Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS KONTINUITAS IDENTITAS SUBJEK

ALFRED NORTH WHITEHEAD TERHADAP


SUBJEK YANG TERBELAH JACQUES LACAN
Makalah ini disusun untuk
Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Manusia

Disusun oleh
Nesia Putri Amarasthi
13/ 359960/ PFI/ 377

PROGRAM PASCASARJANA ILMU FILSAFAT


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Manusia sering bertanya siapakah saya?. Jawaban spontan seringkali
mengungkapkan dirinya dalam ruang dan waktu tertentu. Misalanya, saya akan
menjawab pertanyaan tersebut dengan nama, tanggal lahir, jenis kelamin,
golongan darah, pekerjaan, tingkat pendidikan, usia, lajang atau menikah, jumlah
anak, alamat, kegemaran, dan lain sebagainya. Kemudian secara substansial
maupun esensial, siapa manusia? mempunyai berbagai macam jawaban dan
sudut pandang dalam menjawabnya. Ernst Cassirer1 pernah menemukan bahwa
jauh sebelum Socrates, Herakleitos telah menempatkan manusia sebagai pusat
penyelidikan filsafat dengan penjelasan antara kosmologis dan antropologis.
Pernyataannya Herakleitos Aku mencari diriku sendiri menjadikan manusia
sebagai pusat tetap dan tak bergeser dalam pemikiran filsafat.
Pada abad pertengahan, tema-tema tentang manusia menjadi pelengkap
dari keagungan Tuhan. Kemudian muncul gerakan Renaissance dan Aufklarung,
yang menandai berkembangnya sains terapan. Ditandai dengan tema-tema
pembahasan tentang manusia manusia dinilai berdasarkan hukum matematika dan
fisika. Dalam abad ini, manusia tidak dijadikan pusat penyelidikan, namun
menjadi subjek yang sejajar dengan posisi objek. Artinya, objek dibiarkan
menjadi diminati oleh subjek. Seperti pemikiran Immanuel Kant yang
memposisikan objek sebagai sesuatu yang apriori dengan kategori tertentu.
Kemudian Kant dikritik keras oleh Hegel perihal batasan objek yang muncul dari
luar dirinya. Pemikiran demi pemikiran berkembang seiring dengan konteks
zamannya. Kemudian sampailah pada corak pemikiran pasca modern. Ini masih
menandai bahwa persoalan identitas manusia dan sekitarnya masih aktual dalam
pemikiran filsafat.

Irawan, Animal Ambiguitatis, 2008, hlm. 9-10

Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan pemikiran Jacques-Mariemile Lacan sebagai objek material. Lacan merupakan tokoh yang mempunyai
peran

penting

tentang

subjek

dengan

corak

pemikiran

postrukturalis.

Pemikirannya sering dicurigai berangkat dari Freud, kemudian berkembang dan


menjadi kontroversial dalam ranah pemikiran. Ia membangun teralis pemahaman
atas subjek yang terbelah tanpa celah dari sebuah ketidaksadaran yang tidak
disadari. Pemikirannya kemudian mengarah pada negativitas hasrat, sebagai daya
untuk menjadi dan memiliki.
Subjek yang terbelah menurut pemikiran Lacan dimulai pada tahap
cermin, dimana seorang bayi berusia enam bulan berkeinginan ketika berkenalan
dengan the name of father. Cermin dapat diartikan secara harafiah atas imago
yang ada dalam cermin dan cermin sebagai arti konfirmasi the other terhadapnya.
Konfirmasi ini terjadi dalam bahasa. Pada posisi inilah tidak ada subjek yang
lengkap dan utuh. Hidup subjek dalam tujuan untuk mengisi kekurangan secara
permanen. Artinya, yang kurang pada subjek justru menjadi energi terbesar bagi
kemunculan Subjek.
Menurut Lacan manusia masuk dalam bahasa sebagai yang simbolik,
sebelumnya pada usia 0-6 bulan disebutnya sebagai yang riil. Dimana pada
posisi yang riil kebutuhan seseorang terpenuhi, kemudian ketegangan dalam
yang simbolik terjadi kegagalan dan penundaan menjadi subjek. Lacan
menggunakan status alienasi untuk menjelaskan status subjek. Alienasi yang
bersifat konstitutif dan mendasari pembentukan manusia. Alienasi ini terjadi
bukan dari sesuatu di luar dirinya. Alienasi yang bersifat primordial inilah yang
membuat manusia memiliki dasar dan alasan yang tak pernah habis untuk
mengejar dan mencari kepenuhan diri.
Objek formal dalam makalah ini adalah identitas manusia menurut
Whitehead. Identitas diri subjek terbentuk berdasarkan pengalaman dari waktu ke
waktu. Artinya, manusia mengalami proses pembentukan diri semasa waktu
hidupnya. Manusia mempunyai unsur jiwa dan badani- serta tersusun dari
berbagai taraf anorganik, vegetatif, sensitif, dan rasional- dimana keduanya
berkelindan dan berproses membentuk kepribadian dan identitas manusia.

Sementara penulis menyimpulkan bahwa dalam proses pembentukan diri manusia


bersifat

kontinu.

Prosesnya

membentuk

proses

yang

lain

secara

berkesinambungan. Dari kedua pemikiran tokoh tersebut, penulis menggunakan


kata kunci kepenuhan dalam analisis konsep identitas diri manusia. Untuk
terstrukturnya analisis dalam makalah ini, penulis menyusun rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana identitas diri manusia?
2. Bagaimana kepenuhan terjadi dalam identitas diri manusia?
3. Bagaimana kepenuhan terjadi dalam keseluruhan pengalaman manusia?
Kontinyu atau diskontinyu? Lalu bagaimana diri manusia yang orisinal?

Bab II
Identitas Subjek

Pertanyaan Siapa saya? dan Kemana saya akan menjadi? adalah


keberangkatan penulisan makalah ini. Kemudian penulis mengambil jalan untuk
mengetahui genealogi identitas manusia dalam pemikiran untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Lalu penulis akan menggunakan pemikiran Whitehead untuk
berefleksi atas temuan-temuan dalam pemikiran Lacan.
Lebih dari 50% di bagian dunia manapun menggunakan metode
Lacanian. Ruang-ruang konsultasi psikologi menggunakan metodenya. Saat ini
pemikirannya digunakan dalam bidang sastra dan kajian film, kajian tentang
perempuan, hukum, hubungan internasional dan bahkan tentang pendidikan. 2
Lacan secara epistemologis menafsirkan manusia dan pelbagai tingkah lakunya
menggunakan pendekatan linguistik - post struktural. Disebut post struktural
karena ia menonjolkan penanda daripada petanda dalam sebuah sistem penandaan
dalam konteks identitas manusia. 3 Lacan mempunyai posisi khusus dalam sejarah
psikoanalisa setelah Freud. Psikoanalisa adalah ilmu yangmengacu pada suatu
aliran pengobatan atau terapi bagi penderita gangguan mental atau jiwa. Awalnya
menggunakan landasan penemuan Sigmund Freud sebagai suatu metode
psikoterapis mengenai wilayah tidak-sadar dan pengaruh yang diberikannya
dalam hidup seseorang. Psikoanalisa juga dapat dipahami sebagai suatu metode
penelitian proses-proses psikis yang sebelumnya tidak terjangkau oleh penelitian
ilmiah.4 Lebih jauh penulis akan menuliskan landasan pemikiran dan tahapan
seorang subjek dalam keterbelahan identitasnya.

Sean Homer, Routledge Critical Thinkers: Jacques Lacan, 2005, page. 1


Irawan, Animal Ambiguitatis, 2008, hlm.
4
Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Filosofis Jacques Lacan, 2011, hlm.
31-32
3

A. Jacques Lacan
Lacan terpengaruh oleh pemikiran tokoh strukturalis Ferdinand de
Saussure. Kemudian ia menempatkan bahasa menjadi sesuatu yang penting bagi
subjek dalam mengartikulasikan identitas dirinya. Teori struktural dalam
linguistik dikembangkannya dalam rangka memahami manusia dan duanianya
secara utuh. Atas dasar kepentingan ini, strukturalisme berkembang menjadi
postrukturalisme dan lahir apa yang disebut dengan psikoanalisis-struktural
lacanian, yaitu gagasan baru yang meninjau bagian terdalam dari kehidupan
batin manusia, yakni aspek ketaksadaran (id) melalui pengkajian pelbagai
rangkaian penanda. 5
Kesadaran manusia memiliki pengaruh besar dalam pengambilan
keputusan dan tindakan manusia. Filsuf seperti Spinoza, Leibniz, Schopenhauer,
dan Nietzsche meyakini hal ini. Bagi Spinoza, hal itu adalah intuisi; bagi
Schopenhauer itu adalah kehendak; dan bagi Nietzsche itu adalah nafsu atau
kehendak untuk berkuasa. Kemudian Freud mengemukakan teorinya tentang
wilayah bawah sadar dan hubungannya dalam kehidupan seseorang. Freud
menganggap wilayah bawah sadar ini sebagai wilayah dimana terletak hasrathasrat dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Ingatan dan perasaan seseorang yang
tidak tersimpan dalam wilayah sadar akan disimpan dalam wilayah bawah sadar
dan wilayah ini memegang kendali atas kehidupan seseorang. Wilayah bawah
sadar akan memeprlihatkan dirinya dalam mimpi, slip lidah, lelucon, dan tindakan
yang keliru. 6
Berangkat dari pemikiran Freud, Lacan mempunyai pandangan baru
mengenai wilayah bawah sadar. Bahwa wilayah bawah sadar ini bukanlah
penyebab, karena menurutnya penyebab tak akan dapat dipahami. Dalam seminarseminarnya, Lacan memberikan contoh mengenai kompleksitas hubungan sebabakibat, aksi-reaksi. Ia menjelaskan bahwa wilayah bawah sadar sebagai
penguapan (condensation) dan pengganti kesadaran (displacement) yang khusus
5

Irawan, Animal Ambiguitatis, 2008, hlm. 87


Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Filosofis Jacques Lacan, 2011, hlm.
41-3
6

terjadi dalam mimpi, dimana wilayah bawah sadar melepaskan sebagian


ingatannya dan digantikan oleh pemahaman lain. Maka terjadilah jurang pemisah
antara penyebab dan hasil yang terjadi. Lacan mendefinisikan penguapan dan
penggantian ini sebagai metafora (kias) dan metonimi (majas). 7
Wilayah bawah sadar kemudian disebut penulis sebagai ketidaksadaran,
menurut Lacan, terstruktur seperti bahasa. Struktur bahasa kemudian menjadi
piranti dalam membaca genealogi ketidaksadaran seseorang. Dalam sistem
penandaan (signifiance) bahasa, terdapat penanda (signifier) sebagai materi dan
petanda (signified) sebagai konsep. Dalam corak pemikiran Lacan banyak
membahas persoalan signifier sehingga ia dikategorikan sebagai pemikir poststruktural. Pemikiran Lacan ini mengenai tidak setaranya posisi penanda dan
petanda atau salah satunya mempunyai posisi yang lebih tinggi- menjadi landasan
berpikir Deleuze dalam mengungkapkan kapitalisasi.
Selain Freud dan Saussure, Lacan mendapat pengaruh dari Hegel perihal
dialektika budak-tuan. Pengaruh ini dalam pemikirannya tentang proses
pengakuan. Proses dialektika ini merupakan keterkaitan antara hasrat dan
pemenuhannya. Subjek menurut Lacan mencari kepastian dirinya lewat proses
dialektika ini. Mamnusia menyebut dirinya sebagai Aku ketika seseorang
mengenali hasratnya sebagai dirinya, bahwa hasrat terlepas dari objeknya.
Menurut Lacan, keberadaan seseorang secara fisik di dunia ini adalah sebagai
suatu hasrat, misalnya kesenangan, kuasa, pemenuhan, dan lain sebagainya.
Hasrat ini, awalnya, adalah bagian dari hasrat orangtua khususnya ibu, dan
akhirnya menjadi alasan mengapa orangtua memiliki anak. Artinya, keberadaan
seseorang adalah akibat hasrat orang lain. Hasrat yang memenuhi wilayah bawah
sadar pada akhirnya adalah hasrat yagn asing. Yaitu hasrat orangtua, hasrat-hasrat
yang ada di sekeliling anak tersebut dengan aktif diambil maupun yagn masuk
begitu saja di luar kesadaran sang anak melalui bahasa. Seseorang dapat
mengenali hasratnya sebagai hasrat dari Yang Lain. Bahwa seseorang memiliki
hasrat untuk mendapat pengakuan dan diingini oleh orang lain, untuk menjadi
hasrat orang lain. Kemudian Lacan menyebutkan bahwa hasrat adalah esensi
manusia karena hasrat adalah apa yang menggerakkan dorngan dalam diri
7

Ibid, hlm. 45

manusia8. Terkait dengan identitas manusia, penulis akan menjelaskan tentang


kebutuhan dan tuntutan subjek.
Subjek yang Berkebutuhan
Perkembangan pertama, bayi lahir hingga usia 6-8 bulan kesadaran bayi
terikat dengan kesadaran yang ibu. Bayi hanya mempunyai kebutuhan yang
dipenuhi oleh ibu. Misalnya, makan, minum, kehangatan, dsb. Berbagai
kebutuhan tersebut dapat dipuaskan oleh objek pemuasnya. Ketika sang bayi lapar
dan butuh makan, ia mendapatkannya lewat air susu yang keluar dari payudara
ibu. Namun sang bayi tidak menyadari bahkan memahami bahwa ia dan objek
kepuasan tersebut merupakan dua entitas yang berbeda. Dan sang bayi belum
mempunyai hasrat untuk mengingini atau menuntut sesuatu selain keterpenuhan
kebutuhan biologisnya. Pada tahap ini menurut Lacan pada tahap ini tidak ada
subjektivitas karena tidak ada konsep tentang diri sebagai individu. Kemudian
pada perkembangannya, terjadi pada usia 6-18 bulan konsep tentang diri terbentuk
dari suatu identifikasi imajiner atas gambar pantulan diri di cermin. Misalnya,
sang bayi meminta makan, namun bisa saja tidak cukup hanya dengan diberi
makanan. Terkadang dengan bahasanya, ia menangis namun tidak meminta
makanan namun meminta mainan. Pada tahap ini, sang anak mengenali Yang
Lain. Termasuk menghasrati yang dihasrati Yang Lain. Sang anak mulai
mengenali sebuah tuntutan. Misalnya, dalam hubungannya dengan sang ibu, yaitu
cinta kasih yang akhirnya dibatasi oleh hukum-hukum diluar dirinya.
Subjek yang Mempunyai Tuntutan
Pada konsep perkembangan yang kedua, ia mengenal Yang Lain dan
dirinya yang teridentifikasi dari gambar pantulan pada cermin. Anak mulai
terpisah dari ibu. Ia mulai mengenal bahasa, peraturan, dan yang lain. Sang anak
mulai mengajukan tuntutan. Sang anak mulai mengenali sang ayah. Sang ayah
yang secara psikoseksual menumbuhkan perrmintaan-permintaan yang tidak
mudah untuk segera dipenuhi. Pada tahap ini, kita menyebut diri kita sebagai
aku yang merupakan penanda bahwa kita telah memasuki tahapan simbolik.
8

Ibid, hlm 49-53

Pada tahapan ini perasaan kekurangan berada, aku selalu mencari kepenuhan
atas dirinya. Mencari kepenuhan itu didayai oleh hasrat. Seseorang mengingini
kembali ketempat yang sama seperti semua kebutuhan dan tuntutannya terpenuhi
sama terjadi pada sebelum seorang subjek mengenali simbol dan bahasa.
Subjek yang Terbelah
Dalam identitasnya seseorang tetap sama, selalu identik dengan dirnya
sendiri dan sekaligus berbeda dengan yang lain. Namun karena negativitas,
individu yang identik dapat menegasikan dirinya sendiri dan menjadi identitas
yang lain, bahkan berlawanan.
Partikularitas subjek terjadi dan mengacu pada agen individual. Setiap
manusia dengan sifat manusiawinya ingin menjadi berbeda dari orang lain.
Namun di sisi lain ia ingin diakui dengan partikularitasnya yang unik, sebagai
nilai positif, dan ingin agar pengakuan ini dilihat oleh sebanyak mungkin orang 9.
Artinya, keberadaannya sebagai sebuah identitas perlu sebuah pengakuan dari
orang lain. Universalitas subjek mengacu pada aspek sosial eksistensi manusia.
Ketika secara partikularitas manusia yang universal, maka individualitas dapat
merealisasikan dan memanifestasikan diri. Individualitas merupakan suatu sintesis
yang partikular dan universal, yang universal adalah negasi atau antithesis yang
partikular, yang adalah sesuatu terberi yang arbitrer, yang identik dengan dirinya
sendiri.
Subjek yang terbelah ini terjadi ketika ada gap antara keinginan, tuntutan
dan kebutuhan dengan pemenuhannya. Dengan bahasa dan simbol yang sering
terpeleset dan tergantikan. Misalnya, saya memilih kuliah di Filsafat Universitas
Gadjah Mada dan melanjutkan kuliah di fakultas dan universitas yang sama.
Artinya ada hasrat-hasrat pendorong Yang Lain yang berada di wilayah bawah
sadar yang tidak saya sadari kehadirannya. Kemudian saya mencari pembenaran
dari pilihan saya, misalnya karena ini Universitas Gadjah Mada dan kemudian

Madan Sarup, Panduan Pengantar Untuk memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme,


2011, hlm. 23-4

merangkai penanda-penanda lain yang membenarkan bahwa itu adalah pilihan


saya dan menjadi identitas saya pada akhirnya.
B. Alfred North Whitehead
Manusia merupakan superjek. Superjek ini menunjuk pada kenyataan
bahwa suatu peristiwa atau benda merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai yang
ditawarkan oleh seluruh entitas aktual di semesta yang telah menyelesaikan
pembentukan dirinya. Bisa juga dipahami sebagai manusia merupakan produk
dari masyarakat dan dunia. Pada sisi lain, manusia juga subjek yang selalu
berproses membentuk dirinya serta memberi arti bagi masyarakat dan dunianya.
Proses pembentukan diri manusia tersebut melibatkan dua kutub dalam dirinya,
yaitu kutub fisik dan kutub mental10.
Kutub fisik merupakan kemampuan kenyataan yang sedang dalam proses
pembentukan diri untuk menangkap warisan atau pengaruh yang dihasilkan oleh
pelbagai pengada di seluruh dunia yang telah selesai di dalam pembentukan
dirinya. Kemampuan fisik hanya menangkap belum mengolah onggokan nilai
hasil dari interaksi pengada sebagai warisan yang dilemparkan oleh segala sesuatu
yang ada di dunia ini. Sedangkan kutub mental merupakan kemampuan kenyataan
baru yang sedang dalam proses pembentukan diri untuk menginterpretasikann dan
menilai tawaran-tawaran yang ditangkap oleh kutub fisik, serta menilai nilai-nilai
mana yang pantas dipribadikan, kemudian menyusunnya di dalam skala nilai
menurut citra dirinya11. Artinya, di dalam kegiatan mental terjadi pengolahan
bahan yang telah disediakan oleh dunianya sesuai dengan citra diri atau
subjective aim.
Kedua kutub diatas dalam prosesnya tidak selalu seimbang antara kutub
fisik dan mental. Namun, keduanya akan tergantung pada taraf kenyataan baru
yang sedang berproses. Semakin tinggi tarafnya, kemampuan mental akab
berkerja semakin besar dan kutub fisik semakin kecil. Meskipun begitu, taraf yang
lebih tinggi selalu memuat taraf yang lebih rendah. Sementara taraf yang lebih
10

Hardono Hadi, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Proses Alfred North Whitehead, 1996, hlm.
74
11
Ibid,.

rendah bisa berada sendirian, taraf yang lebih tinggi harus didukung oleh taraf
dibawahnya 12.
Taraf-taraf yang tersusun dari pengalaman dan diterima sebagai
pembagian baku, antara lain adalah taraf anorganik, taraf vegetatif, taraf sensitif,
taraf rasional. Pada taraf anorganik bekerja kutub fisik dan kutub mental bisa
dikatakan tidak difungsikan. Kutub fisik pada taraf anorganik ini terjadi
pengambilalihan nilai-nilai dari semesta yang terdiri dari entitas aktual yang ada
di alam semesta, termasuk dirinya sendiri di masa lampau. Dalam benda-benda
anorganik tidak terdapat organisasi yang berarti, apalagi koordinasi dan
subordinasi yang misalnya terjadi pada batu, besi, tembaga, emas, dan lain
sebagainya. 13
Pada taraf selanjutnya, taraf vegetatif sudah terjadi koordinasi antara
fungsi bagian-bagiannya dan terdapat pembagian tugas. Bagian-bagiannya bisa
membentuk koordinasi internal dan membentuk satu kesatuan. Masing-masing
mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, seperti satu bagian batang pohon yang
dipotong, maka pohon tersebut akan menumbuhkan batang pohon yang lain. Pada
taraf vegetatif, kutub mental bisa menampakkan citra dirinya. Misalnya, cara
tumbuhan bertahan hidup dan cara tumbuhan tumbuh mengikuti arah datangnya
cahaya. Dalam taraf vegetatif disokong oleh taraf sebelumnya, yaitu taraf
anorganik. Didalam citra diri sebuah pohon disokong oleh cairan dan zat mineral
untuk proses kehidupannya. Kemudian pada taraf sensitif, sistem organisasi dan
subordinasi sudah semakin canggih. Pembagian tugas sudah terjadi dengan teliti,
sehingga jika hilang satu bagian tidak akan bisa tergantikan dengan bagian yang
lain. Misalnya, telinga kelinci yang dipotong tidak akan tumbuh lagi dan
tergantikan dengan bagian yang lain. Dalam koordinasi, pada taraf sensitif, tidak
hanya proses penyesuaian diri dengan lingkungan malah mulai mampu mengatur
lingkungan yang sesuai dengan citra diri. Misalnya, laba-laba membuat jerat
untuk mangsanya. Kutub mental berperan penting dalam perkembangan masingmasing dan pelaksanaan tugasnya. Terdapat inisiatif untuk lebih mengembangkan

12
13

Ibid, hlm 75
Ibid,.

10

sesuatu yang baru bagi kehidupannya, walau masih terbatas. Seperti binatang buas
tidak membuat peternakan mangsanya agar selalu bisa bertahan hidup 14.
Pada makhluk hidup bertaraf rasional, manusia, koordinasi jauh lebih
sempurna. Taraf ini disokong oleh taraf-taraf sebelumnya. Jika salah satu tidak
berjalan, maka ia akan gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Jika pada taraf
anorganik - unsur mineral terganggu maka manusia akan tidak terjamin
keseimbangannya. Jika pada taraf vegetatif - sel-sel darah terganggu, maka bagian
lain yang bertaraf sensitif akan terganggu. Jika pada taraf sensitif terganggu
syaraf-syaraf tidak berjalan sebagaimana fungsinya, maka otak akan terganggu.
Artinya, manusia merupakan kesatuan subjek yang terdiri dari bagian-bagian yang
berbeda-beda taraf. Taraf yang lebih rendah berperan di dalam mendukung taraf
yang lebih tinggi, sedangkan taraf tertinggi mengatur dengan perencanaan
keseluruhan maupun detilnya 15.
Proses perkembangan manusia dari waktu ke waktu dan interaksi masingmasing manusia dengan dunianya mempertimbangkan taraf-taraf yang sudah
dijelaskan diatas. Seorang subjek hadir dengan utuh tanpa ada yang berkurang
dari dirinya dalam proses kehidupannya. Nilai-nilai atau bahan-bahan pembentuk
diri subjek menentukan. Tinggal bagaimana menghayati dalam proses
pembentukan diri dengan tingkat kesadaran penuh atau dengan ketidaksadaran.
Artinya, dalam proses pembentukan diri tidak sama merata penuh dalam
kesadaran. Misalnya, dalam mimpi, bagaimanapun mimpi merupakan sebuah
kesatuan diri subjek tak dapat dipotong dan dihilangkan dari kesatuan dirinya.
Dalam proses pembentukan diri subjek melibatkan data sebagai bahan
yang sudah disediakan oleh dunia dan masa lampau. Whitehead menyebut subjek
sebagai salah satu pengada karena pengada bukan hanya dapat dipahami sebagai
manusia. Pengada-pengada yang telah mencapai kepenuhan dan sudah selesai
dalam pembentukan diri disebuh sebagai pengada causa sui. Artinya, dalam
pemahaman yang lebih luas, nilai-nilai diterima, dibentuk, dan disatukan di dalam
pribadinya sendiri mempunyai nilai final tidak bisa diubah, dikoreksi, dilengkapi
14
15

Ibid,. hlm. 76-9


Ibid,. Hlm 79-80

11

ataupun dikurangi. Apa yang telah terjadi, tetaplah terjadi, tidak dapat dikoreksi
lagi.
Suatu peristiwa terjadi atau munculnya pengada baru sebagai sebabnya
disebut dengan causa effisien. Causa effisien menawarkan pengada-pengada
baru yang terbentuk dari masa lalu. Misalnya nilai-nilai baru bersama-sama
membentuk persekutuan agar nilai-nilai dilestarikan oleh pengada baru lagi.
Artinya, dari causa sui dan causa effisien terdapat data-data membentuk
datum. Kemudian datum-datum tersebut membentuk diri secara utuh. Mudahnya,
subjek terbentuk dari nilai-nilai yang sudah penuh sudah jadi dan tidak dapat
dikoreksi atau dirubah. Tetapi seorang subjek bisa mempunyai inisiatif untuk
mengolah datum-datum yang belum jadi untuk menjadi pembentuk diri subjek
yang baru.
Dalam penjelasan diatas, penulis melihat terdapat pembentukan diri subjek
secara kontinyu. Berkelanjutan. Berkesinambungan dan membentuk identitas
subjek yang utuh. Manusia dengan kutub dan taraf yang menyusunnya
membentuk prosesnya. Dari waktu ke waktu dari ruang ke ruang, tidak terbatas
tetapi berdasarkan aktus potensial yang ada dalam dirinya. Serta juga tidak
terlepas dari inisiatif dan peluang mengoreksi dan merubah dari causa effisien.
Misalnya, seseorang yang dilahirkan di kampung preman, ini tidak dapat dirubah.
Artinya, ia tidak dapat dilahirkan kembali dan meminta kepada Sang Pencipta
untuk tidak dilahirkan di kampung preman. Yang bisa dikoreksi dan dirubah
adalah citra dirinya, bagaiman ia memproses subjeknya menjadi sesautu yang
baru. Artinya, inisiatifnya dituntuk untuk menentukan siapa dirinya, mau tetap
menjadi preman atau belajar dan berkembang menjadi guru. Disini, proses
perkembangan pribadi seseorang tidak bisa tidak terlepas dari pengalamannya.
Pengalaman yang akhirnya menentukan siapa saya? Dan bagaimana saya?
dengan modal data-data yang ada.
Berdasarkan pengalaman tersebut, manusia mempunyai keberangkatan
dari mana ia- dan ia akan kemana, lau sekarang sudah sampai dimana. Ini artinya,
manusia mempunyai masa lampau yang menjadi bagian identitasnya, sekarang,
dan masa depan sebagai tujuannya. Meskipun masa lampau menjadi bagian diri

12

seseorang, namun masa lampau bukan sesuatu yang mutlak. Pada saat sekarang,
manusia bisa merombak, mengoreksi dan menyempurnakan cita-cita diri.
Kemudian manusia senantiasa berkembang dalam setiap prosesnya di masa depan.

13

Bab III
Analisis

Manusia Berkembang Sepanjang Waktu dan Ruang


Meskipun waktu dan ruang bukan menjadi hal yang menjadi benang merah dalam
analisis ini, namun waktu dan ruang menunjukkan grafik perkembangan
seseorang. Dalam pandangan Lacan, manusia sering tersesat dan salah jalur dalam
mengungkapkan kebutuhan, tuntutan, dan keinginannya. Artinya, persoalannya
adalah perihal membahasakan apa yang diingini dan apa yang dibutuhkan dalam
proses kehidupannya. Identitas subjek akhirnya dianggap tidak utuh jika ia tidak
bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya diingini. Yang tidak utuh artinya
ada yang tidak kita sadari dari pilihan atas pemenuhan keinginan dan kebutuhan.
Lebih mendalam lagi dalam konteks persoalan bahasa, ketika sebuah sistem
penandaan berat sebelah antara penanda dan petanda, artinya ada salah satu
bagian yang berkuasa. Misalnya, saya mengingini menggunakan bikini di dalam
kampus. Penandanya adalah bikini dan petandanya adalah perihal konsep bikini
yang biasa dipakai untuk di pantai atau berenang. Lalu, mengapa harus bikini?
Artinya, jika menggunakan pemikiran Whitehead kita mempunyai data-data
mengenai nilai-nilai yang melekat pada pakaian bikini. Misalnya, bikini itu
pakaian yang biasa digunakan untuk berjemur atau berenang. Artinya, ada
pertimbangan-pertimbangan yang lebih esensial dalam petanda.
Dalam konteks hasrat, Lacan yang adalah seorang psikoanalis yang mengani
manusia penderita histeria. Artinya, asumsi negativitas oleh Lacan ini dapat
meluruskan perihal subjek yang menderita histeria atau subjek yang tidak utuh.
Namun, seiring dengan perkembangan, banyak manusia-manusia yang tidak utuh.
Misalnya, koruptor. Ada gap yang terjadi antara representasi diri dan cita-cita diri.
Apakah seorang koruptor bercita-cita menjadi koruptor. Tentu tidak saya kira.
Saya kira ada kebutuhan atau keinginan perihal materi yang ingin dicapai yang
implikasinya membangun citra dirinya. Salah satu aktor korupsi Ratu Atut,
misalnya. Kebutuhannya akan materi kecantikan, handproperty mewah, rumah,
mobil. Artinya, seorang koruptor hanya bisa dinilai pada penandanya saja sebagai

14

seorang yang cantik dan kaya. Namun secara konsep, dia adalah pencuri.
Kemudian, lewat Whitehead, bisa melihat aktus-potensial seseorang serta
berkembanganya menjadi seorang subjek yang baik dan memberi sumbangan nilai
yang baik kepada masyarakat.
Subjek yang Tidak Terpisah Dari Masyarakat
Dalam pemikiran Lacan, hasrat sering hadir sebagai hasrat yang Lain dan tidak
disadari. Ini artinya, manusia terjalin ikatan dengan Yang Lain. Yang Lain
didefinisikan Lacan sebagai subjek yang lain atau sesuatu diluar subjek seperti
nilai, hukum, bahasa. Lalu bagaimana jika Yang Lain tidak ada. Saya
membayangkan, jika saya dilahirkan di hutan kemudian dibiarkan tumbuh disana
tanpa keberadaan orangtua, tanpa keberadaan nilai, hukum dan bahasa yang biasa
dipakai orangtua saya atau manusia. Bukankah saya pada akhirnya akan menjadi
dan dijadikan Yang Lain bagi lingkungan. Artinya, dalam negativitasnya, hasrat
tetap akan memproduksi suatu proses yang baru atau mengalami peristiwa
berdasarkan pengada aktif disekitar subjek.
Pemikiran Lacan dalam konteks negativitas hasrat ini, polanya digunakan untuk
pemikiran baru mengenai wacana pasca kolonial. Sepintas dapat diungkapkan
bahwa wacana dalam Orientalisme meminjam kategori Lacan, mengenai wacana
histeris. Dimana orang ditulis terus menerus tanpa bisa melakukan apa-apa.
Hubungan dominatif antara penjajah dan yang dijajah itu tidak semutlak seperti
digambarkan Edward Said. Homi Bhabha menjelaskan hubungan ini dengan teori
identifikasi yang dikemukakan oleh Lacan16. Artinya, hubungan antara yang
berhasrat dan dihasrati bukan perihal tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi lebih
ke bagaimana seseorang dengan hasrat sebagai pendorongnya menjadi seorang
subjek yang berarti, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya.
Kontinuitas Identitas Subjek
Dalam analisi terakhir ini, Whitehead menggambarkan bahwa manusia merupakan
bagian dari pengada aktual di alam semesta. Sedangkan manusia sendiri
berkembang dalam prosesnya berdasarkan aktus dan potensialnya. Disini berarti
16

Sunardi, Lacan dan Pasca-strukturalis, 2015, hlm. 4-5

15

bahwa manusia kontinyu berkembang, berproses membentuk identitasnya dan


representasi atas dirinya. Ketika negativitas hasrat menjadikan subjek tidak utuh
dalam satu peristiwa. Selama pengada causa sui

dan causa effisien

menyediakan data-data untuk berproses, maka produksi identitas tidak akan


berhenti tinggal bagaimana Saya membentuk diri berdasarkan pilihan-pilihan
dalam pertimbangan sadar ataupun tidak.

16

Daftar Pustaka
Fink, Bruce, 1956, The Lacanian Subject: between language and jouisance,
United Kingdom: Princeton University Press.
Hardono Hadi, 1996, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead,
Yogyakarta: Kanisius.
Hill, Philip, 2002, Lacan untuk Pemula, Yogyakarta: Kanisius.
Irawan, 2008, Animal Ambiguitatis, Yogyakarta: Jalasutra.
Lisa Lukman, 2011, Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Filosofis Jacques
Lacan, Yogyakarta: Kanisius.
Sarup, Madan, 2011, Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernisme, Yogyakarta: Jalasutra.
Sean Homer, 2005, Critical Thinkers: Jacques Lacan, New York: Routledge.
Sunardi, 2015, Lacan dan Pasca-strukturalis, Makalah Diskusi Posmodernisme
dan Postrukturalisme Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

17

Anda mungkin juga menyukai