
yang dia peroleh, tetapi hutang menumpuk, kebangkrutan, kemalangan,
kehancuran rumah tangga, dan yang sangat menghinakan adalah dosa
yang menggunung.
Kesenangan selanjutnya yang sering melenakan seseorang adalah
kebiasaan buruk berupa madon (main perempuan). Dalam bahasa agama
kegiatan ini disebut dengan zina. Seseorang yang terbiasa melakukan
zina akan terus dibuai dan dibelit oleh nafsu (syahwat) biologisnya. Dia
akan terus berpetualang mencari „korban-korban‟ baru dalam kehidupan
seksualnya. Dia tidak peduli dengan norma-norma masyarakat, lebih-
lebih norma agama. Dia telah dibutakan oleh nafsunya. Orang sperti ini
tidak akan pernah merasakan kebahagiaan hakiki. Dia akan terus
diperbudak nafsunya. Jika hal ini terus menerus dilakukan, bukan tidak
mungkin dia akan mengidap penyakit kelamin (sebagai akibat kebiasaan
buruknya). Dia juga akan terjerembab bahkan jatuh ke dalam ap neraka
di akhirat kelak, jika tidak segera bertobat.
Mo-Limo yang menjadi pantangan dalam tradisi Jawa ini bisa
menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kelima hal „menyenangkan‟
nan melenakan tersebut adalah cara setan untuk mengelabui kita. Setan
berusaha menjerumuskan kita ke dalam neraka untuk menemaninya di
sana dengan hal-hal yang tampak menyenangkan. Padahal, beragam
kesenangan yang ditawarkan setan tersebut hanyalah sebuah ilusi dan
tipu daya belaka.
Jika kita mampu menghindari serta menjauhinya, insya Allah
kehidupan kita akan selamat dan bahagia.

Sabar! Jalan Menuju Surga Memang Penuh dengan Sesuatu yang


Tidak Menyenangkan
Setelah kita membahas hal-hal „menyenangkan‟ yang melenakan
dan menjadi jalan pintas menuju neraka, maka kali ini kita akan
menelusuri jalan terjal, berliku dan „tidak menyenangkan‟ yang akan
mengantarkan kita ke surga.
Jalan terjal, berliku dan cenderung tidak disukai itu setidaknya
terangkum dalam rukun Islam yang lima; syahadat, sholat, zakat, puasa
dan haji.
Mari kita urai satu persatu kelima rukun Islam tersebut, sehingga
kita akan bisa melihatnya secara jernih.
Pertama, syahadat. Syahadat merupakan sebuah persaksian kita
akan keesaaan Allah (tauhid), serta kenabian dan kerasulan Muhammad,
merupakan komitmen awal kita dalam beragama (Islam).
Syahadat menunujukkan bahwa kita yakin sepenuh hati bahwa tidak
ada tuhan lain selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah.
Kita hanya mengakui satu Tuhan. Kita hanya mengabdi dan beribadah
kepada Tuhan Yang Esa, yakni Allah Swt.
Ironisnya, persaksian ini, baik secara sadar atau tidak sadar sering
kita langgar. Kita sering „mengabdi‟ kepada tuhan-tuhan lain selain Allah.
Kita sering menjadikan kekuasaan; pangkat dan jabatan, harta, wanita
atau mungkin hal-hal yang bersifat materi lainnya sebagai tuhan kita.
Kita baktikan jiwa dan raga kita untuk kepentingan duniawi. Kita rela
pergi pagi pulang malam untuk mengejar dan terus mengejar materi.
Bahkan sampai melupakan Sang Maha Pemberi materi itu.
Tidak jarang kita lebih percaya dan meyakini petuah orang-orang
yang dianggap „pintar‟, hanya untuk memuaskan kepentingan kita dalam
berburu kesenangan duniawi, daripada pesan-pesan Allah melalui firman-
Nya, Al-Qur‟an. Kita lebih senang menyimpan benda-benda tertentu yang
dianggap sebagai „jimat‟ untuk memudahkan usaha kita, daripada
melanggengkan amal shalih dan aktivitas ibadah sebagai modal utama
dalam usaha kita.
Pada titik ini, hakekatnya kita telah merusak syahadat yang selalu
kita ikrarkan setiap shalat. Kita bersikap mendua. Dalam kondisi
beribadah (baca: shalat) kita ikat perjanjian bersama Allah, tetapi di luar
shalat kita nafikan perjanjian itu. Inilah pondasi yang kita bangun
kemudian kita hancurkan sendiri.
Sesungguhnya, jika kita tetap teguh dan konsisten (istiqamah)
menjaga syahadat kita, maka kebahagiaan hidup akan dapat kita raih.
Kedua, shalat. Inilah ibadah yang sangat istimewa. Untuk
menyampaikan perintah ibadah yang satu ini, Allah langsung meminta
Nabi Muhammad Saw. „menemui‟-Nya. Melalui peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj
kita diberi pemahaman tentang hal itu.
Shalat adalah sebuah ritual komunikasi seorang hamba dengan
Tuhannya. Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihitung (hisab) pada
hari perhitungan (yawm al-hisab) nanti. Pada hakekatnya, shalat
merupakan ukuran kesalehan seseorang. “Jika shalat seseorang itu baik,
maka baik pula seluruh amalnya. Dan jika shalat seseorang itu buruk
(rusak), maka rusak pula seluruh amalnya”, demikan sabda Nabi Saw.
Lantas bagaimanakah shalat yang baik itu? Dan juga seperti apa
shalat yang buruk itu?
Al-Quran menjawab pertanyaan ini dengan sangat lugas.
“Sesungguhnya shalat itu (dapat) mencegah dari perbuatan yang keji
dan munkar”. Jadi, esensi shalat itu adalah sebuah upaya preventif
untuk mencegah dan menghindarkan seseorang dari perbuatan keji dan
munkar (dosa). Jika demikian dampak yang timbul dari ritual ibadah
shalat pada diri seseorang, maka dapat dikatakan bahwa shalat orang
tersebut baik, tidak hanya secara ritual tetapi juga secara esensial. Dan
bisa dipastikan bahwa orang tersebut termasuk kelompok orang yang
baik (muhsin). Tetapi jika sebaliknya, shalat yang dilakukan oleh
seseorang tidak dapat mencegah dan menghindarkannya dari perbuatan
dosa, atau tidak ada pengaruh sama sekali nilai-nilai dari ibadah shalat
tersebut dalam diri seseorang, maka bisa disebut bahwa shalat orang
tersebut buruk, meski secara ritual benar (sesuai dengan syariat). Dan
orang orang tersebut termasuk kelompok orang yang berdosa (mujrim).
Shalat (fardlu) yang „hanya‟ lima kali sehari semalam adalah ibadah
yang sangat berat untuk dikerjakan, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu, yaitu orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui
Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. Demikian
ditegaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 46.
Shalat yang baik adalah sarana menuju kebahagiaan, sementara
shalat yang buruk adalah jalan menuju kesengsaraan.
Ketiga, Zakat. Sudah menjadi tabiat manusia untuk selalu
mempertahankan apa yang dimilikinya. Bahkan, setiap orang berusaha
untuk selalu menambah jumlah kepemilikannya. Di sisi lain, Islam
mengajarkan umatnya untuk berbagi dengan sesama. Salah satu ajaran
Islam tentang perintah untuk berbagi adalah kewajiban membayar zakat.
Zakat, seperti didefinisikan para ulama fiqh adalah derma yang telah
ditetapkan jenis, jumlah dan waktunya. Sejumlah ayat menjelaskan
tentang urgensi serta manfaat zakat baik bagi individu maupun sosial.
Ironisnya, banyak di antara kita (umat Islam) yang belum menyadari
pentingnya serta manfaat ibadah zakat. Rasa enggan untuk berzakat itu
didasarkan pada logika rasional manusia. Dalam hitungan matematis,
harta yang kita miliki, jika diambil untuk berzakat tentu akan berkurang
jumlahnya. Uang yang kita miliki dan kemudian sebagian diberikan
kepada orang lain tentu akan berkurang. Itulah logika matematika yang
sering kita pakai, sehingga enggan dan berat untuk mengeluarkan zakat.
Padahal, dalam hal ibadah logika tersebut tidak berlaku. Allah Swt.
punya logika sendiri dalam penetapan syariat untuk dijalankan umat-
Nya.
Istilah lain dalam Islam yang mengandung makna derma atau
memberikan sesuatu kepada orang lain atau untuk kepentingan agama
disebut infaq dan shadaqoh.
Pengertian infaq lebih luas dan lebih umum dibanding dengan zakat.
Infaq adalah memberikan sesuatu berupa harta atau kekayaan dengan
tidak ditentukan jenisnya, jumlahnya dan waktunya. Allah memberi
kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan jenis harta, berapa
jumlah yang yang sebaiknya diserahkan dan kapan penyerahannya.
Adapun shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding
infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebaikan yang tidak terikat oleh
jumlah, waktu dan juga tidak terbatas pada materi, tetapi dapat berupa
non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, memberikan
senyuman dan wajah yang manis dan bersahabat kepada orang lain, dan
perilaku baik lainnya.
Dalam hal perintah untuk berbagi dengan sesama, Allah
menggunakan logika tersendiri, yang sama sekali berbeda dengan logika
matematika. Harta yang kita dermakan, pada hakekatnya adalah
„investasi‟ yang akan kita panen kelak di akhirat, dan mungkin juga di
dunia. Allah bahkan mengibaratkan harta yang kita infakkan di jalan-
Nya, ibarat benih yang akan tumbuh menjadi tujuh butir, dan tiap butir
berisi seratus biji. Allah akan melipatgandakan pahala siapa saja yang
dikehendaki. Demikian diungkapkan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah
ayat 261.
Dalam ayat lain, Allah Swt menegaskan, “Sungguh beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu‟ dalam
shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya… (Q.S. Al-
Mukminun: 1-5).
Jelaslah bahwa zakat dan juga infak serta shadaqoh adalah jalan
bagi siapa saja yang ingin mendapatkan keberuntungan dan
kebahagiaan, baik di dunia ini ataupun di akhirat kelak.
Keempat, Puasa. Satu-satunya ibadah yang hanya diketahui oleh
pelaku dan Allah Swt adalah puasa. Ya, puasa adalah ibadah istimewa
yang menuntut kejujuran pelakunya. Jika ibadah lain seperti shalat,
zakat dan haji dapat disaksikan dan diketahui oleh orang lain, tetapi
puasa hanya bisa diketahui oleh orang yang melakukannya dan Allah
Swt. Puasa adalah ibadah rahasia yang tidak disebutkan berapa
pahalanya. Hanya Allah sendiri yang tahu, dan akan memberikannya
langsung kepada orang yang mengerjakan ibadah tersebut.
Puasa adalah cara Allah untuk melatih kejujuran pada umat-Nya.
Puasa juga merupakan sarana latihan kepekaan terhadap sesama
manusia. Dalam berpuasa kita diajarkan bagaimana berempati terhadap
nasib orang-orang yang kurang beruntung, yakni mereka yang sering
atau mungkin selalu merasakan kelaparan. Dengan berpuasa kita diajak
untuk ikut merasakan penderitaan fakir miskin dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
Inti dari ibadah puasa adalah menahan diri dari segala bentuk nafsu
yang ada dalam diri manusia, baik nafsu biologis (jasmani) seperti
makan, minum dan berhubungan seks, maupun nafsu psikologis (ruhani)
seperti iri, dendam, marah, berburuk sangka, dan sebagainya.
Tujuan utama puasa, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an
surat al-Baqarah: 183 adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa.
Inti takwa adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah Swt dan
keteguhan menjaga diri dan menghindari dari beragam larangan Allah.
Dan puasa mengajarkan kita dua hal tersebut. Takwa adalah jalan
menuju kebahagiaan hakiki nan abadi. Dan, puasa adalah salah satu
cara untuk menggapainya.
Kelima, Haji. Ibadah yang satu ini melibatkan seluruh potensi baik
dari dalam maupun dari luar diri seseorang, yaitu fisik, mental (psikis)
dan finansial. Ketiga aspek itu harus dimiliki seseorang yang hendak
menjalankan ibadah haji. Al-Qur‟an menyebut ketiga aspek tersebut
dengan istilah „istitha‟ah‟ (kemampuan). Seperti dijelaskan dalam al-
Qur‟an surat Ali Imran: 97: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.”
Tanpa didasari keimanan yang kuat, seseorang enggan untuk
melaksanakan ibadah haji. Betapa tidak, untuk melaksanakan ibadah
haji, seseorang harus membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH)
yang tidak sedikit. Belum lagi, dia harus meninggalkan kampung
halamannya berminggu-minggu. Fisik dan mental juga harus dalam
kondisi baik, dan berbagai persiapan lainnya demi kelancaran
pelaksanaan ibadah haji. Sekali lagi, tanpa didasari keimanan yang
mantap, seseorang akan berpikir beberapa kali untuk melaksanakan
ibadah haji. Padahal, Rasulullah Saw menegaskan bahwa haji yang
mabrur, tidak ada balasan lain selain surga.
Jalan menuju surga memang terjal dan berliku. Penuh rintangan di
kanan kirinya. Tetapi akhir dari perjalanan tersebut adalah kebahagiaan
hakiki nan abadi.
Terpesona Anugerah Allah

“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah agar kalian berbahagia”


(Q.S. Al-A‟raf: 69)

Pernahkah kita berpikir bahwa nikmat terbesar yang Allah berikan


kepada kita adalah dihadirkannya kita ke muka bumi ini. Ya, dengan ijin
Allah kita diberikan kesempatan untuk menikmati indahnya kehidupan
dunia. Setelah berjuang melawan jutaan sel sperma lainnya untuk
bertemu dengan sel telur, kita ditakdirkan Allah untuk menjadi
pemenang. Kemudian lahirlah kita ke muka bumi ini.
Kita patut bersyukur, dengan hadir ke dunia ini kita berkesempatan
untuk mengabdikan diri kita kepada Sang Khalik, yakni Allah Swt.
Karena, memang itulah tujuan Allah menciptakan kita. Dengan hadir ke
muka bumi ini pula kita dapat berbuat banyak hal (positif) untuk
kemanfaatan umat manusia dan juga alam (jagat raya) ini. Kita dapat
mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki demi
kemaslahatan, sebagai bekal (investasi) kita untuk kehidupan yang lebih
kekal di akhirat kelak, dan sebagai pertanggung jawaban di hadapan
Sang Khalik.
Inilah sesungguhnya nikmat terbesar, yang ironisnya sering kita
lupakan.

Kenanglah Anugerah Allah agar Kita Berbahagia!


Setiap manusia yang lahir ke muka bumi ini tentu berharap
mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat
kelak. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah agar kebahagiaan itu
dapat dicapai? Apa syarat utama untuk mendapatkan kebahagiaan itu?
Dalam al-Qur‟an terdapat sebelas ayat yang diakhiri dengan kalimat
la‟allakum tuflihuna (agar kalian berbahagia). Ayat-ayat tersebut
menyebutkan syarat-syarat yang harus ditempuh agar kita dapat
berbahagia.
Dalam pembahasan kali ini, saya akan menguraikan satu di antara
sekian syarat tersebut, yaitu yang termaktub dalam Surat Al-A‟raf: 69:
“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah agar kalian berbahagia”.
Di antara penyakit yang sering melanda jiwa manusia adalah
perasaan resah, gelisah, cemas, khawatir dan kecewa. Kesemua
perasaan tersebut menunjukkan satu rasa: tidak bahagia. Jika penyakit
tersebut tidak segera diobati, maka lambat laun seseorang akan
merasakan kegamangan hidup, bahkan lebih jauh, ia tidak tahu lagi apa
tujuan hidupnya. Sehingga kehidupan yang dijalaninya terasa hambar
tanpa makna (the meaningless life). Akibat paling fatal dari penyakit
kejiwaan ini adalah, seseorang mudah mengakhiri hidupnya dengan cara
tragis: bunuh diri!
Jika kita cermati lebih lanjut, pokok persoalan yang memicu lahirnya
sejumlah penyakit kejiwaan tersebut adalah tidak adanya rasa syukur
pada diri seseorang atas segala limpahan nikmat serta anugerah yang
telah Allah berikan kepadanya. Ketiadaan rasa syukur ini melahirkan
perasaan „selalu kurang‟ dalam segala hal. Segala fasilitas yang telah
Allah berikan berupa nikmat hidup, kesehatan, rizki, waktu dan beragam
nikmat lainnya tidak pernah diperhatikannya. Seolah-olah semua itu tak
ada artinya, hilang tanpa bekas. Inilah sesungguhnya sumber utama
munculnya penyakit-penyakit kejiwaan yang menjadikan seseorang tidak
bahagia.
Padahal, kalau seseorang mau menyadari bahwa di dalam dirinya
terdapat sekian banyak nikmat serta anugerah yang telah Allah berikan,
yang sampai mati pun ia tak akan sanggup untuk menghitungnya,
niscaya ia akan selalu dapat merasakan kebahagiaan dalam hidup ini.
Pernahkah kita menghitung berapa biaya yang harus kita keluarkan
setiap hari, jika setiap tarikan nafas kita harus dibayar dengan rupiah,
seperti halnya pasien di ruang ICU yang menggunakan tabung oksigen
untuk sekedar bisa bernafas? Pernahkah kita berpikir berapa ongkos
operasi yang harus kita bayarkan, jika penglihatan kita tidak sempurna?
Pernahkah kita merenung berapa banyak uang yang harus kita keluarkan
jika pendengaran kita terganggu dan harus menjalani operasi? Betapa
tersiksanya kita jika indera penciuman kita tidak berfungsi secara
normal. Dan betapa hambarnya hidup ini jika lidah kita sudah mati rasa
sehingga tidak bisa membedakan rasa manis, asin, pahit dan aneka rasa
lainnya. Inilah nikmat-nikmat luar biasa yang sering kita lupakan. Kita
menganggap nikmat-nikmat tersebut sebagai hal biasa yang lazim kita
rasakan. Betapa kita terlalu mudah melupakan anugerah Allah berupa
nikmat-nikmat yang begitu besar tersebut. Sungguh, jika kita
menghitung nikmat Allah, sampai kapan pun kita tidak akan mampu
menghitungnya.
Selain nikmat yang Allah berikan melalu panca indera, nikmat lain
yang tak kalah pentingnya, dan menjadi sentral dari seluruh aktivitas kita
adalah otak. Ya, otak adalah salah satu ciptaan Allah yang maha dahsyat.
Di dalam otak terdapat milyaran sel, yang jika diberdayakan akan
melahirkan potensi yang luar biasa. Menurut sebuah penelitian, otak kita
mampu menggabungkan ratusan informasi yang datang dari panca
indera kita dan hanya memerlukan 1/1000 detik untuk mengelolanya dan
meneruskan ke otot supaya bergerak seperti yang diperintahkan otak.
Dengan kemampuan yang sangat luar biasa ini, maka otak kita jauh lebih
hebat dari komputer super canggih sekalipun!
Dengan mengingat dan memperhatikan nikmat-nikmat yang Allah
berikan, akan melahirkan rasa syukur dalam diri kita. Rasa syukur yang
terus menerus dipupuk dalam lubuk hati ini akan menghadirkan
kedamaian dan kebahagiaan dalam jiwa kita.
Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah agar kalian berbahagia.

Rahmat-Nya Meluluhkan Murka-Nya


Tuhan… dosaku menggunung tinggi…
Tapi rahmat-Mu melangit luas… (Aa Gym)

Kutipan syair lagu nasyid di atas yang dipopulerkan oleh Aa Gym


rasanya tepat untuk menggambarkan betapa rahmat Allah Swt. begitu
besar kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Kata „rahmat‟ yang sering diterjemahkan dengan kasih sayang itu
adalah anugerah terbesar yang Allah berikan kepada kita, hamba-Nya.
Dengan rahmat-Nya, kita bisa hadir ke muka bumi ini. Dengan rahmat-
Nya pula kita dapat menikmati kehidupan ini dengan beragam fasilitas
yang diberikan oleh Allah. Dengan rahmat-Nya, Allah membuka lebar-
lebar pintu taubat bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya. Dan
dengan rahmat-Nya pula, seorang pendosa yang kejahatan serta dosa-
dosanya setinggi gunung dan seluas samudera sekalipun, masih ada
harapan untuk mendapatkan ampunan (maghfiroh)-Nya. Singkatnya,
rahmat Allah mampu meluluhkan murka-Nya.
Betapa beruntungnya kita yang memiliki Tuhan yang begitu sayang
kepada hamba-hamba-Nya. Tuhan yang cinta-Nya tanpa pamrih, kasih-
Nya tak bertepi dan sayang-Nya tak berkesudahan. Betapa bahagianya
kita yang mempunyai Tuhan yang selalu membuka pintu ampunan-Nya
setiap saat, yang selalu merindukan hamba-hamba-Nya untuk kembali ke
jalan-Nya (taubat). Dialah Allah Swt, Tuhan Yang Maha Rahman dan
Rahim, Maha Pengampun (al-Ghafur), Maha Penerima Tobat (at-
Tawwab).
Allah Swt menegaskan dalam Q.S. Al-A‟raf: 156: “…Rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu…”
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw bersabda: “Ketika Allah
menciptakan makhluk, Allah menulis di dalam kitabNya, Dia (Allah)
menulis atas diriNya, lalu Dia Swt meletakkan di sisi Nya pada Arasy :
"Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku”. ( HR. Al-
Bukhari )
Betapa besar kasih sayang serta kecintaan Allah kepada hamba-
hamba-Nya, sehingga menetapkan bagi diri-Nya untuk mendahulukan
rahmat-Nya di atas murka-Nya. Betapa tulus cinta dan kasih sayang
Allah, sehingga Dia selalu membuka pintu taubat bagi para hamba-Nya
yang berbuat dosa. Dan betapa agung perhatian-Nya kepada para
hamba-Nya, sehingga Dia menjanjikan kesuksesan dan kebahagiaan
kepada siapa saja yang taat dan patuh kepada-Nya serta setia
menempuh jalan-Nya.
Sebaliknya, betapa kecilnya kecintaan kita kepada Allah, sehingga
alih-alih patuh dan taat kepada perintah-Nya, kita justru lebih sering
mengabaikan bahkan melanggar perintah-Nya dan mengerjakan yang
dilarang-Nya. Padahal, semua yang kita miliki, semua yang kita nikmati
dalam hidup ini adalah sepenuhnya milik Allah. Ilmu, harta, kedudukan
serta segala fasilitas hidup yang kita miliki hanyalah amanat, titipan dari
Allah Swt yang kelak dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.
Disadari atau tidak, kita sering menganggap bahwa kesuksesan
yang kita raih, kenikmatan hidup yang kita capai adalah hasil kerja keras
kita semata. Kita bangga menjadi orang berilmu, kita bangga menjadi
orang kaya, kita bangga menjadi pejabat, kita bangga memiliki status
sosial yang tinggi di masyarakat, dan kita bangga menjadi panutan
masyarakat. Tetapi, satu hal yang sering kita lupakan, yaitu peran dan
ijin Allah atas semua kesuksesan yang kita raih.
Kita sering menafikan kehadiran Allah dalam setiap langkah
kesuksesan yang kita capai. Kita menganggap rencana matang serta
kerja keras yang kita lakukan selama ini adalah pangkal kesuksesan dan
keberhasilan kita. Kita jarang menyadari bahwa meski rencana kita luar
biasa matangnya, kerja keras kita luar biasa hebatnya, tetapi kalau Allah
tidak mengijinkan kita untuk dapat mencapai semua keinginan kita,
karena Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita, maka semua
rencana dan kerja keras kita tidak akan mewujudkan apa pun impian dan
cita-cita kita.
Karena kasih sayang Allahlah kita bisa sukses. Karena cinta dan
perhatian-Nya pula kita bisa mewujudkan cita-cita dan keinginan kita.
Sungguh, kasih sayang Allah meliputi segala-galanya, bahkan mampu
meluluhkan murka-Nya.
Perbanyak Mengingat Allah (Dzikir)

“…Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian


berbahagia…”
(Q.S. 8 : 45)

Mungkin kita sering bertanya-tanya, bagaimanakah menghadirkan


kebahagiaan secara terus menerus dalam kehidupan ini? Adakah cara
sederhana agar kita selalu diliputi kebahagiaan?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas ada baiknya kita
belajar dari pengalaman kita masing-masing. Pernahkah kita mencintai
seseorang? Apa yang sering kita lakukan untuk menunjukkan rasa cinta
kita, sekaligus menghadirkan rasa bahagia dalam diri kita?
Ya, menyebut namanya. Salah satu bukti rasa cinta seseorang yang
akan menimbulkan perasaan bahagia adalah seringnya menyebut nama
orang atau sesuatu yang dicintainya. Dengan terus menerus menyebut
nama yang dicintainya, maka seseorang akan merasakan kebahagiaan.
Bahkan, ketika orang lain menyebut namanya saja dapat menimbulkan
getaran dalam hati kita. Ada rasa senang dan bahagia ketika nama orang
yang kita cintai disebut, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain.
Demikian halnya, jika seorang hamba benar-benar mencintai
Tuhannya, maka dia akan terus menerus mengingat dan menyebut nama
Tuhannya. Karena hal ini akan menimbulkan perasaan bahagia tak
terhingga. Perasaan damai akan merasuki relung jiwanya. Ketenteraman
akan bersemayam di dalam batinnya. Dan ketenangan akan
menghunjam ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Inilah rasa cinta
yang sesungguhnya. Kebahagiaan akan selalu hadir bagi para pencinta
yang begitu tulus mengingat, menyebut dan „menghadirkan‟ Dzat yang
dicintainya, yakni Allah Swt.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang penulis kutip di awal
tulisan ini: “…Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar
kalian berbahagia…”
Dirikanlah Shalat untuk Mengingat-Ku!
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.” (Q.S.
Thaha: 14)
Ayat di atas menegaskan bahwa setelah Allah menunjukkan
eksistensi diri-Nya, dan menyatakan tidak ada tuhan selain Dia,
selanjutnya Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mendirikan
shalat untuk mengingat-Nya.
Shalat adalah barometer keimanan seseorang. Jika seseorang
shalatnya baik, dalam artian tidak sekedar mengerjakan shalat sesuai
ketentuan fiqh, yakni memenuhi sayarat dan rukunnya saja, tetapi
menghayati makna terdalam dari seluruh aktivitas shalat berupa gerakan
dan bacaannya, kemudian diterjemahkan dengan pengamalan ke dalam
aktivitas sehari-hari, maka sudah pasti amal yang lainnya pun akan baik.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, “Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-
Ankabut: 45).
Inti dari shalat adalah agar seseorang selalu mengingat Allah Swt.
Mengingat dalam pengertian bahwa ia merasa selalu disertai dan diawasi
oleh Allah kapan saja dan di mana saja ia berada. Shalat yang baik akan
melahirkan sikap muraqabah, perasaan selalu dimonitor oleh Allah Swt.
Sehingga ia tidak akan melakukan aktivitas kehidupan yang akan
membawanya ke dalam lembah dosa yang pada gilirannya akan
menyengsarakan dirinya sendiri.
Shalat adalah sarana paling efektif bagi seorang hamba untuk
berkomunikasi dengan Tuhannya. Ketika kita dirundung masalah, ditimpa
pelbagai persoalan hidup, diuji dengan beragam kesulitan, maka cara
terbaik untuk mengadukan segala persoalan kita tersebut adalah dengan
„berdialog‟, „curhat‟ dengan Allah Swt melalui shalat.
Allah Swt adalah tempat terbaik bagi kita untuk mencurahkan
segala perasaan kita. Dialah yang Maha Mengetahui persoalan hamba-
Nya. Dialah yang Maha Mengerti kemampuan hamba-Nya. Dialah yang
Maha Memberi solusi atas segala persoalan yang sedang dihadapi
hamba-hamba-Nya.
Tidak ada masalah yang dibebankan Allah kepada seorang hamba,
melampaui batas kemampuan hamba-Nya. Allah Maha Tahu batas
kemampuan setiap hamba-Nya. Ketika ujian dan cobaan datang
mendera, ketika pelbagai musibah dan petaka menimpa seorang hamba,
ketika itu pula Allah sedang „berkomunikasi‟ dengan hamba-Nya. Allah
„menunggu‟ komunikasi balik dari hamba-Nya. Wujud komunikasi itu
adalah sikap hamba atas segala yang menimpanya. Apakah kesediaan
menerima kenyataan disertai panjatan doa penuh ketulusan dan
kesabaran yang dilakukan oleh hamba tersebut, ataukah justru keluh
kesah, kekesalan, bahkan mempertanyakan keadilan Tuhan yang
menjadi pilihan hamba tersebut dalam menyikapi keadaan yang tengah
menimpanya?
Penentuan sikap ini pada gilirannya berimbas pada cepat atau
lambatnya pertolongan Allah hadir kepada kita. Semakin kita sabar
menerima ketentuan Allah, dengan terus berpikir positif dan berikhtiar
untuk keluar dari masalah yang tengah kita hadapi, semakin cepat uluran
pertolongan Allah datang menjumpai kita. Sebaliknya, semakin sering
kita menambah daftar keluhan, ratapan, bahkan „gugatan‟ kepada Allah,
semakin jauh pertolongan-Nya dari kita.
Shalat menyadarkan kita untuk mengingat bahwa Allah adalah Dzat
yang Maha Segala-galanya. Shalat juga mengajarkan kita untuk
melakukan kepasrahan total, menyadari kelemahan diri kita, serta
mengakui keterbatasan kemampuan kita.
Shalat menjadi sarana paling efektif untuk menggugah kembali
fitrah kemanusiaan kita. Dari mana kita berasal, untuk apa kita lahir ke
muka bumi ini, serta ke mana kita kelak akan pulang? Serentetan
pertanyaan mendasar ini dijawab oleh al-Qur‟an surah al-An‟am: 162:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”.
Meraih Ketenangan Batin dengan Dzikir
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenang.” (Q.S. Ar-Ra‟du: 28)
Salah satu penyakit serius yang tengah melanda masyarakat
modern dewasa ini adalah kegamangan dalam menjalani hidup. Hal ini
disebabkan karena kondisi batin yang selalu gelisah, jiwa yang tidak
tenang, serta hati yang penuh kekhawatiran dan kecemasan.
Padahal, tidak jarang mereka yang mengalami kegelisahan batin
dan ketidaktenangan jiwa ini, jika dilihat dari kehidupan ekonominya
bukanlah orang-orang yang kekurangan. Bahkan banyak di antara
mereka yang berkelimpahan harta. Dari sisi materi semua tercukupi,
bahkan berlebih, tetapi dari sisi ruhani, mereka mengalami kekeringan
dan kegersangan. Jasmani mereka sehat, tapi ruhani mereka sakit. Raga
mereka kuat, tapi jiwa mereka rapuh.
Pada umumnya, mereka yang mengalami kegelisahan batin ini akan
mendatangi psikiater atau psikolog untuk berkonsultasi tentang
persoalan batin yang tengah dialaminya. Mereka berharap sang psikiater
atau psikolog akan memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan
batin yang sedang dihadapinya.
Biasanya, sang psikiater atau psikolog akan memberikan suntikan
motivasi berupa nasihat dan saran agar si pasien dapat kembali
menjalani hidupnya penuh ketenangan dan kedamaian.
Kenyataannya, mereka yang mengalami kegelisahan batin ini hanya
beberapa saat saja setelah konsultasi tersebut mengalami ketenangan
batin, selanjutnya kecemasan, kekhawatiran dan segala yang mengusik
ketenangan batinnya kembali hadir.
Sesungguhnya, jika orang-orang yang mengalami keresahan jiwa,
kegelisahan batin, serta ketidaktenangan dalam hatinya mau kembali
kepada ajaran agama (Islam), pasti mereka akan menemukan jawaban
atas persoalan yang tengah dihadapinya.
Dalam Islam, al-Qur‟an mengajarkan sebuah cara efektif untuk
menghilangkan keresahan jiwa, kegalauan hati dan kegelisahan batin.
Cara yang dimaksud adalah dzikir. Ya, dzikir yang berarti mengingat atau
menyebut (nama Allah Swt) adalah cara paling tepat dan efektif untuk
menghilangkan segala bentuk penyakit dalam hati kita.
Secara umum, dzikir adalah semua amal atau perbuatan baik yang
lahir maupun batin, yang mengantarkan seseorang untuk mengingat
Allah dan mendekat (taqarrub) kepada-Nya.
Imam Nawawi mengatakan bahwa dzikir itu dapat dilakukan dengan
hati atau dengan lisan. Akan tetapi lebih utama (afdhal) bila dilakukan
dengan keduanya. Tetapi, jika ingin memilih diantara kedua hal itu, maka
dzikir dengan hati lebih afdhal.
Dzikir dalam arti mengingat adalah menyadari dan mengakui
sepenuh hati segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, baik
berupa rizki yang tampak secara lahir, seperti: harta, anak (keturunan),
rumah, kendaraan dan segala hal dzahir lainnya, maupun yang tidak
tampak atau bersifat abstrak, seperti kesehatan, kemudahan,
kebahagiaan, ketenangan dan yang lainnya.
Adapun dzikir dalam arti menyebut nama Allah adalah dengan
melafalkan kalaimat-kalimat thoyyibah seperti kalimat tasbih
(subhanallah), tahmid (alhamdulillah), tahlil (la ilaha illallah), takbir
(Allahu Akbar), istighfar (astaghfirullah), hawqalah (la hawla wa la
quwwata illa billah) dan kalimat-kalimat thoyyibah lainnya.
Menurut Al-Ghazali, dzikir merupakan aktivitas yang penting,
bahkan satu-satunya cara yang tepat untuk memfokuskan hati hanya
kepada Allah. Dzikir adalah cara untuk menenangkan hati dan
menentramkan batin. Dengan dzikir, seeseorang akan mendapatkan
sakinah, ketenangan dan kenyamanan hidup.
Rasulullah Saw pernah mengilustrasikan perbedaan antara orang
yang berdzikir dengan yang tidak berdzikir. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Musa r.a. Rasullullah Saw pernah menegaskan,
"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak
berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)
Dari keterangan hadis ini, jelas bahwa hati yang selalu dihiasi
dengan dzikir (ingat) kepada Allah akan selalu hidup. Hati yang tak
pernah lepas mengingat dan menyebut asma Allah akan menjadikan
seseorang bergairah dalam menjalani kehidupan ini. Hati yang hidup
akan melahirkan semangat untuk terus berkarya, melakukan hal terbaik
yang dapat memberi manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Hati yang hidup akan melahirkan kreativitas. Hati yang hidup akan selalu
melihat „jalan keluar‟ atas setiap persoalan yang datang menghadang.
Tidak ada kata „sulit‟, tidak ada istilah „buntu‟ bagi orang-orang yang
senantiasa menyandarkan hatinya kepada Allah.
Sementara hati yang tak pernah diisi dengan kalimat-kalimat
thayyibah, hati yang kering dari siraman dzikir kepada Allah akan mati.
Hati yang mati akan menjadikan seseorang hidup dalam kegelisahan,
kegamangan dan ketidakmenentuan. Hati yang mati membuat seseorang
tidak akan dapat berpikir jernih. Kehidupan bagi orang yang hatinya
„mati‟, ibarat gelap malam di hutan belantara yang menakutkan. Hati
yang mati menjadikan seseorang selalu menganggap „sulit‟ dan „buntu‟
ketika dihadang beragam persoalan hidup. Singkatnya, seseorang yang
jauh dari dzikir, tidak pernah mengingat dan menyebut nama Allah akan
merasakan kegelisahan batin, keresahan jiwa dan kegersangan ruhani.
Dengan selalu mengingat dan menyebut nama Allah, merasakan
kehadiran-Nya di setiap gerak, langkah kaki, serta hembusan nafas kita,
hati kita menjadi tenang.
Jauhi Prasangka

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…”
(Q.S. Al-Hujurat: 12)

Di antara sebab kegalauan hati setiap orang adalah munculnya


prasangka (negatif) atau buruk sangka. Ya, prasangka, sebuah sikap
menduga-duga sesuatu yang belum pasti kebenarannya, tetapi seolah-
olah benar adanya. Prasangka yang diperturutkan akan membuat hati
resah, jiwa gelisah, pikiran tak tenang, batin pun tersiksa.
Seseorang yang selalu berprasangka negatif terhadap orang lain,
tidak akan pernah merasakan ketenangan batin serta jauh dari perasaan
bahagia.
Tepat sekali apa yang disabdakan Nabi Saw, "Hati-hatilah kalian dari
prasangka karena prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.
Janganlah kalian saling mengintai kesalahan, dan jangan pula saling
merasa diintai, jangan pula berlomba-lomba (dalam kehidupan duniawi),
jangan saling mendengki dan saling bermusuhan serta jangan pula saling
bertolak belakang, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah SWT yang
bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits tersebut, Nabi Saw mewanti-wanti kita semua agar
menjauhi prasangka. Beliau menyebut prasangka sebagai perkataan
yang paling dusta. Sedangkan dusta, dalam hadits lain disebutkan
sebagai jalan menuju kejahatan, yang akan menjerumuskan pelakunya
menuju neraka.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang-orang
yang gemar menebar gosip, berita bohong, bahkan fitnah. Setiap kali ada
isu tertentu tentang seseorang, yang belum tentu benar adanya, apalagi
orang yang diberitakan tersebut adalah orang yang dibencinya, maka
para penebar berita bohong ini pun seakan mendapat angin segar.
Mereka memoles, menambah dan mendramatisir isu tersebut kemudian
menyebarkannya kepada siapa saja yang dijumpainya. Mereka berharap
orang-orang yang mendengar ceritanya akan mempercayainya, sehingga
bertambahlah jumlah orang yang membenci „musuh‟nya tersebut.
Kepuasan yang mereka dapatkan adalah ketika orang yang dibencinya
benar-benar dalam kesusahan dan penderitaan.
Pada hakekatnya, orang-orang seperti ini, yang senang menebar
prasangka, menghembuskan berita miring, menciptakan isu tak sedap
tentang seseorang, adalah orang-orang yang tengah sakit jiwanya,
merana batinnya. Mereka menari-nari di atas penderitaan orang lain.
Mereka berpesta di tengah duka dan nestapa orang lain. Mereka tertawa
di tengah deraian air mata orang lain. Sungguh, mereka adalah orang-
orang yang hina.
Apakah mereka tidak sadar, bagaimana jika hal tersebut, yakni
berita bohong, isu tak sedap, bahkan fitnah itu menimpa mereka. Masih
bisakah mereka tertawa. Masih adakah senyuman tersungging di bibir
mereka. Atau masihkah ada raut cerah di wajah mereka?
Hanya ada satu jawaban untuk beberapa pertanyaan tersebut.
Tidak. Ya, tidak mungkin seseorang yang tengah dirundung masalah,
ditimpa fitnah, diterpa isu tak sedap merasakan kebahagiaan dalam
dirinya. Teror mental dan beban psikis itu terlalu berat. Bahkan,
seseorang yang tengah diterpa fitnah, untuk sekedar keluar rumah pun
berpikir beberapa kali. Mereka malu kepada orang-orang di sekililingnya,
terkait isu yang menimpanya. Betapa berat beban orang-orang yang
tengah dihujani prasangka buruk.
Prasangka buruk terhadap orang lain biasanya disebabkan oleh rasa
iri atau tidak suka terhadap orang tersebut. Dalam pandangan orang
yang iri atau tidak suka terhadap seseorang, maka apa pun yang
dilakukan orang yang dibencinya, tidak tampak kebaikan sama sekali.
Seolah-olah apa pun yang dilakukannya adalah salah. Prasangka buruk
yang dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan fitnah. Inilah alasan
kenapa prasangka buruk harus kita jauhi.
Pada hakekatnya, para penebar prasangka buruk itu hanya
merasakan kesenangan sesaat. Dari dalam lubuk hatinya sama sekali
tidak ada perasaan bahagia. Karena, bahagia tidak akan pernah hadir
pada diri seseorang melalui tindak kejahatan yang dilakukannya.
Kepuasan yang mereka rasakan, karena berhasil meyakinkan orang lain
tentang berita yang disebarkannya, sama sekali tidak akan melahirkan
perasaan bahagia. Hanya kesenangan sesaat yang semu yang akan
dirasakannya. Maka, sekali lagi tepat pesan al-Qur‟an: “Jauhi Prasangka!”

Selalu Berprasangka Baik


Prasangka baik (husnuzhan) adalah sebuah sikap positif dalam
melihat sesuatu atau seseorang. Dalam menyikapi sebuah peristiwa,
misalnya, meskipun peristiwa yang dialaminya tersebut tidak
menyenangkan, orang yang berprasangka positif tidak akan serta merta
menghakimi peristiwa tersebut sebelum melihat secara utuh asal mula
peristiwa itu terjadi.
Orang yang selalu berpikir postif tidak melihat peristiwa itu sekedar
sebuah peristiwa biasa. Dia akan mencoba untuk mengambil hikmah
(pesan atau nilai) yang terkandung di dalam peristiwa tersebut. Dia akan
selalu melihat ke dalam dirinya jika sesuatu menimpanya, baik itu
kejadian yang menyenangkan ataupun tidak. Baik dan buruknya suatu
peristiwa yang menimpanya tidak terlalu penting baginya. Yang
terpenting menurutnya adalah, mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi,
dan apa hikmah di balik peristiwa itu bagi dirinya.
Adapun berbaik sangka serta berpikir positif kepada orang lain
adalah dengan melihat sisi positif seseorang dan mengesampingkan sisi
negatifnya. Ada sabda Rasulullah Saw yang kurang lebih demikian,
“Dugalah perilaku seseorang dengan hal paling baik sampai kau yakin
keburukannya benar-benar terbukti di matamu. Jangan pernah menilai
buruk ucapan seseorang sampai kau tahu alasan kenapa ia
mengucapkannya.”
Dalam Q.S. al-Hujurat ayat 12, sebagaimana penulis kutip di awal
tulisan ini, Alah Swt. mengingatkan kita agar menjauhi prasangka
(buruk), “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…” (Q.S.
Al-Hujurat: 12)
Kedua dalil di atas memerintahkan kita untuk selalu berbaik sangka
kepada orang lain. Sehingga tidak muncul pikiran-pikiran negatif di
dalam diri kita yang akan menyebabkan lahirnya perasaan benci kepada
orang tersebut.
Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah berlaku. Setiap orang
harus kita nilai baik, sampai kemudian kita menemukan sendiri
keburukan orang tersebut dengan mata kita. Selagi tidak ada bukti-bukti
yang meyakinkan kita akan keburukan dan kejelekan orang tersebut,
maka kita harus berpikir positif tentangnya.
Jika kepada sesama manusia saja kita diperintahkan untuk selalu
berprasangka baik, lebih-lebih kepada Allah. Dialah Allah yang telah
menghadirkan kita ke muka bumi ini. Dia pula yang telah melimpahkan
karunia nikmat dan segala fasilitas kehidupan kepada kita. Milik-Nya
segala yang ada di langit dan ada di bumi.
Berbaik sangka kepada Allah berarti menganggap semua ketetapan
(qadla dan qadar) yang Allah tentukan untuk kita, pasti yang terbaik
menurut-Nya. Selalu ada hikmah atau pelajaran berharga bagi kita dalam
setiap peristiwa dan kejadian yang kita alami.
Apa yang kita sangkakan kepada Allah, maka itulah yang Allah
sangkakan kepada kita. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis qudsi:
“Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku…” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Seseorang yang selalu berbaik sangka tidak pernah menganggap
peristiwa serta kejadian tidak menyenangkan yang menimpa dirinya, baik
berupa penyakit yang dideritanya, kesulitan ekonomi, kesulitan
mendapatkan jodoh, gagal membina rumah tangga, sulit mendapat
keturunan, ataupun gagal dalam berbisnis, adalah akibat ulah orang lain
atau wujud ketidakadilan Allah. Dia tidak pernah berpikir negatif tentang
orang lain (sesama manusia) ataupun kepada Allah. Hanya pikiran-
pikiran positif yang ada dalam dirinya. Dia menganggap bahwa semua
kondisi tidak menyenangkan yang dialaminya adalah karena dirinya
sendiri. Mungkin karena kurang hati-hati dalam mengonsumsi makanan
sehingga jatuh sakit, kurang kerja keras sehingga kondisi ekonominya
tetap kekurangan, kurang usaha sehingga tak kunjung mendapat
pendamping hidup, dan sebab-sebab lainnya yang berasal dari dirinya
sendiri.
Lebih dari itu, dia mengganggap ini merupakan ujian dari Allah,
untuk membuktikan apakah dia termasuk orang yang sabar dan pandai
bersyukur ataukah tidak. Dia juga yakin bahwa di setiap peristiwa dan
kejadian yang dialami seseorang, pasti ada hikmah yang terkandung di
dalamnya sebagai pelajaran untuk kehidupannya ke depan. Karena dia
yakin, Allah tidak akan berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya.
“Sesungguhnya Allah tidak pernah berbuat zhalim kepada manusia
sedikit pun, akan tetapi manusialah yang berbuat zhalim kepada diri
mereka sendiri.” (Q.S. Yunus: 44)
Inilah cara pandang positif dengan berbaik sangka dalam segala
kondisi, seburuk dan sepahit apa pun kondisi tersebut.
Jika kita selalu berbaik sangka kepada Allah, maka Allah pun akan
berbaik sangka kepada kita. Dengan demikian, maka kita akan
mendapatkan ketenangan serta kebahagiaan hidup.

Rencana Allah Pasti yang Terbaik

Seringkali kita menganggap bahwa apa yang kita rencanakan adalah


yang terbaik menurut kita. Ketika hendak memilih pekerjaan, mencari
pendamping hidup, membuka usaha, dan berbagai rencana lainnya,
seringkali kita hanya mengandalkan logika kita semata. Kita susun
serapih dan sesempurna mungkin rencana tersebut, sehingga kita
menganggap bahwa tinggal selangkah lagi rencana kita terwujud menjadi
kenyataan.
Tetapi, pengalaman membuktikan bahwa sesempurna apa pun
rencana kita, katakanlah 99% kita yakin akan berhasil, namun
kenyataannya, tidak jarang yang 1% sisanya justru yang menggagalkan
segalanya. Sisa 1% itulah yang penulis sebut dengan faktor X. Penulis
menerjemahkan faktor X dengan „ijin Allah‟. Ya, ijin Allah adalah faktor
penentu berhasil dan tidaknya suatu rencana.
Tepat sekali sebuah ungkapan bijak yang menyatakan “manusia
berencana, Tuhan yang menentukan”. Sebuah ungkapan singkat namun
sarat makna jika kita kaji lebih jauh.
Hemat penulis, maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa apa
yang menurut kita baik, belum tentu baik pula menurut Allah. Bisa jadi
justru buruk bagi kita menurut Allah. Sementara apa yang menurut kita
buruk, sangat mungkin itu yang baik bagi kita menurut Allah.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-
Baqarah: 216)
Terkadang kita merasa bahwa apa yang menimpa kita berupa
kesusahan, kemalangan, musibah, ataupun bencana adalah sesuatu yang
buruk bagi kita. Sehingga kita lebih banyak mengeluh, meratapi nasib,
dan mengutuk keadaan, daripada mengambil hikmah yang terpendam di
balik semua peristiwa dan kejadian yang tidak menyenangkan tersebut.
Tak jarang pula kita menganggap semua hal menyakitkan yang
menghampiri hidup kita adalah sesuatu yang tidak berarti bagi kita.
Sehingga kita cenderung memilih untuk segera melupakannya, daripada
memetik pelajaran berharga yang tersembunyi di balik kenyataan yang
menyakitkan tersebut.
Keterbatasan penglihatan serta akal kita, memang terkadang
membuat kita hanya dapat melihat sisi lahiriah dari suatu peristiwa atau
kejadian saja. Kita seringkali sulit untuk mengungkap makna atau nilai
dari suatu peristiwa. Kita juga kerap tidak mampu menangkap pesan
moral dari suatu kejadian yang kita alami dan rasakan.
Padahal, jika kita mau mengkaji lebih jauh setiap peristiwa
kehidupan yang kita alami dan rasakan, baik yang menyenangkan atau
yang menyedihkan, akan kita jumpai sebuah nilai atau hikmah yang
terkandung di dalamnya. Ada sebuah rencana yang sudah Allah susun
sedemikian rupa untuk kehidupan kita yang lebih baik.
***
Saya ingin berbagi sedikit pengalaman hidup berkaitan dengan
masalah rencana yang pernah saya susun dan kemudian gagal, namun
Allah menggantinya dengan yang lebih baik.
Peristiwa ini terjadi lima belas tahun yang lalu, tepatnya ketika saya
baru saja lulus dari Madrasah Aliyah. Saat itu, keinginan saya untuk
masuk ke perguruan tinggi negeri ternama tak terbendung lagi. Saya
ingin masuk ke jurusan yang sama sekali berbeda dengan background
pendidikan saya di Madrasah Aliyah dulu. Jika ketika di Madrasah Aliyah
dulu saya lebih banyak berkutat dengan pelajaran serta buku-buku
agama, maka ketika hendak masuk ke jenjang perguruan tinggi, saya
memilih jurusan Hubungan Internasional sebagai pilihan pertama dan
Sastra Inggris sebagai pilihan kedua.
Hasrat saya yang demikian menggebu untuk bisa masuk ke salah
satu dari dua jurusan favorit saya tersebut, menjadikan saya begitu
bersemangat mengikuti bimbingan belajar, try out dan serangkaian
kegiatan lainnya yang menunjang persiapan saya untuk mengikuti tes
mausk perguruan tinggi negeri. Saya merasa persiapan untuk ujian
masuk perguruan tinggi negeri sudah maksimal. Saya yakin sekali bisa
lulus ujian.
Di sisi lain, ternyata keinginan saya yang begitu besar untuk dapat
diterima di jurusan favorit saya, di perguruan tinggi negeri pilihan saya
tersebut tidak sejalan dengan keinginan orang tua saya yang
menginginkan agar saya menjadi ahli dalam bidang ilmu agama.
Walhasil, tanpa doa dan restu orang tua, saya pun gagal masuk
perguruan tinggi negeri yang saya idamkan. Saya juga gagal
mewujudkan rencana saya untuk kuliah di jurusan yang saya harapkan.
Kecewa? Tentu. Saat itu, saya sudah tidak ada niatan lagi untuk
melanjutkan studi. Saya merasa sudah gagal mewujudkan cita-cita saya.
Saya ingin menjadi diplomat atau bekerja di Departemen Luar Negeri
(sekarang Kementerian Luar Negeri) dengan memilih kedua jurusan
tersebut.
Untungnya, di tengah kekecewaan yang mendera saya ketika itu,
support kedua orang tua saya begitu besar. Ayah saya yang memang
begitu berharap agar saya mendalami ilmu agama, tak henti-hentinya
menasehati saya dengan petuah-petuah yang menyejukkan. Di antara
kalimat yang masih membekas di benak saya adalah ungkapan beliau
yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya.
Beliau menegaskan bahwa kegagalan saya bukanlah sebuah keburukan,
bisa jadi inilah yang terbaik bagi saya menurut Allah.
Singkat cerita, akhirnya saya pun mengikuti nasehat orang tua
untuk kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Alhamdulillah saya
dapat merampungkan studi saya dengan baik, bahkan sampai jenjang
Pascasarjana.
Lima belas tahun telah berlalu. Kini, saya baru menyadari betapa
rencana Allah memang yang terbaik. Sekarang saya tengah menikmati
hidup dengan menjalani profesi sebagai Dosen Tetap (PNS) di sebuah
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Cirebon, Jawa Barat, dan Dosen
Luar Biasa di beberapa perguruan tinggi di daerah tempat tinggal saya,
Brebes, Jawa Tengah. Saya juga tengah menikmati kebahagiaan hidup
dengan keluarga kecil saya, istri dan anak saya. Di masyarakat tempat
tinggal saya, saya membina beberapa Majelis Taklim sebagai ladang
menebar benih-benih pengetahuan, khususnya agama sebagai bekal
untuk kehidupan akhirat saya kelak.
Di sela-sela kesibukan sebagai tenaga pengajar di beberapa
kampus, dan membina sejumlah majelis taklim, saya sempatkan untuk
membagi ilmu lebih luas lagi dengan menulis beberapa buku. Buku yang
ada di tangan pembaca ini merupakan buku kelima saya yang diterbitkan
atau dipublikasikan secara luas. Sungguh, saya menikmati kehidupan
saya saat ini. Mungkin, jika dahulu diterima diperguruan tinggi negeri
impian saya, dan kuliah di jurusan yang saya pilih, belum tentu keadaan
saya seperti sekarang ini. Saya menyaksikan kakak kelas saya yang
dahulu memilih jurusan yang sama dengan yang saya inginkan,
kehidupannya saat ini tidak lebih baik dari saya. Dia hanya menjadi free
lancer di sebuah kantor pemerintah. Teman saya yang lain yang memilih
jurusan yang merupakan pilihan kedua saya, hanya menjadi penerjemah
untuk karya-karya berbahasa asing dengan honor yang tidak seberapa.
Dari pengalaman hidup ini, saya kemudian meyakini sepenuh hati
bahwa rencana Allah pasti yang terbaik.
Mencintai Diri, Mencintai Sesama, Mencintai Allah

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu


dan keluargamu dari api neraka…”
(Q.S. At-Tahrim: 6)

Salah satu unsur kehidupan paling utama yang diciptakan Allah


adalah rasa cinta. Allah Swt menciptakan seluruh makhluk-Nya juga
karena didasari rasa cinta. Begitu besarnya cinta Allah kepada makhluk-
Nya, sehingga seluruh ciptaan-Nya Dia ciptakan sesempurna mungkin.
Seperti ditegaskan dalam Q.S. Al-A‟la: 2, “Yang menciptakan, lalu
menyempurnakan (penciptaan-Nya)”.
Demikian juga ketika Allah menciptakan manusia. Dia
menciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana
dijelaskan dalam Q.S. At-Tin: 4, “Sungguh, Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Karena Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan,
maka Dia memerintahkan manusia (orang-orang yang beriman) untuk
memelihara dirinya dan juga keluarganya dari kesengsaraan dan
penyesalan di kemudian hari. Inilah salah satu bukti cinta-Nya.
Ironisnya, cinta Allah yang demikian besar kepada manusia, sebagai
salah satu ciptaan terbaik-Nya, tidak dibalas dengan cinta manusia
kepada-Nya. Sebagian besar manusia justru melupakan-Nya. Mereka
larut dalam cinta terhadap dunia seisinya. Padahal, segala yang ada di
dunia ini adalah milik Allah.
Kecintaan manusia yang amat besar terhadap dunia tidak hanya
menyebabkan dia lupa kepada Allah, bahkan dia lupa kepada dirinya
sendiri. Manusia lupa untuk apa dia diciptakan, dan ke mana dia kelak
akan kembali?
Para ulama sufi mengajarkan, untuk bisa mengenal dan mencintai
Allah, maka terlebih dahulu manusia harus mengenal dan mencintai
dirinya serta mencintai sesama.
Dalam sebuah hadis Qudsi yang cukup populer di kalangan ulama
sufi disebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan
mengenal Tuhannya”.
Dengan demikian, maka mengenal diri, termasuk di dalamnya
mencintai diri sendiri (dalam arti positif) adalah langkah awal untuk
mengenal dan mencintai Allah.

Mencintai Diri, Bukan Egois


Mungkin sebagian orang akan spontan mengucapkan kata: egois!
ketika mendengar seruan untuk mencintai diri sendiri. Tetapi, saya punya
pendapat berbeda tentang hal ini. Mencintai diri sendiri, tidak serta merta
disebut egois jika hal tersebut dilakukan secara tepat, proporsional dan
dengan tujuan positif.
Bukankah Allah juga menegaskan dalam salah satu ayat-Nya, …dan
berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…”
(Q.S. Al-Qashash: 77).
Dalam Tafsir Ibn Katsir, kalimat „berbuat baiklah‟ ditafsirkan dengan
melakukan tindakan positif kepada makhluk ciptaan Allah. Dengan
demikian, sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia harus berbuat baik
untuk dirinya dan orang lain.
Bagaimana mungkin seseorang akan berbuat baik bahkan mencintai
orang lain, jika terhadap dirinya sendiri dia tidak berbuat baik dan tidak
mencintainya.
Contoh paling sederhana adalah kebiasaan buruk seseorang yang
gemar melakukan aktivitas yang merusak dirinya, seperti mengonsumsi
minuman keras, menjadi pecandu narkoba dan berbagai perilaku
merusak lainnya. Bagaimana mungkin dia akan mencintai orang lain, jika
terhadap dirinya sendiri dia tidak mencintainya.
Untuk bisa mencintai orang lain, maka telebih dahulu seseorang
harus bisa mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian, maka mencintai
diri sendiri secara positif, bukanlah sikap egois, tetapi justru langkah
awal untuk dapat mencintai terhadap sesama.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
mencintai diri sendiri, yang pada gilirannya akan melahirkan rasa cinta
terhadap orang lain. Dan pada akhirnya mencintai Allah.
Beberapa hal tersebut terkait erat dengan dua aspek yang melekat
dalam tubuh setiap manusia, yaitu: Pertama, aspek lahiriah; dan kedua,
aspek batiniah.

 Aspek Lahiriah
Sebagai bukti cinta terhadap diri sendiri dan rasa syukur kepada
Allah atas karunia nikmat berupa kondisi fisik yang sempurna, maka
sudah selayaknya kita menjaga tubuh kita agar tetap pada kondisi prima.
Salah satu cara paling efektif untuk menjaga fisik kita tetap pada
performa terbaiknya adalah menjalankan pola hidup sehat. Dengan kata
lain, kita menjadikan pola hidup sehat sebagai life style (gaya hidup).
Banyak hal dapat kita lakukan untuk menjadikan gaya hidup sehat
sebagai keseharian kita. Beberapa hal yang dapat kita lakukan antara
lain:
- Membiasakan bangun pagi untuk melaksanakan shalat subuh
berjamaah di Masjid.
- Melakukan olah raga rutin setiap hari, atau minimal 3 kali dalam
seminggu.
- Menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan yang
mengandung unsur 4 sehat 5 sempurna.
- Istirahat yang cukup
- Tidak merokok
- Tidak mengonsumsi minuman beralkohol
- Menjaga kebersihan badan, pakaian dan tempat tinggal
Beberapa hal tersebut, jika konsisten kita lakukan insya Allah
kondisi fisik kita tetap terjaga dengan baik. Tetapi jika kita abai terhadap
beberapa hal tersebut di atas, maka jangan heran jika kondisi fisik kita
mengalami penurunan yaitu dengan hadirnya berbagai macam penyakit.
Allah Swt. tidak akan pernah mengubah nikmat yang telah diberikan
kepada kita, kecuali kita sendiri yang mengubahnya. Nikmat sehat,
misalnya, tidak akan Allah ganti dengan rasa sakit jika kita menjaga dan
merawatnya. Kita jatuh sakit karena kita abai terhadap kondisi kesehatan
kita. Hal ini seperti ditegaskan dalam Q.S. Al-Anfal: 53: “Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Dalam ayat lain di Q.S. An-Nisa: 79 Allah Swt mengingatkan, “Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri...”
Dari dua keterangan ayat di atas, jelaslah bahwa pada hakekatnya
Allah telah memberikan anugerah berupa nikmat-Nya kepada kita semua.
Dari mulai nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat waktu luang
(kesempatan), nikmat masa muda, hingga nikmat harta benda. Kesemua
nikmat itu tidak akan berubah jika kita pandai menjaga dan
mensyukurinya.
Namun sebaliknya, jika kita lalai, abai serta tidak menjaga dan tidak
mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, sangat mungkin semua akan
berbalik 1800.
Kondisi fisik yang sehat dan prima, jika tidak dijaga dengan baik
akan mengalami penurunan kualitas. Karena kita tidak disiplin mengatur
pola makan, kurang istirahat, jarang atau bahkan tidak pernah
berolahraga, misalnya, cepat atau lambat pasti akan berdampak buruk
bagi kesehatan kita.
Begitu juga dengan waktu luang (kesempatan). Waktu luang yang
kita buang dengan sia-sia, akan terasa begitu berharga ketika kita sudah
terdesak dalam kesempitan. Maka Rasulullah Saw, pernah mengingatkan
dalam salah satu sabdanya, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh
manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”
Demikian juga halnya dengan masa muda. Masa dimana seseorang
dalam kondisi terbaiknya. Orang sering menyebutnya dengan usia
produktif. Karena pada masa itu, badan masih sehat, semangat masih
membara, kesempatan terbuka luas. Tetapi sayangnya, tidak sedikit
yang menyia-nyiakan masa muda untuk hal-hal yang tidak berguna.
Mereka baru tersadar dari tidur panjangnya, ketika tubuh sudah tidak
sekuat dulu, semangat tidak lagi membara dan kesempatan mulai
tertutup, usia sudah tidak lagi produktif.
Di sisi lain, ada sementara orang yang ketika dikaruniai kekayaan
yang melimpah dari hasil usaha serta kerja kerasnya, tidak berpikir jauh
ke depan. Mereka terlena dengan kekayaannya, sehingga menjalani gaya
hidup boros. Foya-foya adalah menu sehari-harinya. Alih-alih mensyukuri
nikmat dengan berbagi kepada sesama, justru kekayaannya mereka
hambur-hamburkan untuk hal-hal yang sia-sia. Mereka tidak sadar
bahwa kebiasaan buruknya sedikit demi sedikit menggerogoti
kekayaannya. Mereka baru tersadar ketika pada akhirnya kebangkrutan
menimpanya.
Penyesalan paling dalam adalah ketika kita tidak dapat
memanfaatkan waktu hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Jika
hidup yang singkat ini kita isi dengan berbagai aktivitas negatif, perilaku
buruk serta tindakan tercela, maka datangnya kematian yang tiba-tiba
akan menjadi peyesalan panjang tak berujung.
Singkatnya, mencintai diri sendiri dengan memanfaatkan sekaligus
menjaga segala nikmat lahiriah yang telah Allah berikan kepada kita
adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini.
Pilihannya hanya satu, mensyukuri nikmat dengan menjaganya.
 Aspek Batiniah
Setelah kita mensyukuri aspek lahiriah dengan menjaganya secara
maksimal, sebagai bukti cinta terhadap diri, yang merupakan anugerah
Allah, aspek selanjutnya yang harus kita jaga adalah batiniah kita.
Betapa pun sehat dan sempurnanya aspek lahiriah seseorang, tetapi
jika aspek batiniahnya bermasalah, maka orang tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai manusia „normal‟. Seseorang baru dikatakan menjalani
kehidupan secara normal, jika lahir dan batinnya berfungsi dengan baik.
Seseorang yang hanya peduli dengan tampilan luar, memoles
sedemikian rupa kecantikan fisik, tanpa pernah memerhatikan kecantikan
batin (inner beauty), maka sesungguhnya yang dimilikinya hanyalah
kecantikan semu belaka. Jasmani mereka terawat, tetapi ruhani mereka
terabaikan. Raga mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh.
Fisik mereka subur, tetapi psikis mereka gersang, kering kerontang.
Untuk menyeimbangkan antara aspek lahiriah dan batiniah kita,
maka ada beberapa hal berkaitan aspek batiniah yang perlu kita
perhatikan. Di antara aspek batiniah yang perlu mendapat perhatian
serius kita adalah: Pertama, berpikir positif dan berperasaan positif;
kedua, meningkatkan kualitas intelektual; ketiga, meningkatkan kualitas
spiritual.

 Berpikir Positif dan Berperasaan Positif


Cara berpikir dan berperasaan seseorang akan memengaruhi sikap
serta tindakan kesehariannya. Orang yang selalu berpikir dan
berperasaan positif akan bersikap dan bertindak positif dalam menjalani
hari-harinya. Sedangkan orang yang selalu berpikir dan berperasaan
negatif akan bersikap dan bertindak negatif dalam menjalani aktivitas
kesehariannya.
Hasil akhir atau dampak dari sikap dan tindakan seseorang pun
ditentukan oleh pilihan cara berpikir serta berperasaannya. Tentu, kita
semua sadar bahwa pada gilirannya cara berpikir dan berperasaan
positiflah yang akan mengantarkan seseorang pada kondisi terbaik.
Pertanyaannya, bagaimana agar kita bisa selalu berpikir dan
berperasaan positif dalam segala kondisi, setiap saat, setiap waktu,
betapa pun sulit dan buruknya kondisi yang kita alami.
Dalam buku saya berjudul Agar Allah Selalu Menolongmu!
(Melihat Sisi Baik dari Setiap Ujian), saya uraikan beberapa langkah
awal agar kita selalu berpikir dan berperasaan positif. Melalui
penelusuran ayat-ayat suci Al-Qur‟an, saya menemukan sedikitnya ada 3
langkah awal yang harus kita tempuh agar kita selalu berpikir dan
berperasaan positif: Pertama, meluruskan niat; kedua, yakin, Allah
bersama kita; dan ketiga, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.
Islam mengajarkan, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa
setiap aktivitas tergantung pada niatnya. Maka, hendaknya niatkan
segala aktivitas positif karena Allah, bukan lainnya. Karena dengan
ketulusan niat lillahi ta‟ala, mengharap ridho Allah semata, aktivitas
tersebut bernilai ibadah. Sebaliknya, meski positif, tetapi jika aktivitas
tersebut tidak diniatkan karena Allah, maka dia tidak akan mendapatkan
apa-apa selain yang diniatkannya.
Seseorang yang meluruskan niatnya karena Allah dalam melakukan
suatu aktivitas (positif), hakekatnya meyakini betul bahwa ada nilai yang
terkandung di dalam aktivitasnya tersebut. Dia yakin sepenuh hati bahwa
Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Dia juga yakin
bahwa energi yang telah dia keluarkan untuk melakukan aktivitas
tersebut tidak akan pernah hilang tanpa bekas, atau berakhir sia-sia.
Sesuai dengan hukum kekekalan energi yang menyebutkan bahwa energi
tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, maka hakekatnya
energi yang kita keluarkan untuk melakukan ativitas positif, yang
ditijukan hanya kepada Allah semata, tidak hilang, tetapi akan berubah
bentuk menjadi energi positif lainnya. Orang yang meluruskan niat
dalam melakukan suatu aktivitas, selalu berpikir dan berperasaan positif.
Setelah niat kita sempurnakan dengan hanya mengharap ridla Allah.
Mak, langkah selanjutnya untuk bisa berpikir dan berperasaan positif
adalah dengan meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu bersama
kita. Artinya bahwa di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun
kita tidak pernah bisa lepas dari kebersamaan Allah.
Dengan keyakinan yang mantap akan hal ini, maka kita tidak akan
pernah merasa berjalan sendirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
di dunia ini. Kita yakin sepenuh hati bahwa Allah selalu memonitor dan
mengawasi pekerjaan kita.
Ada beberapa keuntungan dari keyakinan akan adanya pengawasan
Allah ini. Pertama, kita akan bertindak dan bersikap hati-hati dalam
menjalani hidup dan kehidupan ini. Ketika terbetik sebuah niat untuk
berbuat maksiat kepada-Nya, misalnya, kita akan segera tersadar bahwa
apa pun yang kita lakukan selalu dilihat dan disaksikan Allah. Pun, ketika
kita melakukan kebaikan, meski tidak ada seorang pun yang
menyaksikan perbuatan kita, kita tidak pernah sedih dan berkecil hati,
karena Allah pasti menyaksikannya. Kita yakin, bahwa Allah pasti akan
memberikan pahala atas perbuatan baik kita. Kedua, keyakinan akan
kebersamaan Allah dalam setiap langkah dan tindakan kita, akan
melahirkan kepercayaan diri yang tinggi. Kita yakin sepenuh hati bahwa
rencana kehidupan yang kita susun, akan berjalan dengan baik jika kita
melibatkan Allah. Tanpa ijin dan ridla Allah, maka sesempurna apa pun
rencana kita, sangat mungkin berakhir dengan kegagalan. Karena kita
semua mafhum bahwa manusia hanya berusaha, Allah yang
menentukan.
Langkah selanjutnya agar kita bisa selalu berpikir dan berperasaan
positif adalah adanya keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin
bagi Allah.
Keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah,
ditambah dengan berpikir positif secara konsisten, mampu
menggerakkan seluruh potensi diri dan semesta ini untuk mendukung
cita-cita yang ingin kita wujudkan.
Sesuatu yang awalnya terasa tidak mungkin terjadi, atas ijin dan
kuasa Allah bisa menjadi kenyataan. Kata kuncinya adalah selalu berpikir
positif bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang
tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak.
Kesadaran serta keyakinan sepenuh hati akan kemahakuasaan Allah
akan menjadikan kita selalu optimis dan berpikir positif. Pada gilirannya,
kita akan selalu siap menghadapi segala persoalan hidup, segala kondisi,
seburuk dan sesulit apa pun kondisi tersebut. Kalau Allah berkehendak,
semuanya serba mungkin.
Berkaitan dengan berpikir dan berperasaan positif terhadap orang
lain, seperti telah saya uraikan di bab sebelumnya, Jauhi Prasangka!
Setiap orang harus kita nilai baik, sampai kemudian kita menemukan
sendiri keburukan orang tersebut dengan mata kita. Selagi tidak ada
bukti-bukti yang meyakinkan kita akan keburukan dan kejelekan orang
tersebut, maka kita harus berpikir positif tentangnya.
Berpikir dan berperasaan positif terhadap orang lain akan
menjadikan kita pribadi yang tenang, lepas tanpa beban, tidak mudah
tersulut provokasi orang lain. Ketika seseorang menyampaikan berita
tidak menyenangkan bahwa seseorang yang kita kenal dengan baik telah
mencela, mencaci maki bahkan memfitnah kita, maka langkah pertama
yang kita lakukan adalah tabayyun, yaitu mencari kebenaran tentang
informasi tersebut. Kita telusuri dulu dari beberapa sumber yang dapat
dipercaya, apakah berita tersebut benar ataukah hanya bohong belaka.
Jangan sampai kita langsung menelan mentah-mentah berita yang belum
pasti kebenarannya itu, agar kita tidak menyesal di kemudian hari.
Berpikir dan berperasaan positif dalam hal ini, bukan berarti kita
pasif tidak melakukan tindakan apa-apa. Tetapi, berpikir dan
berperasaan positif harus disertai dengan kewaspadaan yang tinggi.
Sehingga kita bisa terhindar dari hal-hal buruk yang mungkin akan
menimpa kita.
Terhadap orang yang sama sekali asing bagi kita, apalagi gerak-
gerik dan sikapnya memancing kecurigaan, maka kita patut waspada dan
hati-hati. Jangan sampai karena kita selalu berusaha untuk berpikir dan
berperasaan positif, akhirnya kita menjadi korban kejahatan orang
tersebut.
Intinya, berpikir dan berperasaan positif terhadap orang lain itu
harus, tetapi waspada dan hati-hati juga perlu, sehingga kita akan
terhindar dari kemungkinan hal-hal buruk yang akan menimpa kita.

 Meningkatkan Kualitas Intelektual


Aspek batiniah berikutnya yang perlu kita perhatikan dalam
menjaga dan mencintai diri sendiri adalah meningkatkan kualitas
intelektual.
Banyak hal dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
intelektual kita, baik secara formal maupun non formal. Secara formal,
upaya untuk meningkatkan kualitas intelektual adalah dengan
menempuh studi di jalur pendidikan. Dari mulai tingkat dasar,
menengah, hingga perguruan tinggi.
Adapun secara informal, bisa kita lakukan secara mandiri (otodidak)
dengan banyak membaca buku, mengikuti seminar, diskusi, pelatihan
dan sebagainya.
Perintah untuk terus meningkatkan kualitas intelektual dapat kita
temukan landasan argumentasinya dalam ajaran Islam. Ayat yang
pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw. adalah perintah untuk
membaca (Iqra!). Makna umum yang sering kita pahami adalah perintah
untuk membaca. Sementara, para ulama tafsir memaknai kalimat Iqra!
dengan banyak pengertian. Selain dimaknai sebagai pernitah untuk
membaca, Iqra! juga dimaknai dengan perintah untuk menghimpun,
memahami, mengkaji, meneliti dan mendalami pengetahuan.
Pengetahuan dalam hal ini bersifat umum. Apa saja fenomena yang
terjadi di jagat raya ini adalah pengetahuan. Maka, perintah membaca,
memahami, meneliti ditujukan baik kepada yang tersurat (termaktub) di
dalam al-Qur‟an, maupun yang tersirat di seluruh alam ini.
Proses pencarian pengetahuan sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas intelektual seseorang tidak dibatasi ruang dan waktu, serta usia.
Rasulullah menegaskan dalam salah satu sabdanya, “Carilah ilmu dari
ayunan (buaian) hingga ke liang lahad”. Ini artinya, bahwa proses untuk
terus belajar itu berlangsung sepanjang masa. Selama hayat masih di
kandung badan, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meningkatkan
kualitas intelektual.
Allah Swt, dalam salah satu ayatnya juga menegaskan, “…Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah: 11).
Demikian tinggi dan mulianya orang-orang yang berilmu
pengetahuan, hingga Allah sampai mengungkapkannya dalam salah satu
firman-Nya.
Dengan demikian, tidak salah bahwa orang-orang yang mencintai
dirinya harus terus meningkatkan kualitas intelektualnya. Ilmu
pengetahuan yang dimiliki seseorang, akan menunjukkan kualitas
dirinya. Seseorang yang „kenyang‟ pengetahuan dan pengalaman hidup
biasanya akan terlihat lebih siap menghadapi segala persoalan hidup,
daripada mereka yang miskin pengetahuan dan pengalaman.
Orang-orang yang punya kualitas intelektual yang baik akan
memiliki 1001 macam cara dan solusi untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya. Sementara, orang-orang yang kadar intelektualitasnya
rendah punya 1001 macam alasan ketika dihadapkan pada pelbagai
persoalan hidup.
Cara paling efektif untuk meningkatkan kualitas intelektual adalah
dengan membaca. Ya, membaca apa saja, baik buku, surat kabar,
majalah, tabloid, buletin, jurnal ilmiah serta berbagai tulisan di media
cetak lainnya. Bahkan, dengan kemajuan teknologi saat ini, seseorang
dapat dengan mudah mengakses beragam informasi dari berbagai
belahan dunia melalui internet. Apa pun minat dan kajian yang kita
dalami, dengan sengat mudah dapat kita peroleh secara cepat dan
massif. Kemudahan teknologi informasi saat ini, terlalu sayang kalau
tidak kita manfaatkan.
Dengan membaca berbagai informasi, baik melalui media cetak
maupun elektronik akan semakin menambah wawasan kita,
mencerahkan pikiran, memperluas cakrawala dan memperkaya
perspektif. Orang yang mencintai dirinya harus terus meningkatkan
kualitas intelektualnya.

 Meningkatkan Kualitas Spiritual


Aspek batiniah selanjutnya yang harus kita tingkatkan, sebagai
bukti cinta terhadap diri sendiri dan wujud rasa syukur atas karunia Allah
adalah kualitas spiritual kita.
Ya, spiritual adalah salah satu aspek batiniah yang akan
menentukan kualitas pribadi seseorang. Meskipun kualitas lahiriah
seseorang sangat baik, kualitas intelektualnya pun mengagumkan, tetapi
jika kualitas spiritualnya rendah, apalagi bermasalah, maka orang
tersebut akan mudah jatuh pada perilaku tidak terpuji, seperti egois,
sombong, mementingkan diri sendiri dan mengukur semua hal dari sudut
pandang materi.
Hal ini disebabkan karena mereka hanya menggunakan logika dalam
berpikir dan bertindak, tidak menggunakan batin. Padahal, tidak semua
hal dapat dilihat dengan logika. Ada saatnya, sesuatu di lihat dengan
mata batin (baca: pendekatan spiritual).
Seseorang yang mencintai dirinya, sepatutnya untuk meningkatkan
kualitas spiritual.
Berbagai cara dapat kita lakukan untuk meningkatkan kualitas
spiritual kita. Di antaranya adalah rajin membaca dan mempelajari al-
Qur‟an, giat shalat berjamaah di masjid, sering menghadiri majelis-
majelis ilmu, senang berdiskusi dengan ahli agama, membaca referensi
keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan tema penyucian jiwa
(tazkiyatun nafs), menjalin dialog dan komunikasi yang baik dengan
Allah melalui aktivitas sholat-sholat sunnah dan ibadah-ibadah ritual
lainnya, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia melalui
ibadah-ibadah sosial, serta sering berdialog dengan diri sendiri tentang
hakekat kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan melakukan beberapa hal tersebut, niscaya kualitas spiritual
kita, bahkan lebih jauh kualitas kehidupan kita akan semakin meningkat.
Dengan demikian, cinta terhadap diri sendiri dalam artian postif, seperti
saya uraikan ini pada gilirannya akan melahirkan cinta terhadap sesama
manusia, dan akan berkahir dengan cinta kepada Allah.

Mencintai Sesama karena Allah


Setelah seseorang mencintai dirinya dengan mensyukuri serta
menjaga anugerah yang telah Allah berikan kepadanya, maka tahap
selanjutnya adalah mencintai sesama.
Belum dikatakan sempurna iman seseorang, jika dia tidak mencintai
sesamanya, seperti dia mencintai dirinya sendiri, demikian menurut
sabda Nabi Saw.
Betapa indah dan luhurnya pesan Nabi tersebut. Iman tidak hanya
diukur dengan ketekunan seseorang dalam menjalankan ritualitas
ibadah, seperti shalat, puasa serta ibadah-ibadah formal lainnya. Tetapi
juga ditentukan oleh seberapa besar cinta serta kasih sayangnya
terhadap orang lain.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim juga disebutkan bahwa ada tujuh kelompok manusia yang
kelak akan mendapat perlindungan Allah, ketika tidak ada lagi
perlindungan selain dari-Nya. Di antara ketujuh kelompok manusia
tersebut, salah satunya adalah, dua orang yang saling mencintai dan
mengasihi karena Allah dan berpisah pun karena Allah.
Di antara bukti bahwa kita mencintai Allah, selain kita mencintai diri
sendiri, adalah mencintai sesama. Allah akan selalu menolong hamba-
Nya, selama hamba-Nya selalu menolong atau berbuat baik terhadap
sesama, demikian ungkap Nabi Saw dalam suatu kesempatan.
Makna cinta di sini adalah mengasihi, menyayangi, empati, peduli
serta perhatian terhadap sesama. Cinta yang dimaksud adalah sebuah
cinta yang lahir dari ketulusan hati serta keikhlasan jiwa.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengurai sedikit tentang mencintai
sesama karena Allah.
Betapa sering kita menjumpai kenyataan di masyarakat, ada orang-
orang yang diberi kelimpahan harta, hidup dalam kemewahan, segala
fasilitas mereka miliki, namun ada satu hal yang tidak mereka miliki,
yaitu kepekaan sosial. Ya, kepedulian terhadap lingkungan sekitar tidak
mereka miliki. Mereka memang kaya harta, tetapi miskin hati. Secara
materi tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi jiwa mereka gersang,
kering kerontang.
Mereka tidak pernah berpikir, apalagi ikut merasakan betapa
susahnya orang-orang yang hidup dalam kekurangan. Jangankan untuk
memikirkan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak-anaknya, bahkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sulitnya minta ampun.
Mereka, orang-orang yang kaya harta, tetapi miskin hati tidak
memiliki rasa cinta terhadap sesama. Mereka hanya mencintai diri
mereka dan keluarga mereka sendiri. Inilah yang disebut dengan egois.
Padahal, Nabi Saw mengancam seseorang yang tidak peduli dengan
orang lain melalui hadisnya, “Tidak dikatakan beriman seseorang yang
tidur dengan nyenyak, sementara tetangganya tidak bisa tidur karena
kelaparan”.
Lagi lagi, cinta, empati serta peduli terhadap orang lain adalah
merupakan bukti keimanan seseorang.
Saya ingin sedikit berbagi cerita tentang salah seorang kerabat
saya, seorang pengusaha yang begitu peduli dengan sesama. Kisah ini
saya kutip dari buku saya berjudul Agar Allah selalu Menolongmu!
Sebut saja namanya Haji Mukhlishuddin. Mulanya, dia hanyalah
seorang karyawan sebuah toko bahan bangunan (material) dengan gaji
pas-pasan.
Di tengah kondisi ekonomi yang serba kekurangan tersebut, dia
bercita-cita agar kelak dapat memiliki usaha sendiri. Selain mimpi
tersebut, rupanya dia memiliki cita-cita mulia, yakni kelak ketika dia
sudah memiliki harta yang cukup, dia ingin berbagi kebahagiaan dengan
cara mengasuh dan memelihara anak yatim. Karena, dulu ketika dia
sekolah di Pesantren, terkesan dengan sebuah hadits yang menyebutkan
bahwa Rasulullah Saw pernah menegaskan bahwa kelak di akhirat,
orang-orang yang memelihara anak yatim akan bersamanya di surga
dalam jarak yang sangat dekat, sedekat jari tengah dan jari telunjuk.
Atas dasar hadits inilah, dia termotivasi untuk memelihara dan mengasuh
anak yatim.
Selama bertahun-tahun menjadi karyawan, dia berusaha untuk
menyisihkan sebagian gaji bulanannya untuk ditabung sebagai modal
usahanya kelak. Setelah hampir sepuluh tahun bekerja sebagai
karyawan, dia akhirnya dapat mengumpulkan modal yang meskipun
tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk memulai usaha. Dia pun
mengundurkan diri sebagai karyawan dan memulai usaha baru di bidang
jual-beli bahan bangunan. Sebuah usaha yang sudah cukup dikuasainya,
karena selama kurang lebih sepuluh tahun bekerja di bidang tersebut.
Dengan modal pengalaman serta relasi yang selama ini sudah cukup
akrab dengannya, tak mengherankan kalau usaha barunya tersebut
mulai menunjukkan perkembangan yang cukup berarti.
Di tengah laju roda bisnisnya yang makin hari makin berkembang,
Pak Mukhlis tidak melupakan cita-cita mulianya, yaitu ingin mengasuh
anak yatim. Mula-mula, dia hanya mengasuh seorang anak yatim, yang
kebetulan masih saudara dekatnya. Dia membiayai segala kebutuhan
hidup, keperluan sekolah, sampai hal-hal lainnya yang berkaitan dengan
masa depan anak tersebut.
Berkah dari kebaikannya tersebut ternyata berimbas pada usahanya
yang semakin maju. Kini dia memiliki beberapa orang karyawan untuk
membantu operasional usahanya. Dia juga sudah membeli sebuah mobil
Pick Up dan sebuah Truk untuk kelancaran usahanya.
Kesuksesan bisnisnya tidak memudarkan cita-cita mulianya yang
sudah tertanam sejak dulu. Dia pun menambah jumlah anak yatim yang
diasuhnya. Saat ini sudah lebih dari sepuluh anak yatim yang
ditanggungnya. Mereka diberikan tempat tinggal khusus di dekat
rumahnya. Segala kebutuhan, baik kebutuhan sehari-hari, kebutuhan
sekolah, bahkan keterampilan berupa kursus-kursus pun diberikannya.
Kini, toko bangunan yang dulu hanya menempati sebuah ruko kecil,
telah menjelma menjadi sebuah Perusahaan Dagang (PD) yang cukup
besar. Jumlah karyawannya mencapai puluhan orang, serta kendaraan
operasionalnya seperti mobil Pick Up dan Truk sudah berjumlah puluhan
unit.
Dalam sebuah kesempatan, Pak Haji Mukhlisuddin pernah
menyatakan, kesuksesan usahanya tersebut tidak lain karena ijin Allah.
Kunci seksesnya terletak pada kebiasaannya yang selalu berusaha untuk
mensyukuri nikmat Allah, dengan cara berbagi terhadap sesama.
Dari kisah tersebut, kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga
bahwa mencintai sesama adalah kunci kesuksesan hidup.

 Bagaikan Satu Tubuh


Rasulullah Saw bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin dengan
mukmin lainnya dalam kelembutan dan kasih sayang, bagaikan satu
tubuh. Jika ada bagian tubuh yang merasa sakit, maka seluruh bagian
tubuh lainnya turut merasakannya.” (HR. Imam Muslim).
Sebuah permisalan yang sangat indah yang diilustrasikan Rasulullah
dalam hadis tersebut. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat
satu tubuh dalam hal cinta dan kasih sayang. Tidak ada jarak, tidak ada
sekat, tidak ada pembeda satu sama lain. Jika salah satu bagian tubuh
terasa sakit, bagian tubuh lainnya kan ikut merasakannya. Jika ada
saudara, kerabat, tetangga yang tengah didera kesulitan, ditimpa
kesusahan, dilanda kemalangan, maka sepatutnya kita ikut merasakan
betapa sedihnya mereka. Sehingga kita pun ikut berusaha untuk mencari
jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya. Inilah makna cinta sesama
yang sesungguhnya.
Cinta terhadap sesama akan menumbuhkan ikatan emosional yang
kuat. Cinta terhadap sesama akan mempererat jalinan ukhuwah. Cinta
terhadap sesama akan melahirkan kebahagiaan.
Sungguh, sebuah ajaran mulia nan agung tentang makna
persaudaraan.

 Wujud Kesalehan Sosial


Selama ini, tidak jarang kita jumpai orang-orang yang rajin serta
tekun menjalankan aktivitas ibadah ritual, seperti sholat, puasa, haji,
serta ibadah-ibadah ritual lainnya, yang menunjukkan tingkat kesalehan
individu atau kesalehan pribadi, tetapi berbanding terbalik dengan
aktivitasnya dalam ibadah-ibadah sosial. Mereka tidak memiliki empati
terhadap orang lain, tidak peduli dengan kondisi lingkungan tempat
mereka tinggal. Mereka apatis terhadap persoalan sosial yang dihadapi
oleh warga di sekitar tempat mereka tinggal. Kesalehan ritual (individu)
yang mereka miliki tidak sejalan dengan kesalehan sosialnya.
Padahal al-Qur‟an mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah
(hablun min Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablun min
an-nas). Ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan
dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan
hubungan sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan
kata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan
sosial.
Di antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan
kasih sayang terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang,
jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di Masjid,
harus diimbangi dengan rajin sedekah ke panti asuhan serta yayasan
sosial lainnya. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada
saudara dan tetangga yang membutuhkan. Tekun bermunjat memohon
pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi pertologan
kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif
menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang lain. Inilah wujud
nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah
masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di
sekitarnya.
Hal ini sesuai dengan ajaran Nabi Saw, “Sebaik-baik manusia adalah
yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain”. (HR. Ahmad,
Thabrani, Ad-Daruquthni)
Mencintai Allah, Puncak segala Cinta
Adalah Rabi‟ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang sangat
populer dengan konsep „mahabbah‟-nya. Rasa cinta (mahabbah) Rabi‟ah
kepada Allah mengalahkan segala cintanya kepada dunia dan seisinya.
Bahkan ibadah yang dilakukannya semata-mata hanya mengharap cinta-
Nya, bukan yang lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam salah
satu bait puisi cintanya yang sangat populer:

Tuhanku…
aku mengabdi kepada-Mu bukan karena takut akan nerakamu
bukan pula karena mengharap surga-Mu
tetapi aku mengabdi kepada-Mu karena cintaku pada-Mu
Ya Allah…
jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu
masukkan aku dan bakar aku didalamnya
jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu
campakkan aku dan jauhkan aku darinya
tetapi jika aku menyembah-Mu karena cintaku pada-Mu
maka, jangan palingkan wajah-Mu dariku

Sungguh, betapa menggugah kesadaran kita semua bait-bait puisi


cinta Rabi‟ah al-Adawiyah tersebut.
Selama ini, kita terbuai dan terlena dalam cinta semu pada dunia
seisinya. Kita hanya mendekati Allah ketika kita membutuhkan-Nya.
Kalaupun kita rajin menjalankan perintah-Nya, seringkali hanya sekedar
menggugurkan kewajiban kita semata, bukan karena didasari ketulusan
hati dan keikhlasan jiwa, apalagi karena rasa cinta.
Padahal rasa cinta Allah terhadap hamba-Nya, melebihi rasa cinta
seorang ibu kepada anaknya.
Suatu ketika, Rasulullah Saw tengah duduk bersama para
sahabatnya. Sesaat kemudian, tampak seorang ibu sedang
menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja
Rasulullah bertanya kepada para sahabat, apakah kalian melihat ibu yang
sedang menggendong anaknya itu penuh kasih sayang? Ya, kami semua
melihatnya ya Rasulullah, jawab para sahabat. Apakah mungkin ibu itu
akan melemparkan anaknya ke jalanan? Tanya Rasul kemudian. Tidak
mungkin ya Rasulullah, hanya seorang ibu gila yang tega melempar
anaknya di tengah jalan. Semua ibu sayang kepada anaknya, tegas para
sahabat. Ya, memang demikianlah kasih seorang ibu kepada anaknya.
Dan, cinta serta kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, melebihi cinta
seorang ibu kepada anaknya.
Cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang
mengejawantah pada diri seseorang yang beriman sehingga
menghasilkan ketaatan, penghormatan, serta pengagungan kepada-Nya.
Apabila rasa cinta kepada Allah telah merasuk ke dalam jiwa seseorang,
maka ia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali jika bersama-Nya, ia
tidak akan menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya, dan puncak
kenikmatan yang dikecapnya adalah ketika menyebut (berdzikir) sambil
memandang keindahan, jalal, dan kebesaran-Nya.
Para ahli al-Qur‟an memahami makna cinta Allah sebagai limpahan
kebajikan dan anugerah-Nya. Anugerah Allah tidak terbatas, karena itu
limpahan karunia dan kasih sayang-Nya pun tidak terbatas pula.
Limpahan anugerah-Nya ini disesuaikan kadar cinta manusia kepada-
Nya. Namun, minimal adalah pengampunan dosa-dosa serta curahan
rahmat.
Adalah sufi kondang, al-Junaid, sebagaimana dikutip oleh M.
Quraish Shihab, ketika ditanya siapa yang pantas disebut pencinta Allah,
ia menjawab, “ Ia adalah orang yang tidak menoleh kepada dirinya lagi,
selalu dalam hubungan intim dengan Tuhan melalui zikir, senantiasa
menunaikan hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan mata hati,
terbakar hatinya oleh sinar hakikat Ilahi, meneguk minuman dari gelas
cinta kasih-Nya, tabir pun terbuka baginya, sehingga sang Maha Kuasa
muncul dari tirai-tirai gaib-Nya, maka tatkala berucap, dengan Allah ia,
tatkala bergerak, atas perintah Allah ia, tatkala diam, bersama Allah ia.
Sungguh, dengan, demi, atas, dan bersama Allah selalu ia.” Dengan
demikian, mencintai Allah adalah puncak segala cinta.
Berbagi Kebahagiaan

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu


menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”
(Q.S. 93: 11)

Menurut para ahli hikmah, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah


ketika kita bisa membahagiakan atau berbagi kebahagiaan dengan orang
lain. Kebahagiaan yang hanya dinikmati sendiri adalah kebahagiaan
semu.
Mari kita amati pengalaman hidup kita sehari-hari. Ketika kita
berjumpa dengan seseorang kemudian kita menyapa dengan senyuman,
maka orang tersebut pun akan membalas kita dengan senyuman. Ketika
kita memberikan sedekah kepada seorang pengemis, dia akan
mengucapkan terima kasih kepada kita, dan saat itu ada perasaan
bahagia dalam hati kita, bukan semata-mata karena ucapan terima kasih
pengemis tadi, tetapi karena kita bisa berbagi dengan orang lain.
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa semakin banyak kita berbagi
dengan orang lain, maka semakin besar kebahagiaan yang kita dapatkan,
serta semakin berkelimpahan kehidupan kita. Semakin bermakna kita
bagi orang lain, semakin nikmat kita menjalani hidup. Semakin
bermanfaat kita bagi banyak orang, semakin berkah kehidupan kita.
Sebaliknya, semakin sedikit kita berbagi dengan orang lain, semakin
sulit kita mendapatkan kebahagiaan. Semakin kita tidak memberi
manfaat bagi orang lain, semakin sulit kita menikmati hidup. Semakin
kita tidak berarti bagi banyak orang, semakin tidak bermakna kehidupan
kita.
Kesimpulannya, jika kita ingin hidup bahagia, maka bahagiakanlah
orang lain. Berbagi kebahagiaan adalah kunci kesuksesan dan
kebahagiaan hidup.
Syukur Tidak Sekedar Ucapan tanpa Tindakan Nyata
Kutipan ayat ke-11 dari Q.S. Adh-Dhuha yang penulis sebut di awal
bab ini menjelaskan, bahwa hendaknya kita selalu menyebut-nyebut,
menceritakan, serta mengingat nikmat yang telah Allah berikan kepada
kita.
Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Maraghi dalam Tafsirnya
menjelaskan bahwa yang dimaksud menyebut-nyebut nikmat Allah tidak
sekedar menceritakannya kepada orang lain. Karena hal ini menurut Al-
Maraghi termasuk sikap (akhlak) yang tidak terpuji. Maksud ayat ini
adalah bahwa mensyukuri nikmat Allah dengan berbagi kepada orang
lain. Anugerah yang diberikan Allah kepada kita berupa harta kekayaan,
misalnya, tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga bisa dinikmati orang
lain. Karena, betapa pun susah payahnya kita dalam mendapatkan rizki,
di situ terdapat hak-hak orang lain yang perlu kita berikan.
Harta kita bukanlah milik kita sepenuhnya. Di situ terdapat hak-hak
fakir miskin, anak yatim, serta orang-orang yang membutuhkan uluran
tangan kita. Rizki yang Allah berikan kepada kita adalah titipan Allah
untuk kita bagi kepada yang membutuhkan.
Bersyukur atas karuna rizki yang Allah berikan kepada kita,
disamping dengan mengucap: “Alhamdulillah”, juga dengan memberikan
zakat, infak dan sedekah kepada yang berhak menerimanya.
Syukur tidak sekedar ucapan tanpa tindakan nyata. Realisasi syukur
adalah tindakan nyata berupa berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
melalui sedekah, misalnya, yaitu dengan memberi santunan kepada anak
yatim, fakir miskin, orang jompo serta orang-orang yang membutuhkan.
Syukur juga dapat diartikan dengan semakin menambah intensitas serta
kualitas ibadah kita kepada Allah.
Dengan meningkatkan kualitas hubungan kita kepada sesama
manusia (hablun min an-nas), serta semakin menguatkan kedekatan kita
kepada Allah (hablun min Allah), maka pemaknaan kita terhadap ayat
ke-11 dari surat Adh-Dhuha tersebut menjadi nyata.
Menjadi Kran Rizki bagi Orang Lain
Di rumah, setiap kali saya menyalakan kran wastafel atau shower
untuk pertamakalinya, yang keluar selalu air dengan bau tidak sedap.
Tetapi, aroma tak sedap itu hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, air
mengalir lancar dengan tidak menimbulkan bau sama sekali.
Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa sederhana, yang
sering kita alami tersebut?
Ya, ternyata air yang tertahan di kran, yang jarang kita gunakan
akan menimbulkan bau tak sedap. Dan semakin lama mengendap, akan
semakin menimbulkan bau tidak sedap. Tetapi begitu kran dibuka, air di
alirkan, maka bau tak sedap itu berangsur-angsur hilang dan akhirnya
hilang sama sekali alias normal.
Begitulah ilustrasi sederhana yang dapat kita terapkan juga pada
rizki kita. Jika rizki yang kita miliki dibiarkan menumpuk dan mengendap
di rumah kita, tidak kita alirkan kepada yang lain, maka rizki itu, cepat
atau lambat akan menimbulkan masalah.
Zakat yang tidak ditunaikan, sedekah yang tidak dikeluarkan, infaq
yang tidak diberikan akan menjadi sumber bencana dalam diri kita.
Karena, pada hakekatnya zakat, infaq dan sedekah adalah hak-hak orang
lain yang Allah titipkan kepada kita.
Ketika kita menahan hak-hak mereka, maka bersiap-siaplah jika
pada suatu saat yang tidak pernah kita duga, harta tersebut akan diambil
oleh Allah dengan cara-Nya, yang mungkin jumlah nominalnya jauh lebih
besar dari jumlah zakat yang harus kita keluarkan.
Harta yang tidak dizakati, tidak disedekahkan dan tidak diinfaqkan,
alih-alih menambah pundi-pundi kekayaan kita, justru akan
memempersurut kekayaan kita, bahkan bisa jadi akan menghilangkan
kekayaan kita.
Banyak hal yang mungkin terjadi menimpa diri kita akibat
keengganan kita untuk menuanikan zakat, infaq dan sedekah. Bisa
melalui penyakit yang kita derita sehingga menguras isi tabungan kita
untuk berobat, bisa dengan musibah kebakaran sehingga aset kita habis
terbakar, bisa dengan penipuan yang dilakukan rekan bisnis kita, dan
masih banyak jalan yang mungkin terjadi menimpa kita, ketika kita
enggan memenuhi perintah Allah berupa membayar zakat, memberi
sedekah dan infaq kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan
membutuhkannya.
Intinya, jika kran rizki yang kita miliki ditutup rapat-rapat, siap-siap
saja dengan „bau busuk‟ harta kita.
Jamil Azzaini, dalam bukunya „Makelar Rizki‟ menegaskan bahwa di
antara kunci kebahagiaan adalah menjadi makelar rizki, artinya
menyalurkan rizki kepada orang lain yang membutuhkan.
Senada dengan Jamil, saya menyebutnya dengan istilah kran rizki.
Kran rizki yang saya maksud adalah setiap rizki yang kita terima selalu
siap kita alirkan kepada orang lain yang membutuhkan. Dengan
demikian, rizki yang kita miliki tidak pernah minimbulkan „bau tak sedap‟,
karena terus mengalir.
Ketika kita istiqomah menjadi kran rizki bagi orang lain, maka
yakinlah, Allah pasti akan menambah jumlah „kran rizki‟ bagi kita, yang
juga siap kita alirkan kepada orang-orang dalam jumlah yang lebih
banyak dan lebih besar lagi.
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah akan selalu menolong hamba-
Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Dalam kalimat lain Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan,
“Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan
menyayangimu.” (HR. Bukhari)
Ada banyak macam cara menjadi kran rizki yang bisa kita lakukan,
misalnya; menyantuni fakir miskin, memberi makan anak yatim,
membiayai pendidikan anak-anak yang tidak mampu, membiayai
pengobatan orang yang kekurangan, dan masih banyak lagi macam
kebaikan lainnya yang dapat kita lakukan sebagai upaya kita menjadi
kran rizki.
Yakinlah, dengan menjadi kran rizki bagi orang lain, maka Allah
akan menambah lebih banyak lagi jumlah kran rizki untuk kita. Sehingga
kita benar-benar dapat menjadi orang yang memberi manfaat bagi orang
banyak. Dan inilah tipe manusia terbaik menurut Rasulullah Saw.
Nikmat Semakin Melimpah dengan Berbagi
“Jika kalian bersyukur atas nikmatku, Sungguh akan aku tambah
nikmat-Ku kepada kalian”

Di kampung saya ada seorang pengusaha sukses, sebut saja


Namanya Haji Zuhdi. Beliau sudah wafat beberapa tahun yang lalu. Meski
demikian, aset kekayaannya bukannya berkurang tetapi semakin
bertambah besar.
Pada saat hidupnya, beliau yang berusaha di sektor pertanian,
menjadi seorang petani sukses. Bahkan menjadi orang terkaya di
kampung saya. Salah satu kunci suksesnya, menurut ayah saya, yang
kebetulan cukup akrab dengan Pak Haji Zuhdi, adalah sifat
dermawannya. Di samping itu, di dalam rumah yang cukup besar, yang
dihuni bersama keluarganya, Pak Haji Zuhdi mengasuh serta melihara
puluhan anak yatim. Beliau tanggung semua biaya hidup mereka, dari
mulai kebutuhan makan sehari-hari hingga biaya pendidikan mereka.
Sebulan sekali beliau mengundang seorang ustadz untuk
memberikan ceramah agama untuk keluarganya serta anak-anak yatim
yang diasuhnya. Beliau juga menjadi donatur tetap bagi sejumlah
lembaga pendidikan di kampung saya. Bahkan, beliau juga mewakafkan
tanahnya untuk pembangunan gedung sekolah di kecamatan saya.
Kebiasaan berbagi inilah tampaknya yang menjadikan beliau
semakin berkelimpahan harta. Hingga pada akhirnya, beliau mendirikan
minimarket yang cukup laris hingga saat ini.
Setelah beliau meninggal, usahanya dilanjutkan oleh istri dan anak-
anaknya. Sikap dermawan almarhum pun masih terus dilanjutkan oleh
istri dan anak-anaknya.
Kini, usaha minimarket yang dirintis almarhum berkembang pesat.
Hingga saat ini sudah ada beberapa cabang minimarket yang terdapat di
sejumlah daerah sekitar Brebes.
Inilah salah satu bukti bahwa berbagi dengan orang lain yang
membutuhkan menjadikan nikmat semakin bertambah, harta semakin
berlimpah, dan hidup semakin berkah.
Memaafkan, Sikap Mulia Seorang Mukmin

“Jadilah engkau pemaaf


dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
(Q.S. Al-Araf: 199)

Salah satu hal yang sulit dilakukan oleh sebagian besar orang
adalah memaafkan kesalahan orang lain. Ya, memaafkan adalah sikap
mulia yang tidak semua orang mampu melakukannya. Hal ini
dikarenakan setiap orang memiliki tingkat ego yang berbeda. Ada yang
merasa harga dirinya sangat tinggi, sehingga dia merasa rendah jika
memaafkan kesalahan orang lain. Dia menganggap bahwa memaafkan
adalah sikap lemah dan hina. Sehingga, dia tetap bersikeras untuk tidak
memaafkan kesalahan orang lain.
Di sisi lain, ada orang yang menyadari bahwa setiap orang pasti
tidak terlepas dari kesalahan, tidak terkecuali dirinya. Dengan kesadaran
seperti ini, maka dia bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Islam mengajarkan agar kita semua memiliki sifat pemaaf. Karena
dengan memaafkan, maka hilanglah rasa dendam dalam diri kita, jiwa
menjadi tenang, batin pun tentram. Lebih dari itu, sifat pemaaf akan
menjadikan seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di
hadapan Allah.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Saw. menegaskan tentang
mulianya sikap memaafkan. “Tidaklah Allah Ta‟ala menambah kepada
seorang hamba karena (pemberian) maafnya kecuali kemuliaan, dan
tidaklah pula seseorang bersikap tawadlu kecuali Allah Ta‟ala akan
meninggikannya.” (Riwayat Muslim)
Sifat pemaaf hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa besar,
berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Orang-orang sombong,
angkuh dan senang membanggakan diri sulit untuk bersikap mulia
seperti itu.
Padamkan Bara Api dalam Diri
Suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Nabi: “Berilah aku
wasiat! Nabi menjawab, Jangan marah! Orang tersebut mengulangi
permintaannya beberapa kali dan beliau tetap menjawab: Jangan
marah!” (H.R. al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan kepada kita tentang bahaya marah. Rasul
Saw. sampai mengulang pesannya beberapa kali agar kita jangan marah.
Marah adalah luapan emosi yang meledak-ledak karena rasa tidak
senang terhadap sesuatu. Marah muncul dari dalam diri sebab kita
merasa dunia ini berjalan tidak seperti yang kita kehendaki.
Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya' Ulumuddin”
menjelaskan, “marah adalah nyala api yang diambil dari api neraka,
yang naik ke hati kemudian bertempat dilipatan hati, seperti
bertempatnya bara api dibawah abu.”
Menarik sekali ilustrasi yang digambarkan oleh Al-Ghazali. Beliau
mengumpamakan kemarahan layaknya bara api dalam abu. Kita semua
tahu bahwa bara api dalam abu, ibarat bom waktu yang selalu siap
meledak kapan pun. Jika abu yang menyimpan bara api tersebut
mendapat tiupan angin, atau sengaja dikipas-kipasi maka akan muncul
api. Semakin kencang tiupan anginnya, semakin besar api yang akan
muncul.
Demikian halnya dengan kemarahan. Jika terus disimpan dan di
pendam dalam dada, maka suatu saat akan kembali berkobar ketika ada
yang sengaja meniupkan serta menghembuskan semangat permusuhan
terhadap orang yang menjadi objek kemarahan sebelumnya. Kobaran api
kemarahan tersebut akan semakin membesar, ketika hembusan angin
permusuhan itu juga semakin kencang. Tidak menutup kemungkinan,
luka masa lalu akan kembali terkuak, bahkan bisa lebih parah dari
sebelumnya.
Pada umumnya, seseorang yang sedang dalam kondisi marah,
seringkali tidak memikirkan dampak (negatif) dari kemarahannya
tersebut. Dia hanya berpikir bagaimana luapan emosinya yang meledak-
ledak itu dapat tersalurkan. Dia baru menyadari efek dari kemarahannya
itu setelah dia berada dalam kondisi normal, atau kemarahannya reda.
Pada dasaranya marah adalah manusiawi. Kita boleh marah, tetapi
marahlah karena alasan yang tepat, kepada sasaran yang tepat, pada
waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Namun, jangan
berkepanjangan. Pun jangan terlalu lama memendam emosi (marah),
karena bisa memunculkan dendam.
Rasulullah Saw. dalam salah satu hadisnya menegaskan, “Orang
yang kuat bukanlah yang mampu mengalahkan musuhnya dalam suatu
pertempuran, tetapi orang kuat adalah mereka yang mampu
mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Berikut ini beberapa langkah mengendalikan amarah, yang saya
kutip dari bukunya Jalaluddin Rakhmat berjudul “Tafsir Kebahagiaan”:

1. Mengidentifikasi penyebab marah. Terkadang penyebabnya adalah


hal- hal yang sama.
2. Menandai tanda-tanda kemarahan, agar tahu, kemarahan diri kita
sudah benar-benar hilang atau sesungguhnya hanya terpendam
sementara yang setiap saat bisa kembali meledak.
3. Berwudlu, seperti dianjurkan Rasulullah. Sebab marah berasal dari
setan dan setan tercipta dari api. Dan, api akan redup jika disiram
air.
4. Mengubah persepi terhadap pemicu kemarahan. Sebab, terkadang,
sesuatu yang membuat kita marah belum tentu juga bisa membuat
orang lain marah.

Setelah kita mampu menahan amarah, langkah selanjutnya adalah


memaafkan kesalahan orang lain kepada kita. Orang yang mudah
memaafkan kesalahan orang lain, baik itu kesalahan kecil atau besar,
akan lebih mudah merasakan kedamaian hati, ketenangan jiwa, dan
ketentraman batin.
Menurut penelitian sejumlah ilmuwan Amerika tentang sikap
pemaaf, dibuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah
lebih sehat, baik jiwa maupun raganya dibandingkan dengan mereka
yang selalu menyimpan bara dendam dalam hatinya.
Dr. Frederic Luskin, yang mendapat gelar Ph.D dalam bidang
Konseling dan Kesehatan Psikologi dari Universitas Stanford, dalam
bukunya Forgive for Good, menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang
telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku, yang mereupakan
hasil penelitiannya tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf
memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan,
kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan,
lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang
dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri
seseorang. Sikap mudah tersinggung, stres, perasaan gelisah,
ketidakstabilan jiwa adalah beberapa dampak yang dapat diamati pada
diri seseorang yang selalu memendam kemarahan. Kondisi seperti ini,
jika dibiarkan berlarut-larut akan membuat seseorang tidak mampu
berpikir jernih, serta memperburuk keadaan.
Dr. Danial Zainal Abidin dalam bukunya Al-Qur‟an for Life
Excellence, mengutip sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Herbert
Benson terhadap 1500 orang, ditemukan bahwa kegundahan hati, stres
serta penyakit mental jarang terjadi pada mereka yang berpegang teguh
pada agama. Beliau menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh agama
yang mengajarkan dan menganjurkan kepada para penganutnya untuk
saling memaafkan satu sama lain.
Dari beberapa keterangan di atas, baik dari sudut pandang agama
maupun kajian ilmiah, terlihat jelas bahwa memaafkan, selain
merupakan wujud akhlak mulia seseorang yang akan menjadikannya
terhormat dan mulia di hadapan Allah dan manusia, juga menjadikan
seseorang lebih dapat menikmati hidup. Kesehatan fisik terjaga,
ketenangan batin dan kedamaian jiwa terasa, serta kebahagiaan menjadi
nyata. Apalagi yang dibutuhkan seseorang ketika hidup di dunia fana ini,
selain kesehatan jasmani dan ruhani yang sempurna? Dunia terasa
indah, hidup pun terasa nikmat jika kebutuhan dua aspek penting dalam
diri ini, yaitu jasmani dan ruhani terpenuhi.

Kucurkan Kesejukan Setiap Saat


Langkah selanjutnya, setelah kita mampu menjadi seorang pemaaf
dan dapat menghilangkan bara api dendam dalam diri, selayaknya kita
mampu menghadirkan kesejukan kepada setiap orang yang kita jumpai.
Kucurkan kesejukan setiap saat, maka kedamaian hidup akan kita
rasakan.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Saw mengatakan bahwa di
antara amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada
hati orang yang beriman.
Membuat orang lain bahagia adalah amalan mulia. Sebaliknya,
membuat orang lain menderita adalah amalan tercela. Banyak hal yang
dapat kita lakukan untuk membahagiakan orang lain. Di antaranya, yang
sangat sederhana adalah ketika berjumpa seseorang, kita menyapanya
dengan ramah disertai seulas senyuman yang tulus. Ya, sebuah
senyuman tulus yang kita berikan kepada seseorang, mampu
menghadirkan kesejukan dan kedamaian di hati orang tersebut.
Demikian sederhana dan mudahnya membahagiakan orang lain,
tetapi yang sederhana dan mudah seperti ini pun sering tidak kita
lakukan. Lebih-lebih, ketika orang yang kita jumpai adalah orang yang
kita benci, atau yang sedang bermasalah dengan kita. Sesungging
senyuman terasa susah sekali untuk diberikan.
Padahal, Nabi Saw pernah mengatakan, “Senyummu untuk
saudaramu adalah sedekah…”, demikian bunyi sebuah hadis Nabi Saw
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berkaitan dengan pentingnya
sikap ramah kepada orang lain.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah Saw juga pernah mengatakan,
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu
hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim).
Beberapa pesan Nabi di atas menunjukkan betapa pentingnya sikap
ramah dan bersahabat kepada orang lain. Jelas, Islam tidak mengajarkan
kebencian, apalagi dendam. Islam mengajarkan kedamaian dan
persahabatan. Karena pada hakekatnya, semua manusia bersaudara.
Perbedaan suku, agama, ras, bahasa dan budaya, alih-alih
dipertentangkan, justru menjadi aset berharga yang makin memperkaya
warna-warni kehidupan ini.
Ayat ke-13 dari Q.S. Al-Hujurat menegaskan, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...”
Sebuah ungkapan populer yang sering kita dengar menyatakan, tak
kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Untuk dapat saling
mencintai dan menyayangi satu sama lain, maka proses awal yang harus
dilalui adalah saling mengenal. Jika sudah saling kenal, maka kita akan
lebih mudah untuk mencintai dan menyayangi satu sama lain.
Rasulullah Saw adalah sosok manusia yang penuh cinta dan kasih
sayang terhadap sesama. Kehadirannya selalu memberikan kesejukan
untuk sekelilingnya. Tutur katanya lembut, membuat damai hati orang
yang mendengar dan diajak bicara. Sikapnya ramah menunjukkan
kemuliaan akhlaknya. Selalu menghormati yang lebih tua dan
menyayangi yang muda. Beliau tidak pernah membeda-bedakan
seseorang berdasarkan suku, agama, ras, warna kulit dan lainnya.
Semua orang diperlakukan dengan ramah dan santun. Sikap lembutnya
tidak hanya kepada para sahabat yang selalu bersamanya, bahkan
kepada orang yang membencinya sekalipun, beliau tetap bersikap
lembut.
Syahdan, di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi
buta yang setiap hari selalu mencela dan mencaci Rasulullah. Setiap kali
ada orang yang datang mendekatinya, ia berkata, “Jangan dekati
Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir,
jika kalian mendekatinya, maka kalian akan dipengaruhinya.
Setiap pagi, Rasulullah Saw mendatanginya dengan membawakan
makanan. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Rasulullah menyuapi
pengemis Yahudi buta itu dengan tulus, sementara pengemis itu tidak
tahu bahwa yang menyuapinya itu Rasulullah, orang yang selalu ia caci
maki dan sumpah serapahi. Rasulullah saw melakukan hal ini setiap hari
sampai beliau wafat.
Setelah Rasulullah Saw wafat, tidak ada lagi orang yang
membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu saat Abubakar berkunjung ke rumah putrinya, Aisyah r.a.,
yang tidak lain adalah istri Rasulullah. Ia bertanya kepada Aisyah,
“Anakku, adakah kebiasaan Rasulullah yang belum aku kerjakan?” Aisyah
menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir
tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu
hal.” “Apakah Itu?” tanya Abubakar penasaran.
“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke sudut pasar dengan
membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di
sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa
makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi
pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar
mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah
kamu ?” Abubakar menjawab, “Aku orang yang biasa.” “Bukan! Engkau
bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu
dengan nada membentak. Orang yang setiap hari menyuapiku, tidak
pernah membuatku susah untuk memegang makanan ini, dan tidak
pernah membuat mulutku susah untuk mengunyah. Karena setiap dia ke
sini, dia suapi aku, namun sebelumnya dia kunyah dulu makanan itu
sampai lembut, baru kemudian diberikan kepadaku.”
Abubakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil
berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa
datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang
mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw.”
Seketika itu, pengemis tersebut tersentak kaget. Ia pun menangis
mendengar penjelasan Abubakar, dan kemudian berkata, “Benarkah
demikian? Selama ini aku selalu mencacinya, menghinanya,
memfitnahnya, teapi ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia
mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.”
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan
Abubakar. Sejak saat itu menjadi seorang muslim.
Demikianlah, kehadiran Rasulullah di mana pun beliau berada selalu
mampu memberikan kedamaian dan kesejukan. Begitu juga seharusnya
akhlak kita kepada sesama. Kehadiran kita harus selalu memberikan
kesejukan dan kedamaian terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Keberadaan kita di tengah-tengah masyarakat harus dapat memberi
manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain.
Berserah Diri Hanya kepada Allah

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,


maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”
(Q.S. Ali „Imran: 159)

Apa sebenarnya pengertian tawakal? Bagaimana konsep tawakal


yang benar menurut ajaran Islam?
Secara bahasa, tawakal berasal dari kata kerja “tawakala” yang
berarti: bersandar, berserah diri, mewakilkan.
Secara istilah, tawakal biasa dipahami dengan penyerahan sesuatu
kepada Allah atau menggantungkan urusan diri kepada Allah setelah
berikhtiar.
Adapun menurut Imam Al Ghazali, tawakal adalah: ”menyandarkan
diri kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kepentingan, bersandar
kepada Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati ketika ditimpa bencana,
dengan jiwa yang tenang dan hati yang tentram.”
Kisah berikut mungkin akan memperjelas pengertian serta konsep
tawakal yang benar menurut ajaran Islam.
Suatu ketika, ada seseorang yang datang ke masjid dengan
membawa unta. Sesampainya di halaman masjid, unta tersebut dibiarkan
saja tanpa diikat. Lalu, Nabi Saw. bertanya, “mengapa tidak kamu ikat
untamu itu?” Orang tersebut menjawab, ”aku telah bertawakal kepada
Allah.” Lalu Nabi Saw bersabda: ”Ikatlah terlebih dahulu (untamu),
setelah itu bertawakallah”.
Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa
pengertian tawakal menurut ajaran Islam adalah penyerahan diri atas
segala urusan kepada Allah, setelah sebelumnya didahului ikhtiar.
Dengan demikian konsep yang benar tentang tawakal adalah
berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, ketika seluruh daya dan
upaya telah dikerahkan melalui proses ikhtiar.
Orang yang bertawakal, harus mengembalikan masalah yang
dihadapinya kepada Allah setelah benar-benar berikhtiar. Ia berserah diri
karena memang semua usaha sudah dilakukan secara maksimal. Apapun
hasil akhir dari ikhtiar yang telah dilakukannya, akan diterimanya dengan
sikap tawakal.
Orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan yang sungguh-
sungguh dalam bertawakal kepada Allah tentu akan selalu berusaha
bersikap atau berprilaku takwa. Jika dia Istiqamah dalam ketakwaannya,
pasti Allah akan memberikan jalan keluar dan mencukupkan
keperluannya.
Ironisnya, banyak orang yang keliru memahami konsep tawakal.
Mereka mengira bahwa tawakal itu adalah pasrah bongkokan,
menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa diiringi dengan
ikhtiar. Sehingga, banyak dari mereka yang menginginkan hidup
berkecukupan secara ekonomi, tetapi tidak mau bekerja. Ada yang ingin
menguasai suatu cabang ilmu tertentu, tetapi tidak mau belajar, hanya
mengharap wangsit dari langit. Dan ada pula yang terus menerus
berharap mendapatkan jodoh yang baik, sesuai dengan kriterianya,
tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkannya. Ini semua adalah
pemahaman yang salah.
Mereka salah memahami ayat yang menyatakan, “Dan barang siapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (Qs.al-Thalaq: 3)
Dalam ayat ini Allah berjanji akan memberikan kecukupan kepada
orang-orang yang bertawakal, termasuk dalam hal rizki. Apakah
kemudian seseorang yang berdiam diri, tidak ada usaha untuk
menjemput rizki, tidak bekerja, lalu tiba-tiba memperoleh rizki dari
langit? Apakah orang yang berharap mendapat jodoh tetapi tidak pernah
berusaha mendapatkannya akan menemukan jodohnya? Tentu tidak
demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama
halnya orang yang ingin punya istri atau suami tentu harus berusaha
untuk mendapatkannya. Jadi, Allah memberikan rizki kepada seseorang
jika dia mau berusaha mencarinya dengan kerja keras. Pun demikian
halnya, Allah akan memberikan jodoh kepada seseorang jika dia mau
berusaha untuk mendapatkannya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah
dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian
seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut
kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (HR. al-Tirmidzi)
Hadis ini menerangkan bahwa binatang saja, dalam hal ini burung,
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus pergi dari sarangnya di pagi
hari, dan baru kembali ke sarangnya di sore hari. Burung tidak tinggal
diam di sarang menunggu makanan datang dari langit. Dia berusaha
untuk menjemput rizki Allah. Dan Allah pun memberikan rizki kepadanya.
Apalagi manusia, yang dikarunia akal dan kelebihan lainnya, tentu
harus lebih giat lagi usaha untuk mendapatkan rizki dari Allah. Tidak
mungkin hanya dengan berdiam diri di rumah tanpa ada usaha untuk
mencari atau menjemput rizki, Allah akan menurunkannya dari langit.
Sesuatu yang mustahil terjadi. Allah akan menghargai kerja keras
hambanya dalam mencari dan menjemput rizki-Nya.
Inilah sesungguhnya konsep tawakal yang benar menurut ajaran
Islam. Usaha maksimal disertai doa, kemudian hasil akhir diserahkan
sepenuhnya kepada Allah. Inilah tawakkal. Singkatnya, ikhtiar adalah
awal perjalanan, sementara tawakkal adalah akhir dari perjalanan.
Dengan demikian, tawakal adalah salah satu bentuk berpikir positif
yang diajarkan Islam. Sesuai hukum alam, pikiran positif akan
menghasilkan sesuatu yang positif pula.
Berikut saya sebutkan beberapa dampak positif yang dihasilkan oleh
sikap tawakal:
1. Perwujudan dari keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
2. Menguatkan jiwa dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
3. Mendatangkan ketenangan jiwa.
4. Melahirkan kepuasan batin.
5. Menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah.
Kita Semua Milik-Nya
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji‟un…”, Sesungguhnya kita milik Allah,
dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Demikian dijelaskan
dalam Q.S. Al-Baqarah: 156.
Kalimat istirja‟ di atas, biasa diucapkan ketika kita mendengar
seseorang terkena musibah. Lebih-lebih ketika musibah itu berupa
kematian. Inilah yang lazim kita jumpai di tengah-tengah masyarakat.
Pada hakekatnya, apa pun musibah yang menimpa kita atau orang
lain, baik berupa sakit, kecelakaan, kehilangan, kematian, atau pun
musibah-musibah lainnya, maka kita dianjurkan mengucapkan kalimat
istirja‟ tersebut.
Kalimat „Inna lillahi wa inna ilaihi raji‟un‟, jika kita pahami lebih jauh
maknanya, maka akan kita jumpai sebuah pesan yang sangat dalam,
yakni perintah agar kita menyadari sepenuh hati bahwa segala yang kita
miliki, baik berupa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, bahkan anak
dan istri atau suami kita, semua itu milik Allah. Maka, kapan pun Allah
berkehendak untuk mengambilnya kembali, kita harus
mengikhlaskannya.
Kita tidak diperkenankan untuk mempertanyakan atau bahkan
„menggugat‟ ketetapan Allah yang telah diberikan kepada kita. Apalagi,
kita kemudian menganggap bahwa Allah tidak berlaku adil, karena
menimpakan musibah tersebut kepada kita. Semua ketetapan (qadla)
dan qadar Allah yang dituliskan untuk kita adalah yang terbaik menurut
Allah. Allah lah yang paling tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Alih-alih
kita mempertanyakan keadilan Allah, introspeksi diri adalah cara terbaik
yang dapat kita lakukan. Apa pun ketetapan yang telah Allah gariskan
untuk kita, harus kita terima dengan lapang dada dan ikhlas.
Untuk dapat bersikap ikhlas dalam menghadapi kondisi seperti ini
adalah dengan cara menyadari dari mana sesungguhnya kita berasal?
Apa yang kita bawa ketika lahir ke dunia ini?
Kita semua, ketika pertama kali melihat alam dunia ini, ketika baru
saja keluar dari perut ibu kita masing-masing, tidak ada satu pun yang
membawa harta kekayaan, jabatan, kedudukan, popularitas atau yang
lainnya. Bahkan, sehelai benang pun tidak kita miliki. Kita semua terlahir
dalam kondisi telanjang, tidak membawa bekal apa pun berupa materi.
Satu hal yang kita bawa adalah perjanjian yang telah kita sepakati
dengan Allah ketika kita masih di alam rahim. Seperti ditegaskan dalam
Q.S. Al-A‟raf: 172: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat ini menegaskan bahwa hanya janji tauhid yang kita bawa ke
dunia ini ketika kita dilahirkan oleh ibu kita. Tidak ada bekal berupa
pengetahuan, harta, kekayaan dan bekal-bekal lain selain janji tauhid
tadi.
Setelah seseorang dewasa, kemudian dia dapat menjalani
kehidupan secara layak dengan bekerja keras, berjuang sekuat tenaga
mengerahkan segala potensi yang dimilikinya, maka kemudian
kesuksesan pun dia raih.
Pada saat seperti inilah, ketika kesuksesan hidup sudah dicapainya,
akan terlihat jelas siapa yang tetap memegang teguh janji tauhid yang
dibawanya, dan siapa yang melupakan janji tersebut.
Ketika kesuksesan telah ada digenggaman, kemudian seseorang
merasa bahwa apa yang kini didapatkannya adalah murni hasil kerja
kerasnya, dengan menafikan peran serta dan ijin Allah, maka
sesungguhnya dia telah mengingkari janjinya kepada Allah. Dia tidak
menyadari bahwa semua fasilitas kehidupan yang dia nikmati saat ini
adalah karunia Allah. Dan, jika dia terlena dalam kesombongannya
tersebut, maka sangat mungkin Allah akan mencabut semua nikmatnya
tersebut secara tiba-tiba. Dan dia akan menyesal.
Allah Swt mengingatkan dalam salah satu firman-Nya, “Maka tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Q.S. Al-An‟am: 44)
Menurut ayat tersebut, ketika kita melupakan peringatan Allah,
melalaikan ayat-ayat Allah, mula-mula Allah justru akan membukakan
pintu-pintu kesenangan kepada kita. Allah menguji apakah kita akan
kembali sadar dan kembali kepada-Nya, ataukah justru tenggelam dalam
pelukan nafsu duniawi dan semakin melupakan Allah. Jika kita tetap
melalaikan peringatan Allah, semakin menjauhi-Nya, maka di saat kita
tengah menikmati puncak kesuksesan, bergelimang dengan kenikmatan
dunia, Allah akan mencabut nikmat tersebut secara tiba-tiba. Dalam
keterangan lain disebutkan, Allah akan menyiksa kita secara tiba-tiba.
Dan, ketika itu kita akan menyesal, terdiam dan putus asa. Na‟udzu
billahi min dzalika.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah menyatakan, “…Jika dia
mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam
diri-Ku…”
Janji Allah dalam hadis qudsi di atas menyiratkan bahwa dalam
kondisi apa pun, senang atau sedih, suka atau duka, bahagia atau
sengsara, kaya atau miskin, jika seorang hamba selalu mengingat Allah,
maka Allah pun akan selalu mengingatnya.
Selalu mengingat Allah berarti meyakini kehadiran-Nya kapan pun
dan di mana pun kita berada. Selalu mengingat Allah juga menunjukkan
kesadaran bahwa kita semua milik-Nya, dan akan kembali kepada-Nya.
Merasakan kehadiran Allah dalam setiap desah nafas, serta setiap gerak
langkah kita akan membuat kita lebih tenang menjalani hidup, karena
kita yakin apa pun yang menimpa kita tidak akan pernah luput dari
perhatian Allah. “Hanya dengan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah, hati
menjadi tenang.”
Kembali ke Haribaan-Nya dengan Khusnul Khotimah
“Wahai jiwa yang tenang! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang ridla dan diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-
hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr: 27-30)
Melalui ayat tersebut, Allah menyeru kita untuk kembali kepada-Nya
dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya.
Ketika ajal seseorang telah tiba, ketika kematian datang
menjemput, maka hanya ada dua kemungkinan yang akan dialami
olehnya, yakni mati dalam keadaan husnul khotimah, yakni baik di
penghujung hidupnya, atau su‟ul khotimah, buruk di akhir hidupnya.
Jika seseorang telah sungguh-sungguh untuk selalu menghadapkan
wajahnya kepada Allah, yakni seluruh orientasi hidupnya ditujukan lillah
(untuk Allah), maka dia telah merancang kehidupannya dengan akhir
yang baik (husnul khotimah).
Orang seperti ini memahami kehidupan sebagai sebuah perjalanan
ruhani (rihlah ruhaniah) menuju Allah. Dia yakin sepenuh hati bahwa
Allah telah menyediakan tempat kembali yang sangat indah. Dia tidak
akan mudah terpesona dengan kehidupan duniawi, karena meyakini
bahwa kenikmatan yang menantinya di akhirat kelak jauh lebih
baik daripada apa yang ia dapatkan di dunia ini. Dia juga tidak akan
pernah khawatir, bersedih hati apalagi kecewa dengan segala peristiwa
yang menimpanya. Hal ini disebabkan karena dia memahami bahwa
kewajibannya hanyalah berusaha untuk mendapatkan yang terbaik,
sedangkan segala hasil dari ikhtiar yang dilakukannya selama ini, dia
serahkan kepada Allah Swt. Dia menyadari sepenuhnya bahwa hasil yang
diberikan Allah hanyalah sebuah sarana untuk dapat meraih ridha-Nya.
Dengan keyakinan dan kesadaran seperti ini, maka insya Allah akhir
hidup orang tersebut termasuk dalam kelompok yang mendapatkan
husnul khatimah.
Di sisi lain, ada sementara orang yang memahami kehidupan ini
sebagai satu-satunya kesempatan untuk bersenang-senang. Mereka
terlelap dalam pelukan nafsu duniawi. Mereka terlena dalam kesenangan
sesaat. Mereka meyakini bahwa setelah kehidupan ini tidak akan ada lagi
kehidupan lain. Mereka merasa tidak akan dimintai pertanggung-jawaban
atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Dan pemahaman
seperti ini tercermin dari segala tindakan serta pilihan mereka dalam
menjalani kehidupan.
Padahal, Rasulullah Saw pernah mengingatkan:“Seluruh umatku
akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Maka Sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Barangsiapa
yang menaatiku maka dia pasti masuk surga, sedangkan barangsiapa
yang mendurhakaiku maka sungguh dia telah enggan (masuk surga).”
(H.R. Al-Bukhari)
Sikap tidak meyakini adanya hari akhir, adanya hari perhitungan,
adanya pertanggung jawaban di hadapan Allah, sebagaimana telah Allah
dan Rasul-Nya jelaskan berulang kali dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah
adalah bentuk dari pengingkaran, keengganan dan pembangkangan.
Dan, seperti disebutkan dalam hadis di atas, mereka yang durhaka
adalah orang-orang yang tidak akan masuk surga.
Mereka ini adalah orang-orang yang mengukur setiap aktivitas
hidupnya di dunia ini dengan orientasi materi. Tidak ada sedikit pun
orientasi akhirat dalam diri mereka, karena jelas-jelas mereka
mengingkarinya. Mereka inilah, yang jika sampai ajal menjemputnya
belum bertobat, maka akhir hidupnya termasuk dalam kelompok su‟ul
khatimah.
Kedua tipe manusia ini adalah pilihan hidup setiap kita. Kita bebas
memilih untuk menjadi golongan manusia yang mana yang ingin kita
ikuti. Dan pilihan ini bukan diberikan kepada kita kelak saat kita
sedang mengalami sakaratul maut, melainkan saat ini juga.
Beberapa ayat al-Qur‟an menegaskan hal tersebut. Dalam Q.S. Al-
Kahfi: 29 dijelaskan, “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".”
Ayat di atas menegaskan bahwa menjadi mukmin atau kafir adalah
pilihan hidup seseorang. Allah memberi kebebasan kepada setiap orang
untuk memilih yang mana. Tetapi, tentu setiap pilihan ada konsekuensi
yang ditanggungnya.
Di ayat yang lain Allah Swt. menyatakan, “Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Q.S. Al-Balad: 10)
Para ulama tafsir menjelaskan makna dua jalan pada ayat tersebut
adalah jalan kebaikan dan keburukan. Bisa dimaknai pula dengan jalan
kebenaran dan kebatilan, serta jalan menuju surga dan jalan menuju
neraka.
Dengan demikian, Allah telah memberi kesempatan bagi setiap
manusia untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Apakah akan
meniti jalan kesenangan duniawi yang bersifat sementara, dengan tidak
mengindahkan aturan-aturan Allah, ataukah memilih jalan pengabdian
yang tulus hanya kepada Allah untuk mendapatkan kesenangan ukhrawi
yang bersifat abadi?
Untuk itu, ada baiknya kita merenungkan firman Allah dalam salah
satu ayat al-Qur‟an: “Maka ke manakah kamu akan pergi?” (Q.S. At-
Takwir: 26)
Pertanyaan ini diajukan oleh Allah untuk kita semua selaku hamba-
Nya. Dan jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan sebuah langkah
awal dari perjalanan menjemput kematian dengan husnul khatimah.
Hemat penulis, jawaban yang paling tepat terhadap pertanyaan di
atas adalah firman Allah yang menyatakan: “Katakanlah: Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.” (Q.S. Al-An‟am: 162)
Kita semua tentu berharap, suatu saat kelak ketika kematian datang
menjemput, ketika ajal telah tiba, kita bisa meninggalkan dunia ini
dengan husnul khatimah, penuh ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan.
Dalam sejarahnya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa
mengetahui apakah dirinya kelak ketika mati dalam kondisi husnul
khatimah ataukah su‟ul khotimah.
Kenyataan ini hendaknya menyadarkan kita sebagai seorang
Muslim, untuk benar-benar berhati-hati dan waspada dalam menjalani
hidup ini. Jangan sampai kehidupan dunia yang hanya sementara ini
melenakan kita, meninabobokan kita, sehingga kita lupa akan kehidupan
akhirat yang abadi, dan menjadikan kita mati dalam keadaan su‟ul
khutimah. Nau‟dzu billahi min dzalika.
Rasulullah Saw pernah menyatakan dalam salah satu sabdanya,
“Orang yang cerdas ialah orang yang menahan hawa nafsunya dan
berbuat (amal saleh) untuk (bekal) kehidupan setelah mati.” (HR.
Turmudzi).
Pertanyaannya kemudian, mengapa kriteria kecerdasan seseorang
dalam ajaran Islam dikaitkan dengan menahan nafsu serta beramal saleh
untuk bekal hidup setelah mati?
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut: Pertama,
seseorang yang mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu adalah orang
yang berpikir jauh ke depan. Dia tidak hanya berpikir sesaat saja, sesuai
nafsu dan keinginannya. Karena, bisa jadi nafsu yang menguasai dirinya
akan berdampak negatif di kemudian hari. Dengan demikian, seseorang
yang mampu mengedalikan diri dan menahan diri dari hawa nafsu adalah
orang yang cerdas.
Kedua, setiap manusia akan menjumpai kematian. Dan orang yang
paling siap menghadapi kematian dengan memperbanyak amal saleh
adalah orang yang akan bahagia. Dan, orang yang mempersiapkan
dirinya untuk meraih kebahagiaan tentu adalah orang yang paling
beruntung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang cerdas
adalah orang yang mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat
dengan sebaik-baiknya. Karena kebahagiaan hakiki hanya akan
didapatkan di akhirat kelak.
Berkenaan dengan hal itu, al-Qur‟an dalam sebuah ayat
memberikan satu kriteria lengkap dan jelas bahwa yang dimaksud orang
yang berakal ( cerdas dan berpengetahuan) adalah ulul albab. Yaitu
orang yang selalu menghiasi diri dan mengisi waktunya dengan dzikir
dan fikir agar mendapat keridloan-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS. Ali Imran: 190 – 191).
Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki tauhid yang teguh dan
tangguh, keimanan yang kokoh, mengerjakan hal-hal besar, cerdas
(berilmu pengetahuan), dan termasuk orang-orang yang diridlai Allah
untuk meraih kebahagiaan dengan anugerah besar berupa akhlak yang
mulia. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur‟an, "Dan ingatlah
hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya
mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang
paling baik." (Q.S. As Saad: 45-47).
Dari sejumlah keterangan ayat di atas, jelaslah kriteria kecerdasan
dalam pandangan Islam. Kecerdasan berkaitan erat dengan sikap dan
perilaku kita. Orang yang cerdas akan senantiasa menghiasi diri dengan
akhlak mulia, amal shaleh, dan berorientasi pada kehidupan akhirat.
Beberapa sikap tersebut akan memberikan dampak positif luar
biasa, baik ketika di dunia maupun di akhirat.
Bagaimana agar kita bisa meninggal dalam keadaan khusnul
khotimah? Tentu tidak ada jalan lain selain waspada dan konsisten
mengisi sisa umur yang kita miliki untuk kebaikan-kebaikan dunia
maupun akhirat.
Dengan kata lain kita tidak boleh terlampau santai menyikapi waktu
yang kita miliki apalagi merasa umur masih cukup panjang, sehingga
suka meremehkan perbuatan dosa dan bangga berbuat maksiat.
Anas ra, pernah bertutur, "Sesungguhnya, kalian melakukan
perbuatan-perbuatan yang menurut kalian lebih kecil dari rambut.
Padahal kami pada zaman rasulullah saw, sudah menganggapnya sebagai
dosa yang membinasakan (dosa besar)." (HR. Bukhari).
Apabila hal itu terjadi maka sirnalah fungsi hati seorang Muslim. Ibn
Atha‟illah dalam sebuah nasehatnya menyatakan bahwa, di antara tanda
matinya hati adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan tidak
menyesal atas dosa yang diperbuat.
Oleh karena itu sebagai upaya waspada kita terhadap akhir yang
buruk (su‟ul khotimah) hendaknya setiap hari kita melakukan evaluasi
terhadap keyakinan kita. Apakah keyakinan yang ada di dalam hati ini
telah bersih dari titik-titik keraguan. Jika masih ada keraguan segeralah
membersihkannya.
Selanjutnya ialah memeriksa tabiat diri. Apakah kita sudah terbebas
dari panjang angan-angan dan gemar menyegerakan kebaikan? Sebab
satu faktor utama manusia enggan beramal sholeh dikarenakan
panjangnya angan-angan. Akibatnya sebagian besar malah suka
menunda-nunda untuk taubat dan akhirnya meninggal dalam keadaan
yang sangat buruk.
Jadi, mulai sekarang marilah biasakan diri untuk memperkuat iman,
meneguhkan hati untuk konsisten beramal sholeh, dan waspada untuk
tidak berbuat dosa. Sebab kita tidak pernah tahu kapan ajal menemui
kita.
Dengan cara itulah, insya Allah kita akan tergolong manusia yang
cerdas menurut nabi dan insya Allah akan meninggal dalam keadaan
khusnul khotimah dan mendapat keridoan-Nya, amin.

Anda mungkin juga menyukai