Anda di halaman 1dari 73

SUPLEMENTASI KROMIUM PIKOLINAT MURNI DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA DI DATARAN RENDAH

JOHN BESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Suplementasi Kromium Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

John Bestari D 051030101

ii

ABSTRAK
JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.
Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah. Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu. Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan. Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.

vi

ABSTRACT
JOHN BESTARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI. The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucose level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area. The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium ) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.
.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area. Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.

vii

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tetulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

iii

SUPLEMENTASI KROMIUM PIKOLINAT MURNI DALAM RANSUM SAPI PERAH DARA YANG DIPELIHARA DI DATARAN RENDAH

JOHN BESTARI

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

iv

Judul Tesis Nama NIM

: Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah : John Bestari : D 051030101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Ketua

Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 28 Desember 2006

Tanggal Lulus :

ABSTRAK
JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.
Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah. Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral. Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu. Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan. Cr-pikolinat murni dapat digunakan dalam metabolisme mikroba rumen dan jaringan tubuh, sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan dan kecernaan yang lebih tinggi serta menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan pernafasan. Suplementasi Cr-pikolinat murni menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan hormon T3 dan T4 plasma sapi perah yang dipelihara di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa suplementasi Cr-pikolinat murni memperbaiki kemampuan termoregulasi pada sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah yang panas sehinga dapat memperbaiki performannya.

vi

ABSTRACT
JOHN BEST ARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI. The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucose level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area. The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium ) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.
.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area. Supplementation of pure Cr-picolinate might be used in metabolism of ruminal microorganism and tissues, that produced heigher body weight gain and digestibility and lower body temperature, cardiac pulses and respiratory rate. Supplementation of pure Cr-picolinate reduced plasma glucose level and increased T3 and T4 hormones content in dairy heifers raised in low land area. It is suggested that supplementation of pure Cr-picolinate improves termoregulatory capability of dairy heifers in warm low land area and improve their performance.

vii

PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang karena berkat limpahan rakhmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Tesis ini mengangkat tema teknologi nutrisi mineral kromium pada sapi perah yang dipelihara di daerah dataran rendah lingkungan panas, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, motivasi dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian mulai dari pembuatan proposal sampai penulisan tesis, sehinga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesisi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyerni, M.S, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan kritikan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf laboratorium percobaan ternak ruminansia besar Balitnak Ciawi (I. Ketut Pustake dan staf) laboratorium ternak lokasi Cicadas (Bambang Eka dan staf), staf laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak lokasi Bogor, satf laboratorium Fisologi dan Famakologi FKH IPB yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan hingga selesainya penelitian. Kepada kedua orang tuaku tercinta, Papa H. Moenaf Ali (Alm) dan Ibunda Hj. Ramilan (Alm) serta istriku tersayang Drg. Gadis Sotyandillah, anakku tercinta Mohammad Fidelio Omar Bestari dan Mohammad Aulia Putra Bestari, disampaikan ucapan terima kasih yang dalam karena berkat doa, dorongan dan bantuan moril maupun materil, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Tesis ini penulis persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis, rekan-rekan peneliti di Balitnak, IPB dan bagi yang membutuhkannya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi nutrisi mineral kromium. Bogor, Februari 2007

John Bestari

viii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 14 Jui 1957 dari Bapak H. Abdoel Moenaf Ali (Alm) dan Ibu Hj. Ramilan (Alm) sebagai anak ke enam dari sembilan bersaudara. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan di SMA Negeri Batusangkar Sumatera Barat dan pendidikan Sarjana diselesaikan di Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1985. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Magster Sains di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1986 penulis diterima bekerja di Proyek Penelitian Swamps II Badang Litbang Departemen Pertanian di Karang Agung Ulu Sumatera Selatan, dan tahun 1988 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Badan Litbang Departemen Pertanian dan ditempatkan di Sub Balai Penelitian Sungai Putih Sumatera Utara sebagai peneliti. Selanjutnya pada tahun 1990 penulis kembali ke Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor sebagai peneliti di Program Ruminansia Besar, khususnya meneliti tentang Teknologi Nutrisi dan Makanan Ternak Sapi Potong dan Sapi Perah sampai sekarang. Selama bekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, penulis mendapat kesempatan pendidikan di Oestereigh University di Seibersdorf Vienna-Austria tahun 1995 dalam program Magster, namun tidak selesai. Kemudian pada tahun 1997, penulis mendapat desempatan mengikuti Training Course on Improving The Productivity of Ruminant Livestock through on Farm Assessment of Nutrition, Production and Reproduction Interactios di Belgia selama 4 bulan. Pada tahun 2003 penulis kembali mendapatkan kesempatan mengikuti International Training on Animal Husbandry Nutrition, Production and Management di Nanhu Wuchang, Wuhan, Shanghai Province RRC selama 3 bulan. Selama menjadi peneliti di Balai Penelitian Ternak Badan Litbang Departemen Pertanian, penulis telah mengikuti beberapa Seminar Nasional, Symposium dan Workshop di beberapa daerah di Indonesia seperti Bogor, Jakarta, Jogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, Palembang, Jambi dan Padang Sumatera Barat, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Beberapa makalah penulis telah diterbitkan antara lain di Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Wartazoa dan di beberapa prossiding di beberapa Universitas dan BPTP. Penulis menikah dengan Drg. Gadis Sotyandillah pada tahun 1988 dan telah dikarunia dua orang putra yang bernama Mohammad Fidelio Omar Bestari lahir tahun 1990 dan Mohammad Aulia Putra Bestari lahir tahun 1994.

ix

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
. ... ...

xii xiii xiv 1 3 3 3 4 6 8 8 9 12 14 16 17 20 20 21 21 22 22 23 23 24 25 26 26 27 27 27 28 28 29 29 29 29

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................................... Hipotesa ................................................................................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................................................. TINJAUAN PUSTAKA Mineral Kromium (Cr) ........................................................................................ Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi ........ Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan ......................... Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak .................. Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Sapi Perah .......................... Daerah Termonetral pada Sapi Perah ...................................................... Glukosa Darah dan Regulasinya ................................................................. Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak ............................................... Peranan Hormon T3 dan T4 terhadap Suhu Lingkungan Tinggi ... METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ............................................................................................................. Bahan dan Alat Penelitian .............................................................................................. Metode ........................................................................................................................................ Percobaan I : In Vitro ......................................................................................... Rancangan Percobaan .................................................................................... Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) .. Pengukuran Kadar VFA Total ...................................................................... Pengukuran Kadar N NH3 .......................................................................... Analisis Data .......................................................................................................... Percobaan II : In Vivo ......................................................................................... Rancangan Percobaan .................................................................................... Bobot Badan .......................................................................................................... Konsumsi Ransum ............................................................................................. Konversi Ransum ................................................................................................ Analisa Kadar Glukosa Darah ..................................................................... Analisa Hormon Triiodotironine (T3) ........................................................ Analisa Hormon Tetraiodotironine (T4) .................................................... Suhu Rektal ............................................................................................................ Denyut Jantung .................................................................................................... Pernafasan ............................................................................................................. Analisis Data ..........................................................................................................

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Lokasi Penelitian ................................................................. Indikator Fermentasi Rumen .......................................................................................... Bobot Badan, Konsumsi dan Konversi Ransum .................................................. Suhu Tubuh Ternak ............................................................................................................ Denyut Jantung Ternak ..................................................................................................... Frekuensi Pernafasan Ternak ...................................................................................... Kadar Glukosa darah ........................................................................................................ Konsentrasi Hormon Tyroksin ...................................................................................... Respon Ternak Terhadap Kromium Pikolinat Murni ...... SIMPULAN DAN SARAN .................................................... DAFTAR PUSTAKA .............................................................. LAMPIRAN
.................................................................................

31 32 33 36 38 39 40 42 46 48 49 51

xi

DAFTAR TABEL
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Nilai indek suhu kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan
..

11

Suhu rectal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam kondisi suhu lingkungan berbeda .................. Komposisi dan nilai gizi pakan konsentrat dan rumput gajah
..

12 21 31 32 34 37

Rataan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indek suhu kelembaban (ISK) di lokasi penelitian ....... Rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), NH3 dan VFA sapi-sapi perlakuan ............ Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum sapisapi perlakuan ........................................................................................................................... Rataan suhu tubuh sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari Rataan denyut jantung sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari ................................................................................................................................................... Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari ..................................................................................................................................... Rataan kandungan glukosa darah sapi-sapi perlakuan sebelum dan sesudah diber makan ............................................................................................................ Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari ...............................................................

38 39 41 43

xii

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1972)
................................... ...........

6 13

2. Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a)

3. Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu lingkungan (Ganing 1983) ......................................................................................................

18

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil Anova kecernaan bahan kering (KCBK) (%) Ransum Perlakuan ...... 2. Hasil Anova kecernaan bahan organik (KCBO) (%) Ransum Perlakuan ... 3. Hasil Anova N-NH3 (mM) Ransum Perlakuan ........................................................... 4. Hasil Anova VFA (mM) Ransum Perlakuan ................................................................ 5. Hasil Anova pertambahan bobot badan (kg/ekor/hr) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah .................................................................................... 6. Hasil Anova pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hr) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ......................................................................... 7. Hasil Anova konsumsi ransum bahan kering (g/ekor/hr) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah kecernaan ........................................................... 8. Hasil Anova konversi ransum BK (gBK ransum/PBBH) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah .................................................................................... 9. Hasil Anova suhu tubuh pagi ( C/8menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 10. Hasil Anova suhu tubuh siang (0C/8menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 11. Hasil Anova denyut jantung pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 12. Hasil Anova denyut jantung siang (kali/menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 13. Hasil Anova pernafasan pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 14. Hasil Anova pernafasan siang (kali/menit) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 15. Hasil Anova glukosa darah pagi (mg/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 16. Hasil Anova glukosa darah siang (mg/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ................................................................................................ 17. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) pagi (ng/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah .................................................................................... 18. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) siang (ng/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah .................................................................................... 19. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) pagi (ng/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah .................................................................................... 20. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) siang (ng/dl) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ....................................................................................
0

58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang Populasi sapi perah dalam negeri masih harus dipacu peningkatannya agar permintaan konsumen akan susu sapi secara bertahap dapat dipenuhi. Selama periode tahun 2001 2005, kemampuan produksi susu baru mencapai 59.8% per tahun dari kebutuhan Nasional (Ditjennak 2004). Upaya peningkatan produksi susu dalam negeri dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi sapi perah. Populasi sapi perah pada tahun 2005 berjumlah 374 000 ekor dengan produksi susu sebanyak 596 303 ton dan jumlah ini masih jauh di bawah permintaan konsumen susu yang sudah mencapai 997 850 ton (Ditjennak 2004). Sapi perah di Indonesia cendrung dipelihara di dalam dua wilayah ekstrim, yang pertama wilayah dengan ekosistim baik namun kondisi sosial ekonominya rendah yaitu di daerah pedesaan di lereng pergunungan yang memiliki suhu sejuk dan yang kedua wilayah dengan keadaan ekosistim buruk namun memiliki sosial ekonomi yang cukup tinggi yaitu daerah dataran rendah di sekitar kota besar yang bersuhu lingkungan tinggi (Sutardi 1981). Kondisi lingkungan Indonesia yang merupakan daerah tropis dimana suhu dan kelembaban udaranya cukup tinggi akan memberikan pengaruh yang merugikan seperti terjadinya cekaman panas pada ternak sapi perah. Peningkatan populasi sapi perah dalam upaya peningkatan produksi susu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah umumnya. Selain faktor genetik dan gizi makanan (kuantitas dan kualitas), lingkungan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam Diantara mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah.

faktor lingkungan yang mempunyai aspek terhadap kemampuan berproduksi sapi perah adalah suhu dan kelembaban udara. Hasil penelitian menunjukan bahwa, sapi yang di datangkan dari daerah suhu udara rendah ke daerah suhu udara tinggi akan mengalami stress , suhu udara merupakan stressor yang besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan berproduksi. Suhu lingkungan dapat secara langsung maupun tidak langsung mempe-

ngaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Pengaruh ataupun aspek secara tidak langsung adalah melalui kuantitas dan kualitas penyediaan hijauan pakan ternak (Stobbs 1975). Oleh karena itu antara suhu udara dengan

gizi pakan terjalin suatu interaksi yang berakibat pada pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Mineral kromium (Cr) telah lama diketahui perannya dalam metabolisme karbohidrat, khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (Schwarz & Mertz 1959). Hasil-hasil penelitian kromium menunjukan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, kromium juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein. Defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang dipengaruhi oleh kromium adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1987). Burton (1995) menambahkan bahwa kromium berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesa protein. Suplementasi kromium ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk komplek organik. Hal ini karena dalam bentuk an-organik. Kromium bersifat racun terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun tingkat penyerapannya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus kromium an-organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat faeses (Offenbacher et al. 1986). Sebaliknya ketersediaan kromium organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997). Moonsie & Mowat (1993) melaporkan bahwa penambahan kromium ragi pada anak sapi yang mengalami stress dengan mempergunakan beberapa tingkatan suplementasi (0.2; 0.5 dan 1 ppm) diperoleh peningkatan berat badan dan konsumsi pakan masing-masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot. Hasil penelitian Jayanegara (2003) dalam uji in vitro ransum yang disuplementasi kromium organik dan an-organik pada level 1; 2; 3 dan 4 ppm dapat meningkatkan total VFA dan menurunkan konsentrasi NH3. Suplementasi kromium organik lebih efisien dari pada suplementasi dalam bentuk an-organik. Level terbaik pada penelitian ini adalah suplementasi dalam bentuk an-organik 4 ppm. Astuti (2005) pada penelitiannya mendapatkan bahwa fungi yang mempunyai nilai efisiensi inkorporasi kromium tertinggi dalam pembuatan kromium organik adalah

Rhizopus orizae dan penggunaannya dalam ransum sebesar 1 dan 3 mg/kg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik (secara in-vitro) dan menyarankan bahwa penggunaan kromium organik murni dalam ransum adalah sebesar 4 ppm. Menindak lanjuti hasil penelitian Jayanegara (2003) dan Astuti (2005) serta penelitian lain tentang kromium, maka penelitian ini perlu dilaksanakan pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah untuk mendapatkan hasil yang berguna bagi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi kromium organik murni (Chromium Pikolinate Pure) terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rectal, denyut jantung dan pernafaan), kandungan glukosa darah, hormon triiodotironine (T3) dan hormon tetraiodotironine (T4) serta tingkat pertumbuhan fase pembesaran sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di daerah dataran rendah. Hipotesa 1. Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum dapat memberikan tingkat fermentasi rumen, kandungan glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan pertumbuhan yang lebih baik pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah. 2. Suplementasi Cr-pikolinat murni dapat menekan tingkat stress akibat cekaman panas pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah dengan suhu lingkungan dan kelembaban tinggi sehingga tidak mengganggu pertumbuhan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi tentang pengaruh suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara khususnya yang dipelihara di daerah dataran rendah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Mineral Kromium Kromium merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0; 2+; 3+; 4+ dan 6+, namun umumnya bervalensi tiga merupakan bentuk yang stabil (Stoecker 1990). Kromium bervalensi empat bersifat toksit, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk bervalensi tiga (Wenk 1995). Kromium pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaugel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan lead chromate. Namun kromium diambil dari nama Yunani chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. Komponen ini telah lama digunakan untuk mewarnai dan menyamak kulit. Pada tahun 1900 kromium merupakan bahan yang penting sebagai pelindung logam dari korosi dan terus digunakan hingga kini (Ensminger et al. 1990). Mineral kromium pertama kali dilaporkan sebagai mineral jarang esensial pada tahun 1959 (Mc Donald at al. 1988). Menurut Anderson dan Kozlovsky (1988) penyerapan kromium dalam bentuk organik 5-10 kali lebih baik dibandingkan dengan kromium klorida (hanya 2-3%). Linder (1992) melaporkan bahwa, kemungkinan sistim pengangkutan kromium adalah, setelah diserap, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah, yakni transferin. Tidak diketahui apakah faktor glukosa yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Dari usus, hampir semua kromium masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam faktor toleransi glukosa. membantu aktivitas insulin. Sejumlah faktor toleransi glukosa tertentu disekresi ke dalam plasma dan akan tersedia untuk Kalau kadar gula darah meningkat, insulin akan Faktor toleran glukosa akan meningkatkan disekresi dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran faktor toleran glukosa atau kromium ke dalam plasma. pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin. Akhir-akhir ini muncul produksi kromium pikolinat dan kromium nikotinat. Asam pikolinat dan asam nikotinat keduanya merupakan isomer yang hanya berbeda pada posisi penempelan asam karboksilat pada cincin piridin. Pada asam pikolinat gugus karboksil menempel pada posisi tiga sedangkan asam nikotinat pada

posisi dua. Kedua bentuk tersebut sama efektifnya. Pada keadaan alami kromium berikatan dengan asam nikotinat sehingga kromium yang berasal dari ragi (nikotinat) lebih disukai karena sifat alaminya. Menurut Linder (1992) defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkoles terolemia. Mekanisme interaksi kromium dan metabolisme kolesterol belum jelas, walaupun suplementasi dengan preparat kromium aktif dapat menurunkan kadar kolesterol plasma ataupun serum darah. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruhnya dalam menghambat reduktase hidroksimetilglutaril coenzim-A dari hati yang analog dengan aktifitas vanadium. Tetapi pada percobaan in-vitro, pengaruh kromium dapat meransang atau menghambat, tergantung pada konsentrasinya (Underwood & Suttle 1977). Menurut Merkel (1990) kromium tersebar diseluruh jaringan tubuh dengan konsentrasi yang rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi tertinggi adalah waktu lahir dan menurun sesuai dengan pertambahan umur. Berdasarkan hasil penelitian Lindemann (1966) defisiensi kromium pada tikus akan menunjukan tanda-tanda sebagai berikut : (1) tidak mampu memetabolisme karbohidrat secara normal, (2) menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin, (3) mengganggu metabolisme protein, (4) mengurangi laju pertumbuhan, (5) umur lebih pendek, (6) meningkatkan kolesterol serum darah, (7) meningkatkan sumbatan pada aorta, (8) luka pada selapat bening dan (9) mengurangi jumlah sperma dan fertilitas. Setelah penyuntikan kromium pada tikus, konsentrasi puncak dalam darah tercapai satu jam kemudian dan kadarnya menurun secara logaritmis hingga konsentrasi 20% dalam waktu 24 jam. Umumnya kromium terakumulasi pada limpa, tulang, pangkreas, ginjal dan hati (Stoecker 1990). Hasil penelitian dari Brasil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 0.4 ppm pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1955). Pangan et al. (1995) melaporkan bahwa suplementasi kromium pada kuda pacu berpengaruh positif tehadap respon metabolisme ketika periode latihan berat pada kecepatan tinggi. Suplementasi kromiun sangat nyata menurunkan kadar glukosa laktat, kortisol dan meningkatkan trigliserida dalam plasma darah. Selanjutnya hasil kurva menunjukan bahwa penggunaan energi lebih efisien pada suplementasi kromium.

Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi Kromium (Cr) dikenal merupakan mineral esensial sejak tahun 1959. Schwartz dan Mertz (1959) adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan meningkatkan potensi aktivitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai faktor toleransi glukosa (Glucosa Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF tersusun dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder 1992) seperti diperlihatkan pada Gambar 1.

COOH

N Glisin

Glutamat atau Glisin

Cr

3+

Sistein

HOOC

Gambar 1 Struktur Faktor Toleransi Glucosa (Linder 1992). Di dalam struktur GTF, kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa adanya kromium pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1988) menyatakan kerja GTF pada sistim transpor glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifiknya pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, pengambilan seluler glukosa dan asam amino dipermudah, dalam hal ini fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin.

Saner (1980) berpendapat bahwa fungsi GTF sebenarnya lebih terpusat pada sel target. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja GTF dalam transport gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Pada sel kelenjer ambing hewan ruminansia pengambilan glukosa ditentukan oleh insulin (Collier 1985; Mc Guire et al. 1995; Manalu 1999), isoleusin, leusin dan tirosin (Laarveld et al. 1981). namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, Hasil penelitian Fleet dan Mepham (1985) mendapatkan bahwa selain asam amino diatas, asam amino lain yang mengambil selulernya ke dalam sel kelenjer ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin. Yang et al. (1996) menyatakan bahwa suplementasi kromium dapat meningkatkan pengambilan glukosa pada sel kelenjer ambing dengan cara mengurangi jumlah reseptor pada sel hati dan jaringan perifer sehingga sensitifitasnya terhadap insulin menurun. Pendapat ini didukung hasil penelitian Subiyatno et al. (1996) bahwa suplementasi kromium meningkatkan ratio insulin atau glukosa, sementara konsentrasi IGF-I (Insulin Like Growth Factor I) meningkat. Manalu (1994) menghimpun beberapa hasil penelitian tentang pengaruh IGF-I pada produksi susu mendapatkan bahwa hormon tersebut berpengaruh pada pertumbuhan sel kelenjer ambing dan perkembangan sistim transport glukosa pada sel tersebut. Ditambahkan IGF-I bekerja secara langsung pada epithelium sel kelenjer susu untuk meningkatkan sintesa susu. Mc Carty (1993) menduga bahwa kromium dapat meningkatkan aktivitas reseptor IGF-I yang fungsi dan strukturnya sama dengan reseptor hormon insulin. Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan kromium dalam sistim kekebalan menyimpulkan bahwa kromium berpengaruh baik pada pembentukan sistim kekebalan hormonal (HI) maupun kekebalan yang diperantarai oleh sel (CMI). Dalam kekebalan hormonal suplementasi kromium meningkatkan produksi antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi kromium menyebabkan peningkatan respon blastogenik (lymphocit blastogenesis ) terhadap imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa Hormon ini bekerja meningkatan Proses glukogenesis akan peningkatan produktifitas antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol dan kekurangan energi dari pakan. glukogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres.

menekan sintesis protein dalam hati sehingga sintesis antibodi juga ditekan.

Dengan kata lain hormon kortisol bekerja berlawanan dengan terbantuknya sistim kekebalan dalam tubuh ternak. Myers et al. (1997) menyatakan bahwa kromuim dapat memodulasi produksi sitokin (cytokine). Menurut Ganong (1995) salah satu sitokin penting yang dihasilkan limfosit T4 adalah interleukin (IL), yaitu IL-2 yang mempengaruhi proliferasi sel T8 dan IL-4 yang bekerja mempengaruhi proliferasi dan deferensiasi limfosit B. Pada pemeriksaan sel darah limfosit T dan B akan terukur sebagai leukosit total, sehingga pada kondisi terinfeksi konsentrasi leukosit total akan mengikat. Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan Kebutuhan kromium pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi stres kebutuhan kromium akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi cadangan kromium dalam tubuh akibat p eningkatan mobilitas cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian kromium itu akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan dan laktasi kebutuhan kromium juga meningkat, hal ini karena pada saat tersebut mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al. 1996). Meskipun konsentrasi kromium dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam bentuk CrCl3 (NRC 1988). Efectivitas suplementasi kromium selain tergantung pada jenis ternak juga tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk kromium yang digunakan. Komplek organik kromium terdapat dalam bentuk kromium chelate, kromium proteinat ragi (high Cr yeast) dan kromium pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (West & Todd 1961; Combs 1992; Groff & Gropper 2000). Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak Page et al. (1993) yang meneliti tentang suplementasi kromium pada babi sedang tumbuh mendapatkan bahwa kromium pikolinat sebanyak 0.2 ppm meningkatkan pertambahan bobot badan (0.87 kg/hr) lebih tinggi dibandingkan kontrol (0.81 kg/hr). Hasil yang sama diperoleh Cho et al. (2000) yang memberikan

kromium pikolinat 0.05% BK ransum pada babi lepas sapih, menghasilkan retensi N dan pertambahan bobot badan (74.88% dan 294.4 g/hari) lebih tinggi dibanding kontrol (67.12% dan 281.6 g/hari). Pertambahan bobot badan yang tinggi pada penelitian tersebut diatas menggambarkan terjadinya peningkatan sntesis protein dan lemak pada jaringan perifer akibat meningkatnya pengambilan asam amino dan glukosa oleh efektivitas kerja insulin akibat adanya kromium. Namun demikian suplementasi kromium pada kondisi laktasi berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjer ambing untuk produksi susu. Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada sapi perah laktasi bahwa suplementasi kromium chelate sebesar 5 mg kromium per hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.2% (27.5 vs 24.3 kg/hari). Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi kromium juga meningkatkan konsumsi bahan kering sebesar 15% (13.76 vs 11.93 k g/hari), mengubah resistensi insulin pada sel kelenjer ambing, menurunkan kejadian milk fever dan heat edema. Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil bahwa, suplementasi kromium pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 24% (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (39.05 vs 49.42 ng/ml) dan ratio insulin atau glukosa (7.27 vs 5.76 /mol). Tang et al. (2000) melihat pengaruh kromium terhadap pembentukan antibodi dengan memberikan suplementasi kromium-yeast sebanyak 0.2 ppm ransum pada babi yang disuntik antigen virus demam. Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi kromium-yeast dibanding kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 . Hasil senada diperoleh Burton et al. (1993, 1994) bahwa, suplementasi kromium meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntik dengan antigen sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus rhinotracheitis. Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Sapi Perah Iklim sangat penting dalam sistim produksi ternak, karena dapat mempengaruhi ternak secara langsung yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pakan dan produktifitasnya. Esmay (1978) menyatakan bahwa,

10

lingkungan disekitar ternak merupakan total keseluruhan kondisi eksternal yang mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan. Secara langsung komponen iklim berupa suhu udara dapat mempengaruhi kemampuan sapi-sapi perah dalam berproduktivitas. Kenaikan suhu udara akan mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut nadi dan pernafasan setiap menitnya. Meningkatnya frekuensi pernafasan adalah reaksi tubuh sapi perah itu sendiri untuk mengatasi kenaikan suhu tubuhnya. Meningkatnya frekuensi denyut nadi adalah untuk mempercepat penyaluran darah sebagai transportasi O2 dan panas. Menurut Yousef (1985) batas suhu kritis minimum sapi FH adalah 27OC sampai 9OC dan batas suhu kritis maksimum 25OC sampai 26OC. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan turunnya produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu antara lain sebagai akibat dari turunnya nafsu makan dan turunnya efisiensi penggunaan energi untuk produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu. Suhu udara yang tinggi sebenarnya bukan saja berakibat pada turunnya konsumsi pakan, sehingga konsumsi energi menjadi kurang, tetapi juga mengakibatkan tidak efisiennya lagi penggunaan energi. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah perbandingan tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban lingkungan udara memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecepatan pelepasan panas ternak, terutama pada suhu udara yang tinggi. Atmadilaga (1959) menyatakan bahwa, toleransi kelembaban untuk sapi perah agar berproduksi tinggi dengan RH maksimum 55%. Indek suhu kelembaban merupakan tetapan untuk mengetahui adanya cekaman panas karena lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Nilai ISK ini merupakan indeks imbangan antara suhu udara dan kelembaban. Hahn (1985) menentukan bahwa perhitungan ISK untuk sapi FH menggunakan persamaan : ISK = DBT + 0.36 W B2 T + 41.2 dimana DBT (Dry bulb temperature = suhu udara bola kering, 0C) dan WBT (Wet bulb temperature = suhu udara bola basah, berikut.
0

C).

Pembagian selang ISK untuk

mengetahui tingkat kenyamanan lingkungan hidup sapi perah terlihat pada Tabel 1

11

Tabel 1 Nilai Indek Suhu Kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan. No. 1. 2. 3. 4. Indek Suhu Kelembaban (ISK) < 71 79 > 70 78 83 83 Keterangan Normal Waspada Bahaya Kritis

Sumber : Yousef (1985).

Produkstifitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena faktor tersebut dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan energi, keseimbangan air dan tingkah laku. Proses keseimbangan tersebut melibatkan sistim syaraf dan hormonal di dalam tubuh (McDowell 1972). Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak adalah suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (Armstrong 1977; Etgen et al. 1987; Payne 1990). Antara suhu lingkungan dan suhu tubuh terdapat suatu keseimbangan yang memungkinkan setiap proses biokimiawi dan faali dapat berlangsung dengan semestinya, bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh (McDowell 1972; Mount 1979; Esmay 1978). Daerah beriklim tropis basah seperti Indonesia, lama dan intensitas penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara (Payne 1990). Akibatnya, ternak yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar. Di samping itu, tingkat kandungan air yang tinggi di udara akan meningkatkan kelembaban, sehingga akan menghambat proses penguapan dari permukaan tubuh ternak. Kedua faktor iklim tesebut secara sendiri-sendiri maupun bersama menekan produktifitas ternak (Esmay 1978). Interaksi suhu dan kelembaban tersebut digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui ketidaknyamanan suatu lokasi terhadap penampilan produktifitas ternak, sehingga (Armstrong 1977; Esmay 1978; Hahn 1985) menyarankan penggunaan indeks suhu dan kelembaban (Temperature Humidity Index = THI) untuk mengetahui adanya cekaman panas karena keadan lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). (1992) adalah 75. Sapi mulai tidak nyaman

apabila THI sudah melebihi 72 (Armstrong 1977) sedangkan menurut Ryan et al.

12

Untuk mengetahui status cekaman panas pada ternak dapat dilakukan dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasi dari hasil pengukuran suhu rektal dan suhu kulit, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas tubuh (heat loss) dapat dilakukan dengan menetahui suhu kulit, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto 1993a). Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan cekaman panas antara lain : (1) penurunan nafsu makan, (2) peningkatan konsumsi minum, (3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, (4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, (5) peningkatan respirasi, (6) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, (7) peningkatan temperatur tubuh, (8) peningkatan denyut jantung (McDowell 1972; Amstrong 1977) dan (9) perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey, 1985). Perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh sapi Fries Holstein (FH) yang menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 2. Pengaruh cekaman panas atau suhu lingkungan yang tinggi terhadap respons fisiologis sapi sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung. Tabel 2 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam kondisi suhu lingkungan berbeda. Parameter Suhu rektal ( 0C ) Denyut jantung (kali/menit) Pernafasan (kali/menit) Sumber 1 2 1 2 1 2 Suhu Lingkungan Netral 38.7 38.8 77.0 64.0 48.0 31.0 Cekaman 40.0 39.8 79.0 67.0 87.0 75.0 + 3.4 + 2.6 + 2.6 + 4.7 + 81.3 + 141.9 Perbedaan (%)

Sumber : 1) Kibler (1962). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu netral 21.6 0C dan suhu cekaman 32.20C. 2) Purwanto (1993a). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu rektal 15.00C dan suhu cekaman 30.00C. Daerah Termonetral pada Sapi Perah Daerah termonetral (confort zone ) bagi hewan ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, di mana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak

13

menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (McDowell 1972; Yoesef 1985a). Terjadinya metabolisme basal pada kisaran suhu termonetral tesebut berarti pula produksi panas tubuh sangat rendah. Apabila terjadi peningkatan atau penurunan suhu lingkungan (di atas atau di bawah suhu nyaman), mengakibatkan pula peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau mempertahankan panas tubuh (Yoesef 1985a). Kisaran suhu nyaman dan pola perubahan produksi panas di dalam tubuh ternak akibat perubahan suhu lingkungan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a). Daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum (BC), daerah dingin (AB) dan daerah hangat (CD). Daerah BC merupakan daerah yang paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah berkisar antara 0 dan 160C). Daerah AB merupakan daerah dengan produksi panas tetap normal, namun ternak melakukan penyesuaian dengan tingkah laku atau mekanisme otomatik untuk menghasilkan panas tubuh dalam rangka mengimbangkan dengan keadaan yang mulai dingin bagi ternak. Daera CD merupakan daerah dengan produksi panas minimal, namun mekanisme termoregulasi telah mulai bekerja dengan cara meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan evaporasi untuk membuang panas. Apabila suhu udara dibawah suhu kritis (low critical temperature = LCT), tubuh ternak meningkatkan pruduksi panas untuk menjaga agar tubuh

14

tidak kedinginan dan ternak akan mati bila beban dingin terus meningkat. Demikian juga bila suhu udara diatas suhu kritis (upper critical temperature = UCT), terjadi peningkatan produksi panas sebagai akibat dari usaha membuang tambahan beban panas dari luar tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan suhu tubuh. Sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu tinggi (Payne 1990). Penampilan produktivitas sapi FH akan optimal apabila dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman. Suhu nyaman sapi perah berkisar antara 4,4-21,10C (Schmidt 1971); antara 13-180C (McDowell 1972); antara 4-250C (Yousef 1985a). Suhu kritis sapi FH adalah 270C (Kibler 1962; McDowell 1972), sedangkan menurut Yousef (1985a) adalah 250C. Apabila suhu udara meningkat di atas suhu kritis, sapi akan mulai menderita cekaman panas, sehingga mekanisme termoreguilasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air melalui kulit (Hafez 1968; Armstrong 1977; Linvill & Pardue 1992). Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972). Glukosa Darah dan Regulasinya Sumber energi utama dalam tubuh ternak adalah karbohidrat. Sumber energi ini berasal dari pangan yang dikonsumsi setiap hari. Energi yang terbentuk melalui metabolisme, disimpan dalam bentuk apa yang disebut ikatan energi tinggi yang menghubungkan fosfor dengan atom oksigen di dalam ATP (adenosin tri phosphate). Dengan adanya enzim yang cocok (ATPase), sebuah gugus fosfor terlepas dalam suatu transforilasi dengan membebaskan energi yang siap pakai. Senyawa yang dihasilkan adalah ADP (adenosin di phosphate) 1993). Metabolisme karbohidrat menyangkut semua reaksi yang terjadi dalam tubuh baik berasal dari pakan maupun terbentuk dalam tubuh, bukan berasal dari karbohidrat. Produk metabolisme karbohidrat salah satunya adalah glukosa. Sekitar 8% dari tubuh kita adalah darah (Page 1985). Darah terdiri dari bagian cair (plasma) yang siap dikonversikan menjadi ATP dengan penambahan fosfat dan energi (Frandson,

15

dan komponen-komponen seluler yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan trombosit. Fungsi primernya adalah untuk mengangkut oksigen dan metabolit ke sel serta mengangkut karbondioksida dan hasil limbah metabolisme ke luar. Darah merupakan campuran kompleks dari banyak zat, termasuk gukosa (sekitar 65 sampai 90 mg/100 ml, secara normal). Sel darah merah tidak mempunyai mitokondria, oleh karena itu hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar (Colby 1989). Glukosa darah melalui peredaran darah dihantar dari suatu organ ke organ lain. Organ seperti usus dan hati akan memberikan masukan glukosa ke dalam darah, sehingga dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Alat tubuh lain seperti otak, oto (dalam keadaan aktif) akan menggunakan glukosa dalam darah untuk kebutuhan fisiologisnya yang berakibat turunnya kadar glukosa dalam darah (Djojosoebagio 1990). Dalam keadaan normal, otak secara keseluruhan juga tergantung pada suplai glukosa yang kontiniu karena otak tidak dapat mengambil asam lemak dan hanya dapat mengabsorbsi benda keton setelah beberapa hari puasa, bila konsentrasinya tinggi di dalam darah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar jaringan yang tergantung pada glukosa darah dipertahankan dalam batas 3.7 mmol/liter. Ini jelas berbeda dengan konsentrasi asam lemak (10 kali) dan benda keton (100 kali). Terdapat beberapa alasan penting mengapa konsentrasi glukosa darah diatur dengan batas-batas yang sempit. Bila konsentrasi glukosa darah turun di bawah 1.5 mmol/liter, otak tidak cukup disuplai bahan bakar, kadar ATP otak menurun dan fungsi otak terganggu, selanjutnya dapat timbul koma dan kematian (Colby 1989). Menurut Djojosoebagio (1990), meskipun kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, keseimbangannnya diatur oleh dinamika yang unik dan dalam keadaan fisiologis normal selalu relatif konstan. Keadaan ini dapat dipertahankan sebagai hasil kerja alat-alat tubuh yang terkoordinasi dengan rapi. Bila salah alat tubuh melepaskan glukosa ke dalam darah, maka dengan segera glukosa tersebut diserap oleh alat tubuh lainnya. Berbagai faktor mempengaruhi dan mengontrol metabolisme glukosa sejak dikonsumsi sampai diserap oleh usus kemudian tiba di dalam sel-sel yang membutuhkannya. Diantara berbagai faktor tersebut adalah pengaruh hormonal yang salah satunya adalah insulin. Tanpa insulin, sangat menurunlah kemampuan untuk memetabolisasi glukosa menjadi energi atau mensintesis lemak dari glukosa. Insulin memiliki pengaruh utama agar glukosa menembus membran dan masuk ke dalam sel, dimana kemudian

16

dimetabolisasikan (Frandson 1993). Selama pencernaan makanan, kadar glukosa darah meningkat. Peningkatan kadar insulin dalam situasi yang menyertainya mengakibatkan pengeluaran glukosa dari sirkulasi dengan meningkatkan kecepatan transpor glukosa ke dalam sel dan dengan meningkatkan aktifitas lintasan yang menggunakan glukosa (Colby 1989). Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak Peran kromium sebagai suatu trace elemen esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan normal mamalia serta unggas telah didokumentasikan dengan baik (NRC 1997). Pengaruh kromium terhadap kadar glukosa darah mungkin dapat melalui peningkatan efetivitas insulin secara endogen (disekresi, sebagai respon terhadap konsumsi glukosa) atau dalam pengobatan dimana insulin akan meningkatkan pengambilan glukosa oleh urat daging serta jaringan lemak dan meningkatkan sintesis glikogen dalam urat daging dan hati (Linder 1992). Kromium mempunyai potensi penting dalam metabolisme karbohidrat, lipid, protein dan asam nukleat karena itu kromium diduga m ampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan karbohidrat dan lipid sebagai sumber energi serta protein untuk pertumbuhan sehingga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Kromium merupakan bagian dari suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan memperbaiki efisiensi penggunaan insulin dimana substansi ini diketahui sebagai GTF. Komplek GTF juga mengandung asam nikotinat, glysine, asam glutamat dan sistein (Linder 1992). GTF meningkatkan kesanggupan suatu jaringan yang sensitf terhadap insulin. Semakin cepat transport glukosa kedalam sel maka semakin cepat pemenuhan kebutuhan energi sel oleh glukosa dan dengan cara demikian semakin banyak glukosa (dan tentunya karbohidrat) yang digunakan sebagai sumber energi. Kromium trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme karbohidrat melalui GTF (Mertz 1993). Peningkatan kecepatan transport glukosa oleh insulin dikarenakan pengaruh GTF berarti bahwa level glukosa dalam sel-sel tersebut cendrung turun dengan lebih cepat dibawah level homeostasi. Kondisi ini merangsang se-sel tersebut untuk menyerap glukosa dengan segera. Pengaruh kromium terhadap metabolisme lipid terlihat tidak bergantung dari pengaruh-pengaruh terhadap metabolisme glukosa. Beberapa penelitian mengemukakan pengaruh dari kromium pikolinat pada metabolisme lemak.

17

Kromium pikolinat diduga menurunkan retensi lemak melalui penghambatan lipogenesis, yang mana inkonsisten dengan hasil Cho et al. (2000). Kromium diduga berinteraksi dengan biosintesis protein dikarenakan adanya peran insulin dalam meregulasi pengambilan asam amino oleh jaringan hewan. Dengan adanya kromium pikolinat terhadap tingginya sensivitas insulin menyebabkan peningkatan dalam pengambilan glukosa dan asam amino oleh sel-sel otot untuk protein (Yi et al. 1996). Peranan Hormon Tiroksin (T3 dan T4) Terhadap Suhu Lingkungan Tinggi Hormon-hormon tiroksin merupakan hormon utama dalam mekanisme panas oleh karena perannya dalam merangsang metabolisme tingkat sel di seluruh tubuh (Ganong 1983; Djojosoebagio 1990). Peningkatan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam darah akan meningkatkan pula metabolisme didalam sel-sel tubuh (Capen & Martin 1989). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hormon-hormon tiroksin merangsang penggunaan oksigen dan meningkatkan produksi panas (heat production) oleh selsel tubuh. Hal itu disebabkan karena peningkatan penggunaan karbohidrat, peningkatan katabolisme protein yang ditandai dengan ekskresi nitrogen dan peningkatan oksidasi ternak yang ditandai dengan kehilangan bobot badan. Apabila ternak ada di dalam lingkungan bersuhu tinggi, maka ternak terkena cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak nyaman. Sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Capen & Martin 1989; Djojosoebagio 1990). Selanjutnya diuraikan bahwa cekaman panas menyebabkan penghambatan keluarnya tiroksin releasing hormon (TRH) dari hipotalamus, sehingga terhambat pula keluarnya tiroksin stimulating hormone (TSH) dari anterior pituitary dan menyebabkan sekresi T3 dan T4, sehingga proses metabolisme berjalan dalam taraf yang mencukupi. Mekanisme umpan balik pengaruh suhu lingkungan panas dan linkungan dingin terhadap sekresi hormon tiroksin disajikan pada Gambar 3. Dalam keadaan cekaman seperti perubahan suhu lingkungan yang drastis, terjadi perubahan secara cepat pada sistim hormonal. Keadaan ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan frekuensi pernafasan dan peningkatan kandungan glukosa darah. Hormon yang menaikan peranan pada Lebih lanjut keadaan ini adalah adrenalin atau epinefrin yang dihasilkan oleh medula adrenal dan norepinefrine yang dihasilkan pada ujung saraf (Ganong 1983). dinyatakan bahwa dalam keadaan cekaman, hormon yang ikut berperan adalah

18

hormon yang berasal dari gertakan hipotalamus. Hipotalamus mensekresikan corticotropin releasing factor (CRF) ke hipofise anterior dan selanjutnya hipofise anterior akan mengeluarkan adrenocorticotropin (ACTH) yang disekresikan ke suluruh tubuh. Kemudian jaringan kortek adrenal akan memberikan tanggapan terhadap ACTH dengan meningkatkan sintesa dan pelepasan hormon steroid, keadaan ini ditandai dengan peningkatan hormon kortisol dalam darah. Rangsang Suhu Panas Rangsang Suhu Dingin

Reseptor Panas

Reseptor Dingin

Hypothalamus

Tiroksin Releasing Hormon (TRH)

Anterior Pituitary T3 dan T4

Tiroksin Stimulating Hormon (TSH)

Kelenjer Tiroid Keterangan : = alur sekresi. = alur penghambat.

Gambar 3 Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu lingkungan (Ganong 1983). Suhu lingkungan dingin akan merangsang produksi tiroksin, akibatnya proses metabolisme sel ditingkatkan dalam taraf yang mencukupi sehingga proses metabolisme pada umumnya dapat terkendali lebih baik (Schmidt 1971). McDowell (1972) mengemukakan bahwa sapi Fries Holstein pada suhu lingkungan 18 dan 300C mempunyai kadar tiroksin secara berturut-turut 0.06 dan 0.04 ug/ml yang berarti terjadi penurunan kandungan tiroksin sebesar 33%. Purwanto et al. (1991) melaporkan bahwa kandungan tiroksin (T3) menurun dari 2.51 menjadi 1.79 ng/ml

19

pada saat suhu lingkungan meningkat dari 10 menjadi 300C. Selain itu dijelaskan bahwa suhu lingkungan dan konsumsi ransum sangat berpengaruh terhadap fisiologis kelenjer gondok. Gambaran suhu lingkungan terhadap konsentrasi hormon T3 dan T4 dilaporkan juga oleh Magdub et al. (1982) dan Nixon et al. (1988) bahwa suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan sintesis hormon-hormon tiroksin. Hal ini berhubungan dengan penghambatan sekresi tiroksin releasing hormon (TRH) dari hipotalamus dan akhirnya keluarnya tiroksin stimulating hormon (TCH) karena ada cekaman panas (Johnson 1985; Nixon et al. 1988).

20

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu dari 8 Februari sampai 21 Juni 2006 meliputi dua kegiatan. Percobaan I secara In-Vitro dilakukan di Laboratorium Fisiologi Nutrisi Balai Penelitian Ternak, Bogor. Percobaan II secara In-Vivo dilakukan di kandang percobaan Ruminansia Besar Balai Penelitian Ternak Ciawi dengan Lokasi Cicadas, Kecamatan Gunung Putri Bogor. Analisis proksimat pakan konsentrat dan rumput gajah dilakukan di Laboratorium Kimia Pakan Balai Penelitian Ternak Ciawi - Bogor, sedangkan analisis glukosa darah dan hormon triiodotironine (T3) serta tetraiodotironine (T4) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam percobaan I (in-vitro) adalah pakan konsentrat yang terdiri atas bungkil kelapa, dedak padi, polard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur, campuran mineral, kromium pikolinat murni dan rumput gajah (Tabel 1). Untuk mengetahui tingkat fermentabilitas ransum yang disuplementasi mineral kromium pikolinat murni digunakan cairan rumen sapi perah. Ternak yang digunakan untuk percobaan II (in-vivo) adalah 12 ekor sapi dara peranakan Fries Holstein (PFH) umur 12 bulan dengan bobot badan 208 217 kg (rataan 213 + 3.05 kg). Peralatan yang digunakan untuk menguji kualitas pakan, kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCB0) dan fermentabilitas ransum (VFA dan NH3) dalam rumen (percobaan I / in-vitro) adalah timbangan elektrik, oven pengering, waterbath, botol gelas, isolatif, biuret, cawan petri dan pipet tetes. Alat yang digunakan pada percobaan II (in-vivo) meliputi kandang individu berukuran 250 x 175 cm, tempat pakan dan air minum individu berukuran 40 x 60 x 40 cm terbuat dari semen, timbangan sapi elektronik merk Allflex FX 1 dengan kapasitas 2000 kg dan kepekaan 1 kg, timbangan konsentrat (Yamato, Shanghai) dengan kapasitas 5 kg, timbangan rumput gajah kapasitas 50 kg, thermometer tubuh (Safety Vivid Yellow Line Clinical Thermometer) untuk mengukur suhu rektal dan hygrometer / thermometer bola basah dan bola kering (Dray-Wet, Shanghai) untuk mengukur kelembaban (%RH) lokasi penelitian, pengukur waktu / Stop Watch (Eurochron, Jerman), stetoscope (Stetoscope, Japan) untuk mengukur denyut

21

jantung, alat pengambil dan penampung darah serta kit T3 dan T4 berlebel (Diagnostic Products Corporation, Los Angeles, CA). Metode Percobaan I : In - Vitro

125

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat fermentabilitas ransum yang disuplementasi kromium pikolinat murni dalam rumen. Percobaan in-vitro dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1963) menggunakan rumen sapi perah. Ransum basal terdiri atas rumput gajah dan konsentrat dengan kandungan protein 15% dan TDN 67%. Komponen dan nilai nutrisi ransum perlakuan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi dan Nilai Gizi Pakan Konsentrat dan Rumput Gajah. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 No 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Bahan Pakan Konsentrat Bungkil Kelapa (%) Dedal Padi (%) Pollard (%) Bgl Klp Sawit (%) Onggok (%) Garam (%) Kapur (%) Camp. Mineral (%) Cr-Pic murni (ppm) Nilai Gizi Pakan Komposisi Cr-Pic 0 28 24 23 11 10 2 1 1 0 Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 28 24 23 11 10 2 1 1 1.5 Komposisi Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 85.87 14.30 16.59 4.03 11.98 0.39 0.86 2.49 1.89 1346 1.68 68.84 3205 85.56 14.23 16.81 4.64 12.13 0.41 0.99 2.92 1.91 1408 3.26 69.25 3391 Cr-Pic 3.0 28 24 23 11 10 2 1 1 3.0 Cr-Pic 4.5 85.12 14.47 16.64 5.29 11.15 0.43 1.02 2.87 1.97 1375 4.69 70.13 3564 Cr-Pic 4.5 28 24 23 11 10 2 1 1 4.5 Rumput Gajah(%BK) 87.72 8.69 33.29 1.94 10.22 0.21 0.42 0.83 0.76 429 0.28 51.03 3032

Bahan Kering (%) 85.00 Protein (%) 14.55 Serat Kasar (%) 16.46 Lamak (%) 3.00 A b u (%) 12.01 Phospor (%) 0.43 Calsium (%) 0.78 2.62 K a l i u m * (%) 1.93 Natrium * (%) C h l o r * (ppm) 1532 Cr-Pic ** (ppm) 0.30 TDN (%) 68.58 GE (kcal/kg) 3167

Sumber :

Hasil analisa Laboratorium Kimia Pakan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. * Hasil analisa Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB. ** Hasil analisa Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

22

Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan pakan dan 3 ulangan (Steel & Torrie 1993). Empat macam ransum perlakuan yang diuji adalah : Cr-Pic 0 = Ransum Basal Balitnak Ciawi (Kontrol).

Cr-Pic 1.5 = Ransum Cr-Pic 0 + 1.5 ppm Cr-pikolinat murni. Cr-Pic 3.0 = Ransum Cr-Pic 0 + 3.0 ppm Cr-pikolinat murni. Cr-Pic 4.5 = Ransum Cr-Pic 0 + 4.5 ppm Cr-pikolinat murni. Parameter yang diukur meliputi kecernaan bahan kering (KCBA) dan kecernaan bahan organik (KCBO) dengan metoda Tilley and Terry 1963, VFA total dengan metoda Kromatografi gas (AOAC 1980), dan NH3 dengan metoda Mikrodifusi Conway (General Laboratory 1966). Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Pengukuran kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1963). Tahap pertama yaitu kecernaan yang dilakukan oleh mikroba rumen dengan menggunakan saliva buatan Mac Dougall yang dicampur dengan cairan rumen sapi perah. Kecernaan microba berjalan selama 48 jam dalam waterbath pada suhu 390C. Setelah periode fermentasi larutan pH 6-8 dilanjutkan dengan kecernaan enzimatik. Uji kecernaan menggunakan sampel bahan pakan (konsentrat dan rumput gajah) dimasukan ke dalam tabung fermentor, lalu ditambah dengan larutan saliva Mac Dougall sebanyak 12 ml pada suhu 390C dan pH 6.5-6.9 dan cairan rumen 8 ml, kemudian diinkubasi secara an-aerob selam 24 jam dalam waterbath. Setelah 24 jam tabung penutup fermentor dibuka dan ditambahkan HgCl2 jenuh sebanyak 0.2 ml untuk mematikan mikroba. Selanjutnya tabung disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah 20 ml larutan pepsin 0.2 % dalam suasana asam. Inkubasi dalam suasana an-aerob selama 24 jam. Endapan disaring dengan kertas saring Nomor 41, k emudian dianalisis kadar bahan kering dan organiknya dengan analisis proksimat (AOAC 1980). Sabagai blanko digunakan cairan rumen tanpa perlakuan. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik dihitung dengan rumus :

23

BK Awal - (BK residu - BK blanko) KCBK = BK Awal BK Awal - (BO residu - BO blanko) KCBO = BO Awal dimana : KCBK = kecernaan bahan kering KCBO = kecernaan bahan organik BK BO = bahan kering = bahan organik X 100%. X 100%.

Pengukuran Kadar VFA Total Analisis VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap (Sutardi 1994). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukan ke dalam tabung destilasi Markham lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses desitilasi

dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai volumenya mencapai 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator sebanyak 2-3 tetes dan kemudian dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna berubah dari merah jambu menjadi bening. Produksi VFA total (mM) dihitung dengan rumus : VFA Total (mM) = (ml titran blanko ml titran sampel) X N-HCl X 1000/5 mM. Pengukuran Kadar N - NH3. Digunakan teknik mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Termos berisi air panas (suhu 40 0C) sebanyak 250 ml, lalu cairan rumen sapi perah sebanyak 75 ml dengan menggunakan stomach tube yang ditampung dalam termos yang air panasnya telah dibuang. Satu gram sample yang akan diperiksa kemudian ditambahkan

dimasukan ke dalam tabung fermentasi (dibuat duplo),

larutan Mac Dougall sebanyak 12 ml (suhu 390C dan pH 6.66.8), selanjutnya ditambahkan cairan rumen sebanyak 8 ml (suhu 390C), lalu dialirkan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup dengan prop karet yang berventilasi. Selanjutnya

tabung fermentasi tadi dimasukan ke dalam waterbath yang bersuhu 39-40 0C dan difermentasi selama 1 jam. Tutup prop dibuka untuk menambahkan HgCl2,

24

kemudian disentrifius berpendingin ( 40C) pada 10.000 rpm. diperoleh ditampung untuk dianalisa terhadap kandungan N-NH3.

Supernatan yang

Cawan Conway yang diolesi vaselin pada bibirnya dan supernatan Conway dimasukan 1 ml Na2CO3 jenuh pada alur cawan Conway yang bersebelahan Kemudian

dengan supernatan, ke dua bahan tersebut tidak boleh bercampur.

diletakkan 1 ml larutan asam borat (HBO3) berindikator dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway, kemudian ditutup rapat dengan isolasi. Selanjutnya cawan Conway digoyang-goyang dan dimiringkan agar Na2CO3 dan supernatan tercampur merata, lalu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Selanjutnya tutup dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan HCl 0.005 N sampai warna berubah menjadi kemerahan. Prosedur ini juga dilakukan pada contoh fermentasi blanko (cairan rumen ditambah 12 ml larutan Mac Dougall, tanpa contoh pakan). Kadar N-NH3 dapat dihitung dengan rumus : N-NH3 (mM) = ( Va Vo) X N HCl X 1000. dimana Va = volume titrasi sampel. Vo = volema titrasi sampel cairan rumen tanpa sampel (blanko).

Analisis Data Keragaman semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan model matematika dari Rancanagn Acak Lengkap (RAL) menurut Steel and Torrie (1993) adalah : dimana : Yij

Y ij = +

+ S ij.

= Nilai pengamatan ke i, j. = Nilai tengah umum.

= Pengaruh faktor ransum percobaan pada taraf ke i.

S ij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan taraf ke i. i j = Cr-Pic 0; Cr-Pic 1.5; Cr-Pic 3.0 dan 4.5 Cr-Pic. = Ulangan 1, 2 dan 3.

25

Percobaan II : In Vivo Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui suplementasi mineral kromium pikolinat murni yang terbaik dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis (suhu rektal, pernafasan dan denyut jantung) serta kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3) dan hormon tetraiodotironine (T4) yang mampu mendukung pertumbuhan sapi perah dara secara optimal. Percobaan menggunakan sapi dara peranakan Fries Holstein (PFH) umur 12 bulan dengan bobot badan 208 217 kg (rataan 213 + 3.05 kg) sebanyak 12 ekor, masing-masing diikat didekat tempat pakan. Sapi-sapi tersebut dibagi secara acak menjadi 4 kelompok perlakuan masing-masing terdiri dari 3 ekor dengan rataan bobot badan 212.67 + 4.04 kg (CrPic 0/kontrol); 211.67 + 3.21 kg (Cr-Pic 1.5); 214.33 + 3.06 kg (Cr-Pic 3.0) dan 213.33 + 3.06 kg (Cr-Pic 4.5). Pakan yang diberikan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat produksi Program Ruminansia Besar Balai Penelitian Ternak Ciawi, sedangkan hijauan rumput gajah diperoleh dari kebun rumput sekitar lokasi penelitian. Pakan hijauan rumput gajah sebanyak 30 kg/ekor/hari diberikan dua kali sehari yaitu pada jam 10.00 dan 16.00, sedangkan konsentrat diberikan 1 kali Pakan rumput gajah dan dalam sehari sebanyak 2 .5 kg pada jam 07.00 pagi.

konsentrat sebelum diberikan, terlebih dahulu ditimbang, begitu juga dengan sisanya setelah 24 jam dari pemberian awal, guna mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi oleh masing-masing sapi perah penelitian. Pemberian air minum ad libitum . Sebagai perlakuan diberikan mineral kromium pikolinate murni produksi Biotechnolog Center, Kentucky USA, sebanyak : 0 ppm (Cr-Pic 0 Altech, Inc.

/Kontrol); 1.5 ppm (Cr-Pic 1.5); 3.0 ppm (Cr-Pic 3.0) dan 4,5 ppm (Cr-Pic 4.5). Komposisi dan nilai gizi pakan konsentrat dan rumput gajah yang diberikan sama dengan ransum percobaan I. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang individu tanpa dinding berukuran 250 x 175 cm. Lantai kandang terbuat dari semen dan atap genteng. Tempat pakan individu berukuran 40 x 60 x 40 cm terbuat dari semen, begitu juga dengan tempat air minum individu berukuran sama dengan tempat pakan. Pemberian pakan perlakuan dilakukan selama 12 minggu dengan terlebih dahulu diawali dengan masa preliminari selama 1 minggu. Jumlah pakan yang diberikan dihitung berdasarkan bobot badan pada minggu sebelumnya ditambah

26

2 kg (chaleng feed regim ). Cara ini dilakukan agar ternak tidak kurangan pakan dan dapat menampilkan produksi maksimal sesuai genetiknya. Air minum diberikan ad libitum . Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan (Steel & Torrie 1993). Empat macam perlakuan yang diuji sama dengan percobaan I. Parameter yang diamati selama penelitian meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum, kondisi fisiologis ternak (suhu rektal, pernafasan dan denyut jantung), perubahan glucosa darah, kadar hormon T3 dan T4 pada waktu temperatur kandang terendah (jam 06.00 pagi) dan tertinggi (jam 14.00 siang). Pencatatan data fisiologis dilakukan setiap hari selama 7 hari masa percobaan pencernaan pakan yaitu pada pagi hari jam 06.00 dan siang hari jam 14.00, penimbangan sapi dilakukan pada minggu ke 0; 3; 6; 9 dan 12 yang dilakukan pada jam 07.00 sebelum sapi diberi pakan. Pakan ditimbang setiap hari pada jam 06.30. Untuk mengetahui perubahan glukosa dan hormon dilakukan pengambilan darah pada pertengahan minggu kolekting pada pagi hari jam 06.00 dan siang hari jam 14.00. Bobot Badan Penimbangan bobot badan sapi dilakukan tiga minggu sekali, yaitu pada minggu ke 0 (bobot badan awal), minggu ke 3; 6; 9 dan minggu ke 12 (bobot badan akhir). Penimbangan dilakukan pada jam 07.00 sebelum sapi diberi makan.

Rumus pengukuran pertambahan bobot badan : W2 PBBH = W


1

t2 t1
dimana : PBB = pertambahan bobot badan perhari. W W t2 t1
2 1

= bobot badan sapi pada akhir penelitian (g) = bobot badan pada awal penelitian (g). = waktu akhir penelitian. = waktu awal penelitian.

27

Konsumsi Ransum Rataan konsumsi bahan kering ransum per ekor per hari diperoleh dengan jalan menimbang pakan segar yang diberikan dikalikan dengan kandungan bahan keringnya, kemudian dikurangi sisa pakan dan dikalikan dengan bahan kering sisa pakan tersebut. Konversi Ransum Konversi ransum adalah perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan, dengan rumus sebagai berikut : Jumlah ransum yang dikonsumsi (g) Konversi ransum = Pertambahan bobot badan (g) Analisa Kadar Glukosa Darah Analisis kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan metode GOD-PAP, sesuai petunjuk kerja KIT nomer katalog 676543 (Mannheim 1998) yang diukur melalui spectronic 21 spectrophotometer. Plasma darah dipipet ke dalam tabung sentrifuge 0.1 ml dan 1 ml URAC, diaduk kemudian disentrifuse pada kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang jernih diambil 0.1 ml untuk dianalisis. Dibuat larutan reagen dengan mencelupkan satu batang reagen strip ke dalam larutan penyangga selama 5 menit, lalu dikeluarkan dan dibuang reagen strip tersebut. Larutan baku (standard) dimasukkan ke dalam kuvet berdiameter 1 cm sebanyak 0.1 ml dan ditambahkan 2 ml larutan reagen, kemudian dicampur secara homogen dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar (27C). Kuvet dimasukkan ke dalam spectrophotometer untuk mengukur absorbannya. Larutan sampel (supernatan) dimasukkan ke dalam kuvet berdiameter 1 cm sebanyak 0.1 ml dan ditambahkan 2 ml larutan reagen, kemudian dicampur secara homogen dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar (27C). Kuvet dimasukkan ke dalam spectrophotometer dan absorban diukur pada panjang gelombang 510 nm. Kadar glukosa darah diperoleh dengan membandingkan nilai absorban standard dikalikan 100 (Mannheim 1998), yang dapat dituliskan sebagai berikut : X 100%.

28

A sampel C = A standar dimana : C A sampel A standar = kadar glukosa darah. = nilai absorban sampel. = nilai absorban standard. X 100

Analisa Hormon Triiodotironine (T3) Tabung-tabung polypropylene yang telah mengandung anti boda dan mampu mengikat
125

I diberi label dengan jelas untuk total count (total

125

I yang diikat

antibodi), NSB (non specific bounding), standar dan sampel yang akan dianalisis. Tabung total count, NSB dan standar dibuat duplo, sedang u ntuk sampel dibuat tunggal. Setelah pelabelan, tiap-tiap tabung ditambahkan 100 l calibrator (kontrol 0 ng/dl) ke dalam tabung NSB dan standar 0 ng/dl, demikian pula untuk standar yang lain, kemudian ditambahkan 100 l sampel serum darah. Tiap-tiap tabung standar dan tabung sampel yang akan diukur (kecuali tabung NSB) ditambah 1 ml
125

I, kemudian diaduk dengan vortex + 1 menit. Setelah selesai, semua tabung

diinkubasikan ke dalam inkubator bersuhu 37 0C selama 120 menit, kemudian semua cairan di dalam tabung dibuang, kecuali tabung total count dan dikeringkan selama 23 menit. Endapan yang ada dicacah dengan menggunakan pencacah Gamma counter ARC-500 selama 1 menit yang hasilnya dicetak pada printer Canon Canola SX-320. Untuk menghitung konsentrasi T3, hasil cacahan radio aktivitas standar diolah untuk mendapatkan grafik standar, sedangkan hasil pencacahan sampel dihitung berdasarkan persamaan regresi linier dari standar yang didapatkan. Analisa Hormon Tetraiodotironine ( T4 ) Tabung-tabung polypropylene yang telah mengandung anti bodi dan mampu mengikat
125

I diberi lebel dengan jelas untuk total count total

125

I yang diikat

antibodi), NSB (non specific bounding), standar dan sampel yang akan dianalisis. Tabung total count, NSB dan standar dibuat duplo, sedang untuk sampel dibuat tunggal. Setelah pelabelan, tiap-tiap tabung ditambahkan 25 l calibrator (kontrol 0 g/dl) ke dalam tabung NSB dan standar 0 g/dl, demikian pula untuk standarstandar yang lain, kemudian ditambahkan 25 l sampel serum darah. Tiap-tiap

29

tabung standar dan tabung-tabung sample yang akan diukur (kecuali tabung NSB) ditambahkan 1 ml
125

I kemudian diaduk dengan vortex + 1 menit. Setelah selesai

semua tabung diinkubasikan ke dalam inkubator bersuhu 370C selama 60 menit, kemudian semua cairan di dalam tabung dibuang, kecuali tabung total count dan dikeringkan selama 23 menit. Endapan yang ada dicacah dengan menggunakan pencacah Gamma counter ARC-500 selama 1 menit yang hasilnya dicetak pada printer Canon Canola SX-320. Untuk menghitung konsentrasi hormon tetraiodotironine (T4), hasil cacahan radio aktivitas standar diolah untuk mendapatkan grafik standar, sedangkan hasil pencacahan sampel dihitung berdasarkan persamaan regresi linier dari standar yang didapatkan. Suhu Rektal Suhu rectal diukur dengan cara memasukkan termometer tubuh ke dalam rektal/anus sedalam 4-5 cm selama 5-10 menit. Alat yang digunakan adalah termometer tubuh. Pengukuran dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pada jam 06.00 dan siang jam 14.00. Denyut Jantung Pengukuran frekuensi denyut jantung dilakukan dengan memakai Stetoskop di bagian dada kiri selama satu menit. Pengukuran dilakukan dua kali sehari yaitu pagi pada jam 06.00 dan siang jam 14.00. Pernafasan Pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu rektal, yaitu dengan menghitung pernafasan dimulut sapi setiap menitnya. Pengukuran pernafasan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi jam 06.00 dan siang jam 14.00.

Analisis Data Keragaman semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan model matematika dari Rancanagn Acak Lengkap (RAL) menurut Steel and Torrie (1993) adalah :

Y ij = +

+ S ij.

30

dimana :

Yij

= Nilai pengamatan ke i, j. = Nilai tengah umum.

= Pengaruh faktor ransum percobaan pada taraf ke i.

S ij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan taraf ke i. i j = Cr-Pic 0; Cr-Pic 1.5; Cr-Pic 3.0 dan Cr-Pic 4.5. = Ulangan 1, 2 dan 3.

31

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Lingkungan Lokasi Penelitian Laboratorium kandang percobaan Ruminansia Besar Balai Penelitian Ternak Cicadas terletak di Desa Cicadas Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, kurang lebih 60 km ke arah utara kota Bogor. Keadaan topografi dataran rendah dengan ketinggian 45 m dari permukaan laut, curah hujan setiap tahun bervariasi antara 1500 dan 2500 mm. Keadaan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indek suhu kelembaban (ISK) selama penelitian disajikan pada Tabel 4. Rataan suhu lingkungan pada pukul 05.00 adalah 24.33OC yang bervariasi antara 25.823.6OC dan kelembaban 85.82% yang bervariasi antara 89.178.0%. Hasil perhitungan ISK pada waktu tersebut adalah 70.12 bervariasi antara 70.867.3. Pada pagi hari kondisi lingkungan masih nyaman. Semakin siang terjadi kenaikan suhu dan penurunan kelembaban, yang mengakibatkan nilai ISK semakin tinggi tidak nyaman bagi ternak. Tabel 4 Rataan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indek suhu kelembaban (ISK) di lokasi penelitian.
Waktu Pengamatan (pukul) 05:00 06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00

sehingga

keadaan lingkungan menjadi

Suhu Lingkungan ( 0C )
(Max Min) (25.8 23.6) (26.3 24.1) (27.4 24.8) (28.9 25.0) (29.1 25.7) (30.0 26.1) (31.2 27.5) (32.6 28.3) (33.5 28.7) (34.2 29.5) (32.9 28.9) (32.1 27.5) (29.5 27.1) (27.8 25.9) (29.5 26.1) (29.2 25.7) (28.0 25.4) (27.2 24.5) Rata

Kelembaban Udara (% RH)


2

ISK
(Max Min) (70.8 67.3) (75.3 68.9) (77.9 70.2) (78.4 70.0) (81.7 72.1) (83.1 72.4) (83.8 75.8) (86.2 76.7) (86.9 80.6) (88.3 79.9) (87.7 77.3) (85.1 76.8) (84.2 74.2) (80.9 75.7) (79.8 72.2) (78.2 71.6) (77.6 70.3) (75.4 70.2) Rata2 70.12 72.45 73.38 75.63 76.73 79.25 80.14 82.47 83.02 84.50 82.73 79.34 78.81 76.24 75.13 73.67 73.15 71.23

(Max Min) (89.1 78.0) (87.4 76.2) (85.2 72.5) (82.3 71.8) (82.5 65.3) (79.7 63.7) (78.8 60.9) (75.5 59.1) (75.2 56.4) (72.6 50.2) (74.0 54.8) (72.9 55.5) (73.8 57.9) (78.0 58.6) (79.3 62.5) (81.5 63.3) (82.0 67.4) (85.2 70.2)

Rata

24.33 25.29 25.54 26.52 26.76 28.15 28.78 30.43 30.97 32.21 31.79 29.47 28.51 26.65 27.80 27.37 26.50 26.17

85.82 80.57 81.90 77.44 76.63 72.85 72.58 67.02 65.26 57.57 61.30 66.94 65.53 70.41 72.07 71.23 74.82 74.56

Keterangan : Pengukuran dilakukan Tanggal 4 21 Maret 2006.

32

Keadaan tidak nyaman yaitu pada ISK diatas 7677 (Esmay 1978) mulai tercapai antara pukul 09.0010.00 pada saat suhu lingkungan 26.76OC dengan kelembaban 76.73% dan ISK antara 81.772.1. Pada keadaan ini sapi telah mulai menunjukkan keadaan tidak nyaman. Hafez (1968) mengemukakan bahwa respon awal pada sapi dalam keadaan cekaman panas adalah perubahan frekuensi pernafasan, kardiovaskuler dan tingkah laku, respon kedua adalah proses metabolik, endokrin dan enzimatik. Rataan nilai ISK tertinggi (84.50) dicapai pada pukul 14.00. Pada sore hari suhu lingkungan mulai menurun sedangkan kelembaban mulai naik sehingga ISK mulai menurun. Keadaan nyaman yaitu pada ISK di bawah 76 dicapai pada pukul 19.00 (75.13 dengan variasi antara 79.872.2). Pengamatan ini menunjukan bahwa sapi perah di daerah penelitian berada dalam keadaan tidak nyaman mulai pukul 10.00 sampai pukul 18.00. Indikator Fermentasi Rumen Rataan kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), serta kandungan asam lemak terbang (VFA) dan NH3 dapat terlihat pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum dapat meningkatkan KCBK, KCBO, kandungan VFA dan NH3 dengan nyata (P < 0.01). KCBK ransum yang mengandung kromium sebesar 3.0 ppm (Cr-Pic 3.0) dan 4.5 ppm (Cr-Pic 4.5) memberikan hasil yang nyata berbeda (P < 0.05) dengan ransum yang mengandung 01.5 ppm kromium (P < 0.05). Semakin tinggi level suplementasi kromium pikolinat murni semakin tinggi pula KCBK dan KCBO. Tabel 5 Rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik KCBO), NH3 dan VFA sapi-sapi perlakuan. Perlakuan Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan KCBK (%) 66.72 71.03 73.62 72.67
a a b b

KCBO (%) 69.21


a b

NH3 (mM) 2.03 2.38


a b c c

VFA (mM) 73.70 81.12 92.85 90.39


a b c c

+ 1.91 + 0.92 + 1.39 + 0.93 + 2.64

+ 0.28

+ 0.14 + 0.16

+ 1.32 + 1.00 + 0.79 + 0.85

72.19 + 1.12 72.47 71.81


b b

+ 0.49 + 0.94

2.87 + 0.25 2.65 + 0.26

71.01

71.42 + 1.29

2.48 + 0.31

84.51 + 7.62

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

33

Hal ini berarti suplementasi kromium pikolinat murni ke dalam ransum cukup efisien karena dapat menghasilkan KCBK dan KCBO yang lebih tinggi. Hasil yang sama juga terdapat pada penelitian Lestantini (2006) bahwa suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 0 hingga 4 ppm pada sapi potong dapat meningkatkan KCBK dan KCBO, semakin tinggi pula KCBK dan KCBO. Jayanegara (2003) mendapatkan bahwa suplementasi kromium organik lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan kromium an-organik terhadap KCBK dan peningkatan jumlah pemberian menaikkan KCBO. Pemberian kromium organik dengan level 0 -4 ppm dalam ransum sapi menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih baik dan lebih stabil, sedangkan level pemberian kromium anorganik yang terbaik adalah sebesar 4 ppm (Jayanegara 2003). Kadar NH3 secara keseluruhan berbeda antar perlakuan (P < 0.05) dan tergolong rendah (2.032.87 mM) untuk mencukupi kebutuhan optimal sntesis protein mikroba rumen sebesar 3.75 mM (Satter & Slyter 1974). Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian protein ransum baik kontrol maupun yang disuplementasi termasuk protein yang tahan degradasi di rumen. Beberapa bahan sumber protein yang lolos dari degradasi dedak padi, polar, bungkil kelapa sawit dengan nilai ketahanan 82.2% (Tomlinson et al. 1997; Schor & Gagliostro 2001). Dalam kondisi kandungan NH3 relatif rendah dalam rumen, sedangkan kandungan VFA normal, maka tidak terjadi kehilangan N hasil pencernaan rumen, maka diperkirakan pH cairan rumen menurun sehingga mempengaruhi aktifitas mikroba. Produksi VFA terlihat meningkat dengan nyata (P < 0.05) sejalan dengan meningkatnya suplementasi kromium. Hal ini menunjukkan bahwa kromium essensial bagi mikroba rumen. Suplementasi kromium menghasilkan produksi VFA (mM) dalam kisaran normal dan layak bagi kelangsungan hidup mikroba rumen ternak ruminansia besar, yakni antara 80160 mM (Suryapratama 1999). Bobot Badan, Konsumsi dan Konversi Ransum Dengan bertambahnya umur dan bobot badan, konsumsi pakan terus meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhan zat-zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan efisiensi pakan per-ekor selama 9 minggu penelitian terlihat pada Tabel 6 berikut. semakin tinggi suplementasi kromium

34

Tabel 6 Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum sapi perlakuan. Perlakuan Cr-Pic 0 Cr-Pic 1,5 Cr-Pic 3,0 Cr-Pic 4,5 Rataan PBB (kg/ekor/63 hr) 25.67 28.33 30.00 29.67 28.47
a ab b b

PBBH (g/ekor/ hr) 407.33 449.67 476.00 470.67 450.83


a

Konsumsi Ransum (g BK) 5988 6199 6214 6231 6158


a b b b

Konversi Ransum 0.18 + 0.03 0.19 + 0.06 0.21 + 0.07 0.20 + 0.04 0.19 + 0.02
a a a a

+ 1.69 + 1.25 + 0.82 + 1.24 + 1.88

+ 9.74 + 11.89 + 7.78 + 6.13 + 31.21

+ 18.55 + 20.67 + 21.82 + 25.39 + 98.80

ab b b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Pertambahan bobot badan yang semakin tinggi diduga karena naiknya konsumsi pakan sehingga dapat menaikkan konversi penggunaan ransum, hal ini menunjukkan bahwa kromium pikolinat murni yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan baik dan efisien oleh ternak percobaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi pada perlakuan Cr-Pic 3.0 dan Cr-Pic 4.5 lebih besar (P < 0,05) dibandingkan sapi-sapi tanpa perlakuan (kontrol), sedangkan kromium kadar rendah (Cr-Pic 1.5) hanya sedikit (P > 0,05) menaikan pertambahan bobot badan (10.5 %). Begitu juga antara sapi pada perlakuan Cr-Pic 3.0 dengan Cr-Pic 4.5 dan dengan Cr-Pic 0 walaupun terlihat meningkat namun tidak menunjukkan perbedaan pertambahan bobot badan yang nyata. Pertambahan bobot badan sapi percobaan pada perlakuan Cr-Pic 3.0 paling tinggi sedangkan urutan berikutnya adalah perlakuan Cr-Pic 4.5; Cr-Pic 1.5 dan CrPic 0 (Tabel 8) masing-masing dengan perbedaan sebesar 1.1 % (5 g); 5.9% (26 g) dan 16.9% (69 g) per hari. Pertambahan bobot badan sapi perlakuan Cr-Pic 4.5 lebih besar dibandingkan dengan pertambahan bobot badan sapi perlakuan Cr-Pic 1.5 dan Cr-Pic 0, masing-masing sebesar 4.7% (21 g) dan 15.6% (63 g) diatas nilai pada perlakuan Cr-Pic 4.5, sedangkan pertambahan bobot badan sapi pada perlakuan Cr-Pic 1.5 adalah 10.4 % (42 g) lebih besar dibandingkan sapi Cr-Pic 0 (kontrol). Keadaan tersebut menunjukan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 3.0 ppm dalam ransum sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah memberikan pertambahan bobot badan lebih besar dibandingkan dengan

35

suplementasi 4.5 ppm dan 1.5 ppm pada kondisi yang sama-sama mendapat cekaman panas. Berdasarkan penampilan pertambahan bobot badan yang nyata meningkat antara Cr-Pic 0 dan Cr-Pic 1.5 dengan Cr-Pic 3.0 dan Cr-Pic 4.5 serta konsumsi pakan yang juga meningkat dengan nyata antara Cr-Pic 0 dan Cr-Pic 1.5 dengan CrPic 3.0 dan Cr-Pic 4.5, menyebabkan efisiensi pakan sapi-sapi pada perlakuan CrPic 3.0 dan Cr-Pic 4.5 nyata lebih besar (P < 0,05) dibandingkan Cr-Pic 0 dan Cr-Pic 1.5. Namun efisiensi pakan sapi-sapi pada perlakuan Cr-Pic 3.0 dengan Cr-Pic 4.5 dan Cr-Pic 0 dengan Cr-Pic 1.5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai efisiensi pakan pada penelitian ini berkisar 0.18 dan 0.21 sesuai dengan hasil penelitian Ermanto (1995) bahwa sapi PFH muda yang mendapatkan berbagai perlakuan pakan, efisiensi pakan yang ditampilkan berkisar 0.17 dan 0.23. Suplementasi mineral kromium pikolinat murni kedalam ransum sebesar 3.0 dan 4.5 ppm ternyata dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan dengan nyata (P < 0.05). Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya suplementasi kromium pikolinat murni, pengaruh cekaman panas (stress) akibat lingkungan yang panas dapat mempengaruhi ternak untuk menurunkan kondisi stress. Temperatur yang tinggi akan menurunkan konsumsi pakan dan bobot badan, dengan adanya suplementasi kromium pikolinat murni, ternyata pengaruh suhu tinggi yang mengakibatkan terjadinya stress akibat cekaman panas dapat berkurang sehingga konsumsi pakan dan bobot badan dapat meningkat. Hal ini sama dengan pendapat Pollard et al. (2000) yang menyatakan bahwa suplementasi kromium organik dapat memperbaiki penampilan ternak. Menurut Mowat (1994a) penambahan mineral kromium dapat meningkatkan pertambahan bobot badan hingga 30% tergantung pada tingkat stress (keadaan nutrisi, lingkungan dan penyakit). Konsentrat dalam percobaan ini mengandung pati (polar, dedak, bungkil sawit) yang diduga akan dihidrolisis di usus menjadi glukosa untuk diserap oleh darah. Dalam keadaan normal bertambahnya glukosa dalam darah akan meningkatkan sekresi hormon insulin (Yang et al. 1996) yang memasukkannya ke dalam sel jaringan tubuh, sehingga kadar glukosa dalam darah menjadi normal. Namun, karena protein rumput rendah (< 6 %), tidak mendukung hidup pokok (kebutuhan mikroba), yang seharusnya kandungan protein kasar = 7-8%, konsentrat tidaklah sepenuhnya dipakai untuk pertambahan bobot badan. Dengan demikian

36

ransum ini belum dapat dijadikan pedoman untuk pertumbuhan yang maksimal. Dalam keadaan ini kromium masih menaikan kecernaan dan konsumsi pakan, dan uptake glukosa dari darah sehingga menaikkan pertambahan bobot badan. Dalam manipulasi kondisi rumen seperti defaunasi pemberian probiotik dan lain-lain (Van Soest et al. 1991), sering dijumpai perubahan-perubahan nyata bila ransum bermutu rendah. Tidak diketahui pengaruh kromium ini pada pakan yang bermutu tinggi, apakah dapat menaikkan konsumsi, ataukah berpotensi menghasilkan substrat penghasil energi akibat meningkatnya fermentasi di rumen. Suplementasi kromium pikolinat murni bermanfaat menurunkan stress (Mowat 1994). Bukti lain yang mendukung adanya stress pada penelitian ini ditunjukan pada kandungan glukosa darah yang tinggi (Tabel 12). Utilisasi zat makanan melalui pengambilan glukosa oleh sel dalam kondisi tersebut sangat tinggi sehingga suplementasi kromium menjadi efektif. Suhu Tubuh Ternak Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ di luar tubuh. Rataan suhu tubuh pada pagi hari (pukul 06.00) berkisar antara 38.05 dan 39.760C (Tabel 9) masih berada dalam kisaran suhu tubuh normal yaitu antara 38.0039.800C (Williamson & Payne 1978). Namun lebih tinggi dari suhu tubuh normal sapi FH hasil perhitungan Purwanto et al. (1995) yaitu berkisar antara 38.32 dan 38.630C (suhu udara berkisar 12 dan 240C) dan juga lebih tinggi dari hasil pengukuran Kibler (1962) yaitu 38.75 0C dan 38.970C (suhu ruang berkisar 100C dan 26.67 0C) maupun Sastry (1980) dan Thomas (1980) yaitu sekitar 38.90C, sedangkan suhu tubuh waktu siang hari cendrung diatas suhu tubuh normal, yaitu berkisar 40.01 0C dan 41.370C. Keadaan tersebut menunjukan bahwa sapisapi penelitian mendapat cekaman panas waktu siang hari nyata lebih besar dibandingkan dengan waktu pagi hari yang ditunjukkan dengan keadaan suhu lingkungan yang lebih besar (Tabel 7), sehingga suhu tubuh siang hari nyata lebih panas. Besarnya cekaman panas yang dicerminkan oleh nilai suhu tubuh sebagian dipengaruhi oleh suhu kulit. Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima ransangan panas atau ransangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus anterior bagian pre optic . Ransangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas yang juga di hipotalamus untuk

37

melakukan usaha-usaha penurunan perolehan atau pembuangan panas (Ganong 1983). Panas yang diterima kulit berbeda pada waktu pagi dan siang hari, maka berpengaruh pula terhadap banyaknya perolehan panas, sehingga akan menyebabkan perbedaan pada suhu tubuh. Keadaan tersebut terlihat bahwa suhu tubuh pada waktu pagi hari lebih rendah dibandingkan pada waktu siang hari. Tabel 7 Rataan suhu tubuh sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari. Perlakuan Pagi
................................................................... ( a a b b

Waktu Pengamatan Siang


O

Rataan
C ) ....................................................................

Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan

39.76 39.19 38.05 38.72 38.93

+ + + + +

0.29 0.18 0.23 0.25 0.63

41.37 41.12 40.01 40.44 40.74

+ + + + +

0.17 0.21 0.28 0.26 0.54

40.57 40.16 39.03 39.58 39.84

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa rataan suhu tubuh pada pagi hari adalah 38.93OC lebih rendah 1.81OC dibandingkan suhu tubuh pada siang hari. Pada pagi hari keadaan masih nyaman dengan nilai ISK 72.45 pada pukul 06.00 sedangkan pada siang hari rataan suhu tubuh meningkat 1.81OC dibandingkan suhu tubuh pada pagi hari. Hasil perhitungan suhu tubuh sapi-sapi penelitian pada waktu pagi dan siang hari menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan suplementasi kromium pikolinat murni menyebabkan terjadinya perbedaan suhu tubuh. Hal tersebut terlihat bahwa suhu tubuh sapi-sapi yang diberi suplementasi kromium pikolinat murni level 4.5 ppm menghasilkan pengurangan cekaman panas dengan cara menurunkan suhu tubuh pada siangnya menjadi 40.0140.44OC, yang semula 41.37OC. Dalam level rendah (1.5 ppm) kromium tidak seberapa memperbaiki kenyaman suhu tubuh dari cekaman panas (Tabel 7). Pada pukul 14.00 siang hari rataan suhu lingkungan adalah 40.24OC, nilai ISK mencapai 84.50 sehingga keadan ini sudah tidak nyaman lagi bagi ternak.

38

Denyut Jantung Ternak Rataan frekuensi denyut jantung sapi penelitian bervariasi antara 78.41 80.11 kali per menit untuk pagi hari dan 89.0391.33 kali per menit untuk siang hari. Denyut jantung sapi penelitian pada pagi hari masih dalam kisaran denyut jantung normal. Menurut Worstell dan Brody (1953) bahwa kisaran normal denyut jantung sapi yaitu antara 6690 kali per menit dan lebih besar dibandingkan denyut jantung sapi dara FH yang dipelihara ruangan bersuhu netral sesuai laporan Kibler (1962), yaitu antara 73 dan 74 kali per menit (suhu ruangan 26.67OC) maupun Purwanto et al. (1995) yaitu antara 61 dan 67 kali per menit (suhu ruangan 24OC). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi percobaan menderita cekaman panas. Pada Tabel 8 terlihat bahwa rataan frekuensi denyut jantung tertinggi (91.33 kali per menit) terdapat pada kelompok tanpa suplementasi kromium pikolinat murni (Cr-Pic 0) waktu siang hari, sedangkan rataan terkecil pada kelompok perlakuan suplementasi kromium pikolinat murni 4.5 ppm waktu pagi hari (78.41 kali per menit). Perbedaan ini diakibatkan karena perbedaan suhu lingkungan yang berbeda pula antara pagi dan siang. Tabel 8 Rataan denyut jantung sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari. Perlakuan Pagi
........................................................ a

Waktu Pengamatan Siang

Rataan

( kali per menit ) ........................................................

Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan

80.11

0.42

91.33 90.87 88.94 89.03 90.04

a a b b

+ + + + +

0.54 0.36 0.43 0.44 1.07

85.72 85.35 83.96 83.72 84.69 + 0.86

79.82 78.98 78.41 79.33

ab bc c

+ + + +

0.37 0.48 0.39 0.67

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Frekuensi denyut jantung sapi-sapi penelitian pada siang hari menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P< 0.01) akibat suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 3.0 dan 4.5 ppm. Keadaan tersebut menyebabkan respon termoregulasi (suhu permukaan kulit), suhu rektal dan frekuensi pernafasan berbeda, sehingga denyut jantung juga berbeda. Sapi yang ada di dalam kandang dengan cekaman panas yang tinggi, frekuensi denyut jantung akan lebih tinggi apabila mengkonsumsi

39

pakan dalam jumlah yang banyak (konsumsi energi) (Purwanto et al. 1993a). Peningkatan denyut jantung tersebut merupakan upaya peningkatan fungsi jantung untuk mendistribusikan hasil metabolisme pakan yang dikonsumsi maupun karena aktifitas makan itu sendiri (Ganong 1983). Tetapi antara suplementasi 1.5 ppm dengan 3.0 ppm tidak menunjukkan perbedaan. Frekuensi Pernafasan Ternak Rataan frekuensi pernafasan sapi penelitian terlihat pada Tabel 9. Hasil

pengamatan pagi hari berkisar antara 46.3149.67 kali per menit masih dalam kisaran frekuensi pernafasan normal sapi FH sesuai laporan Kibler (1962) yaitu berkisar antara 3759 kali per menit (suhu ruang 20OC26.67OC). Namun hasil pengukuran frekuensi pernafasan siang hari berkisar 62.9965.82 kali per menit cendrung lebih tinggi dari keadaan normal. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi penelitian berusaha membuang panas melalui pernafasan pada waktu siang hari lebih besar dibandingkan pagi hari. Tabel 9 Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari. Perlakuan Pagi
........................................................ a

Waktu Pengamatan Siang

Rataan

( kali per menit ) ........................................................

Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan

49.67

+ 0.33 + 1.01 + 1.00

65,82 64.48 60.03 62.99 63.33

a a b c

+ 0.33 + 0.59 + 0.63 + 0.76 + 1.15

57.75 56.35 53.17 55.22 55.62 + 1.68

48.21 46.31 47.45 47.91

ab ab b

+ 0.57 + 1.22

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Hal ini menunjukkan bahwa beban panas yang diterima sapi-sapi di dalam kandang perlakuan pada waktu siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Akibatnya sapi-sapi yang ada di dalam kandang melakukan usaha pelepasan panas melalui mekanisme evaporative heat loss waktu siang hari lebih tinggi dingkan dengan waktu pagi hari. Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi pada waktu siang hari dicatat (63.33 + 1.22 kali permenit) lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran di pagi hari (47.91 + diban-

40

1.22 kali permenit). Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa semakin tinggi suhu udara akan semakin meningkatkan pula tambahan panas yang diterima sapisapi di dalamnya (Kibler & Broody 1953; Purwanto et al. 1995), sehingga sapi-sapi berusaha meningkatkan pembuangan panas tubuh dengan melakukan penurunan volume tidal (volume inspirasi dan ekspirasi). Akibat dari keadaan tersebut terjadi peningkatan frekuensi pernafasan (Kibler & Broody 1953; Broody 1956; Robertshaw 1985; Purwanto et al. 1995). Proses utama untuk membuang panas pada sapi-sapi yang ada di dalam cekaman panas adalah dengan mekanisme evaporative heat lost yaitu melalui kelenjer keringat di kulit (sweating) dan pernafasan (panting) (McLean & Calvert 1972). Apabila sapi-sapi menerima panas lebih besar dari usaha pelepasannya, maka sapi berusaha membuang tambahan panas (heat gain) ke luar tubuh dengan cara memindahkan panas dari organ-organ di dalam tubuh ke bagian terluar dari organ tubuh terutama adalah kelenjer keringat di kulit dan kelenjer mukosa di sepanjang saluran pernafasan (Ganong 1983; Purwanto et al. 1995). Suhu udara sekeliling yang tinggi akan berakibat pada peningkatan reaksi fisiologis tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap suhu udara sekeliling yang tinggi. Dalam hal ini antara lain terjadi peningkatan frekuensi pernafasan dan denyut jantung. Meningkatnya frekuensi pernafasan adalah reaksi fisiologis tubuh untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh. Sedangkan meningkatnya frekuensi denyut jantung adalah untuk mempercepat pengaliran darah yang berfungsi sebagai transportasi oksigen dan panas (Mullick et al. 1952). Appleman & Delouche (1958) menyatakan bahwa, suhu udara dalam kandang yang lebih dari 30OC, disamping akan berakibat pada penurunan konsumsi energi, juga mengakibatkan penggunaan energi yang tidak efisien lagi, karena sejumlah energi yang seyogyanya digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan dan produksi susu terpaksa digunakan untuk reaksi-reaksi fisiologik tubuh. Whyte (1957) mengutarakan bahwa, energi yang tersedia terlebih dahulu digunakan untuk kebutuhan pokok dan selebihnya baru digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan dan produksi susu. Kadar Glukosa Darah. Pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah diperlihatkan pada Tabel 10. Kadar glukosa darah dari sapi-sapi penelitian diukur sebanyak 2 kali. Darah diambil pada pagi hari jam 09.00 dimana sapi-sapi penelitian sebelumnya

41

dipuasakan selama 12 jam yaitu mulai dari jam 20.00 malam sampai jam 09.00 pagi dan darah diambil pada siang hari jam 13.00 yaitu pada saat suhu lingkungan tinggi. Pengambilan darah yang kedua ini sapi-sapi penelitian sudah diberi makan selama 3 jam. Tabel 10 Rataan kandungan glukosa darah sapi-sapi perlakuan sebelum dan sesudah diberi makan. Perlakuan Waktu Pengambilan Darah Sebelum diberi makan Sesudah diberi makan
( mg / dl ) ...............................................................
a b c d

Rataan

Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan

................................................................ a

86.39

+ + + +

0.33 1.01 1.00 0.57

91.56 88.36 82.88 85.63 87.11

+ + + + +

0.33 0.59 0.63 0.76 1.15

88.98 87.09 82.30 84.69 85.77 + 1.68

85.82 81.71 83.75 84.42

a b c

1.22

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan glukosa darah sapi-sapi penelitian yang dipuasakan selama 12 jam antara perlakuan Cr-Pic 0 (86.39 mg/dl) dengan Cr-Pic 1.5 (85.82 mg/dl) walaupun terlihat menurun sebesar 0.57 mg/dl (0.66%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi antara Cr-Pic 0 dengan Cr-Pic 3.0 (81.71 mg/dl) dan dengan Cr-Pic 4.5 (83.75 mg/dl) nyata menurunkan kandungan glukosa darah sebesar 4.68 mg/dl (5.73%) dan 2.64 mg/dl (3.15%) (P < 0.05). Tetapi antara perlakuan Cr-Pic 3.0 dengan Cr-Pic 4.5, kandungan glukosa darah ternyata meningkat dengan nyata (P < 0.05) sebesar 2.04 mg/dl (2.5%). Pada siang hari, kandungan glukosa darah sapi-sapi penelitian sesudah diberi makan selama 3 jam, terlihat bahwa antara masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Antara perlakuan Cr-Pic 0 (91.56 mg/dl) dengan Cr-Pic 1.5 (88.36 mg/dl), Cr-Pic 3.0 (82.88 mg/dl) dan Cr-Pic 4.5 (85,63 mg/dl) nyata menurunkan kandungan glukosa darah sapi-sapi penelitian sebesar 3.20 mg/dl (3.6%), 8.68 mg/dl (10.47%) dan 5.93 mg/dl (6.93%). Begitu juga antara Cr-Pic 1.5 dengan Cr-Pic 3.0 dan Cr-Pic 4.5, nyata menurunkan kandungan glukosa darah sebesar 5.48 mg/dl (6.61%) dan 2.73 mg/dl (3.19%) (P < 0.05), sedangkan antara Cr-Pic 3.0 dengan Cr-Pic 4.5 ternyata kandungan glukosa darah sapi meningkat dengan nyata (P < 0.05) sebesar 2.75 mg/dl (3.32%). Keadaan tersebut

42

menunjukan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 3.0 ppm dalam ransum sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah memberikan tingkat kandungan glukosa darah yang terkecil dibandingkan suplementasi 1.5 ppm dan 4.5 ppm pada kondisi dimana sapi-sapi perlakuan sama-sama sebelum dan sesudah diberi makan. Hasil penelitian ini sama dengan pendapat Evock at al. (1993) yang menyatakan bahwa suplementasi kromium organik dalam pakan dapat menurunkan kadar glukosa plasma darah, sedangkan Amoikon at al. (1995) melaporkan bahwa penambahan kromium organik pakan tidak menurunkan kandungan glukosa plasma darah melainkan mempercepat laju penurunan kadar glukosa plasma darah. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa suplementasi kromium organik murni 1.54.5 ppm efektif mengubah status fisiologis sapi selama masa pertumbuhan maupun pemulihan dan suplementasi kromium pikolinat murni yang terbaik terdapat pada perlakuan suplementasi 3.0 ppm dalam ransum sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah. Lindermann et al. (1995a) melaporkan bahwa penambahan kromium dapat menurunkan N -urea darah sehingga yang terabsorsi menjadi lebih efisien untuk pembentukan protein dan perototan menjadi lebih baik. Hal serupa dilaporkan oleh Wenk (1995) bahwa penambahan kromium pikolinat 200 ppb nyata (P < 0.05) memperbaiki absorbsi nitrogen dan meningkatkan retensi nitrogen serta meningkatkan (P < 0.01) daya cerna bahan kering. Konsentrasi Hormon Tiroksin Hormon tiroksin memegang peranan penting dalam pengaturan metabolisme tubuh secara keseluruhan. Meningkatnya kadar tiroksin akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme. Dalam keadaan kadar tiroksin meningkat, seekor ternak berada dalam kondisi tidak nyaman bila keadaan lingkungan panas dan sebaliknya, akan lebih tahan pada keadaan lingkungan yang dingin (Djojosoebagio 1990). Tiroksin dengan bentuk aktif sebagai triiodotironine (T3) dan tetraiodotironine (T4), mempunyai peranan dalam fungsi fisiologis tubuh. Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi penelitian disajikan pada Tabel 11. Rataan konsentrasi hormon T3 dalam serum darah sapi penelitian yang sudah dipuasakan selama 12 jam (pengambilan darah pagi hari jam 09.00) berkisar antara 0.770.87 ng/ml dan 0.891.02 ng/ml untuk sapi-sapi

43

penelitian yang darahnya diambil 3 jam sesudah makan (pengambilan darah siang hari jam 13.00). Perbedaan suplementasi kromium pikolinat murni dalam pakan perlakuan tidak menyebabkan perbedaan konsentrasi hormon T3, namun terjadi peningkatan konsentrasi hormon T3 sebesar 0.02 ppm (2.59%) pada perlakuan suplementasi 1.5 ppm dan 0.10 ppm (12.99%) pada perlakuan suplementasi 3.0 ppm serta 0.06 ppm (7.79%) pada perlakuan suplementasi 4.5 ppm. Tidak berbedanya konsentrasi hormon T3 waktu pagi hari diduga karena perbedaan suplementasi kromium pikolinat murni pada kondisi lingkungan yang masih nyaman dengan ISK 72.45, disamping itu perbedaan cekaman panas relatif kecil dan dapat dihilangkan dengan evaporative heat loss, sehingga tidak berakibat terhadap perubahan sintesis T3 waktu pagi hari. Tabel 11 Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi perlakuan waktu pagi dan siang hari. Perlakuan Pagi
........................

Hormon T3 Siang 0.89 0.94 1.02 0.96


a b c

Hormon T4 Rataan 0.83 0.87 0.95 0.90 0.89 Pagi


........................ a

Siang 58.41 a 61.64 62.83 60.77


bc c

Rataan 55.49 58.16 59.55 58.09 57.82

( ng / ml ) ........................

( ng / ml ) ........................

Cr-Pic 0 Cr-Pic 1.5 Cr-Pic 3.0 Cr-Pic 4.5 Rataan

0.77 0.79 0.87 0.83 0.82

52.56 56.26

54.68

ab b

0.97 b

55.97 b 54.87

60.21 b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01).

Pada siang hari rataan suhu lingkungan 40.24 OC dengan nilai ISK 84.50 keadaan ini sudah tidak nyaman lagi bagi sapi-sapi penelitian, sehingga suplementasi kromium pikolinat murni menjadi berperan. Hasil pencacahan konsentrasi hormon T3 waktu siang hari (pengambilan serum darah 3 jam sesudah diberi makan) antara perlakuan kontrol/Cr-Pic 0 (0.89 ng/ml) meningkat dengan nyata (P < 0.05) dengan perlakuan suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 1.5 ppm yaitu sebesar 0.05 ng/ml (5.62%) dan nyata juga meningkat (P < 0.05) dengan perlakuan suplementasi kromium pikolinat sebesar 3.0 ppm yaitu sebesar 0.13 ng/ml (14.61%) serta nyata juga meningkat dengan perlakuan suplementasi 4.5 ppm yaitu sebesar 0.08 ng/ml (8.99%). Begitu juga antara Cr-Pic 1.5 (0.94 ng/ml)

44

dengan Cr-Pic 3.0 (1.02 ng/ml) dan Cr-Pic 3.0 dengan Cr-Pic 4.5 (0.97 ng/ml) terjadi peningkatan yang nyata masing-masing sebesar 0.08 ng/ml (8.51%) dan 0.05 ng/ml (5.15%). Hasil analisa konsentrasi hormon T3 pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan laporan Manalu (1995) yaitu sebesar 1 .24 + 0.06 ng/ml (sapi FH laktasi yang dipelihara di dalam ruangan bersuhu 22350C). Namun memberikan hasil lebih tinggi dari laporan Magdub et al. (1982) yaitu 0.62 + 0.01 ng/ml (sapi FH laktasi dalam ruangan bersuhu 31.2 0C), maupun Johnson (1985) yaitu 0.64 ng/ml (sapi FH laktasi pada ruangan suhu 310C). Konsentrasi hormon T4 dalam plasma darah sapi-sapi penelitian yang diambil pada jam 09.00 pagi hari (sapi penelitian sudah dipuasakan selama 12 jam) dan jam 13.00 siang (sapi peneltian sudah diberi makan selama 3 jam) pada masing-masing perlakuan terlihat pada Tabel 11. Konsentrasi hormon T4 sapi penelitian kelompok perlakuan suplementasi 3.0 ppm (56.26 ng/ml) dan 4.5 ppm (55.97 ng/ml) berbeda dengan kelompok Cr-Pic 0 (52.56 ng/ml), yang terlihat nyata meningkatkan konsentrasi hormon T4 waktu pagi hari masing-masing sebesar 3.7 ng/ml (7.04%) dan 3.41 ng/ml (6.49%). Hal ini menunjukan bahwa hormon tiroksin merangsang penggunaan oksigen dan meningkatkan penggunaan karbohidrat, peningkatan katabolisme protein ditandai dengan ekskresi nitrogen dan peningkatan oksidasi. Hal ini menggambarkan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni ternyata dapat meningkatkan konsentrasi hormon T4 dari plasma darah sapi penelitian yang diambil waktu pagi hari dan kandungan konsentrasi hormon T4 tebesar terdapat pada perlakuan suplementasi 3.0 ppm. Hal ini menunjukan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni sebesar 3.00 ppm nyata meningkatkan ransangan metabolisme tingkat sel keseluruh tubuh sehingga kandungan hormon T4 dalam darah akan meningkatkan metabolisme di dalam sel tubuh. Hasil pencacahan konsentrasi hormon T4 waktu siang hari jam 13.00 menghasilkan konsentrasi hormon T4 yang nyata meningkat (P<0,05) akibat suplementasi kromium pikolinat murni dalam pakan. Konsentrasi hormon T4 pada perlakuan suplementasi kromium pikolinat sebesar 1.5 ppm; 3.0 ppm dan 4.5 ppm nyata meningkatkan konsentrasi hormon T4 sebesar 3.23 ng/ml (5.53%); 4.42 ng/ml (7.57%) dan 1.8 ng/ml (3.08%) dibandingkan dengan tanpa suplementasi kromium pikolinat murni (kontrol/Cr-Pic 0). Antara perlakuan Cr-Pic 1.5 (61.64

45

ng/ml) dengan Cr-Pic 3.0 (62.83 ng/ml) dan Cr-Pic 4.5 (60.21 ng/ml) terjadi peningkatan yang tidak nyata yaitu sebesar 1.19 ng/ml (1.93%) dan 1.43 ng/ml (2.38%). Sedangkan antara perlakuan Cr-Pic 3.0 (62.83 ng/ml) dengan Cr-Pic 4.5 (60.21 ng/ml) terjadi penurunan yang nyata (P < 0.05) sebesar 2.62 ng/ml (4.35%). Konsentrasi hormon T4 plasma darah sapi-sapi penelitian yang diambil siang hari jam 13.00 yang terbesar terdapat pada perlakuan suplementasi kromium pikolinat sebesar 3.0 ppm. Rataan konsentrasi hormon T3 tanpa suplementasi kromium pikolinat murni (kontrol) dalam pakan tidak menunjukkan perbedaan konsentrasi hormon T3 dengan perlakuan suplementasi 1.5 ppm dan 4.5 ppm (0.77 vs 0.79 dan 0.83 ng/dl). Tidak berbedanya konsentrasi hormon T3 waktu pagi hari antara Cr-Pic 0 dengan Cr-Pic 1.5 dan Cr-Pic 4.5 diduga karena kondisi lingkungan yang masih nyaman dengan nilai ISK 72.45 tidak berpengaruh, disamping itu perbedaan cekaman panas relatif kecil dan dapat dihilangkan dengan evaporasi heat loss, sehingga tidak berakibat terhadap perubahan sintesisi T3 waktu pagi hari. Tetapi antara Cr-Pic 0 (0.77 ng/dl) dengan Cr-Pic 3.0 (0.87) terjadi peningkatan yang nyata (P < 0.05) yaitu sebesar 0.10 ng/dl (12.99%). Begitu juga antara perlakuan Cr-Pic 1.5 (0.79 ng/dl) dengan Cr-Pic 3.0 (0.87 ng/dl) juga terjadi peningkatkan (P < 0.05) konsentrasi hormon T3 sebesar 0.08 ng/dl (10.13%). Berbedanya konsentrasi hormon T3 pada serum darah sapi-sapi penelitian yang diambil pagi hari disebabkan karena perbedaan suplementasi kromium pikolinat murni pada kondisi lingkungan yang sama-sama masih nyaman dengan ISK 72.45. Disamping itu cekaman panas yang relatif kecil, pengaruh suplementasi kromium pikolinat murni yang berbeda menghasilkan konsentasi hormon T3 berbeda pula, sedangkan pada siang hari konsentrasi hormon T3 terlihat ada perbedaan. Tidak berbedanya konsentrasi hormon T3 waktu pagi hari diduga karena perbedaan suplementasi kromium pikolinat murni pada kondisi lingkungan yang masih nyaman dengan nilai ISK 72.45, disamping itu perbedaan cekaman panas relatif kecil dan dapat dihilangkan dengan evaporative heat loss, sehingga tidak berakibat terhadap perubahan sintesis T3 waktu pagi hari. Pada siang hari rataan suhu lingkungan 40.24 OC dengan nilai ISK 84.50 keadaan ini sudah tidak nyaman bagi sapi-sapi penelitian sehingga suplementasi kromium pikolinat murni menjadi berperanan. Hasil pencacahan T3 waktu pagi dan siang hari pada penelitian ini cendrung lebih rendah dibandingkan dengan laporan

46

Manalu (1995) yaitu sebesar 1.24 + 0.06 ng/ml (sapi FH laktasi yang dipelihara di dalam ruangan bersuhu 2235OC), namun lebih tinggi dari laporan Magdub et al. (1982) yaitu 0.62 + 0.01 ng/ml (sapi FH laktasi yang dipelihara di dalam ruangan bersuhu 31.2OC) maupun Johnson (1985) yaitu 0.64 ng/ml (sapi FH laktasi yang dipelihara di dalam ruangan bersuhu 31OC). Menurut Turner & Bagnara (1988) kadar tiroksin plasma darah merupakan salah satu indikator yang baik menentukan kondisi stress ternak. Pada kondisi stress kadar tiroksin plasma darah akan meningkat untuk mempertahankan kondisi tubuh yang normal. Respon Ternak Terhadap Kromium Pikolinat Murni Respon ternak dalam meningkatkan metabolisme energi diperkirakan dapat dilakukan melalui pendekatan intraseluler, dengan cara meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui penggunaan kromium. Namun penelitian yang telah dilakukan ternyata menemukan bahwa kromium adalah mikronutrien esensial bagi manusia dan ternak yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak secara normal (Mordenti et al. 1977). Suplementasi kromium pikolinat murni mampu meningkatkan fermentabilitas ransum, sehingga melahirkan dugaan bahwa mineral kromium esensial bagi mikroba rumen. Meskipun belum diketahui dengan pasti fungsi mineral kromium bagi mikroba, namun dari hasil penelitian sebelumnya diduga bahwa mineral kromium berhubungan erat dengan penyediaan energi dan sintesis protein. Hal ini didasarkan pada fungsi kerja mineral kromium dalam transpor gula pada sel ragi (Mirsky et al. 1980) dan kemampuan mineral kromium dalam meningkatkan sintesis RNA baik secara in-vitro maupun in-vivo (Anderson 1987). Disebutkan pula bahwa mineral kromium merupakan salah satu komponen penyusun struktur tersier asam nucleat (Groff & Gropper 2000), yang berfungsi menjaga stabilitas DNA dan RNA (Anderson 1987; Kamen 1990). Kadar glukosa darah sapi-sapi penelitian yang disuplementasi mineral kromium pikolinat murni (1.5; 3.0 dan 4.5 ppm) lebih rendah dari sapi yang yang tidak disuplementasi mineral kromium pikolinat murni (kontrol). Rendahnya kadar glukosa darah tersebut disebabkan meningkatnya penyerapan (uptake) glukosa oleh sel. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran kadar glukosa darah dari sapi penelitian yang dipuasakan selama 12 jam berturut-turut adalah 85.82; 81.71 dan 83.75 mg/dl untuk sapi yang disuplementasi kromium pikolinat murni sebesar 1.5; 3.0 dan 4.5

47

ppm lebih kecil dari sapi penelitian yang tidak disuplementasi kromium pikolinat murni yaitu 86.39 ppm. Begitu juga pada sapi penelitian yang sudah diberi makan selama 3 jam pada sapi yang disuplementasi 1.5; 3.0 dan 4.5 ppm adalah 88.36; 82.88 dan 85.63 ppm lebih kecil dari sapi yang tidak mendapat suplementasi kromium pikolinat murni yaitu 91.56 ppm. Terjadinya penurunan kadar glukosa darah berarti bahwa pengambilan glukosa darah oleh sel semakin besar dan cepat. Pada sapi laktasi glukosa darah sebagian besar (60-85%) akan diserap oleh sel kelenjar ambing untuk keperluan sintesis laktosa susu (Annison & Linzell 1984; Wikantadi 1977). Dalam hal ini pengaruh mineral kromium adalah menurunkan sensitifitas jaringan hati dan perifer terhadap insulin sehingga glukosa lebih banyak diserap oleh kelenjar ambing (Yang at al. 1996). Selain itu mineral kromium dapat meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (Subiyatno et al. 1996), dimana hormon tersebut telah terbukti mempunyai pengaruh positif terdadap transpor glukosa (Manalu 1994). Suplementasi kromium organik murni ternyata dapat perbedaan konsentrasi hormon T3. menyebabkan

Hal ini kemungkinan disebabkan karena

perbedaan energi tersedia hasil fermentasi di rumen sehinga menyebabkan perbedaan konsentrasi hormon T3 dalam serum darah sapi yang dipelihara pada suhu lingkungan netral maupun kondisi cekaman panas. Hasil pencacahan hormon T4 pada penelitian ini (54,87 ng/ml waktu pagi dan 60.77 ng/ml pada siang hari) ternyata lebih tinggi dari laporan Johnson (1985) yaitu 33.2 ng/ml dan laporan yang disampaikan Manalu (1993) yaitu sebesar 48.07 + 1.26 ng/ml, namun mendekati sama dengan hasil pencacahan Magdub at al. (1982) yaitu sebesar 66.07 + 3.9 ng/ml. Ketidaktetapan nilai-nilai tersebut kemungkinan disebabkan adanya perbedaan individu ternak, umur dan tingkat produksi serta konsumsi pakan.

48

SIMPULAN DAN SARAN


SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum sapi perah peranakan FH yang dipelihara di dataran rendah dengan temperatur lingkungan kandang tinggi (pagi 26.30C dan siang 34.20C) memberikan peningkatan fermentabilitas ransum didalam saluran pencernaan dan peningkatan daya adapatasi sapi perah peranakan FH dengan kondisi lingkungan terhadap cekaman panas.

SARAN Di daerah-daerah dataran rendah atau bersuhu tinggi hendaknya sapi perah FH atau peranakannya perlu diberi kromium pikolinat untuk mengurangi cekaman panas sebelum dapat beradaptasi dengan kondisi tesebut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang interakasi kromium pikolinat dengan mineral lain dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan aktifitas mikroba dalam rumen.

49

DAFTAR PUSTAKA
Amoikon EK at al. 1995. Effect of chromium tripicolinate on growth, glucose tolerance, insulin sensitivity, plasma metabolites and growth hormone in pigs. J Anim Sci 73: 1123-1130. Anderson RA. 1983. Temperature Regulation and Environmental Physiology . In : Dukes Physiology of Domestic Animal. 10th ed. Melvin J Swenson (Ed). Cornell Univ. Press. P: 719-726. Anderson RA. 1987. Chromium In : Elements in Human and Animal Nutrition 5th ed. Academic Press San Diego California. Anderson RA, Kozlovsky AS. 1988. Chromium intake, absorption and excretion of subject consuming self-selected diets. Am J Clin Nutr 41: 1177-1183. Annison EF, Linzell JL. 1964. Oxidation and utilization of glucose and acetate by the ammary gland of the goat in relation to their overall metabolism and to milk formation. J Physiology (Lond): 175. Astuti WD. 2005. Produksi kromium organik dari fungi serta peranannya bagi aktifitas fermentasi rumen. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Appleman RD, Delouche. 1958. Behavioral, physiological and biochemical responses of goat to temperature 0 0C to 40 0C. J Anim Sci 17: 326. Atmadilaga D. 1959. Cattle Breeding in Indonesia with special References to Heat Tolerance. [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan. Armstrong DV. 1977. Heat Stress interaction with shade and cooling. J Dairy Sci 77: 2044-2050. AOAC. 1980. Official Methodes of Analysis . 14th ed. Association of Official Analytical Chemists. Washington, DC. Burton JL, Mallard BA, Mowat DN. 1993. Effect of supplemental chromium on immune responses of periparturient and early lactation dairy cows. J Anim Sci 71: 1532-1539. Burton J L, Mallard BA, Mowat DN. 1994. Effects of supplemental chromium on antibody responses of newly weaned feedlot to immunization with infectious bovine rhinotraccheitis and parainfluenza 3 virus. Can J Vet Res 58: 148. Burton JL. 1995. Supplementasi Chromium : its benefits to the bovine immune system. Anim Feed Sci Tech 53 : 117-133. Broody S. 1956. Climate physilogy of cattle. J Dairy Sci 39 (6): 715-725.

50

Capen CC, Martin SL. 1989. The Thyroid Gland. In: Veterinary Endocrinology and Reproduction. LE. Donald dan MH. Pineda (Ed). Lea & Febiger, Philadelphia, London. P: 58-88. Cho WT, Han IK, Chae BJ, Han YK, Odle J. 2000. Effects of Chromium picolinate. L-carnitine and thyroxine on the growth performance, nutrient digestibility and nitrogen balances in pig weaned at 21 days of age. Asian Australian J Anim Sci (suppl.) 12: 30. Collier RJ. 1985. Nutritional Metabolic and Environmental Aspects of Lactation. In : Lactation (Eds. Larson BL). The Iowa State University Press-Ames. P: 103-110. Colby DS. 1989. Ringkasan Biokimia Harper (Biochemistry : A Synopsis). Cetakan II. Alih Bahasa A Dharma. EGC. Jakarta. Combs GF Jr. 1992. The Vitamin, Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace & Company, San Diego. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2004. Statistik Peternakan Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta. Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjer Endokrin, Volume II. Depdikbud Dirjen Dikti, PUA. Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Esmay ML. 1978. Principles of Animal Envinronmental. Tex Book Ed. AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Co. P: 1-15. Ensminger ME, Ollfield JE, Heinemann WW. 1990. Feed and Nutrient. 2nd Ed. The Ensminger Publishing Company California USA. Etgen WM, James RE, Reaves PM. 1987. Dairy Cattle Feeding and Management. John Wiley & Sons. New York, Singapore. P: 523-525. Evock-Clover CM, Polansky MM, Anderson RA, Steele NC. 1993. Dietary chromium supplementatation with or without somatotropin treatemnt alters serum hormones and metabolites in growing pigs without affecting growth performance. J Nutrition P: 123. Ermanto. 1995. Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen Melalui Suplementasi Sulfur Reduksi Emisi Metan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba pada ternak Ruminansia. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fleet IR, Mepham TB. 1985. Mammary uptake of amino acids and glucose throughout lactation in Friesland sheep. J Dairy Ress 52: 228-237. Frandson RD. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak . Edisi V. Penerjemah Srigondono dan K. Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Ganong WJ. 1983. Review of Medical Physiology . 11th ed. Maruzen Asia Ed. Lange Medical Publication. Maruzen Asia. P: 599.

51

Ganong WJ. 1995. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Third Edition. Wadsworth Thomson Learning. Belmont CA USA. Hossain S. 1955. Effects of chromium yeast on performance and carcass quality of broiler. Alltechs Eleventh Ann Symp. Poster Presentation. Hahn GL. 1985. Management and Housing of Farm Animal in Hot Environment. In : Stress Physiology of Livestock . Vol. 1. M.K. Yoesef (Ed). CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida. P: 159-168. Hafez ESE. 1968. Adaptation of Domestic Animals . Lea Febiger, Philadelphia. P: 74-116. Ingram DL, Dauncey MJ. 1985. Thermoregulatory Behavior. In : Stress Physiology of Livestock. Vol. 1. M.K. Yousef (Ed)., CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P: 98-107. Jayanegara A. 2003. Uji In Vitro Ransum yang Disuplementasi Kromium Organik dan Anorganik [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Jackson SG, Pangan JD. 1977. Organic chromium : from the kentucky bluegra to the olympic arena. Procc of Alltech 13th. Annual Symp. P: 269-274. Johnson HD. 1985. Physiological Responses and Productivity of Cattle. In : Stress Physiology of Livestock . Vol. II. M.K. Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. P: 3-34. Kibler HH, Broody S. 1953. Influence of humidity on heat exchange and body temperature regulation in Jersey, Holstein, Brahman and Brown Swiss Cattle. Res Bull 552. Univ. of Missouri, Columbia. P: 1-31. Kibler HH. 1962. Energy metabolism and related thermoregulatory reactions to thermal stress in 100C and 27 0C acclimated heifers. Res Bull 739. Univ. of Missouri, Columbia. P: 1 -32. Lindemann MD. 1966. Organic Chromium The Missing Link in Farm Animal Nutrition. In Proccedings of the 12th Annual- Symphosium on Biotechnology in the Feed Industry. Nottingham University Press. 1966. Lindermann MD, Wood CM, Harper AF, Kornegay ET, Anderson RA. 1995. Diatary chromium picolinate additions improve gain : feed an carcass characteristics in growing-finishing pigs and increase litter size in reproducing cows. J Anim Sci 73: 457-465. Laarveld B, Christensen DA, Brockman RP. 1981. The effect of insulin on net metabolism of glucose and amino acids by the mammary gland. J Endocrinol 108: 2217.

52

Lestantini DR. 2006. Status stress dan pertumbuhan sapi Australian Commercial Cross (ACC) import yang mendapat suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum selama masa pemulihan. [tesis]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (belum terbit). Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Mikromineral dalam: Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis . Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lyons TP. 1995. Biotechnology in the Feed Industry a Look Forward and Backward. Alltech Asia Pasific Lecture Tour. Linvill DE, Pardue FE. 1992. Heat Stress and milk production in the south coastal plains. J Dairy Sci 75: 2598-2604. Manalu W. 1994. Menyonsong aplikasi hasil bioteknologi dalam industri peternakan : Suatu ulasan mengenai kegunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi susu dan dampaknya terhadap kesehatan dan reproduksi sapi perah serta masa depannya dalam industri sapi perah di Indonesia. Media Veteriner 1: 9. Manalu W. 1995. Naturally simulated heat stress inlactating dairy cows ; Plasma concentrations of tetraiodotironine (T4), triiodotironine (T3), cortisol and prolactin. Indon J Trop Agric 6 (2): 1-5. Manalu W. 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi Hewan. Bagian Fisiologi dan Farmakologi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Magdub A, Johnson HD, Belyea RL. 1982. Effect of environmental heat and diatary fiber on thyroid physiology of lactating cows. J Dairy Sci 65: 2323-2331. McCarty MF. 1993. Homologous physiological effects of penformin and Chromium picolinate. Med Hypth 41: 316. McGuire MA, Griinari JM, Dwyer DA, Bauman DE. 1995. Role of insulin in the regulation of immunosynthesis of fat and protein. J Dairy Sci 78: 816. McLean JA, Calvert DT. 1972. Influence of air humidity on the partition of heat exchange of cattle. J Agri Sci 78: 303-307. Mertz W, Roginski EE. 1969. Effect of chromium (III) supplementation on growth and survival under stress in rats fed low protein diets. J Nutr 97:531-536. Mirsky RJ at al. 1980. Response by dairy cows grazing tropical grass pasture to th barley or sorgum grain based consentrates and lecerne hay. Proc. 9 Congres AAAP and 23nd Biennial Conf. ASAP. Asian Australian. J Anim Sci 13: 163. Mordenti A, Piva A, Piva G. 1997. The European perspective on organic chromium in animal nutrition. Proc Alltech 13th Annual Symp hal 227.

53

Myers MJ at al. 1997. Effect of growth hormone or chromium picolinate on swine metabolism and inflammatory cytokine production after endotoxin challenge exposure. Am J Vet Res 58: 594. Mullick DN, Murty VN, Kehar ND. 1952. Seasonal variation in the feed and water intake of cattle. J Anim Sci 11: 43. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 1988. Animal Nutrition. Fifth Edition Longman Scientificc and Technical New York. Merkel RA. 1990. Inorganic constituents, In JF Price and Schweigert. The Science of Meat and Meat Products 3th Ed. Food and Nutrition Press Westport USA. McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates . Freeman and Co. San Francisco. McDowell RE, Hooven NW, Camoens JK. 1976. Effect of Climate on Performance of Holstein in First Lactation. J Dairy Sci 59: 956-973. Mowat DN. 1994. Organic chromium : A new nutrient for stressed animal. P: 275-282 In : Biotechnology in the Feed Industry, Proc. Alltechs Tenth Annual Symposium Leicestershire, UK : Nottingham University Press. Mowat DN. 1994a. Organic Chromium in Animal Nurition In Asia-Pacific. Lecture Tour August 15-26. Mallard BA, Borgs P. 1977. Effects of suplemental trivalent chromium hormone and immune responses of cattle. Procc of Alltech 13th Ann Symp. P: 242250. Merzt W. 1993. Chromium and human nutrition : a review. J Nutr. 123: 626-633. Mount LE. 1979. Adaptation to Thermal Environmant : Man and His Productive Animal. Tilmset and Printed by Thompson Litho Ltd. Scotland. P: 1-128. Mooradian AD, Morley JE. 1987. Micronutrient status in diabetes mellitus. Am J Nutr. 45: 877-895. [NRC] National Research Council 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle 1989. Update 6th rev. ed. Natlonal Academic Press. Washington DC. P: 34-81. [NRC] National Research Council. 1997. Recommended Dietary Allowances , 10th ed. National Academy Press. Washington DC. Nixon DA, Akasha MA, Anderson RA. 1988. Free and Total thyroid hormones in serum of Holstein cows. J Sci 71: 1152-1160. Offenbacher EG, Spencer H, Dowling HJ, Pi-Sunier FX. 1986. Metabolic chromium balances in men. Am J Clin Nutr. 44 : 77-82. Page DS. 1985. Prinsip-prinsip Biokimia. Penerbit Erlangga, Jakarta. Edisi II. Penerjemah R. Soendoro.

54

Page DS, Southern LL, Southern, Ward TL, Thompson DL Jr. 1993. Effect of Chromium picolinate on growth and serum and carcass traits of growingfinishing pigs. J Anim Sci. 71: 656-662. Pagan JD, Jackson SG, Duren SE. 1995. The effect of chromium supplementation on metabolic response to exercise in throughbreed horses. Biotechnology in the Feed Industry. Nottingham University Press. Payne WJA. 1990. An Introduction to Animal Husbandry in the Trophics. 4th ed. Tropical Agricultural Series. Longman Scientific and Technical. Copublish in the United States with John Wiley & Sons, Inc. New York. P: 1-33. Purwanto BP, Fujita M, Nishibori, Yamamoto S. 1991. Effect and environmental temperature and feed intake on plasma concentration of thyroid hormones in dairy heifers. Asia-Australasian Journal of Anim Sci. 4: 293-298. Purwanto BP. 1993a. Heat and Energy Balance in Dairy Cattle Under High Environmental Temperatur. [disertasi]. Hiroshima University. Purwanto BP. 1993b. Respons Fisologis dan Produktifitas Ternak di Daerah Panas. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Bagian Timur dalam Bidang Agroklimatologi. Jur Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. P: 78-86. Purwanto BP, Nakasamu F, Yamamoto S. 1995. Estimasi kebutuhan energi untuk termoregulasi pada sapi perah. Forum Ilmu Peternakan. 1:1-8. Pollard GV, Richardson CR, Karnezos TP. 2000. Effect of suplemental organic chromium on growth. Feed Effisiency and Carcas Characteristics of Feedlot Steers. Robertshaw D. 1985. Heat Lost of Cattle. In : Stress Physiology of Livestock . Vol II. MK. Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 55-65. Ryan DP at al. 1992. Evaluating two different evaporative cooling management systems for dairy cows in hot dry climate. J Dairy Sci. 75:1052-1059. Sastry NSR, Thomas CK. 1980. Farm Animal Management. Vikas Publishing House PVT. Ltd. New Delhi. P: 77-115. Scott TW, Ashes JR. 1993. Dietary lipid for ruminants : Protection utilization and effects remodeling of skeletal muscle phospholipid. Aust J Agric Res . 44: 495. Shageer MS, Mowat DN. 1993. Effect of level of supplemental chromium on performance, serum constituents and immune status of stressed feeder calves. J Anim Sci. 71: 232-238. Shield RG Jr. 1997. Organic chromium potential application in pet food formulation. Procc of Alltech 13th . Annual Symp. P: 251-267

55

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik Edisi II. Terjemahan Sumantri B. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subiyatno A, Mowat DN, Yang WZ. 1996. Metabolite and hormonal responses to glucose or propionate infusions in periparturient dairy cows supplemented with chromium. J Dairy Sci. 79 : 1436-1445. Sutardi T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1994. Peningkatan Produktifitas Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah. Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi Dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1993/1994. Institut Pertanian Bogor. Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saner G. 1980. Chromium in Nutritional and Disease. Current Topics in Nutrion and Disease Vol 2. Alan R Liss Inc New York. Spears JW. 1999. Reevaluation of the Metabolic Essentiality of the Minerals Riview. Asian Autralian J Anim Sci 12: 1002. Stoecker BJ. 1990. Chromium In ML Brown. Present Knowledge in Nutrition. International Life Sciences Institute Nutrition Foundation. Washington DC. Stobbs FH, Thompson PAC. 1975. Milk production from tropical pasture. Animal Riview 13: 27. Word

Schwarz K, Mertz W. 1959. Chromium (III) and the glocose tolerance factor. Arch Biochem Biophys 85: 292-295. Sohn KS, Kim MK, Kim JD, Han K. 2000. The Role of Immunostimulants in menegastric animal and fish. Review Asian Australian J Anim Sci 8: 1178. Schmidt HG. 1972. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company, San Francisco. P: 42. Satter LD, Slyter LL. 1974. Effect of ammonia on rumen microbial protein production in-vitro. Br J Nutr. 32: 199-208. Schor A, Gagliostro GA. 2001. Undegradable protein supplemnetation to ealylactation dairy cows in grazing conditions. J Dairy Sci. 84: 1597-1606. Schroeder HA. Vinton WH Jr. Balassa JJ. 1963. Effects of chromium, cadmium and lead on the growth and survival of rats. J Nutr. 80:48. Schroeder HA. 1966. Crhomium defisiency in rats: A syndrome simulating diabetes mellitus with retarded growth. J Nutr. 88: 439-445.

56

Tang L, Deva LI, Wang FL, Xing JJ, Gong LM. 2000. Effect of different sources of organic chromium on immune function in weaned pigs. Review Asian Australian J Anim Sci 14: 1164. Tilley JMA, Terry RA. 1963. Two-stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. J British Grassland Soc 18: 104. Turner CD, Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi keenam. Airlangga Universiy Press. New York. Tomlinson DL, James RE, Bethard GL, McGilliard ML. 1997. Influence of undegradability of protein in the diet on intake, dairy gain, feed efficiency and body composition of Holstein heifer. J Dairy Sci. 80: 943-948. Thomas VM, Beeson WM. 1977. Feather meal and hair meal as protein souces for steer calves. J Anim Sci. 46: 819. Underwood EJ, Suttle NF. 1977. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Ed. CABI Publishing. Van Soest PJ, Roberston JB, Lewos BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polisaccharides in relation to animal nutrition. J Dairy Sci. 74: 3583-3597. West ES, Todd WR. 1961. Texbook of Biochemistry. 3rd ed. MacMillan Company, New York. Wenk C. 1995. Organics chromium in growing pigs. observations following a year of use and research in Switzerland. In Biotechnology in the Feed Industry. Nottingham University Press. Whyte RO. 1957. Milk production in d eveloping countries. Faber and Fabiger Ltd London. Wikantadi B. 1977. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas gajah Mada Yogyakarta. Williamson G, Payne WJA. 1978. An Introduction of Animal Husbandry in the Tropic . Longman, London and New York. Worstell DM, Broody S. 1953. Comparative Physiology Reaction of European and Indian Cattle of Changing Temperature. Mo Agric Exp Sta Res Bul. 515: 3-15. Yang WZ, Mowat DN, Subiyatno A, Liptrap R. 1996. Effect of Chromium supplementation on early lactation performance of Holstain cows. Can J Anim Sci 76 : 221. Yousef MK. 1985. Thermoneutral Zone in Stress Physiology in Livestoc. Ed ke 1. CRC Press Inc Boca.

57

Yousef MK. 1985a. Heat Production Mechanism and Regulation. In: Stress Physiology of Livestock. Vol. II. M.K. Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 48-52. Yousef MK. 1985b. Thermoneutral Zone. In: Stress Physiology of Livestock. Vol II. MK Yousef (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. P: 68-89. Yi Z, Park R, Orme L, Silcox R, Hawkins E. 1996. Effect of supplemental chromium picolinate on corpus luteum numbers and carcass trait of gilts under limited feeding. J Anim Sci. 74(Suppl. 1): 194(abstr).

Anda mungkin juga menyukai