Berbahagialah!
(Pesan Al-Qur‟an Menggapai Kebahagiaan Hakiki)
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak ingin hidup
bahagia. Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan dalam
hidupnya, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak. Malangnya, tidak
semua orang menempuh jalan yang benar untuk mencapai kebahagiaan.
Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan dapat dicapai
dengan kelimpahan materi. Maka, ia pun segera menyusun langkah
untuk menempuh jalan yang menurutnya dapat mengantarkan kepada
kebahagiaan. Bekerja keras siang dan malam, memeras keringat,
banting tulang, bahkan ibarat kata pepatah, kaki buat kepala, kepala
buat kaki, tak kenal waktu, terus-menerus berusaha mengumpulkan
pundi-pundi kekayaan, menumpuk materi, terkadang tanpa peduli halal-
haram, demi memenuhi obsesinya untuk dapat hidup bahagia.
Adapula orang yang mengandaikan bahwa kebahagiaan bisa
didapat dengan popularitas. Maka, ia pun segera menempuh berbagai
cara untuk mendapatakan popularitas, dengan harapan setelah
popularitas diraih, ia akan dengan mudah memperoleh kebahagian hidup.
Pun ada orang yang mengira kebahagiaan dapat terwujud jika ia
dapat menempati suatu posisi atau kedudukan tertentu. Tak ayal, dia
pun berjuang mati-matian untuk dapat menduduki suatu posisi atau
jabatan tertentu, dengan asumsi bahwa setelah impiannya untuk duduk
di „kursi‟ yang diidam-idamkannya selama ini terwujud, kebahagiaan
yang diharapkannya akan tercapai.
Namun, apakah setelah mereka mendapatkan materi yang
berlimpah, fasilitas hidup yang serba lengkap, popularitas, serta mampu
menduduki posisi strategis, atau dengan kata lain mereka mendapatkan
apa saja yang diinginkannya dengan modal materi, popularitas, serta
posisi yang dimilikinya, secara otomatis mereka merasakan kebahagiaan?
Jawabannya adalah: Belum tentu.
Ya, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka akan selalu
mengharapkan lebih dari apa yang diinginkannya. Keberlimpahan materi,
ketenaran atau popularitas, serta posisi strategis yang sudah ada
digenggamannya tidak otomatis menjadi jaminan bahwa mereka pasti
merasakan kebahagiaan atas apa yang telah diperolehnya.
Kondisi demikian kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Betapa banyak orang yang secara materi tidak kekurangan, bahkan
berlebih, tetapi mereka justru merasakan kegamangan hidup. Fisik
mereka sehat, tetapi jiwa mereka kosong dan rapuh. Tidak jarang juga
popularitas alih-alih membawa kebahagiaan bagi seseorang, tetapi justru
menjadi bumerang bagi orang tersebut. Popularitas mengantarkan
mereka pada kekecewaan. Beberapa kasus yang menimpa para public
figur, khususnya kalangan selebritis serta orang-orang top dunia bisa
menjadi pelajaran. Banyak di antara mereka yang mengakhiri hidupnya
dengan cara-cara tragis, justru di saat mereka tengah berada di puncak
popularitas.
Demikian halnya dengan kedudukan serta jabatan yang dimiliki
seseorang. Seringkali jabatan serta posisi seseorang justru membawanya
pada kehidupan yang mengenaskan. Hal ini begitu jelas terlihat pada
kondisi para pejabat di negeri ini. Dengan kewenangan yang dimiliknya,
mereka cenderung tergoda untuk melakukan hal-hal yang melanggar
aturan-aturan hukum dan agama. Korupsi, misalnya. Berapa banyak
pejabat di negeri ini yang akhirnya mendekam di balik jeruji besi karena
ulahnya menyelewengkan kewenangan yang dimilikinya.
Dari beberapa kenyataan di atas, jelaslah bahwa kelimpahan
materi, popularitas, serta kedudukan dan jabatan yang dimiliki seseorang
tidak menjadi jaminan kebahagiaan bagi orang tersebut. Mereka justru
terus diliputi kecemasan. Mereka seolah tidak tahu arah dan tujuan hidup
mereka sesungguhnya.
Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-
manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan
hidup ini.
Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi
ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai
“manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna
(the meaningless life).
Fenomena semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert
Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai „one
dimension man‟, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia
masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo
needs).
Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan
guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan
ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman
spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari
esok yang lebih cerah.
Husain Mazhahiri dalam bukunya berjudul „Awamil as-Saytharah „ala
al-Gharaiz fi Hayat al-Insan menjelaskan bahwa secara fitrah, manusia
terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah pendapat Marcuse
tentang „manusia satu dimensi‟.
Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang terdapat
dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam
dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani,
hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti
(kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa
komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang,
seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi
ini disebut juga sebagai dimensi hayawani. Lantas, bagaimanakah
memadukan kedua dimensi ini sehingga dapat berjalan secara serasi dan
harmonis, yang pada gilirannya mengantarkan seseorang pada
pencapaian kebahagiaan, tidak hanya bersifat duniawi (sementara) tetapi
juga bersifat ukhrawi (hakiki, abadi, kekal)?
Al-Qur‟an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam
pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi
hayawani. Al-Quran memandu kita untuk dapat meraih kebahagiaan
hakiki (dunia-akhirat).
Dalam sejumlah ayat, Al-Qur‟an memberikan tuntunan tentang cara
menggapai kebahagiaan. Bahkan, kalau dikaji lebih jauh, tujuan akhir
dari setiap perintah Allah Swt. adalah supaya kalian berbahagia
(la‟allakum tuflihūna).
Dalam Al-Qur‟an, kalimat la‟allakum tuflihūna yang berarti „supaya
kalian berbahagia‟ disebut sebanyak 11 kali, yaitu pada: Q.S. Al-
Baqarah: 189, Q.S. Ali „Imran: 130, 200, Q.S. Al-Maidah: 35, 90, 100,
Q.S. Al-A‟raf: 69, Q.S. Al-Anfal: 45, Q.S. Al-Hajj: 77, Q.S. An-Nur: 31,
dan Q.S. Al-Jumu‟ah: 10.
Dari penelusuran tentang ayat-ayat tersebut dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa semua perintah Allah dimaksudkan agar kita hidup
bahagia.
Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru
melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan
diri dengan beribadah kepada-Nya, yang akan mengantar mereka pada
kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Mereka justru dipengaruhi dan dikuasai
oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam
kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas
mengecam para „budak nafsu‟, yaitu mereka yang menuhankan hawa
nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang
menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah
dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang
ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)
Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian
besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang
mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur‟an jauh-jauh
hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah
sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah
Saw juga menegaskan, “Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”
Al-Qur‟an menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah
persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan
akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup
bahagia di dalamnya.
Dalam buku ini, penulis akan menguraikan lebih lanjut mengenai
pesan Al-Qur‟an melalui ayat-ayatnya tentang cara menggapai
kebahagiaan hakiki.
Meniti Jalan Takwa
Salah satu cara paling efektif untuk bisa menikmati dan merasakan
kebahagiaan dalam hidup ini adalah dengan bersyukur. Ya, bersyukur
adalah kunci kebahagiaan.
Seseorang yang selalu mensyukuri nikmat, sekecil apa pun nikmat
yang ia dapatkan, akan mudah merasakan kebahagiaan. Sebaliknya,
seseorang yang tidak pandai bersyukur, atau dengan kata lain kufur
nikmat, mengingkari nikmat Allah, sebesar apa pun nikmat yang ia
dapatkan, tidak akan dapat merasakan kebahagiaan. Dia akan terus
merasa kurang, meski beragam nikmat datang bertubi-tubi kepadanya.
Alih-alih mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai wujud rasa syukurnya,
dia justru terus menerus mengeluh dan menggerutu. Tidak tampak
sedikit pun perasaan bahagia dalam dirinya.
Padahal, Allah Swt jelas-jelas menegaskan dalam salah satu firman-
Nya, sebagaimana saya kutip di awal tulisan ini, bahwa siapa saja yang
bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sedangkan siapa saja yang tidak
pandai bersyukur akan mendapat siksa atau adzab dari-Nya.
Orang yang tidak pandai bersyukur ketika diberi nikmat yang
sedikit, maka ketika dia diberi nikmat yang banyak akan bersikap
sombong. Dan sikap sombong ini menjadi awal kehancuran seseorang.
Wujud rasa syukur paling sederhana adalah dengan mengucapkan
“Alhamdulillah”, segala puji bagi Allah. Kemudian rasa syukur ini dapat
kita kembangkan dengan berbagi kebahagiaan terhadap sesama.
Misalnya, kita baru saja mendapat karunia berupa keuntungan yang
cukup besar dalam bisnis kita. Maka, cara bersyukurnya, selain
mengucap “Alhamdulillah” juga kita iringi dengan berbagi kebahagiaan
dengan orang lain. Caranya, kita berikan sedekah kepada orang-orang
yang membutuhkan, seperti fakir, miskin, anak yatim dan yang lainnya.
Kita juga bisa memberikan sumbangan kepada pembangunan masjid,
panti asuhan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Inilah wujud rasa
syukur yang sesungguhnya.
Dalam kitab Mukasyafat al-Qulub, Imam Al-Ghazali menjelaskan
bahwa syukur itu mencakup tiga hal: Pertama, meyakini bahwa nikmat
itu berasal dari Allah; kedua, mengucapkan kalimat syukur
“Alhamdulillah” dengan lisan; dan ketiga, menggunakan nikmat Allah itu
di jalan yang diridlai-Nya.
Secara pribadi, rasa syukur juga bisa kita tunjukkan dengan
meningkatkan kinerja kita. Kita terus mengembangkan usaha kita
dengan tetap bersandar kepada nilai-nilai ajaran agama. Harapan kita,
Allah terus menambah nikmat kita, sehingga kita bisa berbuat baik lebih
banyak kepada sesama.
Rasa syukur harus terus kita pupuk. Karena sesungguhnya setiap
hari kita selalu dilimpahi nikmat oleh Allah Swt. Sejak kita bangun tidur
hingga kita tidur kembali, curahan nikmat Allah tak pernah berhenti.
Bukankah udara yang kita hirup adalah sebuah nikmat yang luar
biasa. Bukankah aneka makanan dengan beragam bentuk dan rasa yang
kita makan, aneka jenis minuman yang kita minum adalah nikmat yang
sangat besar. Bukankah kaki yang kita gunakan untuk melangkah, mata
yang kita gunakan untuk melihat, teling untuk mendengar, mulut untuk
berbicara, kesemuanya adalah nikmat Allah yang tak terhingga nilainya?
Bayangkan jika seluruh panca indera kita tidak berfungsi dengan
baik, kita tentu akan merasakan sulit menjalani hidup ini. Inilah nikmat
yang seringkali kita lupakan.
Maka tepat sekali pertanyaan yang Allah ajukan kepada kita dalam
Q.S. Ar-Rahman: 13 dan beberapa ayat berikutnya: “Maka nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Dalam ayat lain ditegaskan, “Dan jika kamu hendak menghitung
nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim :
34)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan lima prinsip sikap syukur;
pertama, tunduk kepada Yang Memberi Nikmat; kedua, senantiasa cinta
kepada-Nya; ketiga, menyadari bahwa nikmat itu datang hanya dari
Allah; keempat, senantiasa memuji Allah atas anugerah-Nya; dan kelima,
hanya melakukan aktivitas yang diridhai Allah, dan tidak melakukan
maksiat.
Kelima prinsip dasar sikap syukur itu dapat diringkas menjadi tiga
bentuk syukur, yaitu:
Syukur Qalbi, mengakui nikmat-nikmat Allah dan mencintai-Nya.
Syukur Lisan, memuji Allah atas segala karunia-Nya
Syukur Jawarih, menggunakan nikmat dalam rangka memperoleh
keridhaan-Nya.
ّ يبأيهب النّبس إنّب خلقنبكم من ذكس وأنثى وجعلنبكم شعىبب وقببئل لتعبزفىا
إن أكسمكم
ّ عند هللا أتقبكم
إن هللا عليم خبيس
Persaudaraan Universal
Dalam keterangan ayat ke-13 dari surat Al-Hujurat yang penulis
kutip pada awal pembahasan di atas, disebutkan bahwa tujuan Allah Swt
menciptakan manusia dengan beragam perbedaan, dari mulai
perbedaaan jenis kelamin hingga perbedaan suku dan bangsa adalah
untuk „saling mengenal‟ (lita‟arafu). Ya, saling mengenal adalah kata
kuncinya.
Dalam sebuah ungkapan disebutkan, tak kenal maka tak sayang.
Makna dari ungkapan ini adalah ketika seseorang tidak mengenal orang
lain, maka tidak akan ada ikatan emosional antara dirinya dengan orang
tersebut. Boleh jadi yang akan muncul justru kecurigaan atau prasangka.
Adapun jika seseorang mengenal orang lain, maka minimal ada
semacam ikatan emosional antara dirinya dengan orang tersebut. Apalagi
jika dari perkenalan tersebut kemudian berlanjut menjadi sebuah
hubungan baik atau terjalin sebuah keakraban. Maka bisa dipastikan hal
ini akan menambah kuatnya jalinan ikatan emosional yang telah ada
sebelumnya. Begitu juga halnya ketika sebuah suku atau bangsa
menjalin persahabatan dengan suku atau bangsa lain. Dari sini akan
muncul perasaan masing-masing anggota suku atau bangsa tersebut
untuk saling menghargai dan menghormati suku atau bangsa lainnya.
Seperti yang dicontohkan dengan sangat indah oleh Kaum Anshar dan
Muhajirin.
Bermula dari saling kenal, kemudian terjalin sebuah ikatan
persaudaraan. Inilah yang dimaksud Al-Qur‟an dengan lita‟arafu. Konsep
persaudaraan menurut Al-Qur‟an bersifat universal. Tidak ada sekat yang
membatasi konsep persaudaraan ini. Perbedaan jenis kelamin, suku,
bangsa, agama dan letak geografis bukanlah sebuah alasan untuk
membatasi jalinan persaudaraan. Pada dasarnya, semua manusia dengan
perbedaan keturunan (nasab), jenis kelamin, bentuk, warna kulit, status
sosial, dan beragam perbedaan lainnya adalah setara di hadapan Allah.
Hanya tingkat ketakwaan yang membedakannya. Dan, tingkat ketakwaan
seseorang hanya Allah yang berhak menilainya.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu
Mulaikah berkenaan turunnya ayat ke-13 dari surat Al-Hujurat ini ialah
bahwa ketika fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka‟bah untuk adzan.
Beberapa orang berkata, “Apakah pantas budak hitam adzan di atas
Ka‟bah?”. Maka berkatalah yang lain, “Sekiranya Allah membenci orang
ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka datanglah malaikat Jibril
memberitahukan kepada Rasulullah Saw apa yang mereka ucapkan.
Kemudian turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri
karena kedudukan, pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa
kemuliaan seseorang di sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.
Dengan dasar argumen ini, maka tidak ada hak bagi seseorang
merasa lebih mulia dari orang lain karena faktor keturunan, kekayaan,
status sosial, atau bahkan karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Inilah prinsip dasar yang harus dijadikan acuan dalam konteks
persaudaraan universal.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa di dunia ini selalu ada dua hal
yang saling berlawanan satu sama lain. Ada senang ada susah, ada suka
ada duka, ada tangis ada tawa, ada benci ada cinta, ada positif ada
negatif, ada baik ada buruk.
Secara naluri, manusia akan tertarik kepada hal-hal yang
menyenangkan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih
memilih derita daripada bahagia, sedih daripada gembira, duka daripada
suka. Setiap orang akan memilih kesenangan, kegembiraan dan
kebahagiaan.
Persoalannya adalah, apakah yang menarik hati seseorang itu yang
pada gilirannya akan melahirkan kesenangan dan kegembiraan adalah
hal yang baik? Ataukah justru yang membuat seseorang tertarik itu
hakekatnya adalah sesuatu yang buruk?
Di titik inilah setan menjalankan perannya sebagai penggoda agar
manusia jatuh ke dalam jurang kesesatan dengan penuh lumur dosa. Ya,
setan sang durjana tidak pernah kehabisan strategi untuk menyeret
manusia mengikuti jejak langkahnya agar bisa bersama-sama kekal di
neraka kelak.
Dengan kelicikannya, setan akan mempengaruhi manusia untuk
menganggap hal-hal yang sesungguhnya buruk untuk dikerjakan dan
berdosa jika dilakukan, sebagai hal-hal yang baik dan wajar-wajar saja.
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama
dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? maka sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.” (Q.S. Fathir: 8)
Ayat tersebut menegaskan tentang kelihaian setan mengaburkan
pandangan manusia, menanamkan keraguan dalam hati mereka,
membuat mereka „buta‟ mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.
Setan dengan kekuatannya mampu meyakinkan manusia bahwa hal
buruk yang dilakukan mereka dianggap sebagai sesuatu yang baik.
Banyak kita jumpai dalam kehidupan ini, orang-orang yang biasa
melakukan keburukan dan kejahatan tidak menganggap apa yang
dilakukannya adalah suatu dosa. Mereka menganggap kebiasaan buruk
yang dilakukannya adalah hal yang wajar dan lumrah. Tidak jarang
mereka menganggap baik yang dikerjakannya itu.
Para pedagang yang biasa berlaku curang, misalnya, mereka tidak
menganggap perbuatannya itu sesuatu yang buruk apalagi dosa. Dengan
dalih bahwa tanpa berbuat demikian mereka tidak akan mendapatkan
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka
mereka pun tetap melanggengkan praktek curangnya dalam berdagang.
Para pejabat yang biasa melakukan tindak kejahatan berupa korupsi
dan penyalahgunaan wewenang karena kekuasaan yang dimilikinya,
tetap merasa enjoy dengan perbuatan jahatnya tersebut.
Para penegak hukum yang harusnya menegakkan keadilan tanpa
pandang bulu dan pilih kasih, karena iming-iming materi yang
menggiurkan, mereka tak segan memutar balikkan fakta dan menafikan
nilai-nilai keadilan. Dan mereka tidak merasa bersalah dengan
tindakannya tersebut. Jangan-jangan mereka menganggap baik apa yang
mereka kerjakan itu.
Inilah tipu daya setan. Menjadikan pandangan manusia terbolak-
balik. Keburukan dianggap kebaikan, sedangkan kebaikan justru
dianggap keburukan.
Apabila kita ingin mendapat kebahagiaan dan keberuntungan yang
hakiki, maka kita harus hati-hati dan waspada, jangan sampai terjebak
keburukan yang melenakan.
Hati-Hati! Jalan Menuju Neraka Penuh dengan Kesenangan
(Syahwat)
Aspek Lahiriah
Sebagai bukti cinta terhadap diri sendiri dan rasa syukur kepada
Allah atas karunia nikmat berupa kondisi fisik yang sempurna, maka
sudah selayaknya kita menjaga tubuh kita agar tetap pada kondisi prima.
Salah satu cara paling efektif untuk menjaga fisik kita tetap pada
performa terbaiknya adalah menjalankan pola hidup sehat. Dengan kata
lain, kita menjadikan pola hidup sehat sebagai life style (gaya hidup).
Banyak hal dapat kita lakukan untuk menjadikan gaya hidup sehat
sebagai keseharian kita. Beberapa hal yang dapat kita lakukan antara
lain:
- Membiasakan bangun pagi untuk melaksanakan shalat subuh
berjamaah di Masjid.
- Melakukan olah raga rutin setiap hari, atau minimal 3 kali dalam
seminggu.
- Menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan yang
mengandung unsur 4 sehat 5 sempurna.
- Istirahat yang cukup
- Tidak merokok
- Tidak mengonsumsi minuman beralkohol
- Menjaga kebersihan badan, pakaian dan tempat tinggal
Beberapa hal tersebut, jika konsisten kita lakukan insya Allah
kondisi fisik kita tetap terjaga dengan baik. Tetapi jika kita abai terhadap
beberapa hal tersebut di atas, maka jangan heran jika kondisi fisik kita
mengalami penurunan yaitu dengan hadirnya berbagai macam penyakit.
Allah Swt. tidak akan pernah mengubah nikmat yang telah diberikan
kepada kita, kecuali kita sendiri yang mengubahnya. Nikmat sehat,
misalnya, tidak akan Allah ganti dengan rasa sakit jika kita menjaga dan
merawatnya. Kita jatuh sakit karena kita abai terhadap kondisi kesehatan
kita. Hal ini seperti ditegaskan dalam Q.S. Al-Anfal: 53: “Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Dalam ayat lain di Q.S. An-Nisa: 79 Allah Swt mengingatkan, “Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri...”
Dari dua keterangan ayat di atas, jelaslah bahwa pada hakekatnya
Allah telah memberikan anugerah berupa nikmat-Nya kepada kita semua.
Dari mulai nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat waktu luang
(kesempatan), nikmat masa muda, hingga nikmat harta benda. Kesemua
nikmat itu tidak akan berubah jika kita pandai menjaga dan
mensyukurinya.
Namun sebaliknya, jika kita lalai, abai serta tidak menjaga dan tidak
mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, sangat mungkin semua akan
berbalik 1800.
Kondisi fisik yang sehat dan prima, jika tidak dijaga dengan baik
akan mengalami penurunan kualitas. Karena kita tidak disiplin mengatur
pola makan, kurang istirahat, jarang atau bahkan tidak pernah
berolahraga, misalnya, cepat atau lambat pasti akan berdampak buruk
bagi kesehatan kita.
Begitu juga dengan waktu luang (kesempatan). Waktu luang yang
kita buang dengan sia-sia, akan terasa begitu berharga ketika kita sudah
terdesak dalam kesempitan. Maka Rasulullah Saw, pernah mengingatkan
dalam salah satu sabdanya, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh
manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”
Demikian juga halnya dengan masa muda. Masa dimana seseorang
dalam kondisi terbaiknya. Orang sering menyebutnya dengan usia
produktif. Karena pada masa itu, badan masih sehat, semangat masih
membara, kesempatan terbuka luas. Tetapi sayangnya, tidak sedikit
yang menyia-nyiakan masa muda untuk hal-hal yang tidak berguna.
Mereka baru tersadar dari tidur panjangnya, ketika tubuh sudah tidak
sekuat dulu, semangat tidak lagi membara dan kesempatan mulai
tertutup, usia sudah tidak lagi produktif.
Di sisi lain, ada sementara orang yang ketika dikaruniai kekayaan
yang melimpah dari hasil usaha serta kerja kerasnya, tidak berpikir jauh
ke depan. Mereka terlena dengan kekayaannya, sehingga menjalani gaya
hidup boros. Foya-foya adalah menu sehari-harinya. Alih-alih mensyukuri
nikmat dengan berbagi kepada sesama, justru kekayaannya mereka
hambur-hamburkan untuk hal-hal yang sia-sia. Mereka tidak sadar
bahwa kebiasaan buruknya sedikit demi sedikit menggerogoti
kekayaannya. Mereka baru tersadar ketika pada akhirnya kebangkrutan
menimpanya.
Penyesalan paling dalam adalah ketika kita tidak dapat
memanfaatkan waktu hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Jika
hidup yang singkat ini kita isi dengan berbagai aktivitas negatif, perilaku
buruk serta tindakan tercela, maka datangnya kematian yang tiba-tiba
akan menjadi peyesalan panjang tak berujung.
Singkatnya, mencintai diri sendiri dengan memanfaatkan sekaligus
menjaga segala nikmat lahiriah yang telah Allah berikan kepada kita
adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini.
Pilihannya hanya satu, mensyukuri nikmat dengan menjaganya.
Aspek Batiniah
Setelah kita mensyukuri aspek lahiriah dengan menjaganya secara
maksimal, sebagai bukti cinta terhadap diri, yang merupakan anugerah
Allah, aspek selanjutnya yang harus kita jaga adalah batiniah kita.
Betapa pun sehat dan sempurnanya aspek lahiriah seseorang, tetapi
jika aspek batiniahnya bermasalah, maka orang tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai manusia „normal‟. Seseorang baru dikatakan menjalani
kehidupan secara normal, jika lahir dan batinnya berfungsi dengan baik.
Seseorang yang hanya peduli dengan tampilan luar, memoles
sedemikian rupa kecantikan fisik, tanpa pernah memerhatikan kecantikan
batin (inner beauty), maka sesungguhnya yang dimilikinya hanyalah
kecantikan semu belaka. Jasmani mereka terawat, tetapi ruhani mereka
terabaikan. Raga mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh.
Fisik mereka subur, tetapi psikis mereka gersang, kering kerontang.
Untuk menyeimbangkan antara aspek lahiriah dan batiniah kita,
maka ada beberapa hal berkaitan aspek batiniah yang perlu kita
perhatikan. Di antara aspek batiniah yang perlu mendapat perhatian
serius kita adalah: Pertama, berpikir positif dan berperasaan positif;
kedua, meningkatkan kualitas intelektual; ketiga, meningkatkan kualitas
spiritual.
Tuhanku…
aku mengabdi kepada-Mu bukan karena takut akan nerakamu
bukan pula karena mengharap surga-Mu
tetapi aku mengabdi kepada-Mu karena cintaku pada-Mu
Ya Allah…
jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu
masukkan aku dan bakar aku didalamnya
jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu
campakkan aku dan jauhkan aku darinya
tetapi jika aku menyembah-Mu karena cintaku pada-Mu
maka, jangan palingkan wajah-Mu dariku
Salah satu hal yang sulit dilakukan oleh sebagian besar orang
adalah memaafkan kesalahan orang lain. Ya, memaafkan adalah sikap
mulia yang tidak semua orang mampu melakukannya. Hal ini
dikarenakan setiap orang memiliki tingkat ego yang berbeda. Ada yang
merasa harga dirinya sangat tinggi, sehingga dia merasa rendah jika
memaafkan kesalahan orang lain. Dia menganggap bahwa memaafkan
adalah sikap lemah dan hina. Sehingga, dia tetap bersikeras untuk tidak
memaafkan kesalahan orang lain.
Di sisi lain, ada orang yang menyadari bahwa setiap orang pasti
tidak terlepas dari kesalahan, tidak terkecuali dirinya. Dengan kesadaran
seperti ini, maka dia bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Islam mengajarkan agar kita semua memiliki sifat pemaaf. Karena
dengan memaafkan, maka hilanglah rasa dendam dalam diri kita, jiwa
menjadi tenang, batin pun tentram. Lebih dari itu, sifat pemaaf akan
menjadikan seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di
hadapan Allah.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Saw. menegaskan tentang
mulianya sikap memaafkan. “Tidaklah Allah Ta‟ala menambah kepada
seorang hamba karena (pemberian) maafnya kecuali kemuliaan, dan
tidaklah pula seseorang bersikap tawadlu kecuali Allah Ta‟ala akan
meninggikannya.” (Riwayat Muslim)
Sifat pemaaf hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa besar,
berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Orang-orang sombong,
angkuh dan senang membanggakan diri sulit untuk bersikap mulia
seperti itu.
Padamkan Bara Api dalam Diri
Suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Nabi: “Berilah aku
wasiat! Nabi menjawab, Jangan marah! Orang tersebut mengulangi
permintaannya beberapa kali dan beliau tetap menjawab: Jangan
marah!” (H.R. al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan kepada kita tentang bahaya marah. Rasul
Saw. sampai mengulang pesannya beberapa kali agar kita jangan marah.
Marah adalah luapan emosi yang meledak-ledak karena rasa tidak
senang terhadap sesuatu. Marah muncul dari dalam diri sebab kita
merasa dunia ini berjalan tidak seperti yang kita kehendaki.
Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya' Ulumuddin”
menjelaskan, “marah adalah nyala api yang diambil dari api neraka,
yang naik ke hati kemudian bertempat dilipatan hati, seperti
bertempatnya bara api dibawah abu.”
Menarik sekali ilustrasi yang digambarkan oleh Al-Ghazali. Beliau
mengumpamakan kemarahan layaknya bara api dalam abu. Kita semua
tahu bahwa bara api dalam abu, ibarat bom waktu yang selalu siap
meledak kapan pun. Jika abu yang menyimpan bara api tersebut
mendapat tiupan angin, atau sengaja dikipas-kipasi maka akan muncul
api. Semakin kencang tiupan anginnya, semakin besar api yang akan
muncul.
Demikian halnya dengan kemarahan. Jika terus disimpan dan di
pendam dalam dada, maka suatu saat akan kembali berkobar ketika ada
yang sengaja meniupkan serta menghembuskan semangat permusuhan
terhadap orang yang menjadi objek kemarahan sebelumnya. Kobaran api
kemarahan tersebut akan semakin membesar, ketika hembusan angin
permusuhan itu juga semakin kencang. Tidak menutup kemungkinan,
luka masa lalu akan kembali terkuak, bahkan bisa lebih parah dari
sebelumnya.
Pada umumnya, seseorang yang sedang dalam kondisi marah,
seringkali tidak memikirkan dampak (negatif) dari kemarahannya
tersebut. Dia hanya berpikir bagaimana luapan emosinya yang meledak-
ledak itu dapat tersalurkan. Dia baru menyadari efek dari kemarahannya
itu setelah dia berada dalam kondisi normal, atau kemarahannya reda.
Pada dasaranya marah adalah manusiawi. Kita boleh marah, tetapi
marahlah karena alasan yang tepat, kepada sasaran yang tepat, pada
waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Namun, jangan
berkepanjangan. Pun jangan terlalu lama memendam emosi (marah),
karena bisa memunculkan dendam.
Rasulullah Saw. dalam salah satu hadisnya menegaskan, “Orang
yang kuat bukanlah yang mampu mengalahkan musuhnya dalam suatu
pertempuran, tetapi orang kuat adalah mereka yang mampu
mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Berikut ini beberapa langkah mengendalikan amarah, yang saya
kutip dari bukunya Jalaluddin Rakhmat berjudul “Tafsir Kebahagiaan”: