Anda di halaman 1dari 11

1.

Terapi TBC Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini. Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting

karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan. DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi.

2.Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
o

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat INH Rifampisin Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-20 (maks. 600 mg) 15-30 (maks. 3 g)

10-20 (maks. 600 10-20 (maks. mg) 600 mg) 50-70 (maks. 4 g)

Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) Etambutol

15-25 (maks. 2,5 15-25 (maks. 2,5 50 (maks. 2,5 g) g) g) 25-40 (maks. 1,5 25-40 (maks. 1,5 g) g)

Streptomisin 15-40 (maks. 1 g)

Obat pilihan isoniazid

Nama generik : isoniazid

Nama dagang : inoxin, kapedoxin, pulmolin, suprazid

Indikasi : tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

Kontra-indikasi : penyakit hati yang aktif

Bentuk sediaan : tablet

Dosis dan aturan pakai : dewasa : 5 mg/kg per hari (dosis yang biasanya 300 mg/hari), 10 mg/kg/hari 3 kali seminggu atau 15 mg/kg 2 kali seminggu (maksimal 900 mg)

Anak : 10-15 mg/kg/hari dalam 12 dosis terbagi (maksimal 300 mg/hari), 20-30 mg/kg 3 kali seminggu (maksimal 900 mg)

Efek samping : mual, muntah, konstipasi, neuritis perifer, dengan dosis tinggi, neuritis optic, kejang, episode psikosis, vertigo, reaksi hipersensitif seperti demam, eritema multiforme, purpura, agranulositosis, anemia hemolitik, anemia aplastik, hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun), sindrom Sistemik Lupus Eritema, elagra, hiperrefleksia,hiperglikemia dan ginekomastia

Resiko khusus : kelainan fungsi hati

Pemberian Isoniazid selalu disertai dengan pemberian piridoksin (Vitamin B6) pirazinamid

Nama generik : pirazinamid

Nama dagang : corsazinamid, prazina, sanazet, TB Zet

Indikasi : tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

Kontra-indikasi : porfiria gangguan fungsi hati berat, hipersensitifitas terhadap pirazinamid

Bentuk sediaan : tablet

Dosis dan aturan pakai : dewasa : 15-30 mg/kg/hari, 50 mg/kg dua kali seminggu, 25-30 mg/kg ( maksimal 2,5 g) 3 kali seminggu.

anak : 15-30 mg/kg/hari (maksimal 2 g/hari), 50 mg/kg/dosis 2 kali seminggu (maksial 4 g/dosis)

Efek samping : hepatotoksisitas termasuk demam, anoreksia, hepatomegali, splenomegali, jaundice, kerusakan hati, mual, muntah, urtikaria, artralgia, anemia sideroblastik.

Resiko khusus : kelainan hati kronik rifampisin

Nama generik : rifampisin

Nama dagang : lanarif, medirif, rifabiotic, rimactane, rifamtibi, rifacin

Indikasi : bruselosis, legionelosis, infeksi berat stafilokokus kombinasi dengan obat lain. Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

Kontra-indikasi : jaundice

Bentuk sediaan : kapsul, kaptab

Dosis dan aturan pakai : 10 mg/kg (8-12 mg/kg) per hari, maksimal 600 mg/hari 2 atau 3 kali seminggu

Efek samping : gangguan saluran cerna seperti anoeksia, mual, muntah, sakit kepala, pada terapi interminten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi (nafas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, gagal ginjal akut, purpura, trobositopenia, gangguan funsgsi hati, jaundice, kemerahan, urtikaria, ruam. Efek samping yang lain : udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi, warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya, tromboplebtis pada pemberian per infus jangka panjang

Resiko khusus : wanita pengguna kontrasepsi, penderita Diabetes Mellitus etambutol

Nama generik : etambutol

Nama dagang : bacbutol, corsabutol, parabutol

Indikasi : tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

Kontra-indikasi : anak di bawah 6 tahun, neurotis optik, gangguan penglihatan

Bentuk sediaan : tablet

Dosis dan aturan pakai : dewasa : 15-25 mg/kg/hari, 50 mg/kg 2 kali seminggu, 25-30 mg/kg 3 kali seminggu

anak (di atas 6 tahun) : 15-20 mg/kg/hari (maksimal 1 g/hari), 50 mg/kg 3 kali seminggu (maksimal 4 g/dosis)

Efek samping : neuritis optic, buta warna merah/hijau, neuritis perifer

Resiko khusus : kelainan ginjal streptomisin

Nama generik : streptomisin

Nama dagang : streptomisin sulfat meiji

Indikasi : tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

Kontra-indikasi : hipersensitif terhadap aminoglikosida

Bentuk sediaan : serbuk injeksi 1g/vial, 5 g/vial

Dosis dan aturan pakai : dewasa : 15 mg/kg/hari (maksimal 1g), 2530 mg/kg 2 kali seminggu (maksimal 1,5g), 25-30 mg/kg 3 kali seminggu (maksimal 1g)

anak : 20-40 mg/kg/hari (maksimal 1 g/hari), 20-40 mg/kg 2 kali seminggu (maksimal 1 g), 25-30 mg/kg 3 kali seminggu)

Efek samping : ototoksisitas, nefrotoksisitas yang biasanya terjadi pada orang tua atau gangguan fungsi ginjal

Resiko khusus : wanita hamil, kelainan ginjal Obat TBC yang utama adalah Isoniazid ,Rifampisin ,pirazinamid ,streptomisin dan etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan yang biasa digunakan adalah kanamisin ,kuinolon ,makroloid dan amoksisilin di kombinasikan dengan klavulanat. 3.kombinasi obat tuberculosis namun apabila harus segera diberikan maka diberikan streptomisin injeksi intramuscular dan ethambutol selama 3 bulan dan diteruskan rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan

Sesuai Pedoman Penanggulangan Tuberculosis anjuran pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. Pada pasien ini sudah sesuai dengan pedoman ini yaitu ketika ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT pada tanggal 23, FDC yang direncanakan diberikan pada hari itu ditunda sampai SGOT dan SGPT turun. Kemudian sebagai gantinya, karena klinis dianggap perlu memerlukan pengobatan tuberculosis secepatnya (tuberculosis milier derajat berat) maka atas perintah dokter rekomendasi kedua diberikan pada pasien ini yaitu injeksi streptomisin 1x 1 gram intramuscular dan ethambutol tablet 1x 1 tablet. Penundaan pemberian FDC pada pasien hepatitis untuk menghindari efek samping karena isoniazid dan rifampisin yang bersifat hepatotoksik. Pengobatan tuberculosis dengan kelaian hati kronikpun sedikit banyak berbeda dengan pengobatan tuberculosis dengan hepatitis akut. Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Panduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Pengobatan TBC secara tepat, secara tidak langsung akan mencegah penyebaran penyakit ini. Beberapa obat yang biasanya digunakan, yakni :
y

Isoniazid (INH)

Obat yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) ini merupakan prodrug yang perlu diaktifkan dengan enzim katalase untuk menimbulkan efek. Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel mikrobakteri.

Rifampisin / Rifampin

Bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri.
y

Pirazinamid

Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam lemak yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri.
y

Streptomisin

Termasuk dalam golongan aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba dengan cara menghambat sintesis protein.
y

Ethambutol

Bersifat bakteriostatik. Bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding.

Dalam terapi TBC, biasanya dipilih pemberian dalam bentuk kombinasi dari 3-4 macam obat tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri terhadap obat. Dosis yang diberikan berbeda untuk tiap penderita, bergantung tingkat keparahan infeksi. Karena bakteri tuberkulosa sangat lambat pertumbuhannya, maka penanganan TBC cukup lama, antara 6 hingga 12 bulan yaitu untuk membunuh seluruh bakteri secara tuntas. Pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus, walaupun pasien telah merasa lebih baik / sehat. Pengobatan yang terhenti ditengah jalan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Jika hal ini terjadi, maka TBC akan lebih sukar untuk disembuhkan dan perlu waktu yang lebih lama untuk ditangani. Untuk membantu memastikan penderita TBC meminum obat secara teratur dan benar, keterlibatan anggota keluarga atau petugas kesehatan diperlukan yaitu mengawasi dan jika perlu menyiapkan obat yang hendak dikonsumsi. Oleh karena itu, perlunya dukungan terutama dari keluarga penderita untuk menuntaskan pengobatan agar benar-benar tercapai kesembuhan. Obat diminum pada waktu yang sama setiap harinya untuk memudahkan penderita dalam mengonsumsi obat. Lebih baik obat diminum saat perut kosong sekitar setengah jam sebelum makan atau menjelang tidur. [Cyn]

Anda mungkin juga menyukai