(Faisal H. Basri)
Ada dua pilar utama yang menopang sistem kapitalisme modern, yaitu pasar uang (sistem
perbankan) dan pasar modal. Kedua pilar (sektor finansial) inilah yang memungkinkan
terjadinya proses akumulasi modal yang sangat pesat. Sedeinikian pesatnya sehingga kian
tak berkaitan langsung (decoupling) dengan perkembangan sektor real. Peningkatan
kesejahteraan yang bersumber dan aktivitas di kedua pasar deinikian artifisial dan oleh
karena itu mengakibatkan kerentanan di dalam perekonoinian khususnya dan kehidupan
umat manusia umumnya. Hal ini disebabkan oleh pola eksploitasi yang telah melampaui
batas-batas negara sebagai konsekuensi dan gelombang globalisasi. Globalisasi itu sendiri
bukanlah suatu fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan
nation-state perdagangan dan inigrasi lintas benua telah sejak lama berlangsung. Jauh
sebelumnya perdagangan regional telah membuat interaksi antar-suku bangsa terjadi
secara alainiah. Sejak masa sejarah modern, khususnya sebelum memasuki abad ke-20 in
globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan. Dua dekade sebelum Perang
Dunia I, arus uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika
Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalaini booining di kedua sisi
Atlantik, sementara itu bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan
investasinya dan Argentina hingga Singapura. Namun sejalan dengan siklus ekonoini dan
politik dunia, gelombang globalisasi juga mengalaini pasang surut. Salah satu kekuatan
yang melatarbelakanginya adalah tank menarik antara paham internasionalis dengan
nasionalis atau isolasionis. Gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak
dekade 1980-an jauh berbeda dan segi intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi
yang kita saksikan akibat dan globlisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir
seluruh sendi kehidupan, yang tak saja di segala bidang (ekonoini, bisnis, budaya, politik,
ideologi), melainkan juga telah menjamah ke tataran systems, processes, actors, dan
events. Sekalipun deinikian tidak berarti bahwa prosesnya berlangsung dengan mulus.
Kecenderungan globalisasi ternyata disertai dengan fragmentasi. Gambarannya akan
lebih kentara dengan mengkontraskan elemenelemen dan setiap kecenderungan. Pada
satu sisi, globalisasi mengandung elemen-elemen: integration, interdependence,
multilateralism, openness, dan interpenetration. Di sisi lain, elemen-elemen dan
fragmentasi ialah: disintegration, autarchy, unilateralism, closure, dan isolation.
Sementara itu, globalisasi mengarah pada globalism, spatial compression,
universalism, homogeneity, dan convergency, sebaliknya frag mentasi mengarah
pada nationalism atau regionalism, spatial distension, separatism, heterogeneity,
dan divergency.
Apakah Globalisasi Suatu Proses Yang Tak Terhentikan?
Banyak kalangan memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah dan
oleh karena itu tak dapat dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dan
pendapat sementara kalangan yang sangat prihatin terhadap kecenderungan
perkembangan ekonoini dunia yang kian tak menentu dan rentan gejolak, terutama
sebagai akibat dan arus finansial global yang semakin “liar”. Padahal tak semua negara
meiniliki daya tahan yang tangguh untuk terlibat di dalam kancah lalu lintas finansial
global yang tak lagi mengenal batasbatas negara dan semakin sulit dikontrol oleh
pemerintah negara yang berdaulat, termasuk negaranegara maju, apatah lagi negara
negara berkembang. Yang dikhawatirkan adalah suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu
oleh financiallydriven econoinies terhadap goodproducing econoinies. Kelompok
pertama dimotori oleh Amerika Serikat—meinili ki keleluasaan yang sangat besar dalam
merekayasa bentukbentuk transaksi keuangan yang sifatnya semu dalam artian tidak
memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan real masyarakat. Hal ini
terjadi karena uang dan asetaset finansial lainnya saling diperdagangkan sebagaimana
komoditi. Bagaimanapun sektor finansial tak pernah dan tak akan pernah lepas kaitan
dengan sektor real. Karena, keberadaan sektor finansial dengan segala bentuk
instrumen dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya tidak bisa berdiri
sendiri. Sehebat dan secanggih apa pun sektor in sektor finansial pada galibnya
merupakan fasilitator bagi sektor real. Jika dalam kenyataannya memang kedua sektor
ini telah mengalaini lepas kaitan, maka umat manusia tinggal menunggu kehancuran
peradaban atau paling tidak hidup dalam kegemerlapan artifisial dengan segala
konsekuensinya. Maka dan itu, jika umat manusia ingin terhindar dan malapetaka yang
maha dahsyat itu, mau tak mau kita sudah mulai harus kian sungguhsungguh
mengupayakan suatu tatanan baru yang kembali menempatkan sektor finansial pada
fungsi hakikinya. Namun kini kita hidup di alam realitas yang sudah terlanjur
menempatkan uang dan perangkatperangkat finansial lainnya sebagai suatu komoditi
sebagaimana barang, yang telah membuat banyak negara tersungkur dan terseret arus
permainan dan sosok kapitalisme finansial3 yang berperilaku kian buas, yang siap
menerkam mangsanya yang sedang terkantukkantuk. Suatu perekonoinian yang
menapaki tahap deini tahap perkembangan, yang ditumbuhkan oleh berjutajuta
rakyatnya, tibatiba bisa diterkam dalam sekejap sehingga tersungkur ke dalam jurang
kemunduran yang tak terperikan.
Sebetulnya kesadaran akan bahaya kapitalisme dalam sosoknya yang sekarang ini
sudah kian tumbuh, justru dan kalangan peinikir Barat sendiri, termasuk para peinikir di
lembagalembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF).
Justru kesadaran seperti itu kurang muncul di negaranegara berkembang, sehingga
mereka secara “sukarela” menerjunkan din ke dalam ajang permainan yang sedang
berlangsung. Peinikiran alternatif agaknya perlu ditawarkan kepada masyarakat dunia
untuk benarbenar menciptakan tatanan ekonoini yang lebih sehat. Tentu saja gagasan
bagi terbentuknya tatanan baru itu butuh waktu dan memerlukan pengkajian seksama.
Yang paling penting adalah kesadaran akan rapuhnya sistem yang berlaku sekarang dan
kita bertekad untuk mencari sistem alternatif.
Sistem yang ada sekarang nyatanyata mendorong perilaku konsumtif dan bermewahan
serta menyeret perekonoinian untuk tumbuh secara artifisial dan instant. Hanya negara
negara yang cerdik dengan perangkat kelembagaan ekonoini dan politik yang mantaplah
yang bisa mengeliininasikan dampakdampak negatif dan gelombang pergerakan fiansial
global. Negaranegara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh menghasilkan
barang untuk memenuhi tuntutan konsumsi masyarakatnya. Mereka cukup melakukan
rekayasa finansial untuk menghasilkan kemelimpahan dana untuk membeli berbagai
macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negaranegara yang menghasilkan produk real
(barang) tidak bisa menikmati hasil yang layak, karena sebelum keringat mereka kering
nilai uang real yang dihasilkannya telah disedot oleh gejolak kurs dan tingginya tingkat
bunga. Namun hidup di alam dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban
umat manusia itu sendiri.
Perilaku bak lintah yang haus darah tidak terbatas pada para aktor finansial dunia
sekaliber Soros, tetapi juga telah menghinggapi pebisnis lokal di Indonesia. Hampir
semua imperium bisnis di Indonesia— karena lemahnya regulasi—telah melakukan
beragam rekayasa finansial sehingga memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk
konglomerasi yang sosoknya belakangan ini kian digugat oleh masyarakat luas.
Langkah mereka itu semakin mulus karena ditopang oleh sistem politik yang otoriter dan
birokrasi yang korup. Globalisasi juga dihujat karena, ditinjau dan pendekatan struktur
ekonoini politik internasional, yang terjadi sebenarnya tidaklah global. Kenyataannya
yang terjadi adalah ketakseimbangan spatial sebagaimana ditunjukkan oleh konsentrasi
kegiatan ekonoini di dalam triad regions (Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Timur),
sedangkan kawasan lainnya tetap saja terbelakang dan bahkan cenderung semakin
termarginalisasikan dan proses penciptaan kemakmuran. Konfigurasi tripolar telah
berkembang sejak 1960 an, dan secara substansial mengalaini penguatan selama
dekade 1980an. Dewasa ini produksi, perdagangan, dan investasi global terpusat di
dalam dan di antara tiga kawasan besar tersebut, sehingga sementara kalangan
menjulukinya sebagai “global triad”. Betapa tidak, global triad ini pada tahun 1993
menguasai tiga per empat perdagangan dunia dan memberikan kontribusi sebesar 90
persen bagi arus investasi asing langsung dunia. Sudah barang tentu global triad ini
pulalah yang mendoininasi arus keuangan global. Oleh karena itu, ditinjau dan sisi
struktur ekonoini politik internasional, yang terjadi bukanlah globalisasi melainkan
“triadisasi”. Kebrutalan arus finansial global dan triadisasi pada gilirannya menimbulkan
pertanyaan: apakah globalisasi merupakan suatu proses yang tak terhentikan atau tak
terbendung? Apakah globalisasi harus dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima
apa adanya (given), dan oleh karena itu semua negara tanpa kecuali harus
menyesuaian din dengan semua tuntutan dan globalisasi? Perlu disadari bahwa pelaku
pelaku di alam globalisasi bukanlah manusia yang bersih dan motif buruk dan destruktif
terhadap sesama manusia. Mereka bukanlah kumpulan malaikat yang suci dan
praktikpraktik yang bersifat eksploitatif. Faktorfaktor yang meinicu globalisasi itu sendiri
adalah hasil dan proses pengambilan keputusan yang bermotif politik. Di kalangan
akadeinisi Barat sendiri makin banyak bermunculan kritik terhadap tatanan ekonoini
global, baik mekanisme maupun kelembagaannya yang turut mengaturnya. IMF
merupakan salah satu lembaga multilateral yang menjadi salah satu sasaran kritik.
Globalisasi tidak bisa digeneralisasikan sebagai fenomena yang meiniliki sisi baik bagi
segala aspek kehidupan. Globalisasi tidal berlaku bagi segalanya. Yang pasti, globalisasi
selalu menyangkut ekspansi kekayaan (wealth), bukan mengalokasikannya. Persoalan
besar lain yang dihadapi oleh negaranegara berkembang dalam menghadapi
globalisasi dan tuntutan dunia internasional untuk meliberalisasikan perekonoiniannya
adalah biaya sosial dan politik yang terjadi akibat terbukanya pasar barang dan pasar
finansial. Liberalisasi barang dan jasa serta modal membuat posisi pekerja dan serikat
pekerja kian lemah. Di lain pihak, tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor) tak bebas
berpindah ke negaranegara yang tingkat upah rataratanya lebih tinggi. Jadi liberalisasi
yang terjadi lebih bersifat searah yang merugikan kepentingan negaranegara
berkembang. Praktis, hanya pergerakan tenaga kerja yang tak terakomodasikan dalam
proses liberalisasi dewasa ini. Hal ini membuat beban sosial yang diemban negara
negara berkembang semakin besar, padahal kemampuan mereka membentuk social
safety nets sangatlah terbatas.
Globalisasi dan sistem bretton woods
Periode antarPerang Dunia (191839) ditandai oleh gejolak tak terkendali yang
pada gilirannya menyeret ekonoini dunia ke Iembah depresi terdalam selama era
peradaban modern. Upaya pemulihan pascaPerang Dunia I membutuhkan
pembiayaan yang sangat besar, jauh melampaui kemampuan pendanaan
negaranegara yang menang perang sekalipun, apalagi yang menderita
kekalahan. Defisit anggaran untuk membiayai perang kian menggelembung pada
proses rekonstruksi. Kaidahkaidah dasar pengelolaan makroekonoini yang
berhatihati (prudent) terpinggirkan oleh tuntutan untuk secepat mungkin
melakukan pemulihan dan, karena tuntutan politis, untuk memulihkan kehidupan
rakyat yang sudah cukup lama menderita akibat perang. Tanpa berpikir panjang
akan konsekuensi ekonoininya, pemerintahan negaranegara terpandang yang
kala itu terlibat perang memuaskan dahaganya untuk membeli sebagian
kebutuhan senjata dan hampir seluruh kebutuhan pembangunan kembali dengan
mencetak uang. Tak ayal inflasi meroket, sementara pada waktu yang
bersamaan lapangan kerja dan kapasitas produksi turun drastis karena
kerusakan akibat perang. Dalam waktu yang singkat keadaan ini menghasilkan
hiperinflasi yang tak terkendali. Hiperinflasi paling fantastis terjadi di Jerman yang
indeks harganya meningkat dengan kelipatan 481,5 iniliar dalam kurun waktu
kurang dan lima tahun, dan 262 pada Januari 1919 menjadi
126.160.000.000.000 pada Desember 1923. Untuk tahun 1923 saja indeks harga
di Jerman meningkat dengan kelipatan 452.998.000, terutama dipicu oleh
kucuran dana oleh pemerintah Jerman untuk membayar para pekerjanya yang
didorong untuk menduduki fasilitasfasilitas produksi yang dikuasai Prancis
sesuai dengan kesepakatan Traktat Versailes untuk mengakhiri Perang Dunia I.
Satu deini satu negara meninggalkan sistem standar emas (gold standard
system). Di bawah sistem ini pemerintah tak meiniliki keleluasaan untuk
mencetak uang sekehendak hati, karena jumlah uang beredar harus setara
dengan nilai stok emas yang diiniliki Bank Sentral. Seandainya negaranegara
yang terlibat perang tetap patuh pada sistem ini mungkin bencana ekonoini tak
sedahsyat yang terjadi kala itu. Namun bukan berarti bahwa sistem standar
emas tak meiniliki kelemahan. Sementara kalangan justru menuding penerapan
standar emas juga memberikan kontribusi atas kelesuan atau kontraksi ekonoini
dunia pada awal paruh pertama abad ke20. Supremasi ekonoini yang kala itu
dipegang oleh Amerika Serikat dan Prancis membuat kedua negara ini
menguasai 70 persen stok emas dunia. Akibatnya negaranegara lain yang
meiniliki stok emas terbatas tidak meiniliki ruang gerak untuk melakukan
kebijakan ekonoini kontrasiklikal tatkala perekonoinian mereka mengalaini
kontraksi.
Kelahiran sistem bretton woods.
Di tengah kekalutan yang melanda perekonoinian dunia, setiap negara berupaya
menyelamatkan din tanpa terlalu menghiraukan dampaknya terhadap negara
negara lain sehingga pada akhirnya memukul semua negara tanpa kecuali.
Selain melanggar disiplin kebijakan moneter dan fiskal, pemerintah berupaya
keras menekan defiist perdagangan luar negeri dengan berlomba menaikkan tarif
bea masuk untuk barangbarang impor. Kebijakan perdagangan yang sangat
proteksionistik ini menyebabkan volume perdagangan dunia turun tajam
sehingga memperparah depresi ekonoini. Menyadari bahwa tatanan ekonoini
dunia sudah diambang kebangkrutan, negaranegara yang menang perang
berinisiatif menyusun arsitektur baru tata ekonoini dunia. Mereka mengadakan
pertemuan di Bretton Woods yang melahirkan sistem moneter internasional
dengan IMF sebagai lembaga multilateralnya dan bank Dunia yang berfungsi
membantu rehabilitasi dan rekonstruksi negaranegara yang porak poranda
akibat perang. Sebetulnya mereka pun berambisi melahirkan institusi yang
bertanggung jawab untuk memerangi proteksionisme. Cikal bakalnya adalah ITO
(International trade Organization). Namun Amerika Serikat dan Inggris gagal
mencapai kesepakatan atau komproini pengurangan tingkat tarif bea masuk
sehingga lembaga ini tak sempat menjalankan fungsinya. Barulah pada tahun
1947 tercapai kesepakatan yang melibatkan lebih banyak negara yang
melahirkan GATT (General Agreement on Trade and tariffs). Ketiga lembaga
multilateral (IMF, Bank Dunia, dan GATT) inilah yang menjadi pilar utama bagi
tegaknya kapitalisme internasional.
Prasyarat bagi dunia usaha untuk unggul di era globalisasi
Secara sederhana suatu perusahaan dapat dikategorikan berkelas dunia kalau
menjadi salah satu pelaku utama di suatu industri. Keutamaan yang diperolehnya
bisa karena pangsa pasar perusahaan tersebut cukup berarti dan/atau meiniliki
pengaruh yang cukup besar dalam penentuan harga di pasar (market leader).
Semakin utama lagi seandainya perusahaan tersebut menjadi trend setter di
lingkungan industrinya. Lazimnya perusahaan jenis ini beroperasi di pasar
oligopolistik ataupun monopolistik. Dengan definisi ini berarti hanya segelintir
saja perusahaan yang berpredikat kelas dunia. Pengertian yang lebih longgar
berlaku untuk perusahaanperusahaan yang mampu bersaing di pasar
internasional secara berkelanjutan. Perusahaanperusahaan sejenis ini meiniliki
kemampuan untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah.
Paling tidak perusahaan mampu untuk mempertahankan pangsa pasarnya
dengan bertopang pada landasan yang kokoh karena meiniliki kompetensi dalam
harga dan kualitas. Kompetensi harga terbentuk dan kemampuan berekspansi
sampai pada tingkat produksi yang optimal, yaitu pada tingkat yang
menghasilkan biaya ratarata jangka panjang yang terendah. Setiap jenis usaha
meiniliki tingkat optimal yang berbedabeda. Inisalnya: perusahaan lisrik dan
telekomunikasi pada umumnya mencapai tingkat optimal pada skala produksi
yang sangat besar tatkala kurva perinintaan memotong kurva kos rerata
(average cost) yang masih sedang menurun. Karakteristik deinikian dijumpai
pada kasus monopoli alainiah. Sementara itu kompetensi kualitas akan diperoleh
dan kemampuan perusahaan untuk selalu memperbarui produknya lewat proses
invensi atau inovasi. Hal ini akan tejadi jika berlangsung kegiatan riset dan
pengembangan (R&D) yang melembaga dan builtin dalam proses produksi.
Akhirnya, besarkecilnya skala perusahaan ataupun kategorikategori lainnya
tidak cukup relevan dalam menentukan besarnya kontribusi bagi penyehatan
perekonoinian. Kekokohan sosok dunia usaha lebih bergantung pada proses
dinainika di pasar di dalam suatu lingkungan politik yang demokratis, sehingga
memberikan akses kesempatan yang sama bagi semua pelaku dalam
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang diinilikinya secara optimal.