Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

STEVEN-JOHNSON SYNDROME

Pembimbing: Dr. Retno Satuti, SpKK Disusun oleh; Putri Humairoh 1102008197

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD GUNUNG JATI CIREBON

2012

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul Steven-Johnson Syndrome. Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas kepanitraan bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Gunung Jati, Cirebon. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Retno Satuti, SpKK yang terlah memberikan bimbingan kepanitraan kepada kami sehingga kami mampu melaksanakan tugas kepanitraan di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Penulis menyadari bahwa referat yang penulis buat ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan referat ini lebih baik lagi. Demikianlah referat ini penulis buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, penulis mohon maaf dan sebelumnya penulis mengucapkan terima kasih.

Cirebon, 9 Juni 2012

Putri Humairoh

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................................... 2 DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3 BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................ 4 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 5 I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. Definisi.................................................................................................................. .5 Epidemiologi.......................................................................................................... 5 Etiologi................................................................................................................... 6 Patogenesis............................................................................................................. 8 Gejala Klinis........................................................................................................... 9 Diagnosis ............................................................................................................. 12 Komplikasi............................................................................................................14 Histopatologik.......................................................................................................14 Diagnosis Banding................................................................................................15 Pengobatan............................................................................................................15 Prognosis...............................................................................................................22

BAB III: KESIMPULAN....................................................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 25

BAB I PENDAHULUAN Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1 Penyebab terjadinya SSJ belum jelas, namun ada beberapa faktor pencetus seperti; infeksi (virus,jamur, parasit, bakteri), erupsi alergi obat secara sistemik (penisilin,barbiturat, hidantoin, sulfonamid, fenolftalein), faktor fisik (sinar X, sinar matahari, cuaca), penyakit kolagen vaskular, neoplasma, kehamilan, kontaktan. Biasanya terjadi pada usia dewasa dengan frekuensi yang sama antara pria dan wanita.2 Perjalanan penyakit SSJ diawali dengan panas tinggi dan nyeri kontinu. erupsi timbul mendadak. Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga membentuk trias: kelainan pada kulit, kelainan selaput lendir pada orifisium, kelainan mata. Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan disekitar lubang badan (mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, perdarahan. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik. Lokalisasinya biasanya generalisata kecuali pada kepala yang berambut.2 SSJ merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan kulit yang perlu perhatian serius dalam pengelolaannya. Pengobatan utama SSJ sampai saat ini adalah dengan kortikosteroid yang mempunyai banyak efek samping, maka dari itu penting bagi seorang klinisi untuk memperhatikan dalam menegakkan diagnosis dan pengaturan pengobatan yang sesuai untuk pasien SSJ.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Sindroma Steven Johnson (SSJ) merupakan Sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Sinonim dari penyakit ini adalah eritema multiforme mayor, namun yang lazim ialah SSJ. Dalam disumber lain menyebutkan bahwa SSJ adalah kelainan yang ditandai dengan cepatnya perluasan ruam makula, sering dengan lesi target atipikal (datar, irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital). Kasus dengan pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan 30% disebut dengan overlap Steven-Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN), sedangkan kasus dengan pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). 1,3,4 II. Epidemiologi Insiden SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika serikat. Kebanyakan kasus SSJ disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut. 5 SSJ paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3 tahun.6 Menurut Parillo, et al. (2005), rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun, walaupun pernah dilaporkan penderita anak berumur 3 bulan. Hasil penelitian Foster,et al. (2005) menyatakan bahwa rata-rata umur penderita SSJ adalah 25-47 tahun. Menurut Foster,et al. (2005), di Jerman dilaporkan insidensi SSJ sebesar 1,1 kasus tiap satu juta orang pertahun. Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada penderita SSJ adalah 2:1 .5 Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Insidensi SSJ setiap tahun kira-kira terdapat 10 kasus, sindroma ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas.1

III. Etiologi Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host,neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik atau antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3 %). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif. Penggunaan obat antibiotik, analgesik, anti konvulsan, anti inflamasi non steroid, allopurinol, dan kortikosteroid merupakan etiologi dari SSJ. Pada Ananworanich, et al, (2005), Nevirapin menyebabkan 2 pasien yang terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV) menderita SSJ. Nevirapine adalah nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain untuk pengobatan infeksi HIV. Kelainan mukokutan seperti Sindroma Johnson bisa muncul pertama-tama di dalam mulut, dan tindakan dini dapat mencegah keterlibatan kulit lebih lanjut. Dokter dan dokter gigi seringkali berdiskusi untuk mengevaluasi dan mengobati ulserasi pada rongga mulut. Dokter gigi umum dapat mengambil peran utama dalam sistem mengidentifikasi pasien dengan ulser dalam rongga mulut yang disebabkan oleh obat dan memfasilitasi pengobatan dan perawatan.8,4,1

Tabel 1. Etiologi Sindroma Steven Johnson

IV. Patogenesis Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan dengan reaksi sensitivitas lambat tipe IV (delayed-type hypersensitivetyreactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T yang spesifik.9 Namun dalam literatur lain disebutkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran ( target cell).3 SSJ merupakan reaksi imun sitolitik dengan sasaran destruksi keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari: ratarata 14 hari). aktifasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh ( bullous drug eruption); adanya produksi yang tinggi dari interleukin-5.1 Kerusakan epidermis berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi berlebih yang drastis dari TNF pada epidermis. TNF memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan menginduksi apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel efektor sitotoksik atau keduanya.3,9 Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Bila pemberian obat diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. SSJ dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.3,9

V. Gejala Klinis Sindroma ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas belum begitu berkembang . Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok.1 Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.1 V.1. Kelainan kulit Lesi kulit pada SSJ dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh tubuh (Gambar 2). Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura,urtikaria dan edema. Selain itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar.1

Gambar 2. Eritema pada wajah yang tersebar luas.10

10

Gambar 3 erosi pada wajah akibat vesikel dan bula yang memecah

V.2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di alat lubang genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hemoragik berwarna hitam dan tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/ tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.1

(a)

(b)
Gambar 4. Krusta pada bibir (a)(b).10

11

Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis (Gambar 6). Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa sekret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa yang tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. SSJ dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamed anal.5

. V.1. Kelainan mata

Gambar 6. Balanitis.10

Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.1

(a)

(b)
12

(c)
Gambar 5 Konjungtivitis (a), Konjungtivitis purulenta (b), Konjungtivitis kataralis (c) 11

Disamping kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : nefritis dan onikolisis.12 VI. Diagnosis Diagnosis merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang akan dilakukan. Diagnosis sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukan sehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari SSJ dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis SSJ terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang VI.1. Anamnesis Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter dengan penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum maupun penyakit gigi, riwayat penyakit keluarga, riwayat menggunakan obat secara sistemik, serta riwayat timbulnya erupsi kulit. VI.2. Pemeriksaan Klinis
13

Pemeriksaan klinis dapat dilakukan baik ekstra oral maupun intra oral. Pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas. Ada beberapa hal penting dalam pemeriksaan klinis yang dapat dijadikan bahan acuan dalam mendiagnosis SSJ, yaitu:9 1. Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal berupa demam,malaise, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia. 2. Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis, kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis. 3. Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari sopor bahkan menurun sampai koma. 4. Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau kombinasinya. 5. Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi ada kalanya timbul mendahului erupsi kulit. 6. Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar luas pada tubuh. 7. Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan tubuh. VI.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan hemaglutinasi dengan mikroskop imunofluoresensi. Pemeriksaan hemaglutinasi bertujuan untuk melihat adanya komplemen dan antibodi IgG atau IgM. Selain itu pemeriksaan histopatologik dengan biopsi membantu membedakan SSJ dengan penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan biopsi menunjukkan adanya bula sub epidermal yang terdapat dibawah epidermis, adanya area perivaskuler yang diinfiltrasi oleh limfosit dan terdapat juga nekrosis sel epidermal. Pada umumnya perubahan-perubahan terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah superfisial yang dikelilingi oleh infiltrasi sel radang yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit dan sel polimorfonuklear. Selanjutnya reaksi dermatus meluas sampai epidermis, yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga menyebabkan pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel. Vesikel ditandai dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis
14

dan epidermis serta nekrosis sel epidermis bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat fibrinosa dan sejumlah besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan intraepitel.1,11 VII. Komplikasi Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain adalah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.1 VIII. Histopatologi Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa:1 1. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial. 2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar. 3. Degenerasi hidropik lapisan sel basalis sampai terbentuk vesikel 4. Nekrolisis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. 5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis. IX. Diagnosis Banding Diagnosis banding SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias kelainan seperti yang telah disebutkan. maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umumnya lebih buruk dari SSJ. Sebagai diagnosis banding ialah NET. Penyakit ini sangat mirip SSJ. Perbedaan lain biasanya keadaan umum pada NET lebih buruk.1 Diagnosa banding dibuat karena SSJ juga memiliki gambaran klinis yang bervariasi sehingga menimbulkan masalah dalam menentukan diagnosis yang tepat. Penyakit yang memiliki tanda-tanda klinis menyerupai SSJ antara lain :
1. Pemfigus vulgaris 15

Pemfigus vulgaris adalah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
Gambar 6. Erosi yang pecah akibat bula kendur pada pemfigus vulgaris

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Penyakit dengan gejala klinis lebih berat daripada SSJ, dengan gejala kulit terpenting adalah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata.

Gambar 7. Gambaran khas Nekrolisis Epidermal Toksik, Epidermolisis pada punggung

3. Pemfigoid bulosa 16

Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone.

Gambar 8. Bula tegang di lengan pada pemfigoid bulosa

4. Liken planus tipe bula

Liken planus ditandai dengan timbulnya papul-papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul-papul berwarna biru dan poligonal, berskuama, dan berbentuk siku-siku. Lokasinya di ekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Sangat gatal, umumnya membaik dalam waktu 1-2 tahun. bentuk morfologik vesikular dan bulosa; kelainan kulit sedikit terdiri atas vesikel dan bula pada tempat-tempat bekas atau sedang liken planus. tipe bulosa bentuk yang terjadi, bula yang luas tiba-tiba timbul pada kulit yang normal atau bekas lesi, diikuti oleh gejala-gejala konstitusi. Ada bentuk bula dengan gejala ulserasi pada kaki, menyebabkan hilangnya kuku.
Gambar 9. Bula pada mukosa mulut

alopesia

bersikatriks

dan

X. Pengobatan
17

Perawatan SSJ didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan perawatan secara umum meliputi : 1. Rawat Inap Penderita SSJ yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta keadaan umum yang buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan penderita.1,9 2. Preparat Kortikosteroid Jika pasien datang dalam keadaan baik dan tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umum buruk dan lesi menyeluruh haus diobati secara tepat dan cepat. Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek samping yang besar bagi penderita.1 Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan seorang ahli, mengingat kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan tubuh dan menekan aktivitas korteks adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala, memperpendek durasi penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total. 3. Infus Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.1,9 Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
18

prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.1 Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan. Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET yang dilakukan adalah: 1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dengan NET 40 mg sehari 2. Bila terdapat purpura generalisata 3. Jika terdapat leukopenia 4. Obat Anabolik Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung berat badan.9 5. KCl Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumna mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCL dengan dosis 3x500 mg sehari peroral.1,9 6. Adenocorticotropichormon (ACTH) Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg. 7. Agen Hemostatik Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K. 8. Diet Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.1 9. Vitamin
19

Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler.1 10. Perawatan Topikal a. Perawatan pada Kulit Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit.1,9 b. Perawatan pada Mata Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.9 c. Perawatan pada Genital Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita. Penderita SSJ seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.9 d. Perawatan pada Rongga Mulut Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anestetik topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara mengoleskan secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton swab. Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Balloon dilatation kadang-kadang diindikasikan untuk perawatan esophageal stricture. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan
20

perawatan berupa kompres asam borat 3%. Menurut Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum. Rasa nyeri yang dialami penderita akibat adanya lesi oral menyebabkan penderita mengalami sukar menelan makanan atau minuman. Apabila penderita mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat kumur seperti sodium bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin yang digunakan untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain.9 XI. Prognosis Jika ditangani dengan tepat dan cepat maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian. Persentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dalam publikasi Sri Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994 dicantumkan angka kematian di berbagai kota di Indonesia. Angka kematian di RS Dr. Kariadi Semarang 14,6%, RS Dr. Soetomo Surabaya 5,1%, RS. Dr. Sardjito Yogyakarta 7,0%, RS Wangaya Denpasar 9%, RS Denpasar 20%; sedangkan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo 4%. Laporan terakhir dari RS Dr. Saiful Anwar, Malang 8,7%. Sedangkan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo hanya 1%. 1 Mortalitas SSJ rata-rata sebesar 5-15%. Apabila membran mukosa terlibat antara lain pada orofaring, mata, genital, dan anal memerlukan perhatian serta perawatan yang seksama. Penderita SSJ yang mempunyai komplikasi pada epitel trakheobronkial dan gastrointestinal menyebabkan morbiditas tinggi. Penderita dengan umur yang lebih tua, terjadi peningkatan persentase pengelupasan epidermis, peningkatan konsentrasi urea
21

dan natrium dalam dara, dan keterlibatan organ vital akan memperburuk prognosis penyakit. Pada kasus SSJ yang berat dapat terjadi keadaan yang fatal, walaupun sudah diberikan perawatan. Keadaan fatal dapat disebabkan oleh komplikasi yang menyertainya yaitu sepsis. Apabila terdapat purpura yang luas, leucopenia, keadaan umum yang buruk dan bronkopneumonia akan memperburuk prognosis.1 SSJ dapat terjadi rekuren dua atau tiga kali dalam setahun, kemudian dapat mereda secara spontan.8 Angka spesifik kesakitan NET yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya kesakitan dan luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan meningkatnya mortalitas SSJ sampai Toksik Epidermal Nekrolisis dimana SSJ <10% (1-5% mortalitas), overlap SSJNET 10-30% dan TEN>30% (25-35% mortalitas).12 Keparahan dan prognosis NET dapat dinilai dengan memakai skala SCORTEN: a
severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis . Skala SCORTEN ialah skala untuk

menentukan keparahan (dan prognosis) penyakit kulit berlepuh. Awalnya, skala tersebut dikembangkan untuk NET, tetapi kemudian dapat pula dipakai pada SSJ, luka bakar, dan reaksi obat. 12
Tabel 1. Skala SCORTEN
Scorten
Faktor Prognostik Usia > 40 tahun Heart rate > 120x/menit Kanker atau keganasan hematologis BSA yang terkena >10% Kadar urea serum >10mM (BUN>27 mg/dl) Kadar bikarbonat serum <20 mEqL Kadar glukosa serum >14 mM (<250 mg/dL) SCORTEN 0-1 2 3 4 >5 Nilai 1 1 1 1 1 1 1

Mortality Rate (%) 3,2 12,1 35,3 58,3 90

Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149

22

BAB III KESIMPULAN SSJ merupakan sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi alergi obat (misalnya, Antibiotik, analgetik, anti piretik), infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik, dan makanan. Pada sindroma ini terlihat gejala yang khas dari kulit yaitu disebut trias kelainan, berupa: kelainan kulit dari bentuk eritema. vesikel, bula hingga terbentuknya erosi dan krusta, kelainan selaput lendir di orifisium terutama yang tersering di daerah mukosa mulut (100%), dan kelainan pada mata yang ditemukan konjungtivitis kornea. Pengobatan utama untuk pasien SSJ adalah kortikosteroid dengan dosis yang diturunkan tiap harinya sesuai keadaan umum pasien (tapering off).

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah, M 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Siregar 2005. Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Budimulja, U.; L. S. Selamat 1998. Epidemiology of Drug Eruption and Skin Testing withDrugs in Indonesia. Environ Dermatol 5(Suppl 2) : 63-68.
4. Cohen, B 2000. Stevens Johnson Syndrome. John Hopkins University at:http://dermatlas.

med.jhmi.edu/derm/display.cfm?ImageID=54 5. Fitzpatrick, T.B., et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th edition. TheMcGraw-Hill.
6. Dunne, F. 2000. Nevirapine flesh-eater halted SA Aids Trials. Available at http://www.

aidsmyth.addr.com/viramune.htm. 7. Foster, et al 2005. Stevens-Johnson Syndrome,Available at:http://emedicine. medscape. com/article/1197450-overview. 8. Cawson, et al 2001. Oral Disease Clinical and Pathological Correlations. 3 th ed. London: Mosby
9. Mansjoer, dkk 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Penerbit

Media Aesculapius. 136-138.


10. Parillo, S.J 2009. Stevens-Johnson Syndrome: Follow-up. Philadelphia University.

Available at :http://emedicine.medscape.com/article/756523-followup. 11. Samarayanake, L.P.; B.M. Jones; C. Scully. 2002. Essential Microbiology for Dentistry. 2nd edition. Inggris: Churchill Livingstone.
12. Bastuji-Garin et al,2000 SCORTEN: a severity-of-illness score for toxic epidermal

necrolysis. I Invest Dermatol. 115-149.


13. Sularsito, S.A., R.W. Soebaryo, Kuswadji 1986. Dermatologi Praktis. Edisi pertama.

Jakarta:Perkumpulan Ahli Dermato-Venereolosgi Indonesia.

24

Anda mungkin juga menyukai