Anda di halaman 1dari 12

MDR TB

Pendahuluan Multi-drug resistant tuberculosis (MDR -TB) telah menjadi topik yang berkembang untuk diteliti pada dekade ini. Berdasarkan penelitian global, masalah ini belum bisa diselesaikan dengan baik. Hal ini membuat MDR-TB menjadi epidemik dan menduduki peringkat ke-3 yang menjadi komplikasi HIV. Masalah utama tentang resistensi terhadap terhadap obat anti-tuberkulosis didunia tidak dikenal hingga pada tahun 1994-1997 WHOIUATLD membuat survey tentang resistensi obat anti tuberkulosis. Gambaran Prevalensi MDR-TB untuk mengontrol tuberculosis secara efektif kemudian dibuat. Dengan menggunakan obat anti tuberkular yang poten dan strategi pengobatan yang efektif seperti DOTS menghasilkan perbaikan dalam menangani masalah ini secara global. Resistensi obat terhadap TB telah dilaporkan sejak awal dikenalnya kemoterapi penyakit TB. Tetapi akhir-akhir ini multi drug resistant tuberculosis (MDR-TB) telah menjadi masalah penting dalam mengontrol tubekulosis. WHO-IUATLD menyatakan berdasarkan survey bahwa hal ini sudah menjadi masalah global. Rata-rata MDR TB primer dan didapat adalah 1.4% (0-14.4%) dan 13% (0-54.4%). Penelitian selanjutnya dari WHO-IUATLD pada tahun 1996-1999 di 58 negara menemukan bahwa prevalensi dari MDR TB primer dan didapat 1% (0-14%) and 9% (0 - 48%). Usaha yang harus dilakukan untuk mengurangi kasus MDR-TB adalah dengan menggunakan obat lini pertama secara efektif pada setiap penderita baru untuk mencegah meluasnya kejadian multi drug resistant. Penggunaan terapi untuk mengobati kejadian multi drug resistan TB dan mengurangi transmisi penyakit harus dilakukan sejalan. Tetapi hanya sebagian program struktur yang efektif dalam mengontrol Tuberkulosis

Definisi Drug resistant tuberculosis adalah suatu kasus dimana basil tuberculosis mengekskresikan zat yang membuat resisten terhadap satu atau lebih obat anti tuberculosis. Multi-drug resistant tuberculosis disebut sebagai penyakit dimana M. Tuberkulosis resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampicin (R) dengan atau tanpa resisten terhadap obat lain. Tipe resistensi obat Resistensi obat terdiri dari dua tipe yaitu primer dan didapat. Resistensi obat primer dapat didefinisikan sebagai resistensi pada pasien yang belum pernah mendapat terapi anti tuberkulosa sebelumnya. Resistensi yang berkembang pada pasien yang sudah pernah mendapat kemoterapi sebelumnya disebut resistensi obat didapat. Tetapi terminologi resistensi pada kasus baru dan resistensi pada pasien yang sudah pernah diterapi sebelumnya telah diusulkan untuk dipergunakan karena kesulitan dalam mengkonfirmasi validitas pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapat terapi. bakteri penyebab TB menjadi resisten ketika penderita TB tidak mendapatkan atau tidak menjalani pengobatan lengkap. Resistensi obat TB, seperti drug sensitive TB juga dapat menular melalui udara dari penderita kepada bukan penderita. MDR-TB merupakan bentuk TB yang tidak merespon terhadap standar 6 bulan pengobatan yang menggunakan obat standard atau firstline (resisten terhadap isoniazid dan rifampicin). Ketika seseorang ragu-ragu apakah resistensinya primer atau didapat berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut inisial drug resisten. Prevalensi resistensi obat secara global: Review dari WHO setelah dilakukan 63 survey tentang resistensi obat TB antara tahun 1985-1994 menghasilkan kesimpulan bahwa masalah resistensi TB sudah menjadi global. Informasi yang available menunjukkan bahwa tingkat resistensi primer terhadap Isoniazid (H) saja sebanyak 0-16,9 %.Peningkatan resistensi primer tehadap H telah

dilaporkan dari Kenya, India, Haiti dan dilaporkan rendah di Inggris tenggara, Melbourne dan Argentina. Resistensi primer terhadap Sterptomicyn berkisar antara 0,1-23,5 %.

Tingginya resistensi terhadap Streptomycin (S) dilaporkan di Zaire, Pakistan dan Brazil dan rendahnya resistensi dilaporkan di China, Ethiopia and Bosnia Herzegovina. Resistensi primer terhadap R saja jarang ditemukan dan berkisar 0 3%. Resistensi

terhadap Ethambutol (E) juga rendah, berkisar 0 4.2%2. Penelitian tentang resistensi obat didapat lebih jarang dilakukan dan jumlah resistensi obat didapat lebih tinggi dibandingkan resistensi obat primer. Jumlah resistensi didapat terhadap H saja berkisar dari 4 - 53.7%, terhadap S dari 0 - 19.4%, terhadap R dari 0-14.5% dan terhadap E dari 0 - 13.7%. Resistensi terhadap beberapa obat juga berubah-ubah tergantung daerah geografis dan lebih sering ditemukan pada pasien dengan resistensi didapat. Jumlah MDR-TB sangat rendah pada kebanyakan survey, berkisar antara 0-10.8% pada kasus resistensi primer dan 0 48% untuk resistensi didapat. Multi-drug resisten dilaporkan dari 0.5 14.3% pada survey dimana tidak dapat dibedakan apakah resistensinya primer atau didapat. Pada banyak daerah didunia, jumlah MDR TB sangat rendah kecuali di New York dan Nepal yang sering dilaporkan akan tingginya MDR tipe didapat. Alasan terhadap berbagai variasi ini pada beberapa survey yang berbeda tergantung kepada tingkat pasien yang dipelajari dalam studi, derajat penggunaan obat yang tidak tepat, faktor dari ketidaktahuan jenis obat yang dipakai pasien pada pengobatan sebelumnya dan budaya setempat yang tidak mendukung. Kualitas permintaan keterangan mengenai perawatan yang sebelumnya dan fasilitas-fasilitas kepekaan kultur dan obat yang tidak cukup di dalam banyak benua. Buruknya masalah TB-MDR di satu negara dapat jelas dengan berbagai cara:

Jumlah kasus secara keseluruhan Proporsi kasus TB baru dengan TB-MDR (hal ini menunjukkan tempat di mana upaya pengendalian TB lini pertama mungkin paling lemah) Kejadian TB-MDR per 100.000 penduduk (metode ini menunjukkan daerah dengan proposi populasi TB-MDR tertinggi, sehingga merupakan tempat dengan risiko penularan tertinggi). Berdasarkan analisa data survey, WHO memperkirakan terdapat hampir setengah

juta kasus baru MDR-TB. Jumlah tersebut setara dengan 5% dari total 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia tiap tahunnya. Permasalahan yang mengemuka adalah keterbatasan kapasitas untuk memberikan data terkait resistensi obat. Sebagia contoh, di Afrika yang merupakan wilayah dengan insiden TB tertinggi di dunia hanya terdapat 6 negara mampu

menyediakan data resistensi obat sebagai laporan. Sedangkan selebihnya tidak mampu melaksanakan survey karena tidak memiliki peralatan dan tenaga terlatih yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi resistensi obat TB. Kesimpulan dari laporan menyatakan bahwa resistensi terhadap obat anti-TB ditemukan pada seluruh 35 negara yang disurvey sehingga dinyatakan sebagai masalah global. Infeksi HIV dan Drug resisten TB Makin tinggi dan besarnya jumlah penderita yang terinfeksi HIV dan keterlambatan pengenalan dan diagnosa Tuberkulosa ditemukan dalam hubungan dengan besarnya kejadian MDR TB pada pasien yang terinfeksi HIV di USA. Shafer melakukan studi sewaktu tentang trend dan pola transmisi di kota New York dengan menggunakan restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan menemukan kelompok dengan kasus MDR-TB, khususnya pada pasien yang terinfeksi HIV yang mana proporsinya tidak seimbang dengan penyakit resistensi obat. Survey pada 167 kasus tuberkulosis dilakukan pada rumah sakit New York selama tahun 1992-1993 menunjukkan bahwa penderita HIV lebih mudah dan signifikan untuk terinfeksi dengan MDR-TB. Sungguh 79% dari kasus ditunjukkan oleh RFLP yang kemudian dapat mengelompokkan kedalam transmisi yang jelas. Hubungan antara HIV/AIDS dan drug-resistant tuberculosis berdasarkan alasan berikut. (i) (ii) (iii) Peningkatan jumlah kasus tuberculosis pada pasien HIV-AIDS akan meningkatkan jumlah kasus resistensi obat primer Terapi tuberculosis yang berlebihan karena dipikirkan peningkatan jumlah kasus akan lebih meningkatkan kasus dengan resistensi obat didapat. Pada penderita HIV yang immunocompromised akan menyebabkan penurunan efektivitas obat anti-tuberculosis dan kemungkinan akan lebih meningkatkan kasus dengan resistensi obat didapat

(iv)

Malabsorpsi

yang

disebabkan

obat

anti-tuberkulosa

ditunjukkan

tinggi

frekuensinya pada pasien AIDS, yang diperkirakan karena berbagai sebab seperti HIV, parasit, atau enteropati lain. Secara potensial hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan obat yang menghasilkan resistensi obat didapat. Akhirnya bagaimanapun beberapa studi di India dan di Asia timur lain menghasilkan kesimpulan akan tingginya prevalensi HIV seropositif, yang sebelumnya telah dilaporkan prevalensi yang sangat rendah dari MDR-TB pada penderita seropositif HIV, yang bertentangan dengan literatur dari barat. Hal ini tidak akan terlalu jauh sebelum menyaksikan suatu gelombang yang cepat dari MDR-TB pada penderita HIV, jika data yang sudah ada tidak diperhatikan Faktor resiko terjadinya resistensi obat Beberapa faktor resiko telah diidentifikasi sebagai penyebab resisten obat pada tuberkulosis yang mana tiga hal terpenting adalah riwayat pengobatan sebelumnya dengan obat anti tubercular yang tidak sesuai, tidak komplit, atau tidak teratur, tingginya prevalensi resistensi obat pada komunitas serta riwayat kontak dengan pasien yang diketahui sebagai penderita resistensi obat anti tuberculosis. Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya kemungkinan resistensi tuberkulosisi adalah 4-7 kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa riwayat pengobatan sebelumnya. Bagaimanapun, short course chemotherapy standar hanya menghasilkan resiko minimal untuk terjadinya MDR TB Faktor lain yang bisa meningkatkan kejadian resistensi terhadap obat anti tuberculosis adalah infeksi bersamaan dengan HIV, sosiso ekonomi sangat kekurangan/sangat miskin, penjara, pusat layanan kesehatan, penyalahgunaan obat secara intra vena dan keadaan immunocompromised lain seperti penerima transplantasi organ, terapi anti kanker dan pasien dengan diabetes mellitus. Secara radiology didapatkan far advanced pulmonary tuberculosis pada pasien dengan lesi kavitas empat kali lebih banyak seperti tempat berlabuhnya yang resisten terhadap obat.

Sumber dan sebab terjadinya resistensi Sumber terjadinya sangat banyak dan penyebabnya bisa terdiri dari banyak faktor. Pihak yang dapat saja bersalah diantaranya pemerintah, industri farmasi, dokter, pasien dan keluarganya, setiap mereka memberikan kontribusi dalam masalah. Pemerintah memainkan peranan tersebut dengan membangun infrastruktur yang tidak layak dalam program pengontrolan TB nasional, urusan administrasi yang tidak perlu dalam pengadaan dan pendistribusian obat serta tidak adanya mekanisme kontrol dan bioavailabilitas tes. Industri farmasi berperan dalam pembuatan obat yang tidak jelas bioavailabilitasnya dalam fixed dose atau kombinasi obat yang tidak sesuai, kondisi penyimpanan obat yang tidak layak, dan substitusi dengan kualitas yang rendah oleh farmasi. Dokter dengan kurangnya pengetahuan dalam pemberian dosis, lama pengobatan, efek samping dan regimen standar, pemakaian merek obat yang berganti dan kurangnya memberikan motivasi kepada pasien menambah besar masalah resistensi ini. Dalam sebuah dari studi-studi di mana resep obat dari 449 dokter dianalisa, 75% dari para dokter ditemukan untuk memiliki dibuat beberapa kesalahan resep obat Tambahan lagi adalah kurangnya penyuluhan dan fasilitas training bagi mereka. Kurangnya partisipasi pasien karena kurangnya informasi, kurangnya keuangan pasien, efek samping obat, mitos sosial tentang obat sering menyebabkan pengobatan tidak adekuat. Pasien yang menderita penyakit komorbid seperti diabetes, infeksi HIV, kondisi psikiatrik, kebiasaan merokok dan minum alcohol membuat pasien lebih rentan. Masalah TB yang utama meliputi kegagalan memberikan obat dengan baik, penemuan kasus yang lemah, vaksin yang tidak adekuat, meningkatnya resistensi terhadap obat, kegagalan pemberian terapi profilaksis dan migrasi penduduk, epidemi HIV serta infeksi nosokomial. Dalam hal perkembangan diagnosis di masa datang, diperlukan sarana yang mampu mendeteksi infeksi laten, meningkatkan kemampuan pemeriksaan sediaan langsung, memperbaiki diagnosis pasien dengan BTA (-) dan mendapatkan cara sederhana untuk uji kepekaan. Beberapa tehnik diagnosis baru meliputi nucleic acid probes, amplification tests, high performances liquid chromatography (HPLC), gas / liquid

chromatography (GLC), dan automated system for radiometric and non radiometric detection dan penggunaan molecular fingerprinting. Di pihak lain, obat baru juga amat diperlukan untuk memperpendek lama pengobatan, mampu mengobati resistensi ganda (MDR) serta dapat mengobati infeksi laten. Beberapa obat / bahan yang diharapkan punya efek anti mikobakterial yang baik antara lain adalah fluorokuinolon, oksazolidinon, nitroimidazol, tiolaktomisin, nitroimidazopiran dan isositrate liase inhibitor. Riset untuk menemukan obat baru memang terbentur pada aspek finansial dan perhitungan kemungkinan keuntungan yang tidak terlalu menjanjikan. Untuk menjamin proses penemuan penderita dan pengobatannya maka harus dilangsungkan program penanggulangan TB secara nasional dengan baik, dan juga di tingkat global Sebagai ringkasan, resistensi tuberkulosis terhadap obat biasanya berasal dari tidak adekuatnya obat untuk terapi pada kasus tuberculosis yang melibatkan multibasil. Penambahan obat yang salah, kesukaran memperoleh obat karena kurangnya finansial atau asuransi sosial yang dimiliki pasien, Singkatnya pengguan second-line karena manajemen yang lemah atau financial yang kurang. Penggunaan obat ataupun kombinasi obat (FDC) dengan bioavailabilitas yang tidak sesuai, kurangnya motivasi pada saat mulai pengobatan serta tidak adekuatnya administrasi diri dalam penggunaan obat tanpa observasi langsung pada fase intensif terapi. Kontrol dalam Multi drug resisten Tuberkulosis Tujuan utama dalam mengontrol resistensi obat maupun multi-drug resistant tuberculosis adalah untuk mencegah perkembangan yang lebih luas. Hal ini dapat dilakukan dengan program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), yang merupakan cara yang paling hemat dan efektif dalam pengobatan dan pencegahan MDR- tuberculosis. Pada saat yang sama, ketika kasus MDR-TB tidak berespon bagus terhadap kemoterapi jangka pendek, haruslah dengan hati-hati mengenalkan obat lain untuk mengobati kasus MDR untuk mengurangi transmisi dari strain yang didapat. Ketika obat baru mengobati tuberculosis belum dijumpai dalam waktu dekat ini, kunci sukses penanggulangannya tetap

pada diagnosis yang tepat dan benar dan pengobatan yang efektif pada pasien yang terinfeksi. Terlepas dari adanya upaya yang kuat dalam program pengontrolan tuberculosis, dibutuhkan juga survey yang berkala dan berkelanjutan tentang resistensi obat ini yang bisa memberikan informasi dalam tipe kemoterapi yang dapat digunakan pada pengobatan pasien serta menjadi parameter dalam evaluasi program kemoterapi yang sedang dilakukan maupun yang sudah lalu. Ada suatu kebutuhan untuk revisi petunjuk program-program nasional berdasar pada tingkatan-tingkatan resistensi, training para professional dari berbagai sektor yang berperan, penguatan program nasional pengendalian Tuberkulosis, pengurangan penggunaan Rifampicin (yang diawasi dan untuk TB dan lepra saja), Penyediaan logistik secara regular untuk menjamin terlaksananya secara regular penyediaan obat untuk seluruh tingkat National Tuberculosis Control Programme dan menjamin pemenuhannya, penambahan sarana seperti penyediaan secara bebas/subsidi obat anti tuberkulosa, pengawasan pengobatan dan penyuluhan kesehatan. Untuk mengontrol emergensi dari drug resistant dan multi drug resistant tuberculosis, WHO pada tahun 1998 telah membuat suatu rencana yang dikenal dengan Dots Plus yang sudah didizinkan oleh Green light committee. Tujuan utama dari komite ini adalah untuk untuk menyetujui, melakukan dan mengatur proyek percontohan didasarkan di petunjuk untuk menetapkan proyek percontohan 'dots plus. Karena infeksi dengan resistan obat M.Tuberculosis sangat beresiko, persiapan khusus harus disiapkan dengan hati-hati untuk memperkecil resiko di dalam kontak-kontak pasien-pasien ini. Pencegahan mempunyai dua aspek yaitu mekanika dan chemoprophylaxis. Aspek mekanis prevensi termasuk ventilasi yang yang bagus, iradiasi germisidal dengan UV, penggunaan masker, respirator dan filtrasi ketat dari pasien yang diisolasi. Kemoprophylaxis termasuk Ciprofloxacin perawatan dari kontak-kontak dengan yang menggunakan Pyrazinamide (Z) dan Ofloxacin/Ciprofloxacin atau E dan Z atau Ofloxacin /

Kesimpulan Subjek dari drug resistant dan multi drug resistant tuberculosis merupakan masalah yang berkaitan dengan klinisi, epidemiologis, pekerja kesehatan masyarakat diseluruh belahan dunia.Penelitian terbaru dengan melibatkan biologi molecular dan aplikasinya pada lapangan epidemiologi dapat membantu dalam memahami lebih baik akan mekanisme dari resistensi obat. Perkembangan alat-alat diagnostik terbaru dan obat-obatan yang efektif untuk mengontrol multidrug resistant tuberculosis. Sampai saat ini multi-drug resistant tuberculosis harus di manajemen dengan efektif dengan penggunaan secara hati-hati obat anti TB lini kedua untuk mengurangi morbiditas, mortalitas serta transmisi dari multi-drug resistant tuberculosis. Bukti terbatas menyatakan bahwa ketika TB secara kuat mengendalikan program pada suatu tempat, penggunaan obat-obatan lini kedua dimungkinkan dan secara finansial lebih efektif. Beberapa proyek percontohan sedang berlangsung di dalam sumber daya negara-negara yang terbatas bahwa akan menyediakan bukti perlu untuk mendesain petunjuk kebijakan bagi manajemen dari MDR TB. Harus pula ditekankan bahwa peranan optimal dari multi-drug resistant tuberculosis tidak akan sendirian menurunkan angka epidemic. Usaha-usaha harus difokuskan pada penggunaan obat lini pertama secara efektif pada setiap kategori I dan II sesuai dengan yang dianjurkan oleh Revised National Tuberculosis Control Programme untuk mencegah kegawatan dari multi-drug resistant tuberculosis.

10

REFERENSI 1. Multidrug resistant tuberculosis. ICMR: 1999; 29 (10 and 11) : 105-114. RAJENDRA PRASAD Indian Journal of Tuberculosis 129 2. Cohn DL, Bustreo F, Raviglione MC. Drug resistant tuberculosis. Review of the worldwide situation and the WHO/IUATLD Global Surveillance Project. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Clin Infect Dis 1997; 24 (Suppl 1): S121-S130 3. Pablos-Mendez A, Biokin N, Rieder HL, Bustreo F, Cohn DL, Lambregts van Weezenbeek, CS, Kim SJ, Chaulet P, Nunn P. Global surveillance for antituberculosis drug resistance, 1994-1997. World Health OrganizationInternational Union Against Tuberculosis and Lung Disease Working Group on AntiTuberculosis Drug Resistance Surveillance. N Engl J Med 1998; 338:1641-1649. 4. Espinal MA, Laszlo A, Simonsen L et al. Global trends in resistance to antituberculosis drugs. N Engl J Med 2001; 344:1294-1303. 5. Dye C, Espinal MA, Watt CJ, Mbiaga C, Williams BG. Worldwide incidence of multidrug resistant tuberculosis. J Infect Dis 2002; 185:1197-1202. 6. World Health Organization. Anti- tuberculosis drug resistance in the world: prevalence and trends. Report No. 2. WHO/ CDS/ TB/ 2000. 278. Geneva: WHO, 2000 7. Dye C, William BG, Espinal MA, Raviglione MC. Erasing the worlds slow strain: strategies to beat multidrug-resistant tuberculosis.Science 2002; 295: 2042-2046. 8. National Tuberculosis Programme Tuberculosis in Latvia 1991-2000. Riga 2001 21-23. 9. Robert J, Trystram D, Pernot-Truffot C, Jarlier V.Surveillance de la tuberculose a bacilles multiresistants en France en 1998. Bull Epidemiol Hebdo 2002;16-17:7172. 10. Robert J,Trystram D, Truffot-Pernot C, Carbonelle B. Surveillance Lung Dis 2000; 4: 665-672. of Mycobacterium tuberculosis drug resistance in France, 1995-1997. Int J Tuberc

11

11. Centers for Disease Control. Reported tuberculosis in the United States 2000. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, CDC, August 2001. 12. WHO IUALTD Global Project on Anti-Tuberculosis Drug Resistance Surveillance (1999-2002), Third Global Report (2003). 13. ICMR, Prevalence of drug resistance in patients with pulmonary tuberculosis presenting for the first time with symptoms at chest clinics in India. I. Findings in urban clinics among patients giving no history of previous chemotherapy. Indian J Med Res 1968; 56:1617-1630. 14. ICMR, Prevalence of drug resistance in patients with pulmonary tuberculosis presenting for the first time with symptoms at chest clinics in India II. Findings in urban clinics among all patients, with or without history of previous chemotherapy. Indian J Med Res 1969; 57:823-835. 15. Trivedi SS, Desai SC. Primary antituberculosis drug resistance and acquired Rifampicin resistance in Gujarat, India. Tubercle 1988; 69 : 37-42. 16. Krishnaswamy KV, Rahim MA. Primary drug resistance in pulmonary tuberculosis. IndianJ Chest Dis 1976; 28:233-337. 17. Chandrasekaran S, Chauhan MM, Rajalaksmi R, Chaudhuri K, Mahadev B. Initial drug resistance to anti-tuberculosis drugs in patients attending an urban district tuberculosis centre. Indian J Tuberc 1990; 37:215-216. 18. Chandrasekaran S, Jagota P, Chaudhuri K. Initial drug resistance to antituberculosis drugs in urban and rural district tuberculosis programme. Indian J Tuberc 1992; 39:171-175. 19. Paramasivan C.N., Chandrasekaran V., Santha T., Sudarsanam N.M., Prabhakar R.Bacteriological investigations for short course chemotherapy under the tuberculosis programme in two districts in ndia. TuberLung Dis 1993; 74: 23-27. 20. Gupta PR, Singhal B, Sharma TN, Gupta RB. Prevalence of initial drug resistance in tuberculosis patients attending a chest hospital.Ind J Med Res 1993; 97:102-103. 21. Jain NK, Chopra KK, Prasad G. Initial and acquired isoniazid and rifampicin resistance to M. tuberculosis and its implications for treatment. Indian J Tuberc 1992; 39:121-124

12

Anda mungkin juga menyukai