bahagia beda dengan senang atau gembira. orang bisa tidak senang atau sedih tapi
hidupnya secara keseluruhan bahagia, dan sebaliknya. tapi, kalau orang terlalu
sering tidak senang atau sedih, kebahagiaan bisa berubah menjadi kesengsaraan.
karena, meski menyangkut keseluruhan hidup, kebahagiaan punya spektrumnya sendiri.
mulai bahagia secara total, sangat bahagia, bahagia, kurang bahagia, tidak
bahagia, dan sangat tidak bahagia. mudah dipahami, bahwa keadaan sangat tidak
bahagia berimpit dengan keadaan (hidup) sengsara.
boleh jadi kebahagiaan itu (pada puncaknya) bersifat spiritual, atau intelektual
(filosofis), seperti disebutkan oleh berbagai aliran spiritualitas�termasuk yang
ada dalam agama�dan filsafat. tapi kalau orang lebih sering tidak senang dan
bersedih, maka segala pembicaraan tentang kebahagiaan spiritual dan filosofis bisa
kehilangan maknanya.
nah, meski kesenangan dan kegembiraan boleh jadi juga merupakan turunan dari
kebahagiaan, namun kebahagiaan bisa amat tergantung pada�banyak
sedikitnya�instansi (instances) yang di dalamnya orang gembira dan senang atau
tidak. maka, barangkali, persoalan gembira dan senang (yang bersifat temporer) ini
tak langsung berhubungan dengan masalah-masalah spiritualistik atau filosofis.
sebaliknya ia erat terkait dengan persoalan-persoalan pikiran yang bersifat
rasional-praktis, bahkan fisikal/jasmaniah�baik kesehatan maupun setingkat
kemakmuran tertentu.
sebelum itu, perlu pula diungkapkan bahwa secara spiritual dan filosofis,
kebahagiaan dipercayai sebagai terkait erat dengan moral yang baik dan semangat
memberi kepada orang lain. moral yang baik dan semangat memberi�bahkan dalam
kerangka pemahaman utilitarian dan pragmatis�akan memantulkan kebahagiaan kepada
pelakunya.
hirarki kebutuhan
menurut penelitian, inilah beberapa keadaan yang menandai perasaan bahagia, yang
satu sama lainnya berkaitan:
konsentrasi yang lebih dalam. dengan kata lain, pikiran tidak terpecah-pecah atau
sebuah keadaan holistik.
(perasan memiliki) kendali penuh atas segala sesuatu.
momen sekarang sebagai satu-satunya hal yang penting. mungkin identik dengan
keadaan berikut:
perubahan sense of time, yang di dalamnya waktu tertransendensikan dan tak
terasakan sebagai kekuatan yang mengendalikan (dan memotong-motong durasi)
kehidupan kita.
hilangnya ego, yakni menguapnya batasan-batasan individual yang bersifat mental
(pikiran) dan psikologis. dengan kata lain, hilangnya gagasan tentang diri kita
sebagai sesuatu yang berbeda dari alam selebihnya. (dalam mistikisme atau tasawuf,
keadaan (hal) seperti ini�ketika telah mencapai puncaknya�disebut sebagai ekstase
atau wajd)
flow state inilah yang biasanya "diburu" lewat berbagai bentuk meditasi, yang
dianjurkan dalam berbagai aliran, kelompok, dan gerakan spiritual.
yang perlu juga diketahui bahwa keadaan-keadaan yang mencirikan keadaan bahagia
ini, pada saat yang sama, juga diketahui sebagai keadaan-keadaan yang mencirikan
saat-saat lahirnya pikiran-pikiran kreatif.
menurut penelitian lain, baik kuno maupun modern, dalam kehidupan sehari-hari
keadaan seperti ini biasa dialami dalam kondisi "melayang," antara jaga dan tidur,
ketika otak kita menayangkan gelombang beta. para mistikus, konon, bisa
mengendalikan jiwa mereka sehingga bisa meng-induce keadaan ini meski berada dalam
keadaan jaga penuh. keadaan-keadaan ini juga dapat diciptakan lewat mood inducing
drugs�yang tentu lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.
kesimpulannya, dalam hubungan dengan ini adalah, orang yang berbahagia adalah yang
cenderung mengalami keadaan flow state ini, meski tak berarti keadaan itu berada
dalam puncaknya, seperti yang dialami kaum mistikus seperti tersebut di atas.
bisa disebutkan, inter alia, bahwa dalam filsafat islam yang belakangan,
berkembang sebuah aliran yang disebut sebagai teosofi trasenden (al-hikmah al-
muat�aliyah). dalam aliran ini, holisme kembali ditegaskan karena gagasannya
tentang sifat ambigu eksistensi (tasykik) dan gerak substansial (al-harakah al-
jawhariyah). yakni, bahwa keberadaan manusia senantiasa berada dalam limbo, berada
di antara satu tingkat dan tingkat lainnya dalam tangga keberadaan, bergerak dari
yang sepenuhnya bersifat fisik dan material hingga ke yang sepenuhnya bersifat
ruhaniah. dan bahwa sesungguhnya tak ada batas yang memisahkan keberadaan fisikal
dengan yang bersifat mental, psikologis, maupun ruhaniah (spiritual). kapan saja,
manusia bisa berada secara lebih fisikal, tapi juga bisa meningkat ke yang lebih
spiritual. dan sebaliknya. dalam filsafat ini, sebagaimana juga dalam ajaran islam
pada umumnya, orang menjadi lebih spiritual karena amal-amal salih yang
dilakukannya. dalam konteks pembicaraan kita ini, orang lebih spiritual�dengan
kata lain, lebih bahagia�berkat amal-amal salih yang mendekatkannya pada khazanah
alam spiritual, kepada tuhan sebagai puncak spiritualitas.
baiklah akhirnya saya berikan beberapa ilustrasi tentang pengaruh kepuasan fisikal
dan psikologis-praktis atas kebahagiaan. betapapun praktis, kesimpulan-kesimpulan
ini diringkaskan dari berbagai penelitian psikiatris sebagaimana terungkap dalam
berbagai jurnal dan artikel ilmiah mengenai bidang ini:
fisik yang tidak sehat terbukti bisa menimbulkan stress. jika peredaran darah
dalam tubuh tidak lancar, apalagi orang menderita darah tinggi, maka pengaruhnya
terhadap ketenangan pikiran menjadi pasti.
terbukti bahwa penyakit jiwa bisa (baca: perlu) diobati melalui fisik. inilah pada
dasarnya prinsip yang yang melandasi psikiatri�yang antara lain, terkenal dengan
berbagai sarana pengobatan untuk mempengaruhi mood (mood inducing drugs).
berkembangnya, belakangan ini, aroma terapi, dan terapi warna yang juga bisa
mempengaruhi mood.
peran relaksasi�termasuk meditasi�dalam menimbulkan ketenangan, yang makin lama
makin diakui. juga, peran relaksasi sebagai kondisi bagi hadirnya pencerahan.
_____________
*) yang dibicarakan di sini adalah kebahagiaan di dunia. karenanya, persoalan
ketuhanan atau spiritualitas dibicarakan hanya dalam hubungannya dengan
kebahagiaan dunia.
bisa disebutkan, inter alia, bahwa dalam filsafat islam yang belakangan,
berkembang sebuah aliran yang disebut sebagai teosofi trasenden (al-hikmah al-
muat�aliyah). dalam aliran ini, holisme kembali ditegaskan karena gagasannya
tentang sifat ambigu eksistensi (tasykik) dan gerak substansial (al-harakah al-
jawhariyah). yakni, bahwa keberadaan manusia senantiasa berada dalam limbo, berada
di antara satu tingkat dan tingkat lainnya dalam tangga keberadaan, bergerak dari
yang sepenuhnya bersifat fisik dan material hingga ke yang sepenuhnya bersifat
ruhaniah. dan bahwa sesungguhnya tak ada batas yang memisahkan keberadaan fisikal
dengan yang bersifat mental, psikologis, maupun ruhaniah (spiritual). kapan saja,
manusia bisa berada secara lebih fisikal, tapi juga bisa meningkat ke yang lebih
spiritual. dan sebaliknya. dalam filsafat ini, sebagaimana juga dalam ajaran islam
pada umumnya, orang menjadi lebih spiritual karena amal-amal salih yang
dilakukannya. dalam konteks pembicaraan kita ini, orang lebih spiritual�dengan
kata lain, lebih bahagia�berkat amal-amal salih yang mendekatkannya pada khazanah
alam spiritual, kepada tuhan sebagai puncak spiritualitas.
baiklah akhirnya saya berikan beberapa ilustrasi tentang pengaruh kepuasan fis