Anda di halaman 1dari 33

Bab 1 kebahagiaan

Kebahagiaan, setiap manusia dalam hidup melakukan


aktifitas yang diujungnya pasti mengharapkan kebahagiaan.
Ketika kebahagiaan itu sudah diraih tetapi mengapa begitu
cepat lenyap nya?. Saat kita menginginkan bahagia dari
sesuatu lalu kita berusaha dan menggapai apa yang kita
katakan bahagia tersebut, tetapi mengapa setelah itu
tercapai kita masih mengejar bahagia yang lainya. Apakah
kebahagiaan tersebut itu kebahagiaan sejati, mengapa jika
sejati mudah sekali lenyapnya. Jika itu kebahagiaan sejati
mengapa kita takut bahagia tersebut hilang, apakah benar itu
kebahagiaan sejati?. Berikut adalah level bahagia
pengelompokan dari pencarian dalam hidup razif bukan saya,
apa itu bahagia.

1. Kebahagiaan level 1
Level 1 : kebahagiaan fenomena luar

pada level kebahagiaan ini kita menunggu fenomena luar


untuk di hubungkan dengan sebuah persepsi di dalam
pikiran yang memunculkan sebuah sensasi senang, sedih.
saat sebuah sensasi senang muncul manusia yang
bahagia di level ini menganggapnya sebuah kebahagiaan.
padahal itu konsep ya atau tidak di dalam pikiran " jika.....
maka....,If..then... " yang mana bila statement itu
terpenuhi maka manusia tersebut akan senang dan jika
statement bahagianya tidak terpenuhi maka manusia
tersebut akan bersedih. contoh sebuah statement atau
konsep dalam pikiran, "saya bahagia kalau saya memiliki
apartment X",atau "saya bahagia ketika saya menikah
dengan di Y",kalau tidak dengan nya maka saya akan
bersedih." saya bahagia kalau nilai saya bagus(jika tidak
bagus maka saya kan bersedih).

memang itu wajar saja, itu manusia pada umumnya.


tetapi perlu di sadari bila kita berada di level ini.
perasaan kita atau kebahagiaan kita di kendalikan oleh
dunia luar. seakan kita memberikan remote pada dunia
di luar kita untuk kebahagiaan kita. misalkan kita senang
saat ada orang memuji kita tidak senang saat ada orang
yang mengkritik. ini menandakan bathin kita di remote
oleh fenomena luar.Resiko dari kebahagiaan model ini
adalah kejahatan, atau yang saya sebut
"kekurangkerjaan-an" (unskilfullness). Kekurangkerjaan-
an atau Kekurangterampilan ini terjadi karena kita salah
persepsi (Fromm, 1973). Salah persepsi bahwa dengan
mendapat fenomena X maka saya akan bahagia. Salah
persepsi bahwa jika orang lain melakukan Y maka saya
akan bahagia. Disini muncul adanya dualitas. Salah -
Benar, Hitam Putih.

Inti dari kebahagiaan level ini masih terdapat syarat. jika


syarat dan ketentuan hilang maka bahagianya akan
hilang. dianya sangat susah dan sangat terbatas.

2. Kebahagiaan level 2
Level 2 : Bahagia adalaha proses Pekmanaan Internal
Pada bahagia level ini terdapat dua kata kunci “bahagia
pakai itu tenaga” dan “ Bahagia itu dibikin-bikin sendiri”
Orang yang sudah belajar NLP, atau Hipnoterapi, atau
berbagai ilmu pengembangan diri lain pastilah menyadari
bahagia level ini. Ilmu-ilmu pengembangan diri sejatinya
mengajak kita untuk merenung, bahwa bahagia dapatlah
kita bikin-bikin sendiri. Bahagia disini atau di level satu
dan dua ini masihlah “sama dengan rasa senang”. Nah,
rasa senang dibentuk oleh “faktor-faktor”.

Bedanya dengan level satu, ketika di level satu orang


masih menganggap faktor dari rasa senang adalah
fenomena luar, di level dua orang sudah menyadari
bahwa faktor dari rasa senang bisa juga adalah dari
dalam. Yang sebetulnya fenomena luar itu hanya
memancing saja proses psikologis dan biologis yang ada
di tubuh kita. Oleh karena itu, mari kita gali faktor-faktor
dari rasa senang ini. Serta juga akan dipaparkan hasil
riset-riset saintifik tentang kebahagiaan untuk khazanah
kita.
a. Faktor energi senang dari tubuh
Faktor pertama adalah tubuh. Tubuh memiliki faktor
yang sangat penting untuk mewujudnya rasa senang
kita. Menurut jurnal (Cuddy, 2012) yang dimuat di
Harvard Business School pada bulan Desember,
menurut keilmuan NLP, pengalaman saya pribadi
sejak kecil, berbagai kebijaksanaan ajaran suci tubuh,
memiliki peranan penting terhadap bagaimana
keadaan bathin kita. Jurnal oleh Amy Cuddy tersebut
adalah hasil penelitian puluhan tahun, serta juga
dalam Kitab Kuno Tibet (Rinpoche, 2007) bahkan
dikatakan ketika tubuh miring sedikit, maka "angin"
kita juga tidak akan seimbang. Angin disini tentu
sifatnya simbolik, maksudnya adalah energi channels.
Berbicara mengenai tubuh, ada faktor-faktor yang
dapat memperlancar energi senang itu untuk
muncul.

Yaitu yang pertama adalah “tulang punggung yang


tegap”. Ya, tulang punggung yang tegap. Spine atau
tulang punggung yang tegap inilah sangat penting
untuk lancarnya energi kita, sehingga hawa-
hawa(sensasi yang muncul ditubuh) yang baik dapat
dengan mudah kita bentuk. Faktor kedua selain juga
tulang punggung yang tegap, adalah leher yang
tegap. Cara membuat leher yang tegap ini adalah
dengan cara menundukkan leher ke bawah banget,
lalu mendongakkan kepala ke atas banget, lalu kita
ambil tengahnya. Nanti kepala agak akan keatas
namun seimbang. Faktor yang ketiga adalah
dalamnya napas. Dengan sering-sering menyadari
napas, maka napas secara natural akan menjadi
dalam dan itu akan mempengaruhi bagaimana energi
kebahagiaan kita akan secara alami muncul. Sehingga
jika kita ringkas adalah, tulang belakang dan leher
yang tegap namun rileks serta dalamnya napas. Hal
ini dikonfirmasi juga oleh guru-guru saya di bidang
kebugaran seperti Ade Rai maupun guru-guru di
bidang meditasi.

Gambar dibawah adalah peneletian Harvard


pengaruh posisi tubuh terhadapa hawa atau energi
itu sendiri. Gambar atas posisi tubuh dengan energi
tinggi, gambar bawah posisi tubuh dengan energi
rendah.
b. Faktor energi senang dari pikiran

Faktor lanjutan selain tubuh dalam bahagia level dua


adalah pikiran. Menurut (Selingman, 2002) dan tentu
menurut pengalaman saya pribadi, proses
pemaknaan menjadi penting dalam membentuk
energi kebahagiaan. Tentu para sahabat disini juga
sudah menyadari, bahwa sejatinya setiap kejadian
adalah netral, kitalah yang memaknainya atau
menambah-nambahi cerita dibalik pengalaman itu.
Kitalah yang memaknainya. Misalnya kita mendengar
perkataan “I love you” dari orang yang kita cintai,
tentu berbeda dengan mendapatkan perkataan “I
love you” dari seseorang berambut gondrong yang
belum kita kenal di sebuah pusat perbelanjaan.
Intinya energi atau rasa atau hawa dapat terjadi
karena proses pemaknaan. Tubuh yang benar dan
pemaknaan yang benar sudah sangat membantu
untuk menciptakan hawa yang baik.

Selain itu masih dalam ranah pikiran, satu hal yang


dapat membantu proses pemaknaan yang benar
adalah dengan memanajemen cara kita bertanya. Ya
! Cara kita bertanya pada diri kita sendiri dan juga
pada orang lain. Karena ketika kita kurang tepat
bertanya, maka jawaban yang kita peroleh juga akan
kurang tepat. Menurut khazanah Coaching seperti
(Dilts, 2003) atau (Hall, 2013), tentu ilmu bertanya
sangatlah penting untuk kita pelajari dan dapat
mengubah proses pemaknaan kita. Misalnya ketika
kita bertanya setiap hari, “Mengapa saya selalu sial
?”, atau “Mengapa saya bodoh sekali ?” (Umumnya
format pertanyaannya Mengapa X dengan X adalah
fenomena negatif) pasti jawaban yang kita dapat
adalah pembenaran akan pertanyaan itu.
Fokuskanlah pertanyaan kita kepada solusi, seperti
“Bagaimana cara tercepat untuk menyelesaikan hal
ini ?” Atau “Apa cara terindah untuk diriku dapat
bersyukur setiap hari ?”. Tentu para sahabat disini
sudah banyak yang sangat mahir dalam hal ini, saya
disini hanya memaparkan kembali bahwa pertanyaan
adalah salah satu faktor untuk membangun hawa /
energi senang dalam konteks bahagia level dua.

Proses pemaknaan di area pikiran yang paling


mentok atau paling dalam adalah makna hidup.
Pendek kata, memiliki tujuan hidup, visi, value yang
mendalam akan mempersering kita mendapatkan
hawa bahagia. Cara untuk memiliki hal-hal tersebut
adalah dengan menggali kedalam, dengan
pertanyaan “Apa artinya ?” atau “Apa pentingnya ?”,
misalnya. Intinya kita menggali kedalam sampai kita
mendapat formasi mental, sistem nilai, yang greget
dan membuat hawa kita menjadi baik bahkan hanya
dengan mengingatnya saja. Menurut studi
(Selingman, 2002) terbukti bahwa orang-orang yang
memiliki tujuan hidup dan makna yang mendalam
akan lebih berbahagia.
c. Faktor energi senang dari perasaan

Faktor selain tubuh dan pikiran adalah juga perasaan.


Dari segi perasaan kita memahami bahwa perasaan
“ada lokasinya di tubuh”. Ya, ciri khas perasaan
adalah Ada lokasinya di tubuh, dan muncul karena
proses pemaknaan. Perasaan juga bisa muncul ketika
dipanggil. Ya, ini rahasia yang sangat simple namun
orang jarang memanfaatkannya. Yaitu perasaan bisa
muncul ataupun lenyap ketika dipanggil atau
diniatkan. Inilah pokok dari berbagai ilmu esoterik,
yaitu memanggil hawa atau memancing energi.
Secara saintifik ini juga terbukti, bahwa niat adalah
faktor yang sangat besar dari munculnya formasi
mental dan juga perasaan. Semua hal atau fenomena
dapat Anda jadikan tehnik terapi. Kuncinya adalah
Niat dan Penghayatan. Ya, kunci intinya adalah Niat
dan Penghayatan. Buang Air Besar dapat menjadi
tehnik terapi ketika sebelumnya Anda niatkan,
“Biarlah dalam buang air besar ini seluruh energi
negatif, hawa kekesalan dan dendam keluar secara
sempurna.”, lalu Anda hayati proses Buang Air Besar
tersebut. Begitupula dengan kegiatan lain seperti
mandi, makan, minum, menulis, ataupun melukis.
Kesemuanya itu dapat Anda gunakan sebagai tehnik
untuk melepaskan energi ataupun memanggil energi.
Hanya dengan Niat plus Penghayatan. Energi yang
dipanggil atau hawa yang dimunculkan dapat pula
adalah senang, syukur, atau hawa-hawa lain.

Sehingga kesimpulan dari Bahagia Level Dua adalah


Niat + Tambahkan Faktornya. Ya, Panggil hawa
bahagia dengan Niat, lalu tambahkan Faktornya.
Pendekatan ini juga dapat Anda gunakan untuk
memunculkan hawa berlimpah, hawa semangat,
hawa syukur, atau hawa apa saja. Niat + Tambahkan
Faktornya. Ketika saya misalnya mau membangun
energi bahagia jenis syukur, maka saya akan
memanggil syukur dengan niat yang tulus. “Wahai
syukur, hadirlah.”, lalu saya akan menambahkan
faktor-faktornya. Misalnya saya bayangkan tokoh
yang bersyukur masuk kedalam tubuh saya (faktor
bentuk pikiran), saya atur tubuh saya dengan tulang
belakang yang tegap (faktor tubuh), saya putar lagu
yang berirama syukur (faktor lagu yang memancing
bentuk pikiran), saya buat ruangan saya selega
mungkin (faktor ruangan yang memancing
keselarasan tubuh dan pikiran). Serta faktor-faktor
lain yang sifatnya relatif dan subjektif. Setiap orang
berbeda.

Apa faktor bahagia kesukaan Anda ? Bagaimana cara


dan kegiatan subjektif Anda untuk menciptakan
hawa bahagia ? Lakukanlah itu secara sadar untuk
membangun hawa yang di inginkan. Dengan sadar
memilih hawa-hawa kebahagiaan.

Tambahan riset-riset mengenai kebahagiaan yang


dapat kita sikapi sebagai faktor-faktor tambahan
yang dapat kita bangun :
- Orang yang bahagia cenderung memiliki relasi yang
intim dengan orang lain (Grant and Glueck, 2010)
- Orang yang bahagia cenderung memiliki semangat,
pemaknaan yang baik, dan juga apresiasi terhadap
segala situasi (Selingman, 2002)
- Pola tidur yang baik berpengaruh terhadap tingkat
kepuasan hidup (Boll & Branch, 2015)
- Mau melihat hidup secara lebih mendalam dan
memaknai kecantikan didalam seni serta kehidupan
itu sendiri (Jung, 1960)
- Dan Lain Sebagainya

3. Kebahagiaan level 3
Level 3 : Kebahagiaan adalah Menikmati dan Menerima
Momen Kini
Level dua saja sejatinya juga sudah baik. Sangat baik.
Namun hanya saja memang ada pilihan yang lebih dalam
untuk menikmati hidup. Menuju ke level tiga adalah
jembatan yang mengarah pada pemaknaan kehidupan
yang lebih dalam. Jika di level pertama dan kedua masih
ada dualitas, mulai masuk ke level tiga adalah mulai
masuk ke area nondual happiness. Merangkul susah dan
senang, hitam dan putih, kiri dan kanan sebagai suatu
kesatuan tarian, sebagai suatu kesatuan orkestra
kehidupan. Jika di level satu dan dua bahagia masih sama
dengan rasa senang, di level tiga dan selanjutnya bahagia
adalah merangkul susah maupun senang sebagai suatu
keindahan. Baik susah maupun senang diterima sebagai
suatu karunia kehidupan.

Cara untuk membiasakan dan memahami bahagia di


level tiga ini adalah dengan berlatih Napas, Jeda, dan
Jalan. Berlatih napas adalah dengan semudah menyadari
napas. Napas adalah fenomena yang sering tidak kita
sadari, padahal sangat penting dan satu hal yang sangat
bisa kita nikmati. Nikmati saja napas, dengan menarik
dan membuangnya. “Tarik napas, aku mengetahui bahwa
aku menarik napas. Buang napas, aku mengetahui bahwa
aku membuang napas.” Atau alternatif lain, “Tarik napas
saya menyadari badan saya, buang napas saya
mensyukuri badan saya.”, hal lain yang juga dapat kita
praktekkan bersama napas adalah dengan berjeda.

Berjeda sangatlah baik untuk kita lakukan. Berjeda


adalah seperti kalau orang jawa bilang adalah leyeh-
leyeh. Seperti kita sehabis kerja dari senin sampai jumat,
lalu jumat pulang kerja dan merebahkan diri kita di sofa
yang sangat empuk. Namun ini bedanya adalah lakukan
hal tersebut dengan tulang belakang yang tegap, leher
yang tegap dan juga dengan mata terbuka. “Huahhhh !”,
seperti itu. Namun dengan tulang belakang dan leher
yang tegap. Sadar namun rileks adalah sebuah kondisi
yang ajaib. Saya ulangi, “sadar namun rileks adalah
kondisi yang ajaib”. Jeda ini manfaatnya sanagt banyak,
dan sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Dengan
jeda, kita bisa lepas dari pola-pola kemapanan, dan
melampaui pola tersebut dan membentuk pola baru.

Cara ketiga untuk membiasakan hidup dalam


kebahagiaan level tiga adalah dengan berjalan.
Melakukan penghayatan penuh saat berjalan. Ketika kita
berjalan, biarlah kita berjalan seperti diri kita mencium
bumi. Berjalan menjadi suatu momen yang sangat indah,
berjalan menjadi sebuah momen yang sangat
menyembuhkan. Melakukan berjalan dengan penuh
penghayatan dan kesadaran ini adalah praktek yang
sangat ajaib, dan tentu kegiatan berjalan hanyalah
sebagai contoh. Sebetulnya kita dapat melakukan
kegiatan apapun seperti mandi, makan, minum, keramas,
pijat, dengan penuh kesadaran dan penghayatan, maka
kegiatan tersebut menjadi sebuah praktek kebahagiaan.

Karakteristik dari kebahagiaan level tiga ini adalah


nondualistik. Artinya bahagia bukanlah hanya hawa
senang atau energi senang. Bahagia adalah menikmati
apapun energi yang muncul, bahagia adalah menyadari
bahwa rasa susah maupun senang adalah suatu karunia
yang sangat indah. Menyadari bahwa “Baiknya Tuhan”
bukan hanya sekedar terpenuhinya keinginan-keinginan
ego kita. Namun menyadari bahwa “Baiknya Tuhan”
adalah sangat termasuk dengan segala tantangan-
tantangan dan kekampretan hidup kita. Kita menyadari
bahwa penjahat, koruptor, dan berbagai hawa gelap
lainnya adalah bagian dari cerita indah kehidupan.
Namun justru dengan menyadari itu ,kita bisa mengambil
peran untuk menciptakan hawa baik dan melaksanakan
peran baik di dalam hidup ini. Bukan dengan kekuatan
kebencian, melainkan dengan kekuatan Kasih dan
Pengertian. Serius saya katakana bahagia level ini adalah
pintu gerbang menuju pemahaman-pemahaman yang
lebih mendalam.

Memiliki prinsip yang kokoh tentang benar dan salah itu


baik. Namun sepanjang kita tidak mau melihat hidup
secara lebih mendalam, maka penderitaan bathin akan
menjadi fitrah dari hidup kita. Kebahagiaan mulai di level
tiga ini adalah bebas dari sebab dan kondisi. Bahagia
adalah menikmati segala sebab dan kondisi sebagai suatu
tarian yang indah (Pryer, 2003). Bahagia bukanlah
perasaan di level ini, bahagia adalah menikmati segala
kegiatan dan perasaan, menikmati segala fenomena
sebagai sebuah tarian kehidupan. Bahagia di level ini
secara literal adalah mengubah struktur otak dan
kemudaan kita (Rinpoche, 2007; Tolle, 2010),
berpengaruh terhadap hawa dan energi di level dua
(Singh & Modi, 2012), dan juga mempengaruhi
bagaimana kita memiliki welas asih terhadap sekitar kita
(McKnight, 2012).

Oleh karena itu marilah kita mempraktekkan Napas,


Jeda, dan Jalan sebagai praktek keseharian kita. Dengan
mempraktekkan ini maka kita akan dapat melihat hal-hal
yang lebih mendalam. Misalnya dalam percakapan virtual
ini, kita dapat melihat handphone kita, lalu dapat melihat
produsen handphone kita, para pekerja pabrik yang
membuat handphone kita, lalu dapat melihat semangat
mereka, ayah dan ibu mereka karena jika tak ada mereka
maka tidak mewujudlah handphone yang Anda pegang.
Dalam handphone yang Anda pegang terkandung
kosmos, terkandung alam semesta dengan segala
sesuatunya.

4. Kebahagiaan level 4
Level 4 : Kebahagiaan adalah Kesadaran Agung Yang
Melampaui Segala Fenomena
Bahagia di level tiga adalah yang paling mentok yang
dapat dijelaskan via teks. Sayapun baru berani
merumuskan cara yang sistematis mensharingkan
bahagia di level empat dan lima ini sejak November
tahun 2015. Hingga sekarang masih dapat
mensharingkan ini hanya dalam format bertemu muka,
itupun tidak dalam format public speaking dalam audiens
jumlah besar. Melainkan hanya dalam privat atau semi
privat saja. Namun tenang para sahabat, sejatinya
dengan mempraktekkan bahagia di level tiga, maka
pemahaman di level empat dan lima akan mengikuti
secara otomatis. Ya, otomatis. Hanya soal waktu saja,
secara alamiah akan terjadi. Namun dalam kesempatan
kali ini, biarlah saya mensharingkan cerita-cerita atau
perenungan saja terkait hal-hal ini. Siapa tahu ada
manfaat yang dapat diambil.
Perenungan
Sebetulnya siapakah diri kita ? Siapakah saya ? Ketika
saya mengatakan, “Saya adalah Razif”, itukan adalah
nama saya. Ketika saya katakan, “Saya seorang
mahasiswa.”, itukan profesi saya. Atau saya misalnya
mengatakan, “Saya adalah makhluk Tuhan yang
semangat.”, itukan adalah konsep diri saya tentang saya
sendiri. Ketika kita mengatakan, “Saya adalah orang tua
yang baik”, itukan konsep diri kita lagi secara sosiologis.
Sebetulnya siapa diri kita ini ? Apakah aku adalah
pikiranku ? Masa sih ? Bagaimana aku adalah pikiranku
kalau aku dapat menonton pikiranku ? Apakah aku
adalah perasaanku ? Apakah aku adalah tubuhku ? Atau
akulah yang menyadari tubuhku ? Agama mengatakan
Ruh, namun seperti apakah Ruh itu ? Apakah ia
berbentuk, berlokasi, ataukah ia melampaui bentuk dan
lokasi ? Dapatkah ia dikenali ? Siapakah Kebahagiaan
Alami yang ada ketika kita berjeda itu ? Apa yang tersisa
ketika seluruh konsep-konsep dilepaskan ? Dan berbagai
pertanyaan lainnya

Sejatinya dengan berani membuka diri terhadap


pertanyaan-pertanyaan itu, maka kita akan secara
otomatis diajarkan oleh Sang Guru Sejati menuju
pemahaman yang lebih mendalam. Pada akhirnya
pendek kata kita akan menyadari bahwa Akulah Sang
Bahagia itu sendiri. Ya, bahagia adalah true nature dari
diri kita sendiri. Sebetulnya hal ini sudah dapat kita sadari
sekarang dengan kedalaman pemahaman yang kita
miliki. Seiring waktu kedalaman pemahaman itu akan
semakin dalam, beriringan dengan bagaimana kita
mengambil hikmah dari penderitaan dan kisah-kisah yang
kita alami.

5. Kebahagiaan level 5
Level 5 : Kebahagiaan adalah Kesadaran Agung Yang
Melampaui Segala Fenomena (Transenden) dan Ada
Didalam Segala Fenomena (Imanen)
Pada akhirnya kita tidak hanya akan melihat diri kita
sebagai Sang Bahagia yang lepas dari segala fenomena.
Yang misalnya dalam filsafat Ki Ageng Suryomentaram
disebut sebagai “Aku Tukang Nyawang” (Aku Yang
Melihat), sementara tubuh – pikiran – perasaan ini
disebut “Aku Kramadangsa”. Namun pada akhirnya kita
akan menyadari bahwa bahan dasar dari Aku
Kramadangsa adalah Aku Tukang Nyawang itu sendiri.
Kita akan menyadari bahwa bahan dasar segala
penderitaan sejatinya adalah Kebahagiaan Abadi itu
sendiri. Secara nyata, real. Ini bukanlah konsep namun
adalah pengalaman langsung, direct experiences. Yang
sampai kapanpun teori dan konsep tak akan pernah
dapat menggapainya. Mungkin terlalu rumit, namun tak
apa.
Sementara ini biarlah kita bertanya dahulu kedalam hati
kita, “Bagaimana kita menyadari Tuhan yang melampaui
segala fenomena dan ada di dalam segala fenomena ?”.
Izinkan diri kita terbuka dan belajar, Insya Allah kita akan
digiring langsung menuju realisasi yang lebih dalam.
Seriously Kebahagiaan Alami adalah hakikat dari segala
fenomena, bahan dasar dari segala fenomena.
Mempraktekkan bahagia level tiga adalah jalan yang
membuka kepada pemahaman itu secara otomatis.
Dalam jeda kita melihat bahwa ada kebahagiaan alami
dalam diri kita. Seperti layar televisi yang dimatikan,
maka akan muncul layar berwarna hitam. Jelas. Namun
lambat laun kita akan tahu bahwa meskipun layar televisi
dinyalakan, layar hitam itu tetap ada. Hanya seolah
tertutupi oleh kejamakan warna dari televisi tersebut.
Serta bahan dasar dari kejamakan warna layar tersebut
adalah warna hitam itu sendiri.

Bab 2 kesadaran

1. Mengenal Tubuh,Pikiran,Perasaan dan Kesadaran

Kita akan belajar mengenali,empat sosok yang sangat


dekat dengan kita, walau pun sebagiannya kita
abaikan.Kita lihat dulu sifat alami atau supaya mudah
sebut saja fungsinya, walau pun ini tidak pas banget,
tapi untuk memudahkan, kita pakai kata fungsi saja.

Kita mulai dari tubuh, tubuh berfungsi


menghubungkan kita dengan objek kasat mata,
misalnya memegang, mengangkat, melihat dan lain-
lain.
Pikiran, pikiran atau intelek, berfungsi untuk berpikir,
mengenali sesuatu, menganalisa, membandingkan
dan seterusnya.

Perasaan, perasaan fungsinya merasakan,


merasakan manis, asin, pahit, merasakan emosi,
suka, duka, sedih, galau, dan rasa-rasa lainnya.

Terakhir kesadaran, maksud saya kesadaran murni,


bukan kesadaran yang ada tingkatannya, kesadaran
sebagai nama dari sosok sebagai pengamat. Fungsi
atau sifat alami dari kesadaran adalah menyadari.
Menyadari bagaimana? Menyadari yang dimaksud
disini adalah pertama memperhatikan dan kedua,
mengetahui apa yang sedang diperhatikan.

Kita contohkan dengan jeruk.

Mulai dari tubuh, tubuh bisa berfungsi memegang


jeruk dengan menggunakan tangan kita.

Pikiran, pikiran bisa memikirkan tentang jeruk,


misalnya jeruk ini besar atau kecil? harganya berapa
ya? Warnanya apa ya? Jeruk ini dapat dari mana ya?
Ini kerjaan pikiran.

Perasaan, bagaimana perasaan atau emosi kita


tentang jeruk? Suka, tidak suka, atau biasa saja?
Punya rasa ingin membeli jeruk? punya rasa ingin
membuat juice jeruk? Ini kerjaan perasaan.
Merasakan.

Sekarang kesadaran, Ketika kita memegang jeruk,


kita bisa menyadari bahwa kita sedang memegang
jeruk, perhatian kita fokus di jeruk yang sedang kita
pegang, dan kita juga tahu bahwa kita sedang
memperhatikan jeruk yang sedang kita pegang.

ketika kita sedang berpikir, kalau kita sadar, maka


perhatian kita akan fokus pada pikiran kita yang
sedang memikirkan jeruk, dan kita juga tahu bahwa
saat ini kita sedang memikirkan tentang jeruk.
Perhatian kita fokus di jeruk, dan kita tahu bahwa
pikiran kita sedang fokus di jeruk. memperhatikan
dan mengetahui, itu baru sadar. Ini abstrak, perlu
fokus cukup untuk memahaminya.

Ketika kita punya perasaan ingin membeli juice jeruk,


Kalau kita sadar, maka kita bisa memperhatikan atau
memfokuskan perhatikan kita di perasaan ingin
membeli juice jeruk itu, dan juga kita tahu bahwa diri
kita atau tepatnya kesadaran kita sedang mengamati
perasaan ingin membeli juice jeruk yang ada di
perasaan kita.

dari dinamika kehidupan relatif atau kehidupan


dualitas. Suka duka, sedih gembira, itu ada di pikiran
dan perasaan, kalau sudah masuk kesadaran, yang
ada cuma bahagia tak berujung saja, tidak ada
sedihnya tidak ada negatifnya. Kalau di tabel
kesadaran versi David R Hawkins, orang yang sudah
membadankan kesadaran murni, dia akan berada di
level 500 ke atas, yang sudah membadankan ya,
bukan yang baru kenal kaya saya, saya mah baru
kenal.

2. Peta Kesadaran David Hawkins


Dalam buku Force Vs Power yang berasal dari
penelitian selama 20 tahun. Kesadaran memiliki
tingkatan, yang mana pada setiap tingkatan
berdampak pada emosi dan kehidupan orang itu
sendiri.

Dalam tabel ini, kesadaran manusia dapat berubah


sebagaiamana ia memanndang ke Tuhan dan
Kehidupan,disaat kesadaran ini kita berada pada
level reason sehingga kita memiliki energi log 400
emosi kita adalah kepamahaman dalam proses
terilhami rendah saat pekmanaan kehidupan dan
tuhan kita seperti yang berada pada tabel di atas.
kita memaknai tuhan itu arif dan kehidupan ini
penuh dengan makna, pemaknaan ini berada pada
level kesadaran kita.

Berikut adalah contoh dari berbagai level kesadaran


Misalnya, ada pria (gelandangan) berpakaian lusuh,
rambutnya acak2an, bersandar di dinding gedung
bertingkat:

Dari dasar skala level 20, level Malu, gelandangan ini


terlihat kotor, menjijikkan dan memalukan.

Dari level 30 (rasa bersalah) ia akan disalahkan atas


keadaan yang dialaminya sendiri. Ia pantas
mendapatkan apa yang ia upayakan; gelandangan ini
mungkin hanyalah pemalas yang berpura-pura
miskin.

Pada level 50 (putus harapan) keadaan malangnya ini


akan terlihat sebagai keputusasaan, mengutuk bukti
bahwa masyarakat tidak dapat melakukan apapun
mengatasi ketunawismaan.

Pada level 75 (kesedihan) pria tua itu terlihat trgis,


tak memiliki teman dan terlantar.

Pada level kesadaran 100 (ketakutan) kita mungkin


akan melihat gelandangan itu seperti mengancam,
ancaman bagi masyarakat. Mungkin kita harus
memanggil polisi sebelum ia melakukan kejahatan.

Pada level 125 (hasrat) ia mungkin mewakili sebuah


masalah yang membuat frustasi—mengapa tidak ada
orang yang melakukan sesuatu untuk menolongnya?

Pada level 150 (amarah) gelandangan tua itu


mungkin terlihat seperti seseorang yang bisa saja
melakukan kekerasan, atau, di sisi lain, seseorang
bisa saja menjadi sangat marah ketika kondisi
semcam itu terjadi.

Pada level 175 (kebanggan) pria tua itu dapat terlihat


sebagai sebuah keadaan yang memalukan atau
sebagai kurangnya rasa hormat terhadap diri untuk
memperbaiki dirinya.

Pada level 200 (keberanian) kita mungkin akan


termotivasi untuk bertanya apakah di sana tersedia
penampungan untuk para tunawisma;yang ia
butuhkan hanyalah sebuah pekerjaan dan tempat
untuk hidup.

Pada level 250 (netralitas) tunawisma itu nampak


baik-baik saja, mungkin malah terlihat menarik,
“Hidup dan biarkan hidup,” seperti yang dikatakan
istilah; lagi pula, dia tidak sedang menyakiti siapapun.

Pada level 310 (kerelaan) kita mungkin akan


memutuskan untuk turun dan melihat apa yang kita
bisa lakukan untuk menyenangkan teman kita yang
sedang berdiri di pojok ini, atau menyumbangkan
sekian waktu untuk menjadi sukarelawan pada
pekerjaan sosial setempat.

Pada level 350 (penerimaan) pria yang sedang berdiri


di pojok jalan tersebut nampak menggelitik. Ia
mungkin memiliki cerita yang menarik untuk
dibagikan; dia ada di tempatnya sekarang untuk
alasan yang mungkin tidak akan dapat kita mengerti.

Pada level 400 (alasan) pria tersebut adalah gejala


dari penyakit ekonomi dan sosial masa kini, atau
mungkin sebuah subyek yang baik untuk studi
psikologis yang mendalam.

Dalam level yang lebih tingggi, pria tua tunawisma itu


mulai terlihat tidak hanya menarik, namun juga
ramah, dan mudah untuk dikasihi. Mungkin kita lalu
akan mampu melihat bahwa ia sebenarnyalah orang
yang telah melenyapkan batasan sosialnya dan
menjadi bebas.

Pada level 600 (damai) sang tunawisma terungkap


sebagai gambaran dari dirinya sendiri dalam ekspresi
temporer.

Bab 3 Meningkatkan Kebahagiaan dan Kesadaran

1. Meningkatkan kesadaran secara umum


Salah satu cara agar level kesadaran kita meningkat
adalah dengan menyesuaikan makna atau arti
kehidupan dan arti Tuhan bagi kita. Dapat dilihat dari
tabel kesadaran, kesadaran di level A misalnya,
menurut orang di level A ini, kehidupan itu seperti ini
dan Tuhan terlihat seperti ini.

Sehingga apabila kita ingin naik ke level kesadaran di


atasnya, rubah saja atau sesuaikan makna atau arti
kehidupan sesuai makna kehidupan dan makna
Tuhan di level kesadaran itu.

Soal cara ya sementara pakai cara yg sudah bisa dulu,


yang penting makna kita pada kehidupan dan Tuhan
berubah ke arah yang lebih baik, walau pun sangat
pelan.

Bab 4 Dampak dari Level Kesadaran

1. Dampak dari tingkatan kesadaran terhadap


permasalahan sosial
Tabel diatas hasil dari penelitian yang menghubungkan nilai
dari level kesadaran rata-rata seseorang berpengaruh
terhadap pengangguran,kemiskinan,kebahagiaan dan
kriminalitas. Dapat disimpulkan,semakin tinggi kesadaran
semakin seseorang menemukan kebahagiaan.
Daftar Pustaka

Bell, J. (2010). Beyond beautiful and ugly: Nondual thinking


and aesthetic theory. Analysis and Metaphysics, 19-34.

Cuddy, A. J. (2012). The Benefit of Power Posing Before a


High-Stakes Social Evaluation. Harvard Business School
Working Paper.

Daniels, B. (2005). Nondualism and the Divine Domain. The


International Journal of Transpersonal Studies.

Dilts, R. (2003). From Coach to Awakener. Meta Publications.

Fenner, P. (2003). Sacred Mirror: Nondual Wisdom and


Psychotherapy. Paragon House.

Fromm, E. (1973). The Anatomy of Human Destructiveness.


Chicago: Holt, Rinehart and Winston of Canada.

Hall, L. (2013). Mindful Coaching: How Mindfulness can


Transform Coaching Practice. Kogan Page.

Lorentz, T. E. (2002). An analysis of nondualism in


Nagarjuna's "Mulamadhyamakakarika". Canada: ProQuest
Dissertations & Theses Global.

Loy, D. (1988). Nonduality: A Study in Comparative


Philosophy. New Haven: Yale University Press.

McKnight, D. (2012). Tonglen Meditation’s Effect on Levels of


Compassion and Self-Compassion. Journal of Pilot Studies
and Instructional Guides.
Parker, J. D. (1989). Playful nonduality: Japanese Zen
interpretations of landscape paintings from the Oei Era
(1394-1427). Michigan: ProQuest Dissertations & Theses
Global.

Pryer, A. C. (2003). Meditations on/in non/dualistic


pedagogy. Canada: The University of British Columbia.

Rinpoche, M. (2007). Joy of Living. Crown Publishing Group.

Selingman, M. (2002). Authentic Happiness: Using the New


Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting
Fulfillment. New York: Free Press.

Singh, A., & Modi, R. (2012). Meditation and positive mental


health. Indian Journal of Positive Psychology, 273-275.

Tolle, E. (2010). The Power of Now. New World Library.

Anda mungkin juga menyukai