Anda di halaman 1dari 2

apa yang berubah dari konsumen di daerah urban?

masyarakat perkotaan, khususnya para pekerja, mengalami perubahan orientasi dalam


mengabsorbsi setiap bentuk komunikasi yang dibangun oleh para pemasar. mereka
adalah white collar employees, yupies atau wanita pekerja. jumlahnya tidaklah
besar, tetapi merekalah sumber uang bagi kelompok lain di masyarakat urban.

sebenarnya, masyarakat pekerja perkotaan kita telah memasuki fase declining untuk
dijadikan target dari beberapa saluran komunikasi. mereka semakin sulit � didekati
� oleh pemasar. waktu yang mereka habiskan untuk menikmati sebuah communication
channel, bahkan yang paling efektif sekalipun (seperti televisi dan koran),
semakin sempit. rating tv yang makin menurun bisa disebabkan oleh makin banyaknya
stasiun televisi. tetapi boleh jadi hal ini dikarenakan semakin sedikitnya waktu
yang digunakan untuk menonton televisi.

bisa kita bayangkan, semakin banyak pekerja tinggal di pinggiran kota telah
menciptakan para komuter yang tiap hari bolak-balik dari pinggir ke tengah kota.
di siang hari, jumlah penduduk yang berada di jakarta meningkat tajam dibandingkan
malam hari. mereka adalah orang-orang yang tinggal di bekasi, bogor, tangerang
atau kota-kota di sekitar, tetapi bekerja dan menghabiskan waktu di jakarta.

jarak yang jauh antara rumah dan tempat kerja itu, membuat waktu mereka lebih
banyak dihabiskan di jalan dan kantor ketimbang di rumah. jam kerja yang lebih
panjang membuat mereka pulang larut, bahkan mereka yang bekerja di daerah three-
in-one lebih suka pulang di atas pukul 19.00. akhirnya, waktu untuk mengkonsumsi
iklan televisi pun makin berkurang karena pukul 23.00 sudah menjadi batas maksimal
untuk menonton tv (bersyukurlah produsen rokok yang harus beriklan larut karena
bisa menjumpai pasar potensialnya dengan baik).

fenomena di atas membuat iklan harus mengikuti kelompok masyarakat ini bergerak.
koran hanya dibaca dalam waktu singkat. tidak banyak topik di luar headline
news�jangan-jangan termasuk iklan�yang dilirik. nasib serupa juga dialami
televisi. tidak ada pekerja yang boleh nonton tv pada saat bekerja. para pemilik
radiolah yang patut bersyukur dengan keadaan ini karena media ini bisa didengarkan
di tempat kerja.

karena tempat kerja bukan tempat ideal untuk beriklan, akhirnya para pengiklan
melirik jalanan. mereka memasang billboard di mana-mana. dalam radius 1 km,
pengemudi mobil bisa melihat iklan yang sama. bahkan iklan kini berkeliling-
keliling di sepanjang jalan untuk mengikuti mobilitas target market. model
beriklan cara �layar tancep� ini�sekalipun dikemas modern�kini menjadi tren.
apalagi, kepadatan dan kemacetan lalu lintas membuat �waktu tayang� iklan ini di
mata pengendara mobil bukan hanya 30 detik, tetapi bisa molor menjadi 5 menit,
bahkan satu jam!

boleh dibilang, jalanan ibukota adalah channel of communication baru. lihat saja
pawai sebuah bank di jakarta yang meramaikan (memacetkan) jalan pada jam-jam
kerja. ada juga serbuan dara-dara cantik yang berkumpul di bundaran hi, tempat
pusat demo mahasiswa. akibatnya, jalan protokol bukan lagi tempat demonstran
berjalan menuju istana atau gedung dpr. mereka kini telah berganti dengan para
pemasar yang melakukan promo, demo produk, bahkan berdagang.
apa yang bisa dilakukan para pengemudi saat menunggu lampu merah berganti warna?
mereka bisa melihat sebuah product demo yang dilakukan produsen tertentu. produsen
tersebut memperagakan cara mempergunakan produk mereka, sekaligus memberi pesan
bahwa produk mereka adalah yang paling reliable.

ini barangkali mimpi yang ditakutkan menkopkamtib sudomo, yang �anti� pedagang
asongan. jalanan tidak lagi dipenuhi pedagang asongan tetapi para pemasar yang
minta perhatian. mereka adalah pemasar yang merasa �sebal� karena target pasar
mereka jarang ada di rumah, lebih suka dugem atau menunggu jalan macet ketimbang
nonton tv�dan selektif banget melirik televisi. paling hanya bom atau tragedi aceh
yang bisa bikin mereka berpaling ke televisi. sementara, rate card untuk acara ini
pun bisa melonjak tiba-tiba atau slotnya menjadi terlalu sempit diperebutkan.

akhirnya, tempat para asongan pun jadi rebutan. di mana lagi mereka bertemu target
pasar selain di persimpangan lampu merah? lagipula para pemasar adalah pekerja
yang lebih legal dan tidak takut dikejar kamtib. bisa dibayangkan jika mereka
harus berebut tempat dengan para pengamen jalanan. para pemasar itu menurunkan tim
penyanyi bersuara aduhai yang akan menyanyikan jingle iklan mereka. barangkali
dengan ini pengemudi mobil pun merasa lebih terhibur atau tidak perlu takut
mengeluarkan uang seratus. dan kalau bosan dengan lagu-lagu bertema kritik sosial,
barangkali lebih baik mendengarkan jingle seperti ini: ��dari sabang sampai
merauke�indomie seleraku� atau �yok kita ngejos�dengan extra josss..�

Anda mungkin juga menyukai