Anda di halaman 1dari 12

Soal no 1 IKD.

Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia.
Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya
terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan
memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit.
Konsep sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari, terjadi sepanjang sejarah manusia,
dan dikenal di semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan secara
eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat dan sakit secara
universal adalah sangat sulit dicapai.
Pengertian
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan dan
diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhankeluahan fisik dipandang sebagai
orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk” adalah
otrang yang sehat, dan sebagainya. Jadi faktor subyektifitas dan kultural juga mempengaruhi
pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization (WHO)
merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik[2][2] ,
mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi
ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun
tentunya belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik,
mental, maupun sosial.
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi
biologis, psiologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam
kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi
kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.
[3][3]
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang
itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial
budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:a. Agama/spiritual,
yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar
manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan
kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang
bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).
b. Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat
(otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang
kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan
setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut.c. Psiko-edukatif,
adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama.
Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan
kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.d. Sosial-
budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur
budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.[4][4]
Sebagai kebalikan dari keadaan sehat adalah sakit. Konsep “sakit” dalam bahasa kita terkait
dengan tiga konsep dalam bahasa Inggris, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah ini
mencerminkan bahwa kata “sakit” mengandung tiga pengertian yang berdimensi psikososial.
Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi
sosiologis. (Calhoun, dkk, 1994).
Disease penyakit berarti suatu penyimpangan yang simptomnya dikatahui melalui diagnosis.
Penyakit berdimensi biologis dan obyektif. Penyakit ini bersifat independen terhadap
pertimbangan-pertimbangan psikososial, dia tetap ada tanpa dipengaruhi keyakinan orang atau
masyarakat terhadapnya, seperti tumor, influensa, AIDS dan lain-lain.
Illness adalah konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman
subyektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasa tidak enak.
Sebagai pengalama subyektif, maka illness ini bersifat individual. Seseorang yang memiliki atau
terjangkit suatu penyakit belum tentu dipersepsi atau dirasakan sakit oleh seseorang tetapi oleh
orang lain hal itu dapat dirasakan sakit.
Sedangkan Sickness merupakan konsep sosiologis yang berakna sebagai penerimaan sosial
terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness atau disease).
Dalam keadaan sickness ini orang dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peranm atau
kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena danya
ketidaksehatannya.Kesakitan dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan peran khusus yang
dilakukan sehubungan dengan perasaan kesakitannya dan sekaligus memiliki tanggung jawab
baru, yaitu mencari ksembuahn.
Karena pengertian “sakit” itu dapat berdimensi subyektif-kulturalistik, maka setiap masyarakat
memiliki pengertian sendiri tentang sakit sesuai pengalaman dan kebudayaannya. Peran sakit
hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika sesuai dengan pertimbangan nilai, keyakinan
dan norma sosialnya.[5][5]
A. Sudut Pandang Metafisika/Fisika
Dari sudut pandang fisika dan kajian metafisika telah dihipotesiskan bahwa “titik” hubungan
antara Khalik dan makhluk adalah bion, berupa timbunan daya (energi) yang menjadi pembawa
hayat. Dugaan ini telah diungkapkan oleh dokter Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia
dengan Atomnys dalam Keadaan Sehat dan Sakit. Perkataan bion itu berasal dari kata bio-ion
yang artinya ion yang hidup, yang dengan perkataan lain disebut bio-elektricitet. Dalam bahasa
Sansekerta dinamakan prana, dan dalam bahasa Arab disebut ruh.
Semua fungsi hayati dilaksanakan oleh bion yang dilepaskan oleh badan rohani yang dikenal
dengan jismul latifah, yang dalam istilah metafisika disebut tubuh bioplasmatik. Energi ruh itu
mengalir ke dalam tubuh kasar melalui pusaran energi yang disebut cakra.Choa Koh Sui, dalam
bukunya, The Ancient Science and Art of Pranic Healing, menjelaskan panjang lebar mengenai
cakra ini; begitu pula Ric A. Weinman dalam bukunya, Your Hands Can Heal, Learn to Channel
healing Energi. Dari kajian mereka, dapat disimpulkan, ada tujuh cakra mayor yang merupakan
kompenen utama dari tubuh elektrik manusia, yaitu cakra dasar, cakra seks, cakra solar plexus,
cakra jantung, cakra tenggorokan, cakra alis, dan cakra mahkota.
Demikianlah fungsi cakra- cakra tersebut yang erat hubungannya dengan jasmani dan ruhani.
Dengan analisis ini, dapat terjawab pertanyaan tentang mengapa manusia itu sakit.[6][6]
Dalam perspektif reiki sufistik, cakra-cakra merupakan pintu gerbang spirtual yang harus
dibersihkan dan diselaraskan agar mampu menatik energi ilahi untuk melakukan evolusi spiritual.
Setap cakra memiliki potensi-potensi psikospirtual yang jika berkembang maka akan bermanfaat
dalam peningkatan kesehatan tubuh fisik, ketenagan (muthmainnah) tubuh psikis, keseimbangan
mental (tawazun) dan kesempurnaan spiritual (insan kamil). Praktik reiki sufistik merupakan
salah satu praktik spirtual menarik energi ilahi untuk pembersihan dan penylelarasan cakra-cakra
sebagai basis bagi peninbgkatan kualitas manusia, baik sebagai khalifah fil ardl yang harus
memiliki ketangguhan mengelola alam maupun sebagai ‘abd (hamba) yang harus menyembah-
Nya dengan kesungguhan.
Cakra-cakra merupakan pusat aktivitas manusia. Masing-masing cakra memilki kemampuan
psikis yang luar biasa. Sebagai pusat aktivitas manusia, cakra akan sangat menentukan pola-pola
dan bentuk-bentuk aktivitas manusia. Cakra yang bersih akan mendorong keyakinan yang lurus
(al-aqidah al-hanafiyah), Syariah yang benar (as-Syariah al-Shahihah) dan moralitas luhur (al-
akhlaqul karimah). Begitu juga sebaliknya, cakra yang kotor akan menyebabkan manusia
berperangai buruk (al-akhlaqul madzmumah). Cakra yang bersih akan senantiasa berhubungan
dengan cahaya, sebaliknya kegelapan akan menjadi karakter manusia yang cakra-cakranya kotor,
sehingga terjatuh dalam kehidupan binatang ternak (nafsu syahwatiyyah), binatang buas (nafsu
ammarah) atau bahkan kehidupan setan (nafsu syaithaniyyah).
Di dalam reiki sufistik, istilah cakra biasa disebut dengan lathifah (sesuatu yang lembut), karena
memang cakra bersifat halus (bukan organ tubuh fisik). Lathifah (organ-organ lembut) sifatnya
halus dan tidak empiris.[7][7]
Di dalam tubuh manusia terdapat cakra mayor, cakra minir dan cakra mini yang secara
keseluruhan terdapat 365 cakra. Ada juga yang menyebutkan jumlah cakra secera keseluruhan
termasuk cakra-cakra yang mini sebanyak 88.000. Tetapi cakra-cakra yang efektif mengendalikan
dan memberi energi kepada organ vital dan organ mayor tubuh manusia hanya 7 (tujuh) cakra
seperti yang telah disebut diatas, yang sering disebut sebagai cakra mayor.[8][8]
Sedangkan, sehat dan sakit dilihat dari sudut pandang fisika dikatakan bahwa di Matahari, setiap
terjadi letupan yang berakibat bertambahnya tekanan elektronis di alam. Bila tekanan itu
mengenai bumi, akan timbul kegoncangan elektrostatika, sehingga lapangan magnetik teganggu,
telegram diterima dengan tidak jelas, penrimaan radio terganggu, udara bergesek menjadi petir,
udara naik dan dingin lalu jadi hujan, badai bertiup maka laut bergelombang , dab banyak lagi
akibat lain yang tidak disebutkan. Ini semua disebabkan oleh tekanan elektron. Badai elektron
yang melanggar dunia sebagai akibat letupan di matahari dinamakan catalysmen. Badai elektron
itu disebut cylon. Tekanan elektron ini tidak hayan mempengaruhi alam, benda, tetapi juga jiwa
menusia, karena di dalam diri manusia juga ada elektron. Hal itu dapat mengakibatkan zat colloid
–yang merupakan lendir itu—menjadi beku, sehingga kuman penyakit akan berkembang biak di
atasnya.
Memang setiap orang membawa berjuta bakteri dan virus berbagai jenis dinatas kulitnya, namun
tidak semua jadi sakit karenanya. Sebab, datangnya penyakit itu sering terjadi akibat
ketidakseimbangan antara elektron dari luar diri. Seperti, atmosfer yang lembab akan menjadi
pengantar listrik yang dapat mengambil banyak elektron dari permukaan kulit, yang akan
menimbulkan kegoncangan pada keseimbangan daya listrik pada kulit/organ tubuh, terutama
otot. Akibatnya, timbul penyakit reumatik. Melalui kaki basah, seseorang dapat kehilangan
elektron sehingga menimbulkan penyakit, misalnya penyakit nephritis dan cytitis.Bagaimana
mengupayakan agar energi yang mengalir di dalam saraf yang halus itu berjalan dengan ukuran
tekanan yang normal? Bagaimana jalan yang telah ditemukan tinggal memilih mana yang lebih
tepat untuk diri kita maisng-masing.[9][9]
D. Sudut Pandang Tasawuf
Sehat dan sakit dalam pandangan tasawuf memiliki titik singgung dengan pandangan menurut
psikologi karena terkait dengan kejiwaan (mental). Namun dalam pandangan tasawuf, kejiwaan
manusia memiliki cakupan yang lebih luas. Dalam pandangan tasawuf, jiwa manusia mencakup
unsur-unsur roh, akal, nafs, dan qalb. Dalam pandangan tasawuf, roh itu bagaikan lampu,
sedangkan kehidupan laksana cahaya. Gerakan roh dan penyebarannya ke seluruh tubuh
bagaikan gerakan lampu di dalam rumah. Inilah yang dimaksudkan dengan “roh” oleh para
dokter. Akan tetapi, para dokter yang ingin membimbing roh menuju wilayah suci tidak menerima
makna ini. Arti kedua dari makna roh adalah latifatul mudrikah atau sebuah organ pengetahuan.
Inilah yang disebut Alquran dalam QS: Al-Isra/17: 85) yang artinya: “katakanlah bahwa roh itu
urusan Tuhan”.
Karena terkait dengan aspek kejiwaan (roh, akal, nafs dan qalb), sehat dan sakit dalam
pandangan tasawuf kita bisa kaitkan antara kesehatan jiwa[19][19] dengan aspek agama. Dr.
Muhammad Mahmud Abdul Qadir telah membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental
melalui pendekatan teori biokimia. Menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan jenis
kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai
pengaruh biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh
kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh. Persenyawa-persenyawaan itu disebut hormon.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abdul Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi
seperti bahagian, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada dalam diri
manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping
persenyawaan lainnya. Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia
senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Karena itu, selalu terjadi perubahan-perubahan kecil
produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa
hati manusia, tepatnya perasaannya.
Tetapi, jika terjadi perubahan yang terlampau lama, seperti panik, takut, dan sedih yang
berlangsung lama, akan timbul perubahan-perubahan kimia lain yang akan mengakibatkan
penyakit syaraf yang bersifat kejiwaan. Hubungan penderita dengan dunia luar terputus, akalnya
tertutupi oleh waham dan khayal yang membawanya jauh dari kenyataan hidup normal.
Penderitaan selalu hidup dalam keadaan cemas dan murung, kebahagiaan hilang, penuh
keraguan, takut, rasa berdosa, dengki, dan rasa bersalah.Timbulnya penyakit emosi seperti itu
akibat dari kegoncangan dan hilangnya keseimbangan kimia tubuh seseorang.
Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia akan
selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiawaan itu disebut oleh
Abdul Qadir sebagai spektrum hidup. Dan pergeseran arah ke kiri atau ke kanan dari pusat bila
terjadi perubahan dalam proses pemikiran, akan terjadi perubahan kimia dan biologi tubuh. Dan
besar kecilnya perubahan itu tergantung dari kemampuan manusia untuk menanggapi pengaruh
itu. Kalau terjadi keseimbangan, maka akan kembali menjadi normal. Adapun terjhadinya
pergeseran dari kondisi normal ke daerah yang berbahaya itu, menurut Abdul Qadir sangat
tergantung dari derajat keimanan yang tersimpan di dalam diri manusia, disamping faktor
susunan tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa dan kesadaran manusia itu. (Muhammad
Mahmud Abdul al-Qadir, 1979).
Penemuan Muhammad Mahmud Abdul Qadir, seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-
tidaknya memberi bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara
agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap suatau kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan
memberi sikap optimistis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti bahagian,
rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman. Sikap emosi yang demikian
merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka, dalam
kondisi yang serupa itu, manusia berada dalam keadaan tenang dan nromal, yang oleh Abdul
Qadir disebutnya berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan
kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah
kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
Agaknya cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan
ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut
berpengaruh dalam menanamkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindak ibadah
setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Dan manusia sebagai
makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan ruhani secara tak terpisahkan memerlukan
perlakukan yang dapat memuaskan keduanya.[20][20]
Dari aspek pembinaan manusia agar memiliki mental yang utuh disinilah peran agama menemui
urgensinya atas sehat tidaknya mental seseorang. Karena agama adalah sumber dari segala
sumber nilai dan norma yang memberi petunjuk, mengilhami dan mengikat masyarakat yang
bermoral. Salah satu cara untuk menemukan fungsi agama adalah jalan tasawuf yang memiliki
tujuan agar bagaimana manusia dapat mengerti makna hidup, mengerti akan posisi diri sebagai
hamba dan dekat dengan Tuhannya yang Maha Kuasa. Sehingga penyeimbangan antara
kebutuhan jasmani yang kasar dan kebutuhan ruhani (kejiwaan) yang sangat halus dapat
dipenuhi dengan baik. Dengan jalan spirit tasawuf, suasana kejiwaan manusia dapat dikendalikan
dengan baik setelah melalui proses-proses riyadhah (olah spirit), sehingga dapat terhindar dari
sakit kejiwaan yang berakibat langsung terhadap sakitnya jasmani. Dan yang perlu diingat adalah
bahwa spiritualitas (kedalaman ruhaniah) manusia sangat berhubungan dengan hati (qalb) karena
hati merupakan inti dari segala aktifitas jiwa. Jika hati seseorang sakit, menjadi sakitlah aktivitas
kerohaniahannya. Dan hati adalah obyek dari ajaran tasawuf.
Hati yang sakit berati mentalnya pun sakit. Mental yang sakit ini akan mempengaruhi seluruh
aktifitas manusia. Oleh karena itu, banyak ahli mencoba merumuskan pendekatan-pendekatan
dalam upaya menemukan pengobatan mental manusia yang sedang terkena penyakit. Disinilah
kemudian berkembang psikoterapi.
Jadi, dalam pandangan tasawuf, sehat dan sakit merupakan gambaran kejiwaan seseorang. Jiwa
yang sakit akan menampakkan gejala fisiknya yang lesu, lemah, tanpa semangat yang dapat
diatasi dengan pendekatan tasawuf. Sebaliknya, jiwa yang sehat akan terlihat kondisi fisiknya
yang energik, bertenaga dan bebas dari penyakit<
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahmad, Abdul Aziz bin Abdullah, Kesehatan Jiwa: Kajian Korelatif pemikinan Ivbnu Qayyin dan
Psikologi Modern, (Pustaka Azzam: Jakarta), Januari, 2006
El-Quussiy, Abdul Aziz, Prof. Dr., Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, (Bulan Bintang: Jakarta),
1974
Dadang Hawari, Prof. Dr., Psikiater, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (PT Dana
Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta), Juni, 2004
Darmawan, Rahmat, Kundalini Dharnayoga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2004
Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan
H. Jalaluddin, Prof., Dr.,
Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), Edisi Revisi,
Cetakan ke-9, 2005
Judith Swarth, MS, RD, Stres dan Nutrisi (Bumi Aksara: Jakarta), Juli, 2004, Cetakan ke-3.
Moelyono dan Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001
M. Sholihin, Dr., M. Ag. Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Prespektif Tasawuf,
(Pustaka Setia: Bandung), Nop., 2004
Nakamura, Kojiro, Metode Zikir dan Doa Al-Ghazali, Edisi Terj., Uzair Fauzan (Bandung: Mizan),
2004
Salaby, Mas Rahim, Mengatasi Kegoncangan Jiwa Perspektif Al-Quran dan Sains, (Rosda Karya:
Bandung), Mei, 2001

[2] Kesempurnaan fisik merupakan gambaran kesehatan jasmani yang diartikan sebagai keserasian yang
sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi
kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan , disamping secara positif merasa gesit,
kuat dan bersemangat. Lihat Prof. Dr. Abdul Aziz el-Qussiy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, (Bulan
Bintang: Jakarta), 1974, hal. 12
[3] Moelyono dan Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001, hal. 3-4.
[4] Prof. Dr. Dadang Hawari, Psikiater, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (PT Dana Bhakti
Prima Yasa, Yogyakarta), Juni, 2004, hal. 33-34
[5] Op. Cit, hal 5
[6] Mas Rahim Salaby, Mengatasi Kegoncangan Jiwa Perspektif Al-Quran dan Sains, (Rosda Karya:
Bandung), Mei, 2001, hal. 3-8
[7] Kojiro Nakamura, Metode Zikir dan Doa Al-Ghazali, Edisi Terj., Uzair Fauzan (Bandung: Mizan), 2004,
hal, 63
[8] Uraian lebih lengkap baca juga Rahmat Darmawan, Kundalini Dharnayoga (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama), 2004, hal. 17
[9] Ibid, hal. 9
[10]A. Scott (1961) melakukan penelitian secara mendalam tentang berbagai pengertian ganguan mental.
Dia mengelompokkan terdapat enam macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan
mental, yaitu: (a) orang yang memperoleh pengobatan psikiatris, (b) salah penyesuaian (maladjusment)
sosial, (c) hasil diagnosis psikiatris, (d) ketidakbahagiaan subyektif, (e) adanya simpton-simpton psikologis
secara objektif dan (f) kegagalan adaptasi secara positif. Lihat dalam Moelyono dan Latipun, Kesehatan
Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001, hal. 43.
[11] Op. Cit, hal. 9-12
[12] Ibid, hal. 16
[13] Mas Rahim Salaby, hal 17-19
[14] Stres adalah suatu kekuatan yang memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang,
beradaptasi atau mendapatkan keuntungan. Semua kejadian dalam kehidupan, bahkan yang bersifat positif
juga menyebabkan stres. Tidak semua stres bersifat merusak karena rangsangan, tantangan dan perubahan
akan memberikan keuntungan bagi kehidupan seseorang. Meskipun demikian, sebagian besar mendertita
stres yang berlebihan dan kemampuan mengatasinya terbatas. Lihat dalam Judith Swarth, MS, RD, Stres
dan Nutrisi (Bumi Aksara: Jakarta), Juli, 2004, Cetakan ke-3, hal. 1-2
[15] Dr. M. Sholihin, M. Ag. Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Prespektif Tasauf, (Pustaka
Setia: Bandung), Nop., 2004, hal. 123
[16] H. Jalaluddin, Prof., Dr., Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan
Prinsip-prinsip Psikologi, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), Edisi Revisi, Cetakan ke-9, 2005, hal. 156.
[17] Ibid
[18] Ibid, hal 157
[19] Ibnu Qayyim al-Jauziyah menekankan pentingnya kesehatan jiwa yang disistilahkan dengan
“kebahagiaan jiwa” atau pola hidup yang baik dan sehat kaitannya dengan manusia. Menurutnya, istilah
hidup yang sehat atau kebahagiaan jiwa sebagai ungkapan kesehatan jiwa. Baginya, wahyu adalah sumber
kehidupan roh, sedangkan roh merupakan sumber kehidupan jasmani. Karenanya, barang siapa yang
kehilangan roh, maka ia akan kehilangan kehidupan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Lihat Abdul Aziz
bin Abdullah al-Ahmad, Kesehatan Jiwa: Kajian Korelatif pemikinan Ibnu Qayyim dan Psikologi Modern,
(Pustaka Azzam: Jakarta), Januari, 2006, hal. 72

20 ibid

IKD no.2

B. Hakekat Manusia: Perspektif Islam

Dari sudut pandang psikologi, pandangan tentanghaki kat manusia mengarah pada sifat-sifat
manusia (human nature), yaitu sifat-sifat khas (karakteristik) segenap umat manusia (Chaplin,
1997: 231). Hakekat manusia yang dimaksud dalam kajian ini ialah sesuatu yang esensial dan
merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan
makhluk-makhluk lainnya.
Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Muhaimin & Mujib, 1993)
menyatakan bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang
bersifat materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani). Pernyataan bahwa manusia
merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengan-dung makna bahwa unsur-unsur tersebut
merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain tidak bisa
dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada. Namun
pembahasan ini hanya difokuskan pada unsur immateri (rohani) saja.
Istilah yang sering disebut dalam Alquran untuk menggambarkan unsur manu-sia yang bersifat
rohani adalahruh dannaf s.
1.Ruh
Dalam surahal - Hi jr ayat 28-29 Allah berfirman :
‫إمم‬‫ح نم‬ ‫لمص‬ ‫نم‬ ‫رممشب ق‬‫امخ يمم‬ ‫ةكئممم‬ ‫مب‬ ‫لمم‬ ‫ذ‬‫و‬
‫ن‬‫دجاس ه‬‫ع‬‫ف يحو‬ ‫ن‬ ‫ه‬‫ف ت‬‫و هم‬‫م‬‫ س‬‫ ذاف‬.
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas,ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan
ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemaha-man bahwaruh adalah unsur
yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan
manusia.Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah
kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda
penghormatan setelah dimasuk-kannya unsur ruh.
Apakahruh itu?. Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang
tergambar dalam surahal - I sr a’ ayat 85 sebagai berikut:
‫ع‬ ‫ن‬ ‫م‬‫م‬‫و‬ ‫ا‬‫و يب‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ور‬  .‫ور‬ ‫ن‬    ‫ئ‬‫و‬
    

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Ayat di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentangruh sangat terbatas sehingga tidak
mungkin dapat mengetahui hakikat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa
pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakikatruh, tetapi
tidak satupun terdapat ayat Alquran yang menghalangi atau melarang para ulama atau
cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakikatnya (Syaltout, 1972). Pintu untuk
menyelidiki tentang hakikat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya (Surin, 1978).
Mempelajari proses penciptaan manusia sebagaimana yang digambarkan da-lam Alquran, paling tidak
akan memberikan sedikit pemahaman tentang sifat-sifatruh sebagaimana yang dinyatakan oleh Ansari
(1992: 3) sebagai berikut:
Thus obvious that a direct and detail understanding of the nature of the ruh is not available.
However, if we look at other relevant sections of the Qur’an which describe the process of
creation, we might be able to obtain at least some understanding of its nature.
Dalam memahami sifat-sifatruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba
memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya
sebagai berikut:
Al-Qayyim (1991), dan Al-Razy (Ash-Shiddieqy, 1969 dan Hadi, 1981), ber-pendapat bahwaruh
adalah suatuji si m (benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba.Ruh merupakan
jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam
setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar.Ji si m tersebut berjalan dan
memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan
rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, makaruh akan bercerai dengan tubuh dan
pergi ke alam arwah.
Al-Ghazali (1989) membagiruh dalam dua pengertian. Pertama,ruh yang bersifat jasmani yang
merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati
(jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia
hidup dan bergerak, serta merasakan ber-bagai rasa.Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang
mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh).Ruh sering pula diistilahkan dengannaf s
(nyawa). Kedua,ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang
sifatnya halus dan gaib.Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal diri-
nya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam.
Ruh pula yang menyebabkan manusia berperikemanusiaan dan berakhlak sehingga
memjadikannya berbeda dengan binatang.
Syaltout (1972) berpendapat bahwaruh adalah suatu kekuatan yang dapat menyebabkan adanya
kehidupan pada makhluk seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.Ruh pada diri manusia
disamping dapat memberikan kehidupan juga mem-berikan kemampuan kepada manusia untuk merasa
dan berpikir. Hakekatruh sulit ditangkap tetapi keberadaannya dapat dirasakan.
Ansari (1992) menyatakan, salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia -- tidak
dimiliki oleh makhluk lain -- disebabkan karena adanyaruh adalah kemampuannya untuk
memperoleh pengetahuan yang luas. Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada Alquran surah
al-Baqarah ayat 31 sebagai berikut :
... ‫ا‬ ‫ءا‬‫س‬      ‫و‬

Artinya: Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya

Adam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsurruh ditiupkan kedalam
tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsurruh menyebabkan manusia mempunyai
kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas.
Pulungan (1984) menyatakan bahwaruh adalah sumber kemanusiaan. Manusia merasa senang, cinta,
benci, marah, bahagia, gembira, bermoral, berakhlak, mem-punyai rasa malu dan beradab, semuanya
adalah akibat dari adanyaruh yang ditiupkan Allah pada tubuh manusia.
Menurut Arifin (1994), keberadaanruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu,ruh pula yang menyebabkan tubuh
manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di sampimg ituruh pula yang
membuat manusia dapat melihat, mendengar, merasa, berpikir, berkesadaran, dan berpengertian.
Di sampingruh, istilah lain yang dijumpai dalam Alquran untuk menamakan unsur rohani
manusia ialahnaf s.Ruh dannaf s adalah dua buah istilah yang pada hakikatnya sama.
. Nafs
Ruh2dan nafs hakikatnya sama, diberi istilah yang berbeda adalah untuk membedakan sifat dan
fungsinya masing-masing. Menurut Amjad (1992), istilahruh hanya digunakan untuk
menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan yang lebih tinggi darinaf s,ruh dipandang
sebagai dimensi khas insani yang merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan
bimbingan Tuhan, serta mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan, sedangkan istilahnaf s
digunakan untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas
insaniyah atau kemanusiaan.
Dalam Alquran ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan katanaf s, yaitu al-nafs al-
mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr ayat 27, al-nafs al-lawwamahseper t i
yang terdapat dalam surahal - Qi yaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su’ seperti yang
terdapat dalam surahYus uf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan katanaf s tersebut
menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani yang terdapat pada manusia.
Al-nafs al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang
karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela dan menumbuhkan
sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi jiwa ini secara umum dinamakan
qalb atau hati (Ahmad, 1992; Mujib, 1999).
Al-nafs al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya
bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan tersebut, dan bila ia
berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak berbuat lebih banyak (Departemen Agama RI,
1978; Surin, 1978). Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam sebagai‘ aql atau akal (Ahmad,
1992; Mujib, 1999).
Al-nafs laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada kejahatan,
yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan selalu mengejar
kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan sebagaihawa atau nafsu
(Sudewo, 1968; Ahmad, 1992; dan Mujib, 1999).
Ahmad (1992) menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilah-kan dengannaf s
disebut dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya berdiri

hmad, A. (1992). Qur’anic concept of human psyche. Islamabad: Islamic Research Institute
Press.
Al-Falimbani, S. A. S. (1995). Sairu as-salikin, I. Terjemahan Abu Hanifah. Jakarta: CV. Dewi

Sri.
Al-Ghazali. (1984). Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.
Al-Qayyim, I. (1991).Ruh. Terjemahan Syed Ahmad Semait. Singapore: Pustaka Nasional Ltd.
Amjad, N. (1992). Psyche in Islamic gnostic and philosophical tradition.. Islamabad: Islamic
Research Institute Press.
Ansari, Z. A. (1992).Qur ’ an- ps ychol ogy. Islamabad: Islamic Research Institute Press.
Arifin, B. (1994). Hidup sesudah mati. Jakarta: PT. Kinta.
Badri, M. B. (1981). Psikologi Islam di lobang buaya. Terjemahan Anas Mahyudin & Endi
Hardi Mahyudin. Yogyakarta: Up. Karyono.
Basil, V. S. (tt.).Manhaj al-bahs’an al-ma’rifat ‘inda Al-Ghazali. Beirut: Dar- al-kitab al-
Libanany.
Bastaman, H. D. (1996).Meraih hidup bermakna: Kisah pribadi dengan pengalaman tragis.
Jakarta: Penerbit Paramadina.
_______
http://www.scribd.com/doc/226

IkD No.3

Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa
neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.(2)

Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang
memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya
sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan
mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari
lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang
terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada
dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada
perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara
penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia
menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya
gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).

Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila
ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler,
pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat
dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan
disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka
panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi
dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.

Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan
kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan
potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT,
serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun
kecerdasan intelektual.
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari
norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun
tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya
penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu
menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai
dengan Al-Quran :
(QS. Al-Baqoroh 2:10)
Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit [1] lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa
yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan
dengan kelompok dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada
sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Hal 4.
2. Ibid, Hal 142.

antropo no.2
.Beberapa konsep dasar sosiologi menurut para sosiolog.
1.G.A. Lunberg:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku sosial orang-seorang dan
kelompok.
2.Roucek and Warren:Sosialogi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik antar
manusia dalam masyarakat.
3.Bierens De Haan:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari pergaulan hidup manusia dalam
masyarakat.
4.Prof. Selo Soemardjan:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial,proses sosial,
dan perubahan-perubahan sosial.Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-
unsur sosial yang pokok,yaitu kaidah-kaidah sosial,lembaga-lembaga sosial,kelompok-
kelompok sosial,dan lapisan soial.Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik dari berbagai
segi kehidupan sosial (ekonomi dan politik,hukum,dan agama).
5.Pitirim A.Sorokin:Sosialogi adalah ilmu yang me,pelajari hubungan dan pengaruh timbal
balik antara aneka macam gejala sosial,hubungan dan pengaruh gejala sosial dengan non
sosial,dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial.
6.Auguste Comte (Bapak Sosiologi):Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi manusia
di dalam masyarakat (antarndividu,antar individu dan kelompok,dan antara kelompok
dan kelompok.
7.Anthony Giddens:Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial antar manusia,kelompok,
dan masyarakat.
b.Ciri-ciri dan sifat hakikat sosiologi.
Ciri-ciri pokok sosiologi sebagai berikut.
1)Sosiologi bersifat empiris,artinya didasarkan pada observasi-observasi segala kenyataan di
masyarakat.
2)Sosiologi bersifat teoritis,artinya merupakan abstraksi dari hasil-hasil observasi yang
menjelaskan hubungan kausalitas.
3)Sosiologi bersifat kumulatif,artinya teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori lama yang
kemudian disempurnakan.
4)Sosiologi bersifat nonetis,artinya yang dipersoalkan bukan baik buruknya fakta,tetapi
bertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta secara analisis.
Adapun sifat-hakikat sosiologi sebagai berikut.
1)Sosiologi termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial yang objek studinya adalah masyarakat.
2)Sosiologi bukan disiplin ilmu yang normatif,tetapi kategoris.Artinya sosiologi hanya
membatasi diri pada apa yang trjadi dewasa ini dan bukan yang seharusnya terjadi.
3)Sosiologi merupakan ilmu murni dan bukan ilmu terapan,artinya sosiologi bertujuan untuk
mengembangkan ilmu secara teoritis.
4)Sosiologi bersifat abstrak,artinya yang diperhatikan adalah bentuk dan pola-pola peristiwa
dalam masyarakat.
5)Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum
sehingga berupa ilmu umum.
c.Kegunaan dan tujuan mempelajari sosiologi
1)Dapat dijadikan alat dan sarana untuk memahami masyarakat tertentu (petani,pedagang,
buruh,pegawai,komunitas keagamaan,militer,dan sebagainya,
2)Sebagai alat untuk memahami struktur masyarakat,pola-pola interaksi,serta stratifikasi
sosial.
3)Hasil studi sosiologi terhadap kondisi masyarakat dapat digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan suatu kebijakan (dari pemerintah,perusahaan,badan dunia,dan sebagainya).
4)Hasil kajian sosiologi dapat dijadikan pertimbangan untuk memecahkan masalah-masalah
sosial.
5)Data-data masyarakat dapat membantu kegiatan pembangunan,mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi hasil-hasilnya.
Sedangkan tujuan sosiologi adalah meningkatkan pemahaman terhadap ciri-ciri dan sifat-
sifat masyarakat seta meningkatkan daya adaptasi diri dengan lingkungan hidupnya,
terutama lingkungan sosial budayanya.Caranya adalah dengan mengembangkan
pengetahuan yang objektif mengenai gejala-gejala masyarakat yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah sosial.

Anda mungkin juga menyukai