Anda di halaman 1dari 3

Pentingnya Tradisi Kebebasan Berpikir dalam diri Pelajar

20 Des Kita mungkin masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. leh karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat sering dibuat bingung. !su pendidikan yang kini sedang hangat dibi"arakan di masyarakat adalah masalah merosot dan rendahnya mutu pendidikan kita. #ejalanya dapat dilihat dari banyaknya sekolah$sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru$guru asingnya, atau semakin %berbondong$bondongnya& orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. 'antas, jika demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ? Tradisi kebebasan berpikir (asalah mutu pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. )anyak pakar membi"arakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan %urun rembuk$nya& mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya masalah ini agar segera "epat dibenahi. !ni menunjukkan, bahwa ternyata masalah kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. !a tidak hanya menyangkut hal$hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum, rasio guru$murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat. *uatu fenomena yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa simbol$simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji$puji dan dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka. Kondisi tidak kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit dipisahkan dari perilaku kita sehari$hari. (isalnya orangtua begitu mendambakan anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana, gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu %bonafide& atau tidak.

Di sini jelas terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana atau status pegawai negeri seolah$olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa. Tetapi bagaimana ketika %pun"ak harapan& itu sirna dan si anak harus mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan men"ari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu keadaan yang sebaliknya. +ika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya, kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga. ,erilaku sosiokultural masyarakat !ndonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya- di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang berbeda, se$dang mereka tidak dapat saling memahami satu$sama lain, atau masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang. Pola interaktif .aktor lain yang bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah adanya %mitos& bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain ke"uali menuruti kehendak berpikir orangtuanya. /ontoh lain, bisa dilihat dalam hubungan guru$murid atau dosen$mahasiswa. *elama ini ukuran pintar tidaknya seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. *eorang murid dengan nilai yang tinggi akan dihargai se"ara simbolis berupa predikat sang juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun tidak dapat memun"ulkannya dalam nilai$nilai angka. Karena tiadanya penilaian atau metode e0aluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. (asa depan anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka se"ara konseptual sudah terpinggirkan dari %gelanggang& pengajaran yang %diwasiti& oleh guru. Di dunia pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian "enderung bersikap pasif dan masa %bodoh&. (ereka sekadar menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. (urid sekadar mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk benar$benar memahami. ,ersoalan di atas selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan sehari$hari. Dihadap$kan pada kondisi ini guru tidak jarang men"oba mengkatrol nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan tugasnya. .enomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan. Dengan adanya budaya katrol, se"ara tidak sadar guru %memaksa& murid untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha men"ari tahu apa kekurangan dan kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia "ari di sekolah.

Kasus yang pernah hangat seperti manipulasi 12 31jian 2asional4 oleh para guru atas anak didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat 12 yang diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah atau jenjang pendidikan. Atas kondisi$kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita 3tampaknya4 saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya %mempertinggi& nilai 12 agar ia dapat lulus atau masuk ke sekolah tertentu. (aka, dengan menyadari bahwa selama ini kita tidak men"oba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal. Konsistensi sistem Dengan menyadari tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti sekarang, satu alternatif yang bisa di"oba adalah melakukan perubahan se"ara nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Dari uraian di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya merupakan persoalan kita bersama. ,ersoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya mengembangkan nilai$nilai demokratis di antara kita sendiri. 2amun, itu pun dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan bergantinya seorang policy maker. leh karena itu harus diyakini bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik.

Anda mungkin juga menyukai