Anda di halaman 1dari 5

Pemikiran Al-Kindi Mengenai Tuhan itu Maha Esa Bila setiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat

juzI yang disebut al-aniyah, dan hakikat sebagai kully yang disebut alMahiyah yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species, maka tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah. Ia tidak mempunyai aniyah kerena ia tidak tersusun dari materi (hayula) dan bentuk (shurah). Ia tudaj mempunyai mahiyah karena ia tidak memrupakan genus (al-jins) atau species (al-nau). Dalam membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengajukan tiga argumen sebagai berikut : (1) Menunjukan baharunya alam. Ia mempertanyakan apakah mungkin sesuatu dalam alam ini menjadi sebab bagi dirinya sendiri atau tidak? Menurutnya, ini pasti tidak mungkin, karena segala sesuatu dalam alam ini mesti ada sebab yang mendahuluinya. Dengan demikian, alam ini sebab ada-Nya. Hal ini berarti, alam ini ada permulaannya, baik dari segi gerak maupun zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian, gerak juga baharu dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi, jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling dalam wujud, dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baharu dan karena itu ada Penciptanya (al-muhdits). (2) Bukti keragaman dan kesatuan. Keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris ini, tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan, dan kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Keterkaitan segala kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan, tetapi ada sebabnya. Sebab ini bukan jenis zat kenyataan tersebut, karena jika demikian tidak ada kesudahannya. Yakni sebab-sebab yang tidak akan berakhir, dan ini tidak

mungkin.Dengan demikian ada sebab lain yang membuat keterkaitan kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan , yakni suatu zat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului adanya (qadim), karena sebab harus mendahului musabab, Dia-lah Allah SWT. (3) Bukti adanya pengendalian ( Tadbir). Selanjutnya, Al-Kindi menjelaskan bahwa alam ewmpiris ini hanya mungkin diatur dan dikendalikan oleh Yang Maha Tahu yang tidak terlihat. Yang Maha Tahu ini tidak mungkin diketahui kecuali melalui adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan sebagai bukti atas kepastian adanya Pengatur dan Pengendali (Mudabbir). ( http://www.darunnajah.ac.id ) Dalam membuktikan wujud Tuhan, al-Kindi menyampaikan lima bukti, yang dapat disebut sebagai argumen al-huduts (argumen a noviate mundi). Dan bukti-bukti tersebut adalah: Bukti pertama, disandarkan pada premis bahwa alam semesta itu terbatas pada sudut jasad (jism), waktu (zaman) dan gerak (harakah). Lantaran keterbatasan itu, maka alam semesta haruslah diciptakan. Karena menurut hukum kausalitas, segala sesuatu haruslah memiliki sebab. Karena alam semesta merupakan akibat, maka siapakah yang menjadi sebab bagi alam semesta? Tuhan adalah sebab pertama bagi alam semesta. Oleh karena itu, ia adalah penyebab dan pencipta alam semesta ini. Maka ia harus ada. Bukti kedua, Al-Kindi beranggapan bahwa alam semesta ini adalah tersusun (murakkab) dan beragam (katsrah). Dan hal yang tersusun dan beragam itu sesungguhnya tergantung secara mutlak pada satu sebab yang berada di luar alam; satu sebab itu tidak lain adalah dzat Tuhan yang Esa (Adz-Dzat al-Ilahiyyah al-Wahid). Hal demikian dapat ditemui dalam kitabnya On First Philosophy, ketika ia berkata sebagai berikut: Karena kesatuan dan keanekaan bersama-sama terdapat pada

setiap objek indrawi. Dan keanekaan haruslah merupakan satu kelompok dari satuan-satuan tunggal. Jika seandainya tidak ada kesatuan, maka niscaya tidak akan pernah ada keanekaan. Karena keanekaan tidak akan pernah memiliki wujud. Karenanya, setiap perwujudan semata-mata hanyalah akibat, dimana akibat ini mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada; dan konsekuensinya emanasi kesatuan dari Yang Maha Esa, Yang Maha Awal, adalah terwujudnya setiap objek indriawi dari sesuatu yang dilekatkan pada objek indriawi tersebut; dan (Yang Maha Esa) menyebabkan setiap objek itu menjadi ada melalui wujud-Nya. Oleh karena itu, sebab kejadian (sesuatu itu) adalah kembali kepada yang Maha Esa, yang tidak memperoleh kesatuan dari seorang pemberi, tetapi melalui esensi (dzat)-Nya sendiri. Bukti ketiga, bersandar pada ide yang menyatakan bahwa sesuatu -secara logis- tidak bisa menjadi penyebab bagi dirinya sendiri. Al-Kindi mengajukan ide tersebut dengan menolak empat keadaan yang mengatakan bahwa sesuatu itu bisa menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Keempat keadaan tersebut adalah: 1. Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri, mungkin tiada dari esensinya. Dalam hal ini, tidak ada sebab maupun yang disebabkan, karena sebab dan akibat dinisbahkan hanya pada yang ada (wujud). 2. Sesuatu mungkin tidak ada, tapi esensinya ada (wujud). Hal ini meniscayakan bahwa sesuatu yang tidak ada bukanlah sesuatu. Selanjutnya, jika sesuatu yang tiada merupakan sebab bagi dirinya sendiri, maka pada waktu bersamaan (ia) adalah dirinya dan juga bukan dirinya. Hal ini adalah sesuatu yang kontradiktif (tanaqudh). Dan sesuatu (ia) dan juga bukan ia secara bersamaan adalah mustahil mengikut hukum akal. 3. Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada. Di sini, kita juga akan menemukan kontradiksi yang sama.

4.

Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada. Dalam hal ini, bisa jadi

esensinya berbeda dengan dirinya (yang mana keadaan ini adalah mustahil) ; atau sesuatu yang sama, akan menjadi sebab sekaligus akibat. Dan hal ini juga merupakan sesuatu yang mustahil (kontradiksi). Oleh karena itu, untuk mengatakan bahwa sesuatu benda yang ada dan yang esensinya juga ada -sebagai sebab bagi dirinya sendiri- adalah sesuatu yang rancu. Berdasarkan penolakan terhadap keadaan di atas, al-Kindi kemudian berkesimpulan bahwa karena ketidakmampuan sesuatu menjadi penyebab bagi dirinya sendiri, maka segala sesuatu secara niscaya memerlukan sebab luar untun mewujudkan dirinya. Tetapi sebab luar tadi, juga tidak mampu mewujudkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebab luar itu pun memerlukan sebab lain untuk mengadakan dirinya. Kondisi demikian terjadi secara terus-menerus sampai rangkaian sebab tersebut mencapai sebab terakhir yang tidak tersebabkan. Sebab inilah yang merupakan sebab sejati dan sebab pamungkas dari penciptaan. Sebab inilah yang kita sebut sebagai Tuhan. Karena, jika tidak berujung pada satu sebab yang tak tersebabkan, akan terjadi apa yang disebut sebagai tasalsul (infinite circle) dalam filsafat Islam. Dan hal ini adalah sesuatu yang mustahil. Bukti keempat, didasarkan pada perumpamaan antara jiwa yang terdapat di dalam jasad manusia dengan Tuhan yang merupakan sandaran bagi alam. Dengan kata lain, jika mekanisme jasad manusia yang teratur menunjukkan adanya kekuatan yang non kasat mata, yang disebut sebagai jiwa, maka mekanisme alam yang berjalan secara teratur, menyiratkan adanya seorang manajer yang mengaturnya. Manajer itulah yang disebut oleh al-Kindi sebagai Tuhan. Bukti kelima, Al-Kindi menyandarkan bukti yang kelima ini pada rancangan, keteraturan, dan tujuan dari alam semesta. Hal demikian dapat kita lihat ketika ia berkata bahwa:

Susunan yang mengagumkan pada alam semesta ini, keteraturannya, interaksi yang selaras antara bagian-bagiannya, cara yang menakjubkan, dimana beberapa bagian tunduk kepada pengarahan bagian-bagian lainnya, pengaturan yang begitu sempurna sehingga yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk selalu terbinasakan. Semua ini adalah petunjuk yang paling baik tentang adanya suatu pengatur yang paling cerdas. ( http://www.wisdoms4all.com )

Anda mungkin juga menyukai