Anda di halaman 1dari 13

Seminar Kajian Kritis

Pemilihan Sumber Informasi dan Ilmu Pengetahuan oleh Sivitas Akademika : antara Perpustakaan Perguruan tinggi dan Sumber Informasi Lain
oleh: Agus Rusmana (agsrsmana@yahoo.co.id) Program Studi Sosiologi Fisip Unpad, Mei 2011 1. Latar Belakang Sivitas akademika di perguruan tinggi, terutama dosen dan mahasiswa, oleh masyarakat umum dianggap sebagai sebuah kelompok manusia yang memiliki kebutuhan, perhatian dan perlakuan pada ilmu pengetahuan lebih tinggi daripada anggota kelompok masyarakat pada umumnya. Untuk mampu menjalankan peran dan fungsi sesuai tuntutan masyarakat umum, perguruan tinggi harus menciptakan dan menjaga suasana akademik ( academic atmosphere), terutama pada proses belajar mengajar, agar semua anggota sivitas akademika selalu terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan ilmiah yang produktif bagi kepentingan kemajuan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar tersebut, diperlukan sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang memadai. Untuk menjamin ketersediaan sumber pengetahuan yang memadai (dalam kuantitas dan kualitas sumber), semua perguruan tinggi di Indonesia, baik universitas, institut maupun sekolah tinggi, memiliki perpustakaan. Di perpustakaan inilah semua sumber informasi dan pengetahuan dikumpulkan, disimpan, dikelola dan disediakan untuk keperluan sivitas akademika. Namun ternyata pemanfaatan perpustakaan sebagai sumber belajar mengajar serta kegiatan ilmiah lainnya masih sangat rendah. Dari berbagai laporan yang disampaikan oleh para pustakawan dan pengelola perpustakaan perguruan tinggi dalam pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) pada tingkat pusat maupun daerah, diketahui bahwa pemanfaatan perpustakaan perguruan tinggi oleh sivitas akademika masih sangat rendah. Rendahnya pemanfaatan perpustakaan perguruan tinggi oleh sivitas akademika merupakan sebuah masalah besar untuk universitas atau institut atau sekolah tinggi karena dengan tidak memanfaatkan perpustakaan, informasi dan pengetahuan yang digunakan untuk menjalankan tugas dan membuat keputusan akademik bisa saja informasi dan pengetahuan yang keliru dan bukan berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Dari berbagai kajian, pengamatan dan penelitian, terungkap bahwa terdapat empat faktor yang selalu dinilai rendah oleh pengguna perpustakaan di perguruan tinggi dan kemudian diduga menjadi penyebab rendahnya pemanfaatan perpustakaan, yaitu 1) koleksi yang tidak lengkap, 2) fasilitas penunjang yang kurang berkualitas, 3) pustakawan yang tidak profesional dan 4) lokasi perpustakaan yang kurang strategis. Dari fakta ini kemudian seluruh perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas dan kuantitas pada empat

faktor tersebut, yaitu dengan menambah koleksi, memperbaiki dan melengkapi fasilitas penunjang, meningkatkan profesionalisme pustakawan dan membangun perpustakaan di tempat yang lebih strategis agar mudah dijangkau. Namun dari catatan kunjungan dan pemanfaatan fasilitas perpustakaan perguruan tinggi diketahui bahwa walaupun telah banyak dilakukan perbaikan dan perubahan pada empat faktor tersebut, kondisi pemanfaatan perpustakaan masih saja rendah. Oleh karena itu muncul asumsi bahwa faktor penyebab rendahnya pemanfaatan perpustakaan berada pada pihak sivitas akademika yang diduga memanfaatkan sumber informasi dan ilmu pengetahuan selain perpustakaan. Untuk perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana sivitas akademika, yaitu dosen dan mahasiswa, memanfaatkan sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menunjang proses belajar mengajar. 2. Rumusan Masalah Penelitian Dari tujuan penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini maka dirumuskan sebuah masalah yaitu: Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi sivitas akademika memilih sumber informasi dan ilmu pengetahuan untuk menunjang proses belajar mengajar? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum ditujukan untuk: 1. Menemukan dan ilmu fakta tentang faktor universitas sebagai belajar struktur dalam dan mempengaruhi sivitas akademika memilih dan memanfaatkan sumber informasi pengetahuan untuk menunjang proses mengajar melaksanakan Tridharma Perguruan tinggi. 2. Mendapatkan gambaran tentang kaitan faktor pengalaman dan kebiasaan dosen berinteraksi dengan sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan dengan tindakannya memilih dan memanfaatkan sumber informasi dan ilmu pengetahuan. 3. Memperoleh gambaran tentang kaitan faktor proses belajar mengajar yang diikuti mahasiswa dengan tindakannya memilih dan memanfaatkan sumber informasi dan ilmu pengetahuan. 4. Menemukan upaya-upaya peningkatan pemanfaatan perpustakaan perguruan tinggi oleh sivitas akademika sebagai sumber utama informasi dan ilmu pengetahuan. 4. Kegunaan Penelitian 4.1 Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada bidang Sosiologi terutama konsep pendorong tindakan pemanfaatan sumber pemenuhan kebutuhan manusia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya teori-teori dalam pengorganisasian informasi dan layanan perpustakaan.

4.2 Kegunaan Praktis Dengan diperolehnya gambaran tentang faktor-faktor pendorong sivitas akademika dalam memilih sumber informasi dan pengetahuan diharapkan akan dapat membantu para pengelola perpustakaan dan pembuat kebijakan perguruan tinggi dalam mengembang alternatif layanan perpustakaan sebagai sumber informasi dan pengetahuan.

II. Kajian Kritis


2.1 Pendahuluan Untuk dapat melakukan penelitian mengenai tindakan pemanfaatan sumber informasi dan ilmu pengetahuan oleh sivitas akademika yaitu dosen dan mahasiswa dalam mendukung kegiatan proses belajar mengajar, diperlukan kajian awal mengenai semua komponen yang terlibat dalam permasalahan penelitian, yaitu dosen dan mahasiswa, universitas, sumber informasi dan pengetahuan, dan tindakan pemanfaatan. Kajian pada setiap komponen akan dilakukan dengan pendekatan sosiologi, yaitu menjelaskan setiap komponen dari perspektif sosiologi mengacu pada teori, konsep dan pendapat para tokoh sosiologi. Salah satu bidang yang dipandang paling dapat memayungi kajian pemanfaatan sumber informasi dan ilmu pengetahuan adalah Sosiologi Pendidikan, yang dalam Wikieducator secara umum dinyatakan bahwa: The sociology of education is the study of how social institutions and individual experiences affects education and its outcome. Education is It is concerned with all forms of education ie formal and informal education systems of modern industrial societies. It is relatively a new branch and two great sociologist mile Durkheim and Max Weber were the father of sociology of education. mile Durkheim's work on moral education as a basis for social solidarity is considered the beginning of sociology of education. (Wikieducator, 2008) Berdasarkan bidang sosiologi ini maka tokoh yang dirujuk mulai dari tokoh sosiologi klasik seperti Max Weber dan Emile Durkheim, dan tokoh sosiologi modern seperti Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Bidang sosiologi lain yang digunakan untuk melingkupi penelitian ini adalah Sosiologi Pengetahuan yang secara bebas dikemukakan dalam Wikipedia yaitu: The sociology of knowledge was pioneered primarily by the sociologists mile Durkheim and Marcel Mauss at the end of the 19th and beginning of the 20th centuries. Their works deal directly with how conceptual thought, language, and logic could be influenced by the sociological milieu out of which they arise. While neither author specifically coined nor used the term 'sociology of knowledge', their work is an important first contribution to the field (Wikipedia, 2011). Penjelasan umum ini kemudian dijadikan dasar untuk menggunakan pemikiran dan teori-teori yang dikemukakan oleh Durkheim, baik teori maupun konsep sosiologi pendidikan maupun sosiologi pengetahuan untuk menjelaskan fakta dan fenomena yang ditemukan. Kedua bidang sosiologi ini digunakan karena memiliki kaitan yang sangat erat di mana pengetahuan sebagai modal kehudupan manusia akan terpelihara dan tersebar melalui pendidikan.

2.2 Pendidikan Sebagai Penerus Pengetahuan untuk dan dalam Masyarakat Seperti telah disampaikan pada uraian pengetahuan dalam pandangan sosiologi, pendidikan adalah sebuah metode untuk membuat pengetahuan

tersembunyi menjadi pengetahuan terbuka dan membuat pengetahuan terbuka (eksplisit) dapat dimiliki banyak orang. Dalam Wikipedia, para ahli pendidikan menyebutkan bahwa: Pendidikan selalu dilihat sebagai usaha manusia optimistik mendasar yang dikenali dari aspirasi untuk kemajuan dan kesejahteraan. (Wikipedia Bahasa Indonesia: http://www.w3.org). Namun apakah memang pendidikan terutama pendidikan formal - merupakan sesuatu yang penting, dijelaskan dengan baik oleh Anthony Giddens dengan contoh pendidikan di Inggris. Dia mengatakan bahwa pendidikan semakin sangat penting dalam kehidupan masyarakat lebih ari masa-masa sebelumnya. Hal ini menurut Giddens adalah karena pendidikan adalah perangkat peradaban (civilising device) dan ekonomi pengetahuan merupakan realitas yang semakin meningkat dimana sekitar 80% dari populasi di Inggris bekerja pada bidang berbasis pengetahuan atau layanan. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa sudah menjadi sebuah keharusan untuk kita mengembangkan pendidikan. Berdasarkan pendapat para sosiolog pendidikan, kebutuhan akan pendidikan sangat tinggi dalam masyarakat di negara maju ( developed countries) namun tidak demikian dengan kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat di negara berkembang (developing countries). Di negara berkembang banyak orang tua yang karena desakan ekonomi lebih memikirkan bagaimana anak-anak bisa mencari uang daripada memikirkan manfaat jangka panjang dari pendidikan. Ditambah lagi buktibukti berupa rendahnya penerimaan calon mahasiswa oleh universitas yang bagus di negara yang berpenduduk padat. Selanjutnya dikatakan: In the most of countries, there is uniform, overstructured and inflexible type of centralized programs especially from a central agency which is regulates the all aspects of education . (Education Sociology - http://www.sims-independent.co.uk) Akibat dari regulasi yang dibuat oleh satu lembaga pusat, banyak sekali tekanan yang dirasakan oleh siswa berupa banyaknya aktivitas yang berputar kembali ke kegiatan yang sama (terutama di tingkat SMA dan sederajat). Dapat disebutkan bahwa kondisi yang segalanya dipusatkan akan memungkinan terhambatnya fungsi pendidikan sebagai penerus pengetahuan dalam masyarakat. Selanjutnya untuk dapat mengelola mahasiswa dalam sistem pendidikan perguruan tinggi yang baik, universitas perlu menyediakan banyak sarana proses belajar mengajar, baik peralatan praktek, laboratorium dan sumber belajar berupa perpustakaan. 2.3 Dosen dan Mahasiswa: Para Agen Pendidikan dalam Struktur Universitas 2.3.1 Universitas Sebagai Struktur Universitas sebagai sebuah lembaga pendidikan memiliki sistem untuk menjalankan peran dan fungsinya menyelenggarakan program pendidikan. Untuk menjalankan peran dan fungsi tersebut, universitas menggunakan banyak komponen pendukung berupa sumber daya manusia, peraturan, sistem manajemen dan peralatan kerja. Setiap komponen ini, layaknya sebuah sistem besar, saling terhubung satu dengan yang lainnya dan bergerak bekerja bersama untuk mencapai satu tujuan

bersama, yaitu menghasilkan sarjana yang memiliki kompetensi sesuai profil dan tujuan universitas. Dari gambaran komponen yang masing-masingnya saling terhubung dan bekerja bersama, maka dari telaah sosiologi, universitas adalah sebuah struktur, terutama dengan menggunakan definisi dan teori struktur yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, yang menyatakan bahwa: structures are rules and resources (sets of transformation relations) organized as properties of social systems.. (1984, terjemahan 2010). Selanjutnya Giddens menjelaskan bahwa aturanaturan itu merupakan pola yang akan diikuti oleh orang-orang dalam kehidupan sosial. Aturan yang dimiliki sebuah universitas juga merupakan pola yang kemudian dikuti oleh semua orang (civitas academica) dalam interaksi sosial di kampus atau di luar kampus. Teori struktur Giddens menyebutkan bahwa terdapat tindakan berulangulang yang dihambat dan didukung oleh struktur yang sebenarnya juga dibangun dan dibangun ulang oleh tindakan-tindakan tersebut. Giddens juga menyatakan bahwa struktur dibentuk oleh adanya aturan ( rules) dan sumber daya (resources) yang mengatur dan disediakan untuk agen. 2.3.2 Dosen dan Mahasiswa Sebagai Aktor dan Keagenan Dalam menjalankan semua tugas dan perannya sesuai aturan ( rules) universitas, dosen atau mahasiswa tidak bertindak sendiri berdasarkan aturan-aturan itu, tetapi merupakan sebuah kesatuan di mana masing-masing saling mengetahui, melibatkan dan memperhatikan tindakan dosen atau mahasiswa yang lain ketika menjalankan tugas dan perannya di universitas. Jika menggunakan pendapat Giddens dalam bukunya yang sama yang menyebutkan bahwa individu dalam bertindak tidak hanya melibatkan perilaku sendiri tetapi juga perilaku individu-individu lain, aktor juga memonitor aspek-aspek lain, baik sosial maupun fisik, dari kontekskonteks di mana mereka bergerak (Giddens, 1984), maka dosen dan mahasiswa boleh disebut sebagai aktor. Sebutan dosen dan mahasiswa sebagai aktor sangat tepat terutama jika menggunakan profil aktor yang dikatakan: selalu mempertahankan suatu pemahaman teoritis yang terus menerus tentang landasanlandasan aktivitas mereka, karena itulah yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa sebagai bagian struktur universitas. Semua tindakan Dosen dan mahasiswa dalam perannya masing-masing dilakukan dengan sengaja dan dengan tujuan yang telah ditetapkan untuk menghasilkan sesuatu. Ini membuat dosen dan mahasiswa dapat disebutkan menjalankan fungsi keagenan ( agency). Dalam fungsi keagenan ini dosen dan mahasiswa tidak hanya melakukan apa yang ditentukan oleh universitas sebagai struktur namun juga mampu melakukan tindakan yang mempengaruhi atau bahkan mengubah (transforming) universitas di mana mereka menjadi bagiannya. Giddens menyebut konsep ini sebagai pengawasan tindakan reflektif ( reflextive monitoring of actions) yaitu kemampuan agen (dosen, mahasiswa) menilai efektivitas tindakan ketika sedang berusaha mencapai tujuan (Wikipedia).

Dari pendapat-pendapat ini dapat dibuat sebuah gambaran bahwa sebagai sebuah struktur, universitas menentukan bagaimana anggota struktur yang ada di dalamnya harus bertindak dalam mencapai tujuan universitas yaitu menghasilkan sarjana yang memiliki kompetensi cukup untuk dapat bekerja atau berwiraswasta. Sebagai struktur, universitas menyediakan semua fasilitas sumber daya ( resources), mulai dari ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan yang menyediakan sumber informasi dan ilmu pengetahuan, semi kelancaran kegiatan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian masyarakat. Sementara itu dosen dan mahasiswa sebagai agen dari struktur universitas harus mengikuti semua aturan dan tugas yang diberikan oleh universitas, yaitu menjalankan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan aturan dan pengendalian tindakan yang dibuat dan diterapkan oleh universitas secara rutin dan berulang-ulang dalam waktu yang lama, maka akan terbentuk sebuah kebiasaan perilaku dan tindakan yang dimiliki dosen dan mahasiswa yang salah satunya adalah selalu menggunakan sumber informasi dan pengetahuan dalam menyampaikan pendapat atau berargumentasi. 2.4 Pemanfaatan Informasi dan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Habitus Habitus Bourdieu mengatakan bahwa tindakan sehari-hari manusia, baik dalam kehidupan sendiri atau ketika sedang berinteraksi sosial didorong oleh hasil tindakan berulang-ulang dalam waktu yang panjang dalam sebuah lingkungan sosial atau budaya, yang kemudian menjadi sebuah tindakan otomatis yang kadang tidak dilakukan karena kesengajaan tetapi karena kebiasaan. Tindakan ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus adalah sebuah hal yang penting bagi manusia karena akan membantu dia untuk melakukan tindakan memecahkan masalah. Bourdieu manyatakan bahwa habitus adalah: the strategy-generating principle enabling agents to cope with unforeseen and ever-changing situations a system of lasting and transposable dispositions which, integrating past experiences, functions at every moment as a matrix of perceptions, appreciations and actions and makes possible the achievement of infinitely diversified tasks (Bourdieu & Wacquant, 1992: 18). Dari pernyataan ini maka dapat disebutkan bahwa habitus akan memampukan seorang agen untuk mengatasi situasi yang tidak jelas kelihatan atau yang berubahubah. Kemudian habitus juga merupakan sistem yang tahan lama dan sifatnya bisa berganti-ganti sehingga dapat berfungsi setiap saat dan memungkan untuk menyelesaiakan bermacam pekerjaan. Hal yang sama juga terjadi pada dosen dan mahasiswa saat menjalankan tugas dan peran sebagai agen dalam struktur universitas. Lebih lanjut Bourdieu & Passeron (1994) menyebutkan bahwa habitus merupakan bentuk yang terlihat secara terus menerus tumbuh melalui sebuah dialektik dari konstruksi budaya dan perseorangan. Hal ini semakin menjelaskan mengapa interaksi dosen dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa, dan dosen dengan mahasiswa kemudian melahirkan kebiasan untuk menggunakan pemikiran

ilmiah dan bertindak dengan basis pengetahuan. Konsep habitus sendiri sebenarnya tidak dimulai oleh Bourdieu seperti yang dikatakan oleh Omar Lizardo dari University of Arizona dalam makalahnya berjudul The Cognitive Origins of Bourdieu's Habitus (2009). Dikatakan bahwa: habitus has its origins in a creative blend of concepts originating in the proto-structural anthropology of Durkheim and Mauss, the post-Sausserian structural anthropology of Levi-Strauss and in the psychological genetic structuralism of Jean Piaget (2009). Fungsi Habitus Setelah mengkaji penjelasan dan teori mengenai habitus yang memberikan kemampuan pada manusia yang secara otomatis digunakan jika dihadapkan pada sebuah atau bermacam-macam situasi dan pekerjaan, muncul pertanyaan: Apa fungsi habitus pada diri manusia? Mengapa manusia mau mengikuti fungsi habitus? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk dapat memahami lebih jauh tentang fungsi habitus sehingga perlu dimiliki, diperlihara, dan jika mungkin, diciptakan dengan sengaja pada manusia. Dalam sebuah tulisan, Bourdieu (Bourdieu & Wacquant, 1992: 133) mengatakan bahwa habitus yang diperoleh dari keluarga, pendidikan atau posisi dalam kelas sosial, berfungsi mengatur pengalaman-pengalaman dan munculnya ingatan terdalam yang dimiliki manusia. Selanjutnya terjelaskan juga bahwa habitus dapat mengatur pengalaman dan ingatan manusia karena kebanyakan manusia secara umum terbiasa menghadapi permasalahan yang cenderung dapat disesuaikan atau diselesaikan dengan cara-cara yang sudah menjadi habitus. 2.5 Ilmu Pengetahuan Dari pendapat para filsuf dan teoritisi dapat dinyatakan bahwa sosiologi memandang ilmu pengetahuan sebagai kumpulan bersama-sama merepresentasikan lambang dan gambaran yang collectives') gagasan, ( 'Reprsentations

kepercayaan, dan nilai-nilai yang dielaborasi secara bersama-sama dan tidak dibuat khusus untuk individu. Di dalamnya termasuk kata-kata, slogan, gagasan, atau sejumlah bentuk materi yang menunjukkan lambang, seperti abuah tanda salib, sebuah batu, sebuah candi, selembar bulu, dsb. Lebih jelas Durkheim mengelaborasi dengan mengatakan bahwa pengetahuan: are created through the intense interaction of religious rituals. They are products of collective activity and as such these 'reprsentations' have the particular, and somewhat contradictory, aspect that they exist externally to the individual (since they are created and controlled not by the individual but by society as a whole) Melalui representasi kolektif ('reprsentations collectives') kelompok melakukan tekanan pada individu untuk mau menerima norma moralitas dan pemikiran masyarakat. Di samping itu representasi kolektif membantu menyusun dan membuat

apa yang terjadi di dunia menjadi masuk akal, tetapi representasi itu juga menjelaskan, melambangi (symbolize) dan memaknai relasi sosial. Anthony Giddens (1984) yang dikutip dalam makalah berjudul Structural Correlations between Action and Knowledge (2010), berpendapat bahwa: knowledge is more like the structural features of action rather than structural elements. Ini berarti bahwa Giddens melihat bahwa pengetahuan lebih nampak sebagai gambaran atau bentuk tindakan daripada sekedar elemen-elemen yang terstruktur. membangun teori ini, Gidden memulainya dengan mengambil aktor Dalam yang

berpengetahuan sebagai titik pangkal yang logis, dan kemudian mulai mendiskusikan hubungan antara aktor, pengetahuan dan tindakan, melengkapi teori strukturasinya dari hasil diskusi ini. Dari diskusi ini Giddens membuat kesimpulan dasar bahwa aktor memiliki pengetahuan setelah melakukan analisis pada model stratifikasi, pemosisian sosial (social positioning) dan akibat tindakan dari sang aktor. Dari apa yang dilakukan Giddens dalam membangun model sampai pembuatan kesimpulan dapat dinyatakan bahwa bagi Giddens, pengetahuan sang aktor pada apa yang dilakukannya dan akibat dari tindakannya akan membuat tindakan itu akhirnya dapat terjadi. Menurut kesimpulan Giddens selanjutnya adalah bahwa tanpa pengetahuan, tindakan itu mustahil dapat terjadi. Melalui pengujian dari signifikansi praktis pengetahuan, komposisi dari pengetahuan yang mutual, refleksivitas tindakan berbasis pengetahuan, dan hubungan antara pengetahuan umum (commonsense knowlegde) dan pengetahuan ilmiah, makalah ini mampu menjelaskan korelasi struktural antara tindakan dan pengetahuan yang dibuat oleh Giddens. Dalam sebuah makalah berjudul The Sociology of Knowledge and Its Consciousness, Theodor W. Adorno (2010) mengritik Karl Mannheim, seorang Jerman yang disebut-sebut sebagai pembuat teori Sosiologi Pengetahuan dengan menyebutkan bahwa daya tarik sesungguhnya dari sosiologi pengetahuan dapat hanya dapat dicari pada fakta bahwa perubahan-perubahan dalam kesadaran itu, sebagai pencapaian dari planning reason, langsung terkait dengan alasan-alasan pada perencana jaman ini, yaitu bahwa: The fact that the complex actions of a functional, thoroughly rationalized society can be thought through only in the head of a few organizer assures the latter of a key poisition in society. Dengan kata lain, fakta bahwa aksi yang rumit yang dilakukan semua masyarakat fungsional yang dirasionalisasi, dapat dipikirkan hanya melalui pemimpin beberapa kelompok yang yang diyakini memegang posisi kunci di masyarakat. Bentuk Pengetahuan yang Dimiliki Manusia Dalam dunia pengetahuan modern, terutama sejak ditemukannya metode pengelolaan pengetahuan (knowledge management) mulai banyak dikemukakan pembagian dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersampaikan/ definisi terkemukakan (explicit knowledge) dan pengetahuan yang masih tersembunyi ( tacit knowledge) dalam pikiran seseorang. Bourdieu (1977) memberikan

pengetahuan tersembunyi sebagai pengetahuan yang secara tidak sadar dimiliki oleh seorang agen dan dia tidak mampu mengartikulasikan secara jelas, namun pengetahuan itu mengatur aktivitasnya. Konsep Bourdieu ini dipengaruhi oleh tradisi filsafati abad 20 yang dikemukakan oleh Martin Heidegger yang memperlakukan tacit knowledge sebagai keterampilan atau kemampuan yang dimiliki karena kebiasaan (habituation). Pengaruh Heidegger ini nampak pada definisi lanya tentang tacit knowledege, yaitu: as something which exists in a practical state in an agents practice and not in their consciousness or rather in their discourse (Bourdieu, 1977: 27). Dari pernyataan Bourdieu dapat dibuat gambaran umum bahwa manusia dalam melakukan tindakannya didukung oleh pengetahuan yang secara tidak sadar dimilikinya dan mengendalikan geraknya dan pengetahuan ini tercipta dari kebiasaan. Dari pendapat-pendapat ini maka bisa disebutkan bahwa ketika pengetahuan tersembunyi kemudian dituliskan dan diajarkan secara terbuka kepada orang lain, maka pengetahuan ini menjadi pengetahuan yang terlihat dan diketahui atau secara sadar dimiliki seseorang sehingga ia mampu mengartikulasikan pengetahuan apa yang dimilikinya. Sementara ini Aristoteles mengatakan bahwa pembentuk pengetahuan sebenarnya lebih merupakan persoalan karakter dari pada kemampuan intelektual. Lebih jauh disebutkan bahwa karakter tersebut tidak dapat didapatkan sedirian. Manusia memiliki karakter sebagai hal alami keduanya dengan hidup bersama dalam sebuah masyarakat dimana standar perilaku sopan santun terkandung dalam setiap tindakan praktis. Pendapat Aristoteles dapat berarti bahwa pengetahuan akan muncul dengan baik di masyarakat yang menjunjung tinggi sopan santun (beradab) dalam berperilaku. Untuk mengatasi persoalan dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial maupun akademik, ternyata pengetahuan dan pengertian yang dimiliki seseorang tentang sebuah subjek tidak cukup, tetapi harus dilengkapi dengan keterampilan. Dengan menggunakan contoh persoalan lingkungan, Wals (1990:6 dikutip langsung oleh Fien, 1993a) menyatakan bahwa: knowledge and understanding are not sufficient in resolving environmental problems. In order for people to be able to act upon their knowledge and awareness they need to become acquainted with a variety of action skills. Selanjutnya juga disebutkan bahwa manusia harus mengembangkan dan memberi nilai pada bermacam-macam keterampilan seperti analisis, komunikasi, kolaborasi dan kerjasama (kemampuan mendiskusikan dan mencari kesepakatan untuk bertindak), berfikir mendalam (terlibat dalam analisis kritis untuk diri sendiri dan masyarakat), pembuatan keputusan, perencanaan, dan lain-lain (Bryne, 2000:49) 2.6 Kerangka Pemikiran Berdasarkan pengkajian terhadap teori dan konsep yang dikemukakan oleh para tokoh sosiologi mengenai ilmu pengetahuan, pendidikan, struktur agen dari dan teori habitus, dapat disusun sebuah kerangka pemikiran berupa prepoisi bahwa: 1. Universitas sebagai sebuah struktur memiliki sistem dan aturan yang memaksa dosen dan mahasiswa sebagai agen untuk menjalankan tugas dan fungsinya

dalam proses belajar mengajar. Sistem dan aturan yang memaksa tersebut, setelah diikuti terus menerus oleh dosen dan mahasiswa, kemudian akan menyerap ke dalam diri mereka untuk selanjutnya tanpa memerlukan kesadaran lagi, dosen dan mahasiswa menjalankan sistem dan aturan universitas, mulai dari berfikir dan berperilaku ilmiah setiap kali menyatakan dan menerima pendapat (lisan dan tertulis). 2. Selama menjalankan tugas dan fungsinya, seorang dosen selalu menggunakan sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang berkarakter ilmiah dan dari pengalamannya mencari dan menemukan informasi dan ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun, ia kemudian memiliki pola kebiasaan dalam mencari sumber-sumber tersebut, baik dari lokasi sumber dan dan cara memperolehnya. 3. Mahasiswa, sebagai peserta didik di universitas, selama masa mengikuti perkuliahan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada dosen dalam memperoleh dan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diminati dan diperlukannya artinya semua tindakan sebagai cara untuk memperoleh dan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan ditentukan oleh dosen. Oleh karena itu cara dosen mengajarkan cara menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan akan membentuk pola pemilihan sumber ilmu pengetahuan yang dia anggap perlu dan dapat digunakan. 4. Rendahnya pemanfaatan perpustakaan sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang paling tepat dan utama, disebabkan oleh pola pemilihan sumber informasi dan pengetahuan yang sudah sudah menjadi habitus dosen dan mahasiswa. Berdasarkan kerangka pemikiran berupa preposisi, dilakukan penelitian untuk dapat memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai bagaimana universitas mempengaruhi cara dan kebiasaan dosen dan mahasiswa (sivitas akademika) untuk berfikir dan bertindak ilmiah, dan bagaimana kebiasaan dosen dalam memilih sumber informasi dan pengetahuan, serta menggambarkan bagaimana metode pengajaran mempengaruhi pola mahasiswa memilih sumber informasi dan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre, 1999, The Logic of Practice (translated by Richard Nice), Stanford California, Stanford University Press Durkheim, Emile, 1964, The Rules of Sociological Method, London, The Free Press Education-world.net. 2009, ibannerexchange.com> Education sociology , melalui <http://www.

Farag, Pter. 2002. Relativism In The Sociology Of Knowledge. Budapest, Periodica Polytechnica Ser. Soc. Man. Sci. Vol. 10, No. 1, Pp. 177188 (2002)

Gane, Nicholas. 2002. Max Weber and Postmodern Theory: Rationalization versus Re-enchantment. New York, Palgrave Garna, Judistira K., 1992. Teori-teori Perubahan Sosial, Bandung, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Gerrans, Philip. 2005, Tacit Knowledge, Rule Following And Pierre Bourdieus Philosophy Of Social Science, London, SAGE Publications _____________ , 1915.. The Elementary Forms of The Religious Life ( Translated from the French by Joseph War Swain), London, The Free Press Giddens, Anthony, 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-kaidah Baru (terjemahan oleh Eka Adinugraha), Yogyakarta, Pustaka Pelajar ________________, 1986. Central Problems In Social Theory: Action, Structure And Contradiction In Social Analysis, Berkeley and Los Angeles, University of California Press ________________, Baron Giddens, Wikipedia, the free encyclopedia. Melalui <http://en.wikipedia.org> (4/13/2011) Hardin, Russell, Borgotta (Ed). 2000, Rational Choice Theory, Encyclopaedia 2nd Edition, Macmillan Reference USA. New York (pp. 2235 - 2343) Macionis, John J., 2004, Sociology, Ninth Edition, Singapore, Pearson Education South Asia Pte Ltd. Hann, Chriss, 2000, Social Anthropology, Chicago, NTC/ Contemporary Publishing Company Kevin J. Dougherty and Floyd M. Hammack. 2000, Education And Development, Encyclopaedia 2nd Edition, Macmillan Reference USA. New York (pp. 741 - 772) Lehman, Jennifer M. (Ed). 2005. Social Theory As Politics In Knowledge . Current Perspectives In Social Theory Volume 23, Amsterdam, Elsevier Lizardo, Omar. 2009. The Cognitive Origins of Bourdieu's Habitus., Tucson, Social Sciences 400 Department of Sociology, University of Arizona. Melalui <Email: olizardo@email.arizona.edu> Mark Lim Shan-Loong. 1998 Addressing the class inequality problem: The role of Singapores education system on the widening class divide, Melalui "http://members.tripod.com (13/10/1998) Net Industries and its Licensors. 2011. Practices - Pierre Bourdieu And Anthony Giddens: social structure actors actions particular action habitus intentions. Melalui < http://platform.twitter.com/widgets> (3/13/2011) Ng Ching-fai, 2001. Creating the best academic atmosphere, Hongkong, Horizons New

Ritzer George, 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda . Terjemahan Alimandan, Jakarta, Rajawali Pers Shridar, M.S., 1994, Non-use and Non-Users of Library. Banglore, Library Science 31, 1994 Smith, M. K. (2002) Globalization and the incorporation of education' , the encyclopedia of informal education, www.infed.org/biblio/globalization.htm.

Stephen Sharot. 2002. Beyond Christianity: A Critique of the Rational Choice Theory of Religion from a Weberian and Comparative Religions Perspective Sociology of Religion 2002, 63:4 427-454 The Participation, Power and Social Change, Bourdieu and Habitus, Understanding power for social change, Institute of Development Studies, University of Sussex, Melalui <http://www.w3.org (3/25/2011)> Weber, Max. 1946 (terjemahan 2006). Sosiologi (judul asli: Essay in Sociology). Terjemahan Noorkholis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar ___________. 2010. Definitions of Sociology and Social action, Basic Terms (The Fundamental Concepts of Sociology) Melalui<http://ssr1.uchicago.edu (6/25/2010)>

Anda mungkin juga menyukai