Anda di halaman 1dari 23

Guideline Praktek Untuk Manajemen Gizi/Nutrisional Pada Luka Bakar Dan Penyembuhannya

ABSTRAK Praktek gizi pada luka bakar memerlukan pendekatan multifaset yang ditujukan untuk memberikan dukungan metabolik selama keadaan inflamasi yang tinggi, serta mengakomodasi kebutuhan bedah dan medis pasien. Penilaian gizi dan penentuan kebutuhan gizi cukup menantang, terutama mengingat gangguan metabolik yang sering menyertai inflamasi. Terapi nutrisi memerlukan pengambilan keputusan yang hati-hati, mengenai penggunaan nutrisi enteral atau parenteral yang aman dan agresivitas pemberian nutrisi dengan

mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit pasien dan respon terhadap pengobatan. Dengan penemuan bahwa nutrisi tertentu benar-benar dapat mengubah perjalanan penyakit, peran dukungan nutrisi pada penyakit berat telah bergeser dari pencegahan malnutrisi menjadi modulasi penyakit. Saat ini penggunaan glutamin, arginin, asam lemak esensial, dan faktor gizi lain karena efek mereka terhadap imunitas dan regulasi sel menjadi lebih umum, walaupun bukti ini sering dikesampingkan. Sebuah dikotomi yang menarik muncul, memaksa spesialis gizi untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab sambil tetap terbuka untuk pilihan terapi baru yang potensial.

Pendahuluan Terapi nutrisi yang efektif pada pasien dengan luka bakar melibatkan pemahaman tentang perubahan fisiologis dan metabolik yang menyertai cedera traumatik. Dukungan nutrisi juga harus mengakomodasi kebutuhan bedah dan medis pasien. Cara memberikan terapi, seperti cara pemberian dan agresivitas pemberian nutrisi tergantung pada tingkat keparahan penyakit pasien dan respon terhadap pengobatan. Dengan demikian, tujuan nutrisional juga bervariasi sepanjang perjalanan penyakit karena perubahan status klinis pasien. Artikel berikut ini

berfungsi sebagai guideline untuk memberikan terapi nutrisi kepada pasien dengan luka bakar yang memerlukan perawatan berkelanjutan. Bila mungkin, guideline praktek harus berbasis bukti, namun perbedaan yang besar dalam pendekatan untuk perawatan luka bakar dan kebutuhan individu pasien menyingkirkan pendekatan yang kaku dan tidak fleksibel untuk dukungan nutrisi dalam populasi ini.

Penilaian gizi 2.1. Menentukan status gizi dan risiko gizi Pada pasien luka bakar, status gizi berkaitan dengan tahap cedera. Penilaian gizi adalah proses yang bersifat dinamis dan berkelanjutan. Pada saat penerimaan awal di rumah sakit, faktor yang berhubungan dengan riwayat pasien sebelum luka bakar (termasuk hari pasca luka bakar, sebelum perawatan luka bakar dan cedera yang berkomplikasi), tinggi dan berat badan sebelum cedera, dan tampilan klinis dijadikan sebagai dasar untuk penilaian awal gizi pasien. Pasien dengan malnutrisi (seringkali pada pasien yang perawatannya secara signifikan tertunda dari saat terpapar cedera) harus dengan cepat diidentifikasi karena mereka berada pada risiko terbesar untuk sindrom re-feeding dengan inisiasi dukungan nutrisi [1,2]. Mereka juga dapat mengambil manfaat dari interval perawatan yang singkat yang didedikasikan untuk rehabilitasi gizi sebelum pembedahan lebih lanjut atau sebelum pulang dari rumah sakit. Seiring dengan status gizi, risiko gizi juga harus ditentukan. Risiko gizi tidak hanya berkaitan dengan status gizi yang sudah ada, tapi juga faktor-faktor yang dapat mengubah kemampuan pasien untuk menerima dan memanfaatkan nutrisi selama mereka dirawat di rumah sakit seperti halnya tingkat keparahan luka bakar, usia dan kondisi komplikasi seperti cedera inhalasi dan disfungsi organ. Bila pasien berkembang menjadi fase cedera akut, respon fisiologis terhadap trauma memperburuk status gizi terlepas dari status dasar mereka. Diperantarai oleh serangkaian mediator inflamasi, katekolamin, dan hormon penekan hormon-

hormon regulator, keadaan katabolik memicu seluruh tubuh untuk memecah protein, pada akhirnya mengurangi massa sel tubuh (BCM, komponen yang aktif secara metabolik tubuh), komponen utamanya adalah otot rangka [3-5]. Karena berkurangnya BCM secara langsung dan secara berkebalikan berhubungan dengan outcome, pemantauan dan pemeliharaan BCM dan lebih khususnya massa tulang menjadi tujuan utama sebagian besar strategi dukungan nutrisi [6].

2.2 Mengevaluasi kecukupan gizi Sejumlah alat penilaian berfungsi sebagai prediktor untuk BCM . Namun, karena alat-alat tersebut bergantung pada asumsi yang tidak berlaku selama stres metabolik , penggunaan hanya terbatas pada pasien luka bakar yang sakit berat. Faktnya, sebagian besar alat penilaian yang tersedia pada umunya dirancukan oleh elemen fisiologis dari respon inflamasi . Bahkan pengukuran paling sederhana untuk total berat badan atau perubahan berat badan, yang biasanya menjadi penanda status jaringan longgar dan lemak , dikaburkan oleh ekspansi cairan ekstraseluler yang terjadi pada luka bakar akut [ 7 ]. Protein viseral adalah indikator prognostik yang lebih baik daripada parameter status protein pada pasien luka bakar selama respon fase akut [8,9]. Estimasi berlebih dari asupan nitrogen, dan pengesampingan output nitrogen sering membuat pengamatan keseimbangan nitrogen menjadi tidak valid sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Pada luka bakar besarnya kesalahan bahkan diperparah dengan hilangnya luka eksudatif dan peningkatan ekskresi nitrogen amonia (dibanding urea) yang khas pada penyakit kritis [10-12]. Terlepas dari keterbatasannya , banyak dari penanda status gizi bila digunakan secara terus atau kolektif dapat membantu dokter dalam memonitor efektivitas terapi makanan dari hari ke hari. Frekuensi penggunaannya tergantung pada fase perawatan (Tabel 1). Sebagai contoh, sementara berat badan sering dikacaukan oleh perubahan cairan, penanda tersebut dapat berguna bila dicatat dari waktu ke waktu dan dievaluasi dalam konteks yang tepat. Pengenalan bahwa perubahan berat badan selama fase akut perawatan awal mungkin tidak menunjukkan

perubahan dalam berat kering adalah penting, namun setelah pasien menjadi lebih stabil, nilai berat kering dasar yang baru dapat digunakan untuk tujuan perencanaan gizi dan juga dosis obat. Sehubungan dengan dosis obat, obat yang dititrasi untuk efeknya (yaitu morfin, fentanyl, midazolam, lorazepam, ketamin, cisatracurium, epinefrin, norepinefrin, dopamin, dan dexmedetomidine) atau dipantau dengan kadar serum (yaitu aminoglikosida, vankomisin) tidak harus diubah jika perubahan berat badan yang signifikan terjadi [13]. Informasi berat badan juga membantu untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang salah yang terjadi dengan perubahan jenis balutan luka , splints , dan jenis skala yang digunakan . Interpretasi tingkat protein viseral juga bergantung pada fase cedera, terutama karena hal ini terkait dengan seberapa jauh stres fisiologis pada pasien. Defek pada sintesis dan katabolisme albumin seperti diketahui dengan waktu paruhnya yang menjadi singkat seiring dengan berjalannya cedera membuatnya menjadi penanda status gizi yang kurang baik pada awalnya [14]. Namun ini cenderung terus berlanjut dalam perjalanan cedera, saat respon fase akut mereda, atau saat kunjungan untuk follow up. Menginterpretasikan protein viseral dengan tingkat turnover yang tinggi dalam hubungannya dengan pengukuran protein fase akut adalah cara yang terbaik untuk menilai status gizi selama fase akut luka bakar awal [15]. Bila asupan gizi adekuat, peningkat prealbumin secara bertahap biasanya terjadi saat fase akut mereda (yang diwakili oleh penurunan protein Creaktif, misalnya). Tingkat pra - albumin yang masih rendah dengan protein Creaktif yang normal mungkin merupakan tanda dari defisiensi protein atau kalori [16]. Demikian juga, ekskresi nitrogen urin juga dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan perbaikan gizi [17]. Sementara penilaian

keseimbangan nitrogen dapat menjadi rancu dan berpotensi meleset, pengukuran serial kadar nitrogen urea urin dapat memperkirakan (meskipun kurang tepat) tingkat perombakan nitrogen . Tabel 2 menyoroti pendekatan ini dengan menggabungkan parameter untuk menentukan kecukupan gizi selama berbagai fase cedera. Penetapan tingkat toleransi asupan yang akan mendukung penyembuhan luka yang adekuat dan penurunan berat badan adalah pendekatan

yang pragmatis, tidak mahal, berbasis outcome dalam menentukan kecukupan gizi [18].

2.3 Penentuan kebutuhan energi dan protein 2.3.1. Faktor metabolik yang mempengaruhi pemanfaatan makronutrien Seperti halnya penilaian gizi, inflamasi dan dampaknya pada metabolisme pada dasarnya berfungsi sebagai landasan untuk perencanaan dukungan nutrisi. Dengan demikian, gangguan metabolisme yang dihasilkan dari stres sayangnya membatasi kemampuan untuk memberikan nutrisi yang optimal. Setelah cedera yang berat, peningkatan produksi sitokin dan mediator lainnya, sementara mekanisme yang diperlukan untuk bertahan hidup, membuat metabolisme substrat makronutrien menjadi berantakan [19,20]. Peningkatan produksi glukosa, disertai dengan penurunan respon jaringan hepar dan perifer terhadap insulin, menghasilkan kebutuhan insulin yang luar biasa tinggi untuk mencapai status normoglikemia. Meskipun tidak terdapat gangguan dalam oksidasi glukosa bila dibandingkan dengan orang normal, persentase dari penyerapan glukosa yang lebih rendah diubah menjadi karbon dioksida [21]. Karbondioksida menghasilkan laktat, kemungkinan alternatif untuk diolah kembali oleh hepar [22]. Fenomena ini adalah alasan untuk memberikan infus glukosa maksimum 5 mg/kg.menit meskipun kebutuhan pasien untuk mendapat lebih banyak kalori [23]. Peningkatan kadar kortisol merangsang proteolisis otot, pemecahan protein, dan oksidasi protein [24]. Tingginya tingkat oksidasi protein ini menghasilkan pengeluaran energi yang meningkat untuk sebagian besar pasien luka bakar [25]. Kesulitan pengisian konsentrasi intraseluler untuk asam amino tertentu seperti glutamin dan arginin, karena peningkatan fluks dan pembuangan dari tempat cadangan protein lebih memberikan kontribusi terhadap katabolisme protein otot [26-28]. Bahkan, protein eksogen yang mampu meningkatkan sintesis protein, tidak bisa benar-benar mengurangai pemecahan protein otot meskipun asupan nitrogen tinggi.

Terakhir, peningkatan lipolisis yang dikombinasikan dengan hasil oksidasi lemak yang terganggu mengakibatkan pengolahan sia-sia dari asam lemak bebas dan trigliserida [20]. Dalam banyak kasus, pemberian lemak eksogen hanya memperburuk substrat dan/atau mengembalikan jaringan lemak, membuat

makronutrien ini sedikit efektif dalam konteks penyembuhan luka dan pemeliharaan BCM. 2.3.2 . Faktor klinis yang mempengaruhi kebutuhan energi Interaksi inflamasi-nutrien yang diuraikan di atas adalah bagian dari fenomena universal terkenal yang pada saat aktivasi tidak membedakan penyebab gangguan pada awalnya [3,29]. Besarnya respon inflamasi sebanding dengan tingkat keparahan trauma tertentu. Selain itu, berbagai intervensi klinis dapat mempengaruhi atau memperkuat status metabolik ini, selanjutnya mempengaruhi kebutuhan energi. Misalnya, efek gabungan dari respon inflamasi dan evaporasi pada kehilangan panas (dan laju metabolisme kemudian), menempatkan pasien luka bakar pada kondisi paling hipermetabolik. Sebaliknya eksisi awal dan grafting dan penggunaan pembalut oklusif keduanya penting dalam

meminimalkan efek ini [30,31]. Secara historis, luasnya area luka terbuka biasanya telah dimasukkan ke dalam banyak perkiraan empiris untuk kebutuhan energi pada pasien luka bakar [32,33]. Metode yang memperkirakan kebutuhan energi ini tampak masuk akal, namun banyak persamaan yang menggabungkan ukuran luka diketahui melebih-lebihkan pengeluaran energi diukur sebenarnya [34,35]. Selanjutnya, tingkat metabolisme dapat tetap tinggi meskipun luka telah tertutup. Yang terakhir ini dapat dijelaskan oleh kehilangan air transkutan di seluruh luka yang baru sembuh [36], atau keadaan hipermetabolik yang sedang berjalan, meskipun ini memerlukan studi lebih lanjut [4]. Dokter juga harus sadar bahwa berbagai aspek praktek klinis, termasuk : langkahlangkah pengkondisian lingkungan untuk meminimalkan kehilangan panas , manajemen nyeri, obat penenang, dukungan ventilasi dan terapi nutrisi semuanya berkontribusi terhadap pengeluaran energi pasien secara keseluruhan, seringkali tidak sejalan. Sementara pengeluaran energi pada sakit yang berat tampaknya

telah dapat diturunkan selama beberapa dekade terakhir karena banyaknya kemajuan dalam perawatan, intervensi faktor klinis yang spesifik untuk setiap pasien harus dipertimbangkan ketika memperkirakan tingkat stres pasien.Tabel 3 menggambarkan berbagai kondisi fisiologis/sifat dan intervensi terapeutik yang dapat mempengaruhi pengeluaran energi. Karena hal-hal tersebut mempengaruhi tingkat metabolisme, kewaspadaan terhadap faktor-faktor klinis, terutama yang berlaku di status klinis seseorang, adalah penting dalam memperkirakan tujuan kecukupan kalori. Misalnya, seorang pasien yang memiliki kontrol nyeri yang baik, baik dibius dan memerlukan sedikit upaya pernapasan saat menggunakan ventilasi mekanik mungkin memiliki persyaratan yang lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak berat kritis, bernapas sendiri dengan sedikit sedasi dan keikutsertaanyang lebih dalam rehabilitasi. Dengan kata lain, beberapa pasien , agar mereka menjadi lebih baik sebenarnya memiliki peningkatan kebutuhan energi harian. 2.3.3. Kalorimetri direk Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kebutuhan energi bervariasi dari pasien ke pasien, juga dari satu unit luka bakar pada unit berdasarkan standar praktek luka bakar. Hal ini membuat sulit dan mungkin bijaksana untuk mengeneralisasi kebutuhan energi pada pasien luka bakar. Pengukuran serial pengeluaran energi istirahat oleh kalorimetri direk , jika tersedia , mengurangi tingkat estimasi murni dengan menangkap stres dari penyakit juga sebagai juga efek faktor klinis yang disebutkan dalam setiap pengukuran. Hal ini dapat mencegah kekurangan/ kelebihan makan [37]. Karena pengukuran tersebut hanya mencerminkan waktu sesaat , suatu faktor, yang jarang melebihi 30% dari tingkat metabolisme yang diukur, biasanya diterapkan untuk menghitung aktivitas sepanjang hari yang mungkin berkontribusi untuk pemakaian energi 24 jam [38]. Tingkat estimasi dengan metode ini minimal dan penggunaan pengukuruan serial memungkinkan pemberian energi untuk tetap selaras dengan perubahan status klinis. Meskipun sulit untuk menghubungkan kalorimetri direk dengan peningkatan outcome, pemberian makanan berlebih pasien menyebabkan komplikasi yang tidak

diinginkan seperti perlemakan hepar, hiperglikemia dan overload cairan. Selain itu , makan berlebihan cenderung menyebabkan akumulasi massa lemak tubuh, sehingga hanya sedikit memberikan manfaat. Konsekuensi tersebut mungkin harus dihindari dengan kalorimetri tidak langsung karena sebagian besar formula melebih-lebihkan kebutuhan [39-41]. Ini adalah praktek kami untuk mengukur pemakaian energi kapanpun dapat digunakan secara klinis. Bila diperlukan untuk memperkirakan kebutuhan energi, kami mendasari kebutuhan energi berbasis RMR perkiraan pasien dan menerapkan faktor (biasanya antara 1,0 dan 1,75 yang digunakan di unit kami) yang mencakup kombinasi unsur klinis dan fisiologis. Faktor ini dievaluasi secara berkala. Metode tersebu lebih disukai untuk perkiraan statis yang tidak memperhitungkan perubahan status klinis pasien. 2.3.4. Estimasi kebutuhan protein Luka bakar yang berat ditandai dengan peningkatan efluks asam amino dari otot rangka yang mungkin untuk mengakomodasi kebutuhan asam amino untuk memperbaiki jaringan, produksi protein fase akut, imunitas seluler dan

glukoneogenesis [4]. Secara intuitif, asupan protein yang tidak adekuat mengganggu penyembuhan luka, fungsi otot , dan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, tujuan terapi protein pada luka bakar adalah untuk menyediakan jumlah dan kualitas asam amino dalam diet yang cukup sehingga (1) mencegah keluarnya protein dari otot rangka dan (2) memaksimalkan sintesis protein bagi penyembuhan luka yang optimal dan fungsi kekebalan tubuh. Tidak seperti menilai keseimbangan sederhana, penilaian protein dinamis memungkinkan kita untuk melihat melampaui aspek metabolisme protein dengan mengisolasi tingkat aktual dari sintesis protein dan pemecahan protein [5]. Metode ini telah membantu dalam mencapai target protein dan menetapkan tujuan yang realistis . Misalnya, pada orang dewasa, asupan protein yang mendekati 1,5 g/kg. hari berhubungan dengan keseimbangan bersih antara sintesis protein dan kerusakan. Asupan protein yang lebih besar yang 1,5 g/kg.hari, sementara menstimulasi tingkat sintesis dan kerusakan, tidak memberikan keuntungan lebih terhadap sintesis

protein bersih [42] , dan tidak terbukti memberikan keuntungan apapun. Seperti disebutkan sebelumnya, bukti isotop juga menunjukkan bahwa pemecahan protein tidak dapat sepenuhnya diatasi oleh protein eksogen yang diberikan mengikuti luka bakar [42,43]. Karena itu beberapa hilangnya massa tubuh tanpa lemak dapat diperkirakan terlepas dari asupan protein yang cukup [44]. Bahkan, mungkin terapi anabolik ajuvan diperlukan untuk pemeliharaan massa tubuh tanpa lemak yang optimal [45]. Di sisi lain, protein sendiri dapat meningkatkan ekonomi protein, yang pada gilirannya dapat meningkatkan sintesis protein struktural dan fungsional dan mengoptimalkan waktu penyembuhan luka [43].

3. Strategi dukungan nutrisi Saat kebutuhan energi dan protein ditetapkan , cara pemberian nutrisi yang paling memenuhi kebutuhan metabolik dan klinis pasienharus ditentukan. Menyadari pentingnya menjaga integritas mukosa usus , kebanyakan dokter memilih untuk menggunakan nutrisi enteral sebagai pilihan cara terapi [46]. Sebagai respon, strategi nutrisi enteral telah menjadi makin canggih dan memungkinkan fleksibilitas dalam inisiasi, kemajuan, dan komposisi terapi nutrisi enteral [47]. Namun kemudahan dimana nutrisi enteral sekarang dapat disediakan, harus dipertimbangkan oleh penilaian klinis, terutama untuk menghindari komplikasi dari makan berlebihan pada pasien sakit berat yang mungkin tidak toleran. Jadi, sementara perdebatan terapi nutrisi enteral dibandingkan parenteral dalam pengertian umum tampaknya telah dianggap kuno, pedoman untuk praktek harus memastikan bahwa manfaat dari nutrisi enteral melebihi potensi risiko untuk setiap pasien yang diberikan.

3.1 Nutrisi kombinasi enteral dan parenteral selama fase akut cedera awal Rute parenteral dukungan nutrisi telah dikritisi karena tidak fisiologis, tak memberikan nutrisi adekut ke abdomen, dan telah dikaitkan dengan angka yang lebih tinggi dalam hal komplikasinya pada pasien bedah yang sangat parah. Walau demikian, nutrisi parenteral memiliki keuntungan karena dapat ditolerir oleh

pasien yang amat sakit dan ketika digunakan dengan benar, akan aman untuk pasien yang menjalani banyak episode operasi. Lebih jauh lagi, adalah kurangnya nutrisi enteral seperti yang terlihat pada pengawasan nutrisi parenteral yang lebih sering dikaitkan dengan kegagalan barrier saluran cerna dan infeksi. Untuk beberapa tahun telah menjadi praktik sehar-hari kami untuk menggunakan pemberian nutrisi melalui pipa gastric dengan kombinasi nutrisi parenteral, di mana nutrisi parenteral diberikan pada waktu terjadinya intoleransi pemberian nutrisi melalui pipa gastric, instabilitas hemodinamik, episode-episode septic, atau pembedahan. Analisis retrospektif telah membutktikan bahwa praktik ini adalah aman dan efektif pada pouplasi kami dalam kondisi intake kalori dan protein yang adekuat dan, percepatan penyembuhan luka, dan mortalitas. Kami menganggap keberhasilan pendekatan ini didasarkan atas tiga unsur kunci: (1) kebijaksanaan yang tepat dalam hal dukungan pemberian nutrisi enteral didasarkan pada indikator klinis yang diakui secara klinis (Tabel 4); (2) pengawasan nutrisi parenteral berdasarkan pada penggunaan substrat terhadap estimasi kalori; (3) penggunaan terbatas untuk lipid intravena. Secara bersamaan, dua hal terakhir yang disebut berakibat pada terapi nutrisi yang memberikan intake kalori dengan tingkat rendah hingga menengah, yang juga menunjukkan peningkatan outcome.

3.1.1. Pedoman pemberian nutrisi enteral pada awal penyembuhan Saat masuk perawatan, pasien dievaluasi untuk kemampuannya dalam menerima pemberian nutrisi melalui jalur enteral sesuai dengan status klinisinya. Mereka yang menjalani resusitasi cairan agresif dianggap masuk golongan yang memiliki risiko perfusi intestinal yang rendah. Walaupun pemberian nutrisi enteral memang dapat meningkatkan perfusi saluran cerna hingga derajat tertentu, potensi ketidakseimbangan antara permintaan oksigen intestinal dan perfusinya memberikan peringatan selama fase cedera ini. Hingga kini, riset masih gagal menunjukkan manfaat outcomeg yang kuat terkait dengan pemberian makan enteral dini. Sebaliknya, laporan mengenai nekrosis usus yang diinduksi oleh pemberian nutrisi enteral adalah sangat membingungkan, terutama karena sedikitnya indikator klinis untuk memprediksi kejadian ini. Maka dari itu, adalah

tugas kita untuk melakukan pemberian nutrisi secara trophic saja pada pasien yang berisiko kehilangan perfusi saluran cerna. Ini meliputi pasien yang memerlukan vasopresor cukup banyak. Ketika hemodinamikpasien stabil dan mampu lepas dari dukungan vasopresor, toleransi gasterya dinilai. Pasien dengan outcome GI yang rendah (kurang dari 200 mL) dan kondisi abdominal normal (baseline didapat saat masuk perawatan) kemudian mulai diberikan nutrisi gastric dalam laju 0.5-1 mL/kg tiap jamnya. Kemudian terus ditingkatkan kecuali residunya melebihin dua kali lipat angka residualnya.

3.1.2. Komposisi nutrisi parenteral Karena dukungan parenteral telah dikaikan dengan peningatan risiko infeksi dan disfungsi hati, pertimbangan khusus mengenai komposisi (Tabel 5) dan laju pemberian larutan, juga perawatan jalur yang baik dilakukan ketika jenis nutrisi ini diberikan. Di rumah sakit kami, penggunaan larutan yang sudah standar telah mereduksi biaya, berpotensi untuk menciptakan error, dan gangguan metabolic yang seringkali diperkirakan akibat nutrisi parenteral. Contohnya, ukuran target untuk nutrisi parenteral ditentukan oleh tingat penggunaan substrat dengan dibandingkan terhadap target energi (Tabel 6). Ini mencegah kelebihan asupan nutrisi intravena yang dapat berakibat pada steatosis hepatic, edema cairan, dan gangguan metabolic lain. Temuan kami bahwa laju infusi glukosa yang kelebihan sekitar 5g/kg/menit tidaklah teroksidasi secara efisien baik pada dewasa maupun anak-anak memberikan dasar untuk target laju infusi pada semua pasien dengan luka bakar. Ini juga membantu untuk menekan insidensi hiperglikemia. Infusi asam amnio diharapkan mencapai angka 100% kebutuhan protein. Ini biasanya berakibat pada kalori non-protein:rasio nitrogen 85:1, yang konsisten dengan penyembuhan luka yang membaik. Pedoman monitoring untuk pasien pada TPN, seusai dengan tingkat akuitasnya, diberikan pada Tabel 7.

3.2. Nutrisi Enteral Dahulu, gagasan bahwa kelaparan dan malnutrisi protein berujung pada atrofi mukosa, berperan sebagai pendorong untuk peningkatan kebergantungan pasien

rawat inap terhadap nutrisi enteral. Pengetahuan bahwa stress dapat meningkatkan permeabilitas intestinal, suatu mekanisme yang diajukan dalam translokasi bakteri, lebih jauh mengembangkan konsep nutrisi enteral adalah penting untuk imunitas. Sedangkan terdapat bukti yang sedikit bahkan tak ada untuk pernyataan bahwa nutrisi enteral mencegah translokasi bakteri pada manusia, dampak dari nutrisi intraluminal terhadap saluran pencernaan dari segi imunitas, terlihat sebagai suatu hal yang penting. Lebih jauh lagi, teori-teori baru sedang berkembang, mengaitkan iskemi/reperfusi lambung pada perkembangan sepsis dan kegagalan organ multipel setelah trauma dan luka bakar. Nutrisi enteral maka dari itu diajukan tak hanya untuk mempertahankan integritas lambung, tapi juga untuk meminimalisir pelepasan mediator yang diturunkan dari lambung yang dapat mengaktifkan kaskade inflamasi yang berakibat pada kerusakan radikal bebas. Secara klinis, pemberian nutrisi secara enteral memiliki risiko yang lebih rendah untuk komplikasi infeksiusnya, juga lebih fisiologis dan (biasanya) lebih hemat biaya dibandingkan dengan dukungan parenteral, dan dapat ditoleransi lebih baik pada sebagian besar pasien luka bakar.

3.1.3. Pemberian lipid intravena diskriminat Karena mungkin berinterferensi dengan fungsi platelet, pemberian lipid intravena dihubungkan dengan fungsi imun yang rendah, dan dapat mengeksaserbasi cedera paru pada beberapa situasi, lipid intravena dihindari kecuali dukungan parentreal harus dihindari kecuali dukungan parenteral harus diberikan selama lebih dari 3 minggu. Karena lipid intravena memiliki kecenderungan tinggi untuk masuk proses daur ulang asam lemak-trigliserid pada kondisi inflamasi dan diperkirakan memerlukan protein yang lebih sedikit dibandingkan glukosa, pemberiannya seperti kurang bermanfaat dari sudut pandang metabolic. Walaupun tanda untuk defisiensi asam lemak esensial cenderung tak jelas pada keadaan cedera luka bakar, sejumlah kecil lemak intravena diberikan jika nutrisi enteral tak dapat dimulai pada minggu ketiga perawatan. Walau demikian, hal ini jarang diperlukan, khususnya karena banyak pasien kemudian memerlukan dukungan

enteral penuh. Pasien juga mungkin menerima asam lemak esensial selama infusi propofol. Sesuai pertimbangan di atas, umumnya tidaklah mungkin untuk memberikan semua kebutuhan kalori yang diprediksi dengan regimen ini. Sebagian besar pasien kami menerima sekitar 110-130% dari laju metabolik basal mereka. Walau demikian, ketika protein secara ketat dipertahankan dalam laju target, outcome operatif yang baik dapat dicapai, dengan penurunan berat badan minimal pada periode singkat ini. Lebih jauh lagi, dukungan parenteral diberikan selama eskalasi pemberian nutrisi lewat pipa akan berakibat pada pencapaian yang lebih cepat pada target kalori dan protein, tanpa komplikasi yang diarahkan pada penentuan pemberian nutrisi.

3.2.1. Pemilihan Formula Dahulu, dan hingga kini, suplemen enteral telah digunakan untuk mempertahankan status nutrisi dan mencegah outcome negative terkait dengan malnutrisi. Dari sisi ini, pemberian nutrisi dalam bentuk polimer tetap menjadi hal yang umum dilakukan pada pasien luka bakar berat dan cenderung cukup untuk mendukung penyembuhan luka dan mempertahankan massa tubuh ketika energi dan intake protein cukup. Harga yang lebih terjangkau, dibandingkan dengan produk khusus lain, dan fakta bahwa jenis ini ditolerir dengan baik, membuatnya menjadi pilihan lini pertama pada sebagian besar rumah sakit dalam hal formularium nutrisi. Walau demikian, sejajar dengan pengetahuan lambung sebagai organ pengatur imunitas, beberapa nutrient kunci telah teridentifikasi, bahwa ketika diberikan secara enteral dapat secara nyata memberi dampak pada proses fisiologis sebagai respon terhadap cedera. Ini mengikuti teori bahwa formula yang mengandung nutrient ini, dapat merubah secara aktual perjalanan penyakit. Perkembangan pada sisi teknologi formulasi enteral selama 20-30 tahun ini menawarkan kepada para klinisi pilihan yang luas dalam pemberian nutrisi dengan metode ni, bahkan beberapa dalam harga yang patut dipertimbangkan. Di sini, ketersediaan pasar sebenarnya telah mendahului pemikirian ilmiah untuk penggunaan produk ini. Walau demikian seiring riset pada area ini yang terus

berkembang, telah terjadi suatu pergeseran paradigm dalam bagaiman kita memandang peran nutrisi pada penatalaksanaan perawatan luka bakar. Sebagian besar formula khusus (specialty formula) yang menonjol pada nutrisi luka bakar memiliki sifat yang mendorong penyembuhan luka dan/atau imunitas. Di antara formula-formula tersebut yang akan didiskusikan di sini adalah salah dua asam amino esensial yakni glutamine dan arginine. Glutamine dianggap penting pada sebagian besar kondisi penyakit untuk berbagai tujuan. Dengan dua kelompok amine, glutamine berfungsi sebagai pembawa nitrogen untuk sintesis purine dan pyrimidine. Glutamine berfungsi sebagai sumber energi oksidatif utama untuk sel-sel yang membelah dengan cepat, meliputi enterocyte. Sebagai prekursor untuk glutathione, suatu antioksidan poten, glutamine berpartisipasi dalam menurunkan kerusakan oksidatif. Suplementasi glutamine pada luka bakar menunjukkan manfaat yang cukup baik. Kami mempelajari bahwa efek suplementasi glutamine (0.6 g/kg) pada susunan protein dan menemukan bahwa diet yang diperkaya dengan glutamine memiliki efek yang mirip dengan turnover protein dan penghancurannya sebagai campuran asam amino esensial. Pada penelitian lain, suplementasi glutamine berakibat pada penurunan penghancuran protein otot (seperti yang diindikasikan oleh 3-metil-histidin) dan meningkatkan penyembuhan luka ketika diberikan secara enteral. Manfaat klinis lain dari suplementasi glutamine pada pasien luka bakar meliputi penurunan pada angka infeksi, lama rawat inap, biaya, dan mortalitas. Suplementasi glutamine relative aman, membuatnya masuk akal untuk masuk pertimbangan dalam praktik pada populasi pasien jenis ini. Peran dari suplementasi arginine pada luka bakar terus dieksplorasi. Deplesi arginine yang diinduksi oleh stress pada pool jaringan menunjukkan bahwa arginine juga semi-esensial pada kondisi setelah luka bakar. Peningkatkan uptake ekstrahepatik arginine berkontribusi pada percepatan produksi urea pada pasien luka bakar yang lebih jauh lagi mengeksaserbasi kehilangannya dari tubuh. Halhal tersebut membuat peran arginine pada penyembuhan luka (sebagai stimulant untuk pertumbuhan hormone) dan imunitas melalui jalur oksida nitrat. Sayangnya, produksi tak terkendali oksida nitrat dapat berakibat buruk, dan mungkin

berkontribusi pada outcome klinis yang jelek khususnya pada pasien yang septic. Sebaliknya, manfaat yang mungkin dimiliki arginine pada penyembuhan luka dapat terlihat nyata pada pasien yang kekurangan nutrisi, atau pasien yang tak bermasalah secara metabolic, menunjukkan peran pada pada populasi pasien luka bakar. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis yang aman untuk pasien yang sakit lebih parah.

3.2.2. Pemberian nutrisi dari usus kecil versus lambung Kontroversi terus berlanjut mengenai rute yang paling efektif: lewat pipa intragastric atau pipa usus kecil. Pendukung pemberian lewat pipa usus kecil beranggapan bahwa pasien luka bakar mengalami pengosongan lambung yang lebih lambat dan cara pemberian lewat usus kecil akan mengurangi kemungkinan untuk pneumonia aspirasi. Kemampuannya, setidaknya pada pasien yang lokasi postpyloric pipanya dapat dipastikan, untuk melanjutkan pemberian nutrisi saat operasi adalah manfaat utama lain dan digunakan dengan sukses pada beberapa unit luka bakar. Walaupun pipa postpyloric dapatdiganti dengan gampang melalui pipa dengan pemberat, dengan endoskopi, atau dengan fluoroskopi, intubasi duodenal dapat saja sulit dilakukan secara teknis pada banyak pasien. Lebih jauh lagi, pipa postpyloric dapat bergeser ke abdomen dan sekitar 30% pasien yang diberi makan secara enteral pada unit rawat intensif akan mengalami diare. Pemberian nutrisi melalui pipa lambung/gastric tube akan ditolerir ketika dimulai segera setelah cedera, dan dapat dilakukan tanpa risiko tinggi untuk aspirasi. Selain itu, pemberian makan melalui lambung lebih bermanfaat dalam mencegah ulkus. Manfaat lainnya adalah mudah untuk dilakukan dan mudah untuk memonitor torelansinya dengan aspirasi pipa. Ketika menggantungkan pada pemberian nutrisi intra-gastrik, infuse harus dihentikan saat peri-operatif untuk mencegah aspirasi. Selama interval ini, sering pada anak dengan luka bakar yang luas, dukungan parenteral tambahan dapat diberikan (Tabel 4).

3.3 Suplementasi mirkonutrien

Pedoman praktik berdasar bukti kini belum ada untuk penilaian dan pengawasan mikronutrien pada pasien luka bakar. Diperkirakan, hilangnya absorpsi gastrointestinal, peningkatan kehilangan melaui urin, perubahan distribusi, dan perubahan konsentrasi pembawa protein setelah luka bakar hebat akan berakibat pada defisiensi pada berbagai mikronutrien jika tak diberikan dalam regimen suplementasinya. Walau demikian, perhatian harus diberikan pada

toleransigastrointestinal, yakni reaksi antagonistik (yang dapat berakibat pada defisiensi nutrient lain, dan potensi untuk outcome yang tak diinginkan), meskipun ini sangat jarang hal ini masih dapat terjadi. Pengetahuan akan sifat dasar pada berbagai kelompok mikronutrien selama stress juga penting, karena ini membuat klinisi mengaplikasikan logika yang tepat pada pratik dan pada pengembangan protocol untuk monitoring nutrient dan suplementasinya pada pasien luka bakar. Terdapat beberapa karakteristik yang utama pada beberapa mikronutrien. Pertama, mikronutrien pada pool seringkali pada keadaan flux. Ini membuat pengukuran statis untuk beberapa nutrient pada darah tak representative pada tingkat pool jaringan. Pergeseran cairan inter-kompartemen, dan intake diet yang terkini oleh pasien dapat mempengaruhi jumlah nutrient tertentu pada pool tertentu pula. Lebih jauh lagi, banyak mikronutrien, khususna trace element dan vitamin larut lemak akan berikatan dengan pembawa protein. Ini sangat signifikan, karena protein sangat diatru ketika respon akut terjadi. Analisis darah untuk zinc, tembaga, selenium, dan besi dapat salah tafsir karena fenomena ini. Bahkan lebih penting lagi, hipoproteinemia saat malnutrisi atau luka bakar akut terjadi tak akan berkaitan dengan hasil pemeriksaan mikronutrien, tapi ini juga dapat mempengaruhi kemampuan nutrient untuk ditranspor dari bentuk

penyimpanannya ke jaringan (di mana mikronutrien ini diperlukan), membuat suplementasinya mungkin akan bermasalah. Defisiensi fungsional ini seperti pada kasus vitamin A, dapat diperbaiki ketika status protein normal telah tercapai kembali. Di samping praktik umum pada banyak unit luka bakar, terdapat bukti yang sedikit hingga kini untuk memberikan dosis farmakologis tertentu mikronutrien

pada pasien luka bakar. Di unit kami, suplementasi mikronutrien ditujukan untuk memberbaiki kondisi defisiensi. Tabel 8 adalah protokol suplementasi kami yang digunakan untuk anak-anak. Penting untuk disebut adalah bahwa mayoritas pasien sebenarnya mencapai jumlah suplementasi yang direkomendasikan (di atas angka yang diperlukan saat kondisi normal) melalui terapi nutrisi standar. Untuk pasien ini, suplementasi tidaklah diperlukan. Ini adalah manfaat penting dalam memberikan formula enteral untuk dewasa pada anak-anak.

4. Ringkasan dan simpulan Perkembangan pada kontrol infeksi, eksisi dini dan cangkok jaringan (graft) serta dukungan nutrisi agresif telah sangat meningkatkan angka keselamatan pada luka bakar berat. Pasien luka bakar yang sangat parah tidaklah homogen. Kebutuhan mereka sangatlah kompleks dan seringkali spesifik. Banyak faktor yang berkaitan dengan penatalaksanaan klinis pada pasien-pasien ini, seperti keperluan untukoperasi, ventilasi mekanis, dan medikasi menggunakan status nutrisional utama dan kemampuannya dalam memenuhi nutrisi pasien. Dengan setiap perubahan pada status klinis, adalah penting untuk menilai ulang kebutuhan nutrisi, jenisnya, dan caranya.

Tabel 1 Variabel monitoring gizi dalam perawatan berkelanjutan Elemen penilaian gizi Jadwal monitoring dan titik penting Akut Berat badan Dua kali seminggu Penilaian berat kering dasar baru yang Rehabilitatif Setiap minggu Konvalesen/pemulihan Pada kunjungan yang

terjadwal

mengikuti resusitasi Monitoring untuk mengurangi nilai yang keliru karena ketidak-sesuaian skala, pergeseran cairan Asupan kalori dan protein Setiap hari Setiap hari Bila status gizi perlu perhatian khusus, recall 24 jam Albumin Setiap bulan bila perlu Bila status gizi perlu

perhatian khusus Pre-albumin Protein C-reaktif (CRP) Nitrogen urea urin (UUN) Dua kali seminggu Dua kali seminggu Setiap minggu UUN biasanya berkurang dari waktu ke waktu karen penurunan tingkat katabolik Target protein dapat disesuaikan untuk Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu

mengakomodasi pemecahan protein metabolik Kalorimetri indirek Setiap minggu

Tabel 2 Menginterpretasikan kecenderungan indikasi biokimia pada pasien luka bakar akut Asupan kalori/protein p-Alb (% target) 100 Peningkatan inflamasi yang ditandai dengan Monitoring peningkatan tingkat katabolisme. berkelanjutan, asupan CRP UUN Interpretasi Tindakan

Pre- protein >1,5 kali UUN untuk mengatasi kekurangan mutlak

albumin tidak merefleksikan kecukupan gizi <100

Asupan yang tidak adekuat didasarkan pada Cek berat badan. Temukan hambatan penurunan inflamasi p-Alb dengan penurunan dalam mencapai rencana nutrisi/ perbaiki sesuai kebutuhan

>100

Asupan yang tidak adekuat didasarkan pada Evaluasi kembali target protein dalam pencapaian target dan peningkatan pre- hubungannya dengan perubahan status albumin. Peningkatan UUN disebabkan oleh klinis untuk penurunan kebutuhan yang asupan protein yang berlebih potensial. Cek protein total, ureum, kreatinin

100

Pre-albumin semestinya cenderung mening- Evaluasi kembali target kalori dan kat karena meredanya inflamasi. UUN protein, mungkin akan meningkat. mencerminkan peningkatan glukoneogenesis Cek berat badan, pengeluaran energi, penyembuhan sisi donor

Tabel 3 Efek variabel pada pengeluaran energi pada pasien luka bakar Meningkat Efek fisiologis Usia Malnutrisi Ukuran luka Sepsis Katabolisme protein Pankreatitis Nyeri Demam Efek terapi Ventilasi mekanis Penutupan luka Lingkungan hangat Prosedur bedah Inisiasi dukungan nutrisi Terapi fisik Efek medikasi Hormon pertumbuhan Kortikosteroid Agen vasoaktif Blokade neuromuskuler + + + + + + + + + + + + + + + + + + Menurun Tidak berefek

Tabel 4 Guideline klinis untuk penundaan pemberian makan enteral gastrik Tunda Resusitasi yang sulit atau onset septik Kebutuhan vasopreseor yang Mulai Hemodinamik stabil

tinggi Tidak membutuhkan vasopresor

(dopamin: 10-20 g/kg/menit); Distensi abdomen yang menyertai Lingkar abdomen normal atau abdomen supel, tidak distensi Output gaster >200 ml/hari Berkurangnya output gaster

Tabel 5 Larutan parenteral standar untuk anak Nutrien Konsentrasi (meq/L) Asam amino (clinisol 15%) Dextrosa 74 g/L 200 g/L Kandungan Na yang tinggi untuk Rasio kalori non-protein : N = 85 : 1 Komentar/alasan

Natrium (Na-asetat 2 meq; 100 NaCl; 4 meq)

menurunkan suplementasi Na dengan keluarnya Na dari luka

Kalium (K-fosfat 3 mM, 50 KCl 2 meq) Kalsium (Ca-glukonas 10% 9 meq) Magnesium (MgSO4 50% 18 meq) Fosfat Asetat 15 120

Peningkatan kalium untuk mengurangi kebutuhan suplementasi Maksimal

Maksimal

Maksimal Maksimal hingga menurunkan risiko asidosis

Klorida Asam askorbat Multivitamin Mikroelemen

70,65 500 mg/L 5 ml/L 0,5 ml/L M.V.I 12 Kandungan mikronutrien : Zn=2500 g, Cu=500 g, selenium=30 g

Tabel 6 Guideline pemberian TPN Nutrien Larutan total Asupan yang direkomendasi Elemen kunci dalam perawatan

1,75 ml/kg/jam untuk bayi TPN dapat dimulai pada tingkat target. dan anak <20 kg; 1,5 Dewasa dan anak yang lebih tua (>50 kg) dapat dimulai pada 75% tingkat target hiperglikemik sebelum inisiasi

ml/kg/jam untuk <20 kg

Karbohidrat

5-7 mg/kg//menit

Tingkat

maksimal

dari

oksidasi

glukosa secara isotop yang dinilai pada anak dan dewasa dengan luka bakar Protein 2,5-4,0 g/kgIBW Kandungan asam amino yang tinggi memungkinkan mencapai target

protein tanpa volume yang berlebih Lemak (20% intra- Mulai dengan 0,5 g/kg selama Pasien dengan TPN >14 hari tidak lipid) 12 jam. Target volume 1-1,5 menerima makanan enteral (catatan: g/kg/hari. Intralipid tidak intralipid tidak diindikasikan pada yang mendapat propofol).

diberikan dalam dosis >3,6 pasien g/kg/hari

Propofol mengandung 10% minyak kedelai dan akan memberikan asam lemak esensial dan kalori tambahan 1 kkal/mL. Tingkat trigliserid dimonitor pada awalnya dan setiap minggu. Lipid dipertahankan pada level >350 mg/dL.

Tabel 7 Monitoring biokimia pada pasien dengan TPN Pengukuran Elektrolit Akut Setiap hari Akut, non-stress Semi tiap minggu Non-akut Setiap hari selama 3 hari; tiap minggu Fosfat, Mg, Ca LFT, Alb, TP Pre-albumin, CRP Semi tiap minggu Setiap minggu Setiap minggu Semi tiap minggu Setiap minggu Setiap minggu Setiap minggu Dua kali seminggu Setiap minggu

Tabel 8 Protokol suplementasi nutrien pada anaka Mikronutrien elemenc Zincd Tembaga
d

Suplementasi enteralb

Suplementasi parenteral 1 dosis tunggal vial/ hari

Multivitamin dengan mikro- 1 tablet/hari

25 mg/hari 2,5 mg/hari 50-170/hari 200 mg/hari

50 g/kg/hari 20 g/kg/hari 2 g/kg/hari 200 g/kg/hari

Selenium Vitamin C a Anak lebih dari 3 tahun

b Anak yang mendapat formula dewasa atau formula spesial yang didesain untuk penyembuhan luka tidak membutuhkan suplementasi nutrien individual tambahan c Vitamin A, E, besi, B kompleks disediakan sebagain bagian dari preparasi multivitamin/ mikroelemen d Penambahan suplemen multivitamin dengan mikroelemen dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan

Anda mungkin juga menyukai