Anda di halaman 1dari 3

//Boss Besar Fasilitas Nol Besar//

Bagian (2)

Menata sebuah BUMD menjadi perusahaan profit oriented, bukan hal mudah.
Banyak pihak yang harus dilibatkan. Wacana memang sudah mengerucut. BUMD-
BUMD itu harus diarahkan pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hampir
semua ekspos media sudah mencapai titik ini. Semua kalangan sudah sepakat. Tetapi,
lagi-lagi sang gubernur tidak mau salah langkah. Dia ingin, kajian atas langkah
berikutnya dilakukan secara matang. Sekali mengayunkan langkah, pantang ditarik
kembali.
Kejelian dan kesabaran Imam Utomo layak kita cermati. Tidak terlalu salah bila
kita ikuti. Kita perlu meningkatkan kesabaran. Ketajaman analisa harus ditingkatkan.
Sembari menunggu masukan dari masyarakat, uji konsep terus dilakukan.
Langkah pertama atas program besar itu memang harus diayunkan. Tetapi,
kecermatan menentukan titik awal, merupakan sesuatu yang sangat penting. Pondasi
wacana pada semua lini birokrasi harus benar-benar mantap.
Guna memenuhi target itu, Imam Utomo melancarkan sosialisasi di jajarannya.
Pada kesempatan lain, dia juga mengasah konsep itu dengan legislatif. Rumusan ide baru
disampaikan ke dewan. Dia ingin, eksekutif dan legislatif harus sejalan. Ini perubahan
besar. Tidak mungkin eksekutif berjalan sendiri. Apalagi bila harus bertentangan dengan
dewan.
Proses berjalan terus. Sangat transparan. Perkembangan wacana di eksekutif dan
legislatif pun sangat kondusif. Rupanya, suasana ini dia manfaatkan betul. Dia pun
meluncurkan tahapan berikutnya. Sebuah fase yang diharapkan bisa memberi gambaran
tentang sistem manajerialnya.
BUMD merupakan sebuah badan usaha. Namanya saja badan usaha. Selayaknya,
badan itu ditata dengan manajemen usaha yang solid. Tidak asal-asalan. Tujuannya,
sekali lagi, sesuai dengan namanya, harus diarahkan untuk memperoleh laba. Profit
oriented. Mana mungkin orang berusaha dengan tujuan untuk merugi? Mustahil.
Satu lagi. Kesadaran atas konsep ini, harus bisa diterima secara logis oleh semua
yang terlibat dalam pengambilan kebijakan. Dia paparkan besaran nilai aset yang dimiliki
semua BUMD milik Pemprov Jatim. Bila dihimpun, nilainya sangat besar. Besaran
angkanya bisa membelalakkan mata. Hanya, karena pengelolaannya tidak optimal, aset
besar itu mubazir. Alih-alih membuahkan hasil, hampir setiap tahun malah menyedot
APBD untuk menutup kerugian. Ironis sekali. Tetapi, itulah yang terjadi. Harus
ditemukan solusinya.
Alhamdulillah. Gayung bersambut. Lobi-lobi yang dilakukan tim khusus, tampak
ada progres. Wacana perlu penataan ulang manajemen BUMD itu mendapat dukungan
birokrasi dan dewan. Begitu dilempar ke masyarakat, ternyata konsep ini mendapat
dukungan dari hampir semua lapisan.

Siapa yang Harus Jadi Komandan?


Kesepakatan atas konsep arah manajemen ternyata bukan akhir seluruh tahapan
persiapan. Ini baru satu fase, yang harus disusul dengan tahapan-tahapan berikutnya.
Lagi-lagi, Imam Utomo dihadapkan pada pilihan sulit. Ini dia rasakan betul saat harus
menentukan figur paling tepat untuk menjadi bos semua BUMD itu. Masing-masing
kelompok masyarakat memiliki pandangan berbeda. Bisa dikata sangat kontradiktif.
Kalangan eksekutif mengusulkan agar bos BUMD itu tetap dikomando birokrat.
Alasannya masuk akal. Sebagai birokrat, figur itu sudah terikat sumpah. Pilihan dari
kalangan ini memberikan harapan positif atas keamanan aset-aset yang ada. Ikatan
tanggung jawabnya jauh lebih jelas.
Lain lagi dari kalangan legislatif. Beragamnya latar belakang wakil rakyat,
memberikan wacana yang bermacam-macam pula. Ada yang sepakat dengan alur wacana
eksekutif. Ada pula yang setengah sepakat dan setengah menolak. Ada juga yang
menyerahkan begitu saja kepada eksekutif. Tetapi, tidak sedikit juga yang menolak.
Bahkan, nadanya terasa sangat keras.
Keputusan tidak boleh diambil buru-buru. Semua wacana diendapkan untuk
mendapat pemikiran dan kajian secara tajam. Dia menginginkan, kebijakan ini bisa
direalisasikan dengan resiko yang sekecil-kecilnya.
Rupanya, menyatukan keragaman konsep itu tidak gampang. Dilemparkanlah
wacana ini kepada masyarakat, untuk memperoleh masukan. Ekspos di media pun
kembali marak. Masing-masing memberikan argumentasi untuk menopang konsepnya.
Semuanya baik.
Mencermati berbagai wacana yang terekspos, tampaknya memang sama-sama
baik. Tetapi, dari semua itu, pasti ada yang paling baik. Itu yang harus dipilih. Tidak
mungkin semua digabung menjadi satu. Masing-masing punya gaya. Masing-masing
punya alur dan konsep untuk mengangkat BUMD dari keterpurukan. Tugas
memproduktifkan sekian banyak aset, tidak cukup hanya sekedar bermodal semangat dan
loyalitas.
Wacana dilempar lagi ke masyarakat. Mempertimbangkan aset-aset yang sangat
besar nilainya, bisnis itu harus maju. Pengelolaannya harus baik. Orang yang didudukkan
sebagai komandannya harus profesional. Tidak boleh sekedar figur yang memiliki
kedekatan dengan gubernur. Tidak juga orang yang sekedar paham dengan alur birokrasi.
Figur itu harus benar-benar mampu membuat langkah-langkah baru yang kreatif dan
inovatif. Satu hal yang sangat penting, BUMD harus sehat dan profitable.
Sampai pada titik ini, belum ada satu pun figur yang muncul. Semuanya masih
sebatas kriteria calon bos BUMD. Kesimpulan yang bisa dipetik sementara, figur itu
harus inovatif, kreatif dan profesional. Namun, tiga hal ini belum bisa dipakai sebagai
alat untuk menjaring person. Masih sangat umum. Satu hal yang dia tekankan, kehadiran
figur komandan itu, harus mampu memberikan jaminan, tidak akan ada KKN baru. Ini
yang harus menjadi kriteria utama.
Apakah dengan begitu sudah tuntas? Ternyata belum juga. Ternyata banyak yang
merasa memenuhi kriteria itu. Hampir semua lapisan merasa memiliki kandidat hebat.
Tidak sedikit birokrat yang merasa profesional, jujur, inovatif dan kreatif. Mereka juga
merasa yakin akan mampu membentengi KKN. Di pihak lain, tokoh-tokoh di luar
pemerintahan juga melontarkan wacana senada. Tidak sedikit figur profesional, jujur,
kreatif, pekerja keras dan inovatif.
Kala polemik birokrat non birokrat makin hangat, dilemparkan sebuah kriteria
jitu. Semua kriteria yang sudah terpapar, dianggap belum cukup. Selain memenuhi
kriteria itu, sang bos BUMD harus rela tidak digaji dan tidak mendapatkan fasilitas. Bos
besar itu fasilitasnya nol besar. Sebelum holding itu sehat, bos besar harus berkorban. Dia
baru mendapatkan berbagai fasilitas setelah teruji kemampuannya. Pos fasilitas pun harus
dipenuhi dari buah kesehatan holding itu sendiri. Tidak boleh diambil dari subsidi APBD.
Siapa mau?
Jurus ini rupanya sangat jitu. Mujarab untuk menjaring dan menemukan figur
yang benar-benar ingin membangun daerahnya. Kriteria ini tampaknya memupuskan
harapan sebagian besar pihak yang ingin masuk bursa bos besar BUMD. Mereka yang
semula sudah merasa hebat, mundur sebelum bertanding.
Memang, kriteria terakhir ini sulit dinalar. Sangat sulit menemukan figur yang
serba lengkap, tetapi tidak memperoleh fasilitas. Padahal dia harus bekerja keras, dengan
tantangan yang sangat berat. Hanya orang-orang yang memiliki nurani bersih saja yang
rela menerima syarat itu. Tidak akan mungkin orang-orang yang memiliki agenda pribadi
siap bertanding. Apalagi yang tergiur dengan gaji dan fasilitas wah.
Sebaiknya Gubernur Riau, Rusli Zaenal juga melemparkan persyaratan yang
dianggap tidak masuk akal itu. Masalahnya sekarang, bisakah menemukan figur untuk
menjadi bos besar dengan segala fasilitas yang juga nol besar? (bersambung)***

Anda mungkin juga menyukai